BAB II
PEMBINAAN AGAMA DAN MENTAL ANAK
A.
Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Mendidik Anak
Anak adalah titipan Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena itu nasib dan masa depan anak-anak adalah tanggung jawab
kita semua. Tetapi tanggung jawab utama terletak pada orang tua masing-masing.
Orang tualah yang pertama berkewajiban memelihara, mendidik, dan membesarkan
anak-anaknya agar menjadi manusia yang berkemampuan dan berguna. Setelah
seorang anak kepribadiannya terbentuk, peran orangtua selanjutnya adalah
mengajarkan nilai-nilai pendidikan kepada anak-anaknya.
Pendidikan yang diberikan oleh
orangtua kepada anaknya adalah merupakan pendidikan yang akan selalu berjalan
seiring dengan pembentukan kepribadian anak tersebut. Proses pendidikan bagi
generasi muda mempunyai tiga pilar penting. Ketiga pilar itu, sekolah,
masyarakat dan keluarga. Pengertian keluarga tersebut nyata dalam peran orang
tua.”5
Pola penyelenggaraan
pendidikan nasional mengakibatkan ketiga pilar penting terpisah. Sekolah
terpisah dari masyarakat atau orang tua. Peran orangtua terbatas pada persoalan
dana. Orang tua dan masyarakat belum terlibat dalam proses pendidikan
menyangkut pengambilan keputusan monitoring, pengawasan dan akuntabilitas.
Akibatnya sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil
pelaksanaan pendidikan kepada orangtua.
Anak merupakan masa depan bagi
setiap orangtua. Pada usia balita, anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang
dan perhatian orang tuanya seringkali pemurung, labil dan tidak percaya diri.
Ketika menjelang usia remaja kadang-kadang mereka mengambil jalan pintas, dan
minggat dari rumah dan menjadi anak jalanan. Kesibukkan orang tua yang
berlebihan, terutama ibu, menyebabkan anak kehilangan perhatian. Seorang ibu
yang berkarir di luar rumah misalnya dan karirnya banyak menghabiskan waktu,
lebih banyak menghadapi masalah kekurangan interaksi ini.
Bisa dibayangkan, bila dalam
sehari ibu hanya punya waktu paling banyak 2 – 3 jam bertemu dengan anak. Anak
lebih dekat dengan pengasuh atau pembantunya. Pada faktanya televisi tidak
mampu menjadi orang tua yang baik, karena acara-acara yang ditayangkan tidak
semuanya baik. Masih ada film anak-anak yang kurang mendidik dan terkesan
merangsang anak melakukan tindakan destruktif yang diputar di stasiun televisi
di Indonesia. televisi tidak begitu baik untuk masa depan pendidikan anak-anak
masa kini. Karena masa depan anak itu dilihat dari pendidikan yang diberikan
orantua sejak dini.”6
Dengan memberikan pendidikan
yang setinggi-tingginya, semua hidup anak-anak akan berjalan mulus, pendidikan
anaklah setir kehidupan. Dan juga pendidikan masih merupakan investasi yang
mahal. Peran orang tua dalam pendidikan mempunyai peranan besar terhadap masa
depan anak. Sehingga demi mendapatkan pendidikan yang terbaik, maka sebagai
orangtua harus berusaha untuk dapat menyekolahkan anak sampai ke jenjang
pendidikan yang paling tinggi adalah salah satu cara agar anak mampu mandiri
secara finansial nantinya. Sebagai orangtua harus sedini mungkin merencanakan
masa depan anak-anak agar mereka tidak merana. Masa anak-anak merupakan masa
transisi dan kelanjutan dalam menuju tingkat kematangan sebagai persiapan untuk
mencapai keremajaan. Ini berarti kemajuan perkembangan yang dicapai dalam masa
anak-anak merupakan bekal keberhasilan orang tua dalam mendidiknya. Baik
buruknya sikap dan tingkah laku seseorang di masa anak-anak, sangat banyak
ditentukan oleh pengalaman mereka dalam melihat orang-orang disekitarnya
terutama kedua orangtuanya. Itu semua merupakan bekal pendidikan bagi anak-anak
nantinya.
Di sisi lain, anak-anak adalah
generasi yang memiliki sejumlah potensi yang patut dikembangkan dalam kegiatan
pendidikan serta kreatifitas mereka. Anak-anak mempunyai karakteristik antara
lain pertumbuhan fisik yang cepat dan matang. semua potensi anak tersebut akan
bermakna apabila dibina dan dikembangkan secara terarah sehingga mereka menjadi
manusia yang memiliki keberdayaan. Tanpa bimbingan yang baik semua potensi itu
tidak akan memberikan dampak positif, bahkan bisa terjadi hal yang sebaliknya
yaitu menimbulkan berbagai masalah dan hambatan. Apalagi jika melihat ke depan,
tantangan globalisasi makin besar, maka pembinaan pendidikan terhadap anak pun
harus semakin dikuatkan. Anak-anak harus berorientasi terhadap pandangan hidup
yang bersifat positif dan aktif serta wajib menentukan dirinya sendiri,
mementingkan kepuasan dari pekerjaan yang dilakukannya, berorientasi ke masa
depan dan belajar merencanakan hidup secermat mungkin. Pendidikan merupakan
sesuatu yang perlu mendapatkan prioritas.
Di sinilah tanggung jawab
orang tua untuk bisa memilah lembaga pendidikan yang baik bagi putra-putrinya
dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, melalui perencanaan keuangan
pendidikan. Saat ini banyak lembaga keuangan di Indonesia seperti perbankan dan
asuransi yang menawarkan produk berupa tabungan pendidikan dan asuransi
pendidikan. Bisa sejak dari kandungan, buaian, usia balita ataupun di atasnya,
agar anak terbiasa dengan hal-hal yang positif. Di sini peran orang tua sangat
penting dalam memberikan sifat-sifat apektif pada anak dan tidak semata
kognitif saja.
Orang tua adalah teladan pertama
bagi pembentukan pribadi anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan perilaku ayah
dan ibu dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap
pemikiran dan perilaku anak. Karena kepribadian manusia muncul berupa
lukisan-lukisan pada berbagai ragam situasi dan kondisi dalam lingkungan
keluarga. Keluarga berperan sebagai faktor pelaksana dalam mewujudkan
nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan persepsi budaya sebuah masyarakat. Ayah
dan ibulah yang harus melaksanakan tugasnya di hadapan anaknya. Khususnya ibu
yang harus memfokuskan dirinya dalam menjaga akhlak, jasmani dan kejiwaannya
pada masa pra kehamilan sampai masa kehamilan dengan harapan Allah memberikan
kepadanya anak yang sehat dan saleh.”7
Faktor-faktor ini secara
terpisah atau dengan sendirinya tidak bisa menentukan pendidikan tanpa adanya
yang lainnya, akan tetapi masing-masing saling memiliki andil dalam menentukan
pendidikan dan kepribadian seseorang sehingga jika salah satunya tidak banyak
dipergunakan maka yang lainnya harus dipertekankan lebih keras.
• Peran kedua orang tua dalam mewujudkan
kepribadian anak antara lain:
1. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi
anak-anaknya.
Ketika anak-anak mendapatkan
cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka
berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan bisa
menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua orang tua
terlalu ikut campur dalam urusan mereka atau mereka memaksakan anak-anaknya
untuk menaati mereka, maka perilaku kedua orang tua yang demikian ini akan
menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.
2. Kedua orang tua harus menjaga ketenangan
lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak.
Karena hal ini akan
menyebabkan pertumbuhan potensi dan kreativitas akal anak-anak yang pada
akhirnya keinginan dan Kemauan mereka menjadi kuat dan hendaknya mereka diberi
hak pilih.
3. Saling menghormati antara kedua orang tua dan
anak-anak.
Hormat di sini bukan berarti
bersikap sopan secara lahir akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua,
mereka harus memperhatikan keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak.
Saling menghormati artinya dengan mengurangi kritik dan pembicaraan negatif
sekaitan dengan kepribadian dan perilaku mereka serta menciptakan iklim kasih
sayang dan keakraban, dan pada waktu yang bersamaan kedua orang tua harus
menjaga hak-hak hukum mereka yang terkait dengan diri mereka dan orang lain.
Kedua orang tua harus bersikap tegas supaya mereka juga mau menghormati sesamanya.
4. Mewujudkan kepercayaan.
Menghargai dan memberikan
kepercayaan terhadap anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan
terhadap mereka, karena hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta
berani dalam bersikap. Kepercayaan anak-anak terhadap dirinya sendiri akan
menyebabkan mereka mudah untuk menerima kekurangan dan kesalahan yang ada pada
diri mereka. Mereka percaya diri dan yakin dengan kemampuannya sendiri. Dengan
membantu orang lain mereka merasa keberadaannya bermanfaat dan penting.”8
5. Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga
(kedua orang tua dan anak).
Dengan melihat keingintahuan
fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu tentang dirinya
sendiri. Tugas kedua orang tua adalah memberikan informasi tentang susunan
badan dan perubahan serta pertumbuhan anak-anaknya terhadap mereka. Selain itu
kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah keyakinan, akhlak dan
hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Jika kedua orang tua bukan sebagai
tempat rujukan yang baik dan cukup bagi anak-anaknya maka anak-anak akan
mencari contoh lain; baik atau baik dan hal ini akan menyiapkan sarana
penyelewengan anak.
Hal yang paling penting adalah
bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam
pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan
terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka
baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka
mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya,
pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
Agar seorang ayah atau suami mampu mendidik anak dan
istrinya, maka wajib menuntut ilmu agama (mengkaji) secara rutin dan konsisten.
Dan kedua, juga harus bisa menjadi teladan dalam keluarga. Keteladanan di sini
adalah berusaha berperilaku seperti junjungan kita Nabi Muhammad SAW (jujur,
tanggung jawab, adil, tegas, penuh kasih sayang, lembut, berani karena benar
serta menjunjung kearifan). Seorang suami/ayah sebagai kepala rumah tangga
harus mengetahui kapan harus tegas terhadap anak istri, kapan harus keras
terhadap anak istri, kapan harus lembut terhadap anak istri, kapan harus
melindungi terhadap anak istri. Untuk menjadi insan yang berkepribadian seperti
Rasulullah SAW, maka seorang ayah atau suami harus paham agama. Sementara agar
bisa paham ilmu agama secara benar, suami atau ayah harus terus mengaji ilmu
agama secara konsisten hingga akhir hayatnya.
Agar manusia itu mendapatkan ilmu agama dengan benar dan
baik caranya dengan berguru kepada orang berilmu atau ulama akhirat yang wira’i
atau berhati-hati dalam urusan agama (tidak mudah membuat fatwa). Ulama akhirat
adalah orang yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran Rasulullah melalui
para ulama sebelumnya. Setiap perkataan dan perbuatan selalu didasarkan pada
ajaran nabi melalui teladan ulama pendahulunya. Lantas kapan pendidikan
terhadap anak istri dilakukan? Pendidikan dilakukan dalam keseharian dengan
keteladanan atau perilaku sehari-hari dalam mengamalkan ilmu agama yang
diperolehnya melalui majelis ilmu. Mengapa manusia, ayah atau suami harus
mendidik anak/istri sesuai syariat? Karena semua yang berada dalam perwalian
seorang adalah tanggung jawab dunia dan akhirat. Seorang ayah dan suami memiliki
tanggung jawab di dunia dan akhirat. Di dunia ayah atau suami wajib memberi
nafkah kepada anak istri menurut kemampuannya. Di akhirat, seorang ayah
bertanggung jawab menyelamatkan keluarga dari siksa neraka.
Di jaman sekarang, banyak orang mengabaikan pendidikan
anak/istri. Seolah-olah hanya dengan memberikan nafkah dunia saja sudah cukup.
Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu secara terori mendidik anak istrinya ilmu agama? Kepada istrinya, seorang suami harus selalu mengajak untuk mencari ilmu agama dengan berguru kepada ulama di pesantren atau orang yang benar-benar paham agama. Sedangkan terhadap anak, orangtua bisa dilakukan dengan cara memasukkan ke pesantren atau menitipkan ke ulama yang dianggap mumpuni ilmu agamanya.”9
Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu secara terori mendidik anak istrinya ilmu agama? Kepada istrinya, seorang suami harus selalu mengajak untuk mencari ilmu agama dengan berguru kepada ulama di pesantren atau orang yang benar-benar paham agama. Sedangkan terhadap anak, orangtua bisa dilakukan dengan cara memasukkan ke pesantren atau menitipkan ke ulama yang dianggap mumpuni ilmu agamanya.”9
Dengan ilmu yang cukup, Insya Allah seorang suami
mengetahui hak dan kewajibannya dalam kehidupan rumah tangga. Dengan ilmu agama
yang cukup, Insya Allah seorang istri mengetahui hak dan kewajibannya sebagai
seorang istri. Dengan ilmu yang cukup, Insya Allah seorang anak mengetahui hak
dan kewajibannya. Jika masing-masing individu memahami, mengetahui dan
menyadari akan hak dan kewajibannya masing-masing, Insya Allah keharmonisan dan
kebahagiaan akan terjadi. Perasaan syukur dalam keadaan apapun baik suami,
istri, anak akan selalu mengiringi dalam setiap hidupnya
Siapa yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan anak,
gurukah atau orang tua? Jawabannya tentu saja tergantung pada titik pandang
setiap orang yang mencoba untuk menjawabnya. Pada umumnya tanggung jawab
mendidik anak diawali oleh kepedulian dan rasa tanggung jawab orang tua.
Perhatikanlah bagaimana sibuknya sepasang orang tua yang baru punya bayi dan
anak Balita dalam mencukupi kebutuhan dan mendidik buah hatinya.
Mereka tampak begitu gembira dan menuturkan kepada siapa
saja yang mau mendengar tentang perkembangan dan kemajuan yang telah diraih
buah hatinya itu. Begitu anak dikirim ke Taman
Kanak-kanak untuk belajar bersosial maka sebagian orang tua cenderung
menyerahkan urusan mendidik anak pada sang guru. Namun sebagian masih tetap
memantau, mendorong dan mengikuti perkembangan mereka sampai pendidikan Sekolah
Dasar selesai.
Dalam pengalaman ditemukan bahwa banyak orang tua yang
jarang mengayomi anak belajar seperti saat mereka masih kanak-kanak, begitu
mereka duduk di bangku SMP dan tingkat SMA. Sering kita dengan keluhan orang
tua tentang prestasi anak mereka anjlok yang setelah berada di SMP. Atau mereka
kaget dengan watak anak yang dulu begitu terpuji tetapi jadi memusingkan saat
duduk di bangku SLTA. Kalau ini terjadi tentu ada pihak tertentu yang dapat
untuk disalahkan. Setiap murid atau anak didik memiliki tiga aspek kehidupan,
yaitu kognitif (otak), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Ada kecenderungan masyarakat untuk melemparkan kesalahan
pada guru “gagal dalam mengajar” bila prestasi kognitif dan psikomotorik anak
di sekolah dinilai rendah, dan melemparkan kesalahan kepada orang tua atau
lingkungan bila menjumpai anak tidak punya sikap dan akhlak yang baik. Pada
umumnya, bila anak mulai memasuki jenjang pendidikan formal maka orang tua
menyerahkan urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Kepedulian
nyata orang tua yang sering tampak adalah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak
yaitu dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu untuk mencari
nafkah dan untuk menekuni hobi dan hampir tidak punya waktu untuk menemani dan
mengikuti perkembangan anak dalam belajar. Banyak orang tua yang memiliki waktu
lowong namun jarang yang memanfaatkannya untuk mendidik anak.
Penyebabnya adalah mereka sendiri tidak memiliki konsep
bagaimana cara mendidik keluarga. Konsep mendidik anak bagi keluarga awam
adalah menyerahkan anak ke mesjid (atau institusi-institusi agama) dan ke
sekolah, kemudian menghujani mereka dengan nasehat-nasehat, anjuran dan
perintah atau kemudian memarahi anak kalau melanggar. Sebuah konsep pendidikan
yang terlihat terlalu sederhana bukan? Dan ternyata hasilnya juga mengecewakan.
Dari pengalaman bahwa umumnya hampir setiap anak
(terutama remaja) tidak terlalu memerlukan nasehat, apalagi nasehat yang
diberikan secara bertubi-tubi dan nada mendikte. Anak akan mencap orang tua
yang begini sebagai orang tua yang sangat cerewet. Sebenarnya yang diperlukan
anak dari orang tua adalah contoh teladan (contoh langsung) serta penyediaan
sarana belajar dan kasih sayang. Sedangkan memberikan nasehat apalagi nasehat
dengan nada yang penuh emosi akan membuat anak menutup pintu hatinya dan bahkan
juga menjauhi orang tuanya.
Demikian pula di sekolah, anak didik cenderung untuk
membuat jarak dengan guru-guru yang pemarah. Selama anak berada dalam usia
belajar di sekolah formal, masyarakat (orang tua) cenderung menempatkan beban
pendidikan ke atas pundak guru. Di sekolah, anak diperkenalkan dengan sejuta
aturan, mulai dari bagaimana hidup yang disiplin sampai kepada bagaimana
mencapai keberhasilan hidup kelak. Di sekolah anak diajar untuk mengembangkan
potensi diri, diajarkan sejumlah konsep dasar tentang kehidupan dan dibekali
dengan tugas rumah (PR) sebelum pulang.
Namun di rumah, kecuali bagi segelintir keluarga, anak
dibiarkan hidup tanpa aturan, tidak diajar mandiri, terlalu didikte, dan
terlalu banyak dibantu sehingga konsep belajar di sekolah akan menjadi
kontradiksi dengan konsep belajar di rumah dengan porsi belajar yang terlalu
sedikit dibandingkan dengan porsi hiburan dan bersantai. Kita tahu bahwa
kualitas pendidikan anak didik di sekolah yang pada umumnya cenderung turun
atau selalu jalan di tempat. Walau banyak sekolah yang mengklaim bahwa telah
terjadi peningkatan kualitas anak didik di sekolahnya. Secara umum itu hanyalah
sebatas angka-angka hasil rekayasa dan manipulasi data.
Untuk fakta yang jelas, silahkan terjun ke lapangan
untuk mengobservasi kualitas murid-murid pada setiap sekolah. Maka mayoritas terlihat
murid yang minat belajarnya begitu rendah dalam suasana belajar penampilan
mereka terlihat lesu dan santai ibarat orang kurang darah. Melihat kondisi anak
didik yang lesu karena fikiran mereka kurang terkondisi sejak dari rumah maka
ini akan membuat guru kehilangan strategi dalam memotivasi mereka. Umumnya
metode yang disodorkan guru agar anak didik bergiat adalah dengan cara
marah-marah dan menakut-nakuti atas ketidakacuhan mereka selama belajar maka
hasilnya adalah nihil.
Sebenarnya bila anak telah memasuki jenjang pendidikan
formal, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA, maka tanggung jawab
mendidik menjadi tanggung jawab bersama antar guru dan orang tua. Keberadaan
orang tua dan guru dalam urusan mendidik adalah ibarat dua sisi mata uang.
Hasil pendidikan tidak akan pernah sempurna kalau diserahkan saja kepada guru
atau kepada orang tua yang notabenenya bukan sebagai pendidik. Selama ini
terlihat kecenderungan bahwa sekolah sendirianlah yang memikul beban
pendidikan. Sejumlah pelatihan, penataran, seminar, lokakarya dan program
penyegaran lain telah diberikan pada guru-guru dengan harapan agar pendidikan
lebih berkualitas. Selama mengikuti kegiatan ini, guru memperoleh pembekalan
tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang ideal.
Dengan harapan agar pasca pelatihan mereka akan mampu
membuat berbagai terobosan dan inovasi baru. Namun dalam kenyataan hasilnya
tetap belum menggembirakan, malah cenderung tampak bahwa pasca pelatihan guru
selalu menerapkan teknik dan metode mengajar seperti semula. Kini terlihat
bahwa untuk mendongkrak mutu pendidikan bangsa, sekolah bergerak sendirian
tanpa melibatkan orang tua secara tegas dan memberikan isyarat tentang apa dan
bagaimana seharusnya orang tua terhadap anak di rumah. Padahal untuk ini pemerintah
telah menghabiskan dana jutaan dolar dan guru menghabiskan waktu serta tenaga
untuk mengikuti berbagai pelatihan dan penataran hanya demi perubahan kecil
saja dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sekarang kita patut bertanya bahwa adakah ahli pendidikan
yang memikirkan untuk memberikan pelatihan terhadap orang tua murid seperti
memberi pelatihan kepada guru-guru atau adakah pihak sekolah secara kontinyu
melowongkan waktu untuk berbagi pengalaman hati ke hati secara rileks tentang
pendidikan dalam bentuk komunikasi dua arah dan tanpa menggurui orang tua?
Kepedulian orang tua dalam mendidik anak yang belajar di Sekolah Dasar apalagi
pada tingkat SMP dan SLTA, seperti kepedulian mereka mendidik anak saat masih
di Taman Kanak-kanak, mencukupi kebutuhan makanan,
hiburan, mengembangkan sosial dan emosional, sampai dengan penyediaan sarana
hiburan dan pendidikan adalah mutlak diperlukan. Dalam kenyataannya kepedulian
orang tua nyaris berkurang. Pada hal saat anak menginjak remaja dan mengalami
krisis jati diri mereka sangat memerlukan orang tua sebagai teman pendamping
untuk berbagi pengalaman dan kegelisahan.
Memang tidak mudah untuk mengikuti perkembangan dan
pendidikan anak sampai tingkat remaja. Namun kalau orang tua selalu mau belajar
dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dalam hidup maka tidak akan ada
hal-hal yang terlalu sulit untuk diatasi. Dalam zaman informasi ini yang mana
pengetahuan serba mudah untuk diperoleh, maka setiap orang akan dapat mencari
solusi dari buku, bacaan lain, dan dari internet serta paling kurang dari teman
dalam bentuk saling berbagi pengalaman. Kita perlu mengritik orang tua yang
terlalu menomorsatukan karir dan pekerjaan tetapi sangat mengabaikan pendidikan
anak sendiri. Dalam hidup ini cukup banyak kita temui orang-orang yang mantap
dalam pekerjaan dan sangat trampil dalam mendidik dan membina orang lain tetapi
gagal dalam membina anak-anak sendiri, apalagi kalau sampai drop-out dari
sekolah. Kita pantas mengacungkan jempol kepada sang ayah dan ibu walau hanya
pendidikan formal biasa-biasa saja tetapi punya wawasan dan konsep dalam
mendidik keluarga, telah mampu berpartisipasi dalam menyukseskan pendidikan
anak-anak di sekolah.
Dalam mendidik keluarga dan ikut menyukseskan pendidikan
anak di sekolah, setiap orang tua perlu mengorbankan waktu, tenaga dan uangnya.
Meluangkan waktu untuk membuat kebersamaan dengan anak adalah sangat penting.
Adalah sangat tidak berguna meluangkan waktu sampai berjam-jam tetapi
kebersamaan dengan anak penuh dengan pengalaman kemarahan dan beda pendapat.
Anak memerlukan kebersamaan yang menyenangkan dan bermutu dan teratur tiap
hari. Untuk itu setiap orang tua perlu untuk menata waktu dan keluarga kembali
sebelum hal-hal yang tak diingini terjadi. Semoga menjadi renungan bagi setiap
orang tua.”11
6 Syaiful Djamarah, Pola
Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga(Jakarta : Rineka Cipta.
. 2004).hal. 34
8 Sukamto Nuri,Petunjuk Membangun dan Membina Keluarga
Menurut Anjuran Islam( Surabaya – Indonesia : Al Ikhlas,2000).hal 35
11 Muhammad Rasyid Al ‘Uwaid, Mengatasi Konflik
Rumah Tangga( Jakarta : Al-’Itishom Cahaya Umat. 2005).hal. 19
0 Comments
Post a Comment