. Tanggung
Jawab Guru Dalam Mendidik Anak
Peranan guru dalam membantu proses internalisasi
nilai-nilai positif ke dan di dalam diri siswa tidak bisa digantikan oleh media
pendidikan secanggih apapun. Hal ini karena pendidikan karakter membutuhkan
teladan hidup (living model) yang hanya bisa ditemukan dalam pribadi para guru.
Tanpa peranan guru, pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil dengan baik.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena
bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah.
Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain
kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif)
nilai yang baik dan mau melakukannya
(domain psikomotor). Proses pembiasaan itu tidak akan mungkin berjalan dengan
baik tanpa bantuan guru dan juga orang tua.
Sebagai seorang pendidik muslim, kita perlu menggali
kembali nilai-nilai Islam sebagai pijakan kita dalam menjalankan tugas profetik
dan profesionalismenya. Guru utama yang menjadi panutan kita adalah Rasulullah
saw. Beliau mengemban misi mulia dari Allah swt yang tercermin dalam surat al-Jumu'at ayat 2
هو
الذي بعث فى الأميين رسولا منهم يتلو عليهم أياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة
وإن كانوا من قبل لفى ضلال مبين )الجمعة:٢(
Artinya:Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah),
dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(Qs.
Al-jum’ah : 2 )
Tugas Nabi Muhammad saw antara lain adalah membacakan
ayat-ayat Allah swt, menyucikan dan mengajar manusia. Beliau sebagai pendidik bukan
hanya sekedar membacakan atau menyampaikan, tetapi juga menyucikan, yakni
membersihkan jiwa dan mengembangkan kepribadian. Sedangkan mengajar adalah
mengisi benak peserta didik dengan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan
tugas-tugas yang menjadi tujuan penciptaan manusia, yakni menjadi khalifah
sebagimana yang tercantum dalam surat
Al-baqarah ayat 31:
وعلى
أدم الأسماء كلها ثم عرضهم على الملائكة فقال أنبئونى بأسماء هؤلاء إن كنتم صادقين
)البقرة:٣١(
Artinya:Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar (Qs. Al-Baqarah: 31)
Dan untuk mengabdi, beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana
yang tercantum dalam surat Az -zariyat ayat 56:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون )الذاريات:٥٦
Artinya:Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Qs. Adz-Dzariyat: 56)
Atas dasar itulah, maka dalam pandangan Prof. Quraish
Shihab, tujuan pendidikan Islam, yang sekaligus peranan yang diharapkan dari
pendidik muslim adalah: membina manusia secara pribadi dan kelompok agar mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya guna membangun dunia
ini sesuai dengan "konsep" yang ditetapkan Allah SWT. Peranan para
guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris
sejati ajaran Rasulullah Saw. Melalui merekalah, ajaran dan nilai-nilai Islam
yang dibawa oleh Rasulullah Saw ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Itulah sebabnya, Rasulullah Saw lebih memuliakan seseorang guru daripada
seseorang abid (ahli ibadah).
Guru, sebagaimana pameo lama, adalah sosok yang di gugu
dan di tiru, guru adalah sebagai orang tua kedua bagi anak didiknya. Karena
itu, sebelum memberikan ilmunya, yang pertama harus dilakukan oleh guru adalah
menganggap anak didiknya sebagai anak sendiri. Agar timbul rasa belas kasih dan
kasih sayang yang tulus dalam mengajar, sehingga guru ikhlas dalam mengajarkan
ilmunya karena tanggung jawab dan perhatian, bukan hanya karena materi dan
mengharap imbalan.”12
Sebagai seorang pendidik, guru mempunyai tanggung jawab
yang sangat besar terhadap hasil didikannya. Kita semua tahu bahwa para orang
tua menitipkan dan mempercayakan anaknya pada lembaga pendidikan baik sekolah
maupun pesantren (formal dan informal) adalah agar sang anak menjadi pribadi
yang bukan hanya pandai dari segi intelektual, melainkan juga cerdas secara
moral dan spriritual alias menjadi orang yang pintar, baik dan berbudi. Tentu
sebagai tenaga pendidik, guru seharusnya memiliki kemampuan untuk itu, yang
dilakukan dengan cara professional sesuai dengan kaidah paedagogie atau kaidah
didaktik.
Dalam dunia didaktik atau pendidikan, sebagian para ahli
pendidikan membedakan antara pendidikan dan pengajaran, meskipun keduanya
sangat sulit dipisahkan, akan tetapi, memang terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara makna kedua istilah tersebut. Pengajaran, menurut kamus besar
bahasa Indonesia (1991) berasal dari kata “ajar”, artinya petunjuk yang
diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut. Kata “mengajar” berarti
memberi pelajaran. Berdasarkan arti-arti ini, kemudian kamus besar bahasa
Indonesia itu mengartikan pengajaran sebagai “Proses perbuatan, cara mengajar
atau mengajarkan. Berdasarkan pengertian ini, pengajaran adalah kegiatan
menyampaikan materi pelajaran kepada siswa agar ia menerima dan menguasai
materi pelajaran tersebut, atau dengan kata lain agar siswa tersebut memiliki
ilmu pengetahuan.
Sedangkan pendidikan, dalam pengertian yang agak luas,
pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu
sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang
sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif (mewakili
atau mencerminkan segala segi), pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan
kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan
hampir seluruh pengalaman kehidupan.
Sebagian orang memahami arti pendidikan sebagai
pengajaran, karena pendidikan pada umumnya selalu membutuhkan pengajaran.
Pemahaman ini memang tidak sepenuhnya salah, karena pengajaran boleh jadi tidak
sama persis dengan pendidikan, tetapi tidak berarti diantara keduanya terdapat
jurang pemisah yang mengakibatkan timbulnya perbedaan yang mencolok. Pendidikan
juga boleh dipandang lebih utama daripada pengajaran, dalam arti sebagai konsep
ideal (sebagai landasan hukum). Namun, sulit dipercaya apabila ada sebuah
sistem pendidikan dapat berjalan tanpa pengajaran. Intinya, seperti yang diungkapkan
dosen penguji dalam sidang skripsi saya, pengajaran membuat seseorang menjadi
pintar, sedangkan pendidikan membuat seseorang menjadi benar. Ini karena
pengajaran hanya mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, sedangkan
pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga disertai
dengan penekanan agar murid mengaplikasikan ilmu pengetahuan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan tidak bertentangan dengan norma.
Dalam mendidik, tentu setiap guru memiliki cara dan
metodenya sendiri, yang tujuan utamanya adalah agar ilmu pengetahuan yang di
transfer dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh semua anak didiknya.
Karena itu, dalam menggunakan metode harus disesuaikan dengan situasi dan
kondisi anak didik. Contoh kecilnya adalah, seorang pendidik yang mengajar di
tempat yang terpencil dimana sarana dan prasarana yang ada kurang memadai,
tentu media yang digunakan dalam mengajarpun terbatas, sehingga dibutuhkan
metode yang menarik minat siswa dalam pelajaran, untuk pelajaran Ilmu pengetahuan
alam, misalnya, guru dapat langsung menggunakan segala yang terdapat di alam
sekitar yang sesuai dengan materi yang disampaikan sebagai media atau alat
bantu. Tentu dibutuhkan kreatifitas dan keahlian guru dalam mengatasi masalah
seperti diatas.”13
Begitu besar dan beratnya tanggung jawab yang dipikul
oleh seorang guru dalam mendidik dan mencerdaskan anak didiknya, sehingga
seringkali karena beban tersebut guru melakukan segala cara yang memungkinkan
diterimanya ilmu yang diajarkannya dengan baik oleh anak didiknya, walaupun
seringkali cara-cara yang dilakukan guru tersebut kurang tepat, bahkan
bertentangan dengan kaidah paedagogie itu sendiri. Akan tetapi, dikarenakan
setiap kemampuan anak didik tidak sama, menyebabkan timbulnya problem tersendiri
bagi seorang guru dalam mendidik siswa. Sehingga terkadang sebagai manusia
biasa, guru merasa putus asa dan kehilangan kesabaran hingga timbul aksi
kekerasan terhadap siswa, baik kekerasan secara verbal, maupun secara fisik.
Pada dasarnya, aksi kekerasan guru terhadap murid tidak terlepas dari bentuk
pendidikan yang ingin dicapai oleh guru itu sendiri.
Akibat kemampuan siswa dalam menangkap pelajaran yang
beragam, ada yang cepat tangkap alias cerdas, ada juga yang lambat dalam
menerima pelajaran (ini bisa diakibatkan oleh tingkat kecerdasan siswa yang
memang rata-rata bahkan rendah, atau karena perilaku siswa dalam kelas yang
menyimpang, seperti tidak memperhatikan saat guru menerangkan pelajaran),
Acapkali guru beranggapan dan berharap bahwa ketika dengan cara biasa siswa
tidak dapat menangkap pelajaran dengan baik, mungkin dengan cara yang tegas,
agak keras bahkan keras diharapkan oleh guru bahwa siswanya akan menunjukkan
suatu perubahan sikap (perilaku) maupun hasil belajar (prestasi) yang lebih
baik. Dari sini kita dapati bahwa seringkali bentuk kekerasan guru terhadap
siswa adalah sebagai bentuk usaha terakhir guru, dalam menyampaikan pendidikan.
Walaupun dalam bentuk dan situasi yang bagaimanapun, suatu bentuk kekerasan
guru terhadap siswa itu bertentangan dengan kaidah pendidikan modern itu
sendiri, terutama berkaitan dengan pertimbangan kejiwaan (psikologis) anak
didik. Walaupun hampir seluruh guru menyadari hal ini, akan tetapi keadaan
dilapangan, ditambah mungkin kondisi psikologis dari guru itu sendiri
menyebabkan hilangnya control diri (self control) yang seharusnya dimiliki oleh
seorang guru hingga menimbulkan tindak kekerasan terhadap siswa.
Berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan guru terhadap
siswa seperti yang terungkap di berbagai media baru-baru ini, sebenarnya
menunjukkan tidak adanya sinergitas yang baik antara orang tua siswa (wali
murid) dengan guru. Seringkali dalam setiap tindak kekerasan yang dilakukan
guru terhadap siswa, guru tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan. Orang tua sebagai
pendidik utama dan pertama bagi anak juga memegang peran yang sangat penting
dalam pendidikan anak, terutama sebagai penunjang prestasi belajar dan sebagai
tauladan dalam bertingkah laku (pendidikan moral dan akhlak), memang ada
pepatah yang mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Akan
tetapi perlu ditegaskan bahwa guru disini adalah bukan melulu pendidik
dilingkungan pendidikan formal (sekolah) melainkan juga guru pertama dan utama
dalam pendidikan dan perkembangan kepribadian anak dilingkungan keluarga yaitu
orang tua. Orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, tempat dimana
anak belajar tentang segala hal yang baru dia ketahui dalam hidupnya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sebelum mengenal lingkungan luar yang lebih
luas semacam sekolah, anak terlebih dulu hidup dan berinteraksi dilingkungan
yang lebih sempit yaitu komunitas keluarga, terutama dalam hal ini orang tua.”14
Dalam mendidik anak mulai dari tingkat usia pra sekolah
(TK usia 3-5 tahun ), juga usia sekolah dasar (SD usia 6-12 tahun) dimana pada
masa-masa ini perkembangan kepribadian dan kecerdasan intelektual sedang
terbentuk, menunjukkan bahwa orang tua memegang peranan yang sangat amat
penting. Walau bagaimanapun saya berusaha mengajarkan kepada mereka tentang
akhlak dan tatakrama, juga disiplin dalam belajar dan ibadah, namun tetap saja
saya sebagai guru memiliki keterbatasan waktu dan tempat (kesempatan) bersama
mereka. Sebenarnya, pengajaran dan pendidikan dari orang tualah yang paling
berpengaruh pada pembentukan kepribadian mereka. Karena orang tua adalah
teladan bagi anak-anaknya. Sebelum anak-anak mengidolakan dan meniru tingkah
laku orang lain, terlebih dahulu, anak-anak mengidolakan dan meniru tingkah
laku orang tua mereka. Jadi, ketika saya mengajarkan kepada mereka tentang
sikap yang lemah lembut dan penuh kasih, ajaran saya akan langsung menguap
begitu mereka menyaksikan orang tuanya bersikap keras dan berkata –kata kasar
terhadap orang lain.
Tak peduli seberapa kerasnya saya mengajarkan kebaikan
dan akhlakul karimah pada anak didik, hal itu tidak akan pernah mereka amalkan
dalam perilaku mereka selagi hal itu tidak mereka dapati dari orang tua mereka.
Hingga akhirnya, seringkali saya kehabisan kesabaran dan mulai menerapkan cara
yang agak keras seperti ancaman, hukuman mulai dari non fisik (berdiri dengan
satu kaki selama 10 menit, atau system pengurangan medali/poin) dan fisik
(seperti memukul kaki/ betis mereka dengan hanger). Tetap saja hal yang saya
lakukan sia-sia, karena mereka tidak mendapatkan pengajaran yang sama dari
orang tua mereka. Karena itu, ketika mendapati pendidik yang memberikan hukuman
fisik pada anak didiknya (yang dalam bahasa orang tua disebut kekerasan ), saya
teringat pada pengalaman saya pribadi, sehingga saya tidak sepenuhnya menyalahkan
guru tersebut. Akan tetapi, sebagai pendidik, saya juga tidak dapat membenarkan
adanya tindak kekerasan verbal yang dilakukan guru (seperti menghina siswa,
menghardik dan membentak dengan kata-kata kasar) maupun hukuman fisik yang
berlebihan yang dilakukan oleh guru seperti menempeleng siswa, menjitak bagian
kepala, menendang, menjewer telinga atau mencubit sampai berdarah. Karena
hukuman fisik yang diperkenankan menurut saya pribadi sebatas pada fisik bagian
bawah (betis) dan itupun tentu ada batasannya dan kalau memang kesalahan sudah
tidak bisa di tolerir, jangan sampai hukuman itu adalah hukuman yang
menyakitkan, karena apapun bentuknya, hukuman fisik sejatinya tidak akan
membantu siswa menjadi lebih baik, selain tidak diperbolehkan dalam dunia pendidikan.
Guru adalah figur manusia yang menempati posisi dan
memegang peranan penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan
masalah dunia pendidikan, figur guru mesti dilibatkan dalam agenda pembicaraan
terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Hal itu tidak
dapat disangkal, karena lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru.
Sebagian besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan masyarakat.
Guru sebagai figur sentral dalam dunia pendidikan,
khususnya dalam proses belajar mengajar. Sehubungan dengan ini, setiap guru
sangat diharapkan memiliki karakteristik (ciri khas) kepribadian yang ideal
sesuai dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagogis.
Peran guru adalah ganda, disamping ia sebagai pengajar
sekaligus sebagai pendidik. Dalam rangka mengembangkan tugas atau peran
gandanya maka oleh Zakiah Daradjah disarankan agar guru memiliki
persyaratan kepribadian sebagai guru yaitu:
Suka bekerja keras, demokratis, penyayang, menghargai
kepribadian peserta didik, sabar, memiliki pengetahuan, ketrampilan dan
pengalaman yang bermacam-macam, perawakan menyenangkan dan berkelakuan baik,
adil dan tidak memihak, toleransi, mantap dan stabil, ada perhatian terhadap
persoalan peserta didik, lincah, mampu memuji, perbuatan baik dan menghargai
peserta didik, cukup dalam pengajaran, mampu memimpin secara baik.
Untuk tercapainya tujuan tersebut, maka guru memegang
peranan penting. Oleh sebab itu guru di sekolah tidak hanya sekedar
mentransferkan sejumlah ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, tetapi lebih
dari itu terutama dalam membina sikap dan ketrampilan mereka. Untuk membina
sikap murid di sekolah, dari sekian banyak guru bidang studi, guru bidang studi
agamalah yang sangat menentukan, sebab pendidikan agama sangat menentukan dalam
hal pembinaan sikap siswa karena bidang studi agama banyak membahas tentang
pembinaan sikap, yaitu mengenai aqidah dan akhlakul karimah.
Tugas guru tidak terbatas pada memberikan informasi
kepada murid namun tugas guru lebih konprehensif dari itu. Selain mengajar dan
membekali murid dengan pengetahuan, guru juga harus menyiapkan mereka agar
mandiri dan memberdayakan bakat murid di berbagai bidang, mendisiplinkan moral
mereka, membimbing hasrat dan menanamkan kebajikan dalam jiwa mereka. Guru
harus menunjukkan semangat persaudaraan kepada murid serta membimbing mereka
pada jalan kebenaran agar mereka tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dari
ajaran agama.
Pendidikan agama sangat penting untuk pembinaan dan
penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama
mempunyai dua aspek terpenting. Aspek pertama dari pendidikan agama adalah yang
ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian. Anak didik diberikan
kesadaran kepada adanya Tuhan lalu dibiasakan melakukan perintah-perintah Tuhan
dan meninggalkan larangan Nya. Dalam hal ini anak didik dibimbing agar
terbiasa berbuat yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama. Aspek kedua dari
pendidikan agama adalah yang ditujukan kepada pikiran yaitu pengajaran agama
itu sendiri. Kepercayaan kepada Tuhan tidak akan sempurna bila isi dari
ajaran-ajaran Tuhan tidak diketahui betul-betul. Anak didik harus ditunjukkan
apa yang disuruh, apa yang dilarang, apa yang dibolehkan, apa yang dianjurkan
melakukannya dan apa yang dianjurkan meninggalkannya menurut ajaran agama.
Dari kutipan dan uraian diatas menunjukkan bahwa
pendidikan agama mutlak diperlukan di sekolah apalagi di sekolah umum. Oleh
sebab itu guru yang mengajar pelajaran agama sangat bertanggung jawab dalam
pembinaan sikap mental dan kepribadian anak didiknya. Guru agama harus mampu
menanam nilai-nilai agama kepada setiap siswa dengan berbagai cara. Akan tetapi
tujuan itu tidak akan tercapai apabila tidak ada kerjasama dengan semua
pihak terutama dengan sesama guru dan antara guru dengan orang tua siswa. Sebab
pendidikan agama dapat terbina apabila adanya kesinambungan atau keterpaduan
antara pembinaan orang tua didalam keluarga, masyarakat dan guru di sekolah.
Melalui peranannya sebagai pendidik guru diharapkan
mampu mendorong siswa untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan
melalui bermacam-macam sumber dan media. Guru hendaknya mampu membantu setiap
siswa untuk secara efektif dapat mempergunakan berbagai kesempatan belajar dari
berbagai sumber serta media belajar.
Kegiatan siswa dalam bersikap dan bertingkah laku yang
baik di sekolah karena kurangnya pengetahuan siswa tentang budi pekerti. Oleh
karena itu perlu penambahan jam dan mata pelajaran agama, seperti mata
pelajaran akidah akhlak, fiqh dan Al-Qur’an hadits. Selain itu juga faktor guru
sangat mendukung dalam mendidik prilaku siswa. Jika seorang guru agama itu
bertingkah laku yang baik maka siswanya juga akan mencontoh prilaku tersebut
atau sebaliknya. Karena seorang guru adalah suri tauladan bagi siswanya.
Walaupun dalam
pendidikan islam sendiri juga dikenal adanya hukuman fisik dalam mendidik
disiplin beragama sebagaima sabda rasulullah saw, “didiklah anak-anakmu untuk
(disiplin) mengerjakan sholat sejak usia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila
tidak mendirikan sholat setelah berusia sepuluh tahun”. Walaupun ada hukuman
fisik dalam hadis tersebut, tentu maksudnya adalah suatu bentuk pembelajaran,
dan bukan hukuman yang sengaja untuk menyakiti melainkan untuk menanamkan
kedisiplinan dan menimbulkan efek jera pada anak.
14 Munandar Utami, Mengembangkan Bakat dan
Kreativitas Anak Sekolah.( Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia .
1992),hal. 45
0 Comments
Post a Comment