Tinjauan Psikologis Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Anak
A.
Tinjauan Psikologis Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Anak
Berbagai macam teori belajar yang diterapkan dalam proses belajar mengajar
di sekolah, salah satunya adalah teori belajar tentang ganjaran berupa imbalan
dan hukuman yang merupakan suatu hal yang perlu dikaji secara psikologi,[1]
teori belajar imbalan dan hukuman adalah teori belajar yang membantu teori lain
dalam proses pembelajaran untuk memberikan kematangan, dorongan, pengalaman dan
latihan terhadap anak didik.
Imbalan merupakan usaha untuk menumbuhkan minat, bakat, keinginan dan
kemauan anak agar terus meningkatkan kretifitas belajar mereka. Sedangkan
hukuman adalah suatu usaha mengarahkan atau mengingatkan anak agar mampu
menjadikan dan mengaplikasikan etika yang baik, akhlak yang mulia, serta
bertingkah laku dengan benar di dalam kehidupannya. Dampak hukuman tidak hanya
terbatas pada respons anak yang menerima hukuman tersebut, tetapi berpengaruh
pula pada kepribadian anak secara umum.[2]
Karena, pembentukan pribadi anak dibentuk dari kebiasaannya, karakteristiknya,
dan pola sikapnya yang dibentuk secara menyeluruh, sehingga nilai atau hasilnya
akan nampak di kemudian hari.
Hukuman fisik hanya sebagai alat pilihan pendidik ketika sudah tidak
memiliki cara lain yang lebih baik lagi terhadap anak yang biasa berlaku kasar.
Hukuman fisik memang tidak pernah diharuskan untuk digunakan dan tidak
membutuhkan pemikiran dan latihan, akan tetapi pelaksanaan hukuman fisik yang
digunakan harus benar-benar difahami dengan baik oleh pendidik agar hukuman
fisik yang diberikan terhadap anak didik tidak berlebihan atau bahkan menjadi
tindak kekerasan. Kekerasan di sekolah merujuk pada pemberian
hukuman atau sanksi terhadap peserta didik, yang dilakukan oleh pendidik,
peserta didik, kepala sekolah, administrasi, orang tua ataupun
penerapan tipe-tipe disiplin lainnya yang memberi dampak yang cukup nyata
bedanya. Pengaruh penerapan disiplin ini pada anak, meliputi beberapa aspek.
Tinjauan psikologis pemberian
hukuman dalam pendidikan anak sebagai berikut:
1)
“Dari aspek perilaku, pengaruh
pada perilaku Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan
sangat patuh bila dihadapan orang-orang dewasa, namun sangat agresif terhadap
teman sebayanya”[3].
Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri
sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang
dibesarkan dengan disiplin yang baik akan lebih mampu belajar mengendalikan
perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.
2)
Pengaruh pada sikap baik anak yang dibesarkan
dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki
kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan
cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang
orang tuanya lemah merasa bahwa apapun yang dilakukannya benar sehingga anak
akan sesuka hati dalam bersikap dan egois dalam berperilaku. “Disiplin yang
demokratis akan menyebabkan kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah
kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan
anak cenderung menetap dalam dirinya dan menjadi kebiasaan dalam kehidupannya”[4].
3)
Pengaruh pada kepribadian anak
yang terlalu banyak atau teralu sering diberikan hukuman fisik, maka anak akan
semakin menjadi keras kepala dan negativistik. Ini memberi dampak yang buruk
dalam penyesuaian pribadi dalam lingkungan sosialnya, yang juga memberi ciri
khas yang egois dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. “Bila
anak dibesarkan dengan disiplin yang baik dan seimbang, ia akan mampu memiliki
penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang baik”[5].
Pelanggaran yang dilakukan anak berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada
aturan atau perbuatan yang keliru sangat sering terjadi di sekolah.
Bagi anak yang lebih besar atau sudah masuk usia
sekolah, disiplin berperan penting dalam perkembangan moral, karena bagi anak
yang sudah usia sekolah, disiplin yang diterapkan juga harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan oleh pendidik antara
lain adalah, bahwa anak yang lebih dewasa, semakin lama semakin membutuhkan
penjelasan mengenai mengapa hal tertentu tidak boleh dilakukan, dan mengapa hal
lain baik untuk dilakukan. Anak semakin mampu memahami konsep tentang perilaku
yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas. Pada tahap ini, pemberian
hukuman juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya anak yaitu
hukuman harus bersifat lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan
rasa dipermalukan. Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat
pelanggaran, dan anak harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan itu
salah. Konsistensi dalam memberikan hukuman pun sangat penting, untuk kesalahan
yang sama berikan hukuman yang sama, walaupun pada anak yang berbeda. Apa yang
salah hari ini, akan tetap salah selanjutnya, jangan apa yang hari ini salah,
besoknya menjadi hal yang dianggap benar, sehingga anak tidak merasa di “anak
tirikan” atau merasa tidak adil terhadap hukuman yang diterimanya.
Masyah dan
Anwar Soleh Hambali, Cet. I, (Jakarta: Mustaqim, 2002), hal. 142.
Zainuddin, Cet.
I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 231.