Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Keluarga
A.
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Keluarga
Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak
boleh menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah. Pendidikan
merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai dengan
norma-norma atau aturan di dalam masyarakat. Setiap orang dewasa di dalam
masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan sosial
yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak didik menjadi manusia
yang mampu berpikir dewasa dan bijak.
Orang tua sebagai lingkungan pertama
dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua,
artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan
sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan
lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam
keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam
keluarga.
Menurut Agus Wibowo dalam bukunya “Pendidikan
Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban”, “bahwa keluarga
sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam
perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak di rumah; fungsi keluarga/orang
tua dalam mendukung pendidikan di sekolah”.[1]
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu
yang merupakan orang pertama sekali dikenal oleh anak-anaknya. Ayah dan ibu
merupakan panutan dan idola anak-anak dalam sebuah rumah tangga. Ayah dan ibu
bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan hidup anaknya, yang meliputi
kesehatan jasmani dan rohani, kebutuhan sehari-hari, pakaian, perumahan dan
pendidikan. Sehubungan dengan masalah ini Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
Tiap-tiap anak yang baru lahir dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah yang
menjadikan anaknya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari)[2]
Berdasarkan hadist diatas, bahwa untuk kelangsungan
hidup seorang anak, para orang tua berkewajiban memenuhi segala bentuk
keperluan yang dibutuhkan anak-anaknya dalam pemeliharaan terhadap anak-anak,
tidak membedakan terhadap ayah dan ibu, akan tetapi keduanya berkewajiban untuk
memelihara dan mengasuh anak-anaknya dengan sebaik mungkin sehingga tumbuh dan
berkembang sesuai dengan umur perkembangannya. Sehubungan dengan tanggung jawab
orang tua terhadap anaknya, Al-Hamdani menyatakan:
Tidak ada dalil
nash yang mengutamakan salah seorang di antara ayah dan ibu yang lebih baik
berhak mengasuh anaknya secara mutlak. Tidak ada kepastian mutlak bahwa si anak
harus memilih. Para ulama sepakat tidak mengutamakan yang jelek kelakuannya
dari yang adil dan baik budi pekertinya, yang jelas ialah ayah dan ibunya yang
lebih berhak untuk menjaga dan memelihara anaknya, memberi pendidikan, makanan
dan pakaian.[3]
Ayah sebagai kepala rumah tangga
berkewajiban memberi nafkah untuk isteri dan anaknya, sedangkan ibu
berkewajiban untuk mengurusi rumah tangga dan menjaga serta memelihara
anak-anaknya, termasuk di dalamnya menyusui. Hal ini sejalan dengan firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ) البقرة: ٢٣٣(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf...
(Qs. Al-Baqarah: 233).
Tanggung jawab ayah adalah memberikan nafkah yang meliputi sandang, pangan
dan wajib juga memberikan pendidikan yang sempurna terhadap anak-anak.
Kewajiban orang tua adalah membina masa depan anak-anaknya agar anak tersebut
berguna bagi agama, bangsa dan negara. Selanjutnya Yahya Harahap,
mengungkapkan: Kewajiban bapak terhadap biaya dan pendidikan anak adalah
kewajiban hukum yang bersifat mutlak dan pasti.[4]
Hal ini senada pula dengan yang terdapat dalam
KHI pasal 77 ayat 3 yang berbunyi “ayah dan ibu berkewajiban memikul untuk
mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani
rohani maupun kecerdasannya dan pendidikannya.[5]
Dengan demikian jelaslah bahwa suami wajib untuk menafkahi istri dan
anak-anaknya karena merupakan tanggung jawab moral yang tidak bisa dihilangkan.
Orang tua wajib untuk memberi
perlindungan sepenuhnya kepada anak-anak sejak dalam kandungan sampai dewasa,
karena hal itu merupakan tanggung jawabnya sebagai ayah dan ibunya. Proses
pemberian atau penanaman pendidikan agama pada anak menjadi tanggung jawab
penuh ayah dan ibu., karena kedua orang tua selalu berada di dekat anak-anak.
Anak selalu meniru apa yang dilihat dalam rumah tangganya. Di sisi anak sangat
didambakan oleh setiap pasangan, akan tetapi di sisi lain anak juga merupakan
suatu tanggung jawab yang sangat besar yang harus di pikul. Melalaikan tugas
dan melalaikan tugas tanggung jawab sebagai ayah dan ibu sanksinya adalah
neraka. Pendidikan merupakan unsur utama yang diperlukan untuk menatap masa
depannya, sehingga dengan adanya pendidikan yang mantap dan memenuhi standar
kebutuhan anak. Di samping itu pula anak-anak dapat melalaikan seseorang yang
mengingat Allah Swt. dan perintah-Nya. Akhirnya yang dilakukan anak selalu
bertentangan dengan norma-norma agama. Allah Swt. memperingati manusia lewat
firman-Nya yang berbunyi: pembiasaan-pembiasaan pada anak harus dilakukan sejak
dini, sehingga termotivasi dalam hati anak dan akan terbawa menjadi kebiasaan
untuk selalu berbuat kebajikan. Sebenarnya mengerjakan tentang kebiasaan
anak-anak haruslah dimulai semenjak anak masih kecil supaya menjadi tabiatnya,
anak-anak akan timbul kebiasaan yang baik lainnya. Membiasakan sesuai kebiasaan
yang baik kepada anak haruslah hati-hati, karena jika kebiasaan itu baik maka
baiklah pendidikannya.
Tujuan utama pendidikan ialah hendak merubah tingkah laku yang kurang baik
untuk mencapai kebiasaan-kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik itu
dilaksanakan berulang-ulang, sehingga kebiasaan menjadi milik anak-anak yang
sukar dilupakan. Dengan kata lain, bahwa pembiasaan itu adalah sumber dari
kepatuhan[6]
Dengan demikian jelaslah bahwa orang tua sebagai tanggung jawab yang utama terhadap
kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak. Ayah sebagai kepala rumah tangga
berkewajiban dalam mencari nafkah dan memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan
oleh anak dan istrinya. Sedangkan ibu berkewajiban untuk membimbing dan
mendidik anak-anak pendidikan agama sehingga anak-anak mampu menghadapi
persaingan dan tantangan zaman. Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa
keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh
karenanya, keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi
keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta sebagai penentu kekuatan,
kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Dari sini bisa diambil
kesimpulan bahwa apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai
konsekuensi logisnya masyarakat serta negara bisa dipastikan juga akan turut
hancur.
Kemudian setiap adanya sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas
dua individu atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang
pemimpin atau seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus
membawahi individu lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan
bawahan). Demikian juga dengan sebuah keluarga, karena yang dinamakan keluarga
adalah minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya
muncul adanya anak atau anak-anak dan seterusnya. Maka, sudah semestinya di
dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang
tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu
kebutuhan yang sifatnya dhahir maupun yang sifatnya batiniyah di dalam rumah
tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
[1]
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 33.
[2]Imam Bukhari, Shaheh Bukhari, juz. II, (Cairo: Darul Ma’taban,
Asya’biah, t.t), hal. 125.
[3]Al-Hamdani, Risalah Nikah, Terj. Agus Salim, Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1993), hal. 265.
[4]
Hahya Harahap, Perkawinan Nasional, (Sumatra Utara: Zahir Trading CO, 1975), hal.172.
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi
Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: 1998), hal. 26.
[6]
Abdurrahman Shaleh, Pembinaan dan Kepatuhan, Majalah Pemda, Nomor IV,
(Jakarta: Yayasan Departemen Agama Republik
Indonesia, 1970), hal 14.