Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Latar Belakang Lahirnya Demokrasi Terpimpin di Indonesia


A.    Latar Belakang Lahirnya Demokrasi Terpimpin di Indonesia

Pahlawan bagi suatu bangsa merupakan pengkhianat bagi negara lain yang menjadi musuh bangsa tersebut, begitu pula sebaliknya. Tetapi yang akan penulis sampaikan adalah pahlawan dalam pengertian yang sebenarnya, karena patokannya adalah siapa yang memperjuangkan kebenaran dan siapa yang mempertahankan ketidakbenaran. Ilmu pengetahuan memang tidak tuntas membicarakan kebenaran mutlak, karena menyangkut moral yang subjektif dan relatif sifatnya pada dimensi ruang dan waktu". Oleh karena itu Kitab Suci Al-Qur’an yang nama lainnya adalah Al Furqan (Pembeda) memberikan batasan[1], antara -kebenaran (hak) dan ketidakbenaran (batil).
Dunia menyaksikan sendiri bagaimana bangsa Indonesia pernah dijajah, sehingga para pahlawan (rakyat bersama-sama angkatan bersenjatanya) menuntut kemerdekaannya itu. Dalam Al Qur`an surat an-Naml, ayat 34 Allah berfirman:
قالت إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوهاوجعلوا إعزّة أهلها أذلّة وكذلك يفعلون (النمل: 34)
Artinya: Dia (Balqis) berkata, ”Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakan dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina, dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat (Q. S. An-Naml: 34).
Berdasarkan keterangan ayat di atas dapat dipahami bahwa penguasa yang memimpin sebuah negeri dilarang melakukan pembinasaan dan penghinaan terhadap rakyatnya. Namun demikian kenyataannya, pemimpin negeri dewasa ini cenderung menindas serta membuat rakyatnya tersiksa. Sehingga perlakuan semacam itu akan menimbulkan kesan bahwa raja merupakan sosok penjajah bagi rakyatnya.
Sejarah mencatat bahwa yang pertama menentang penjajah dengan menggerakkan masyarakatnya (baik mengangkat senjata maupun jalan jalur (diplomasi) adalah Sultan Agung Anyorokusurno (1591-1645). Kemudian perlawanan Untung Surapati yang rela melepaskan istrinya seorang putri Belanda karena akan menentang Belanda. Setelah itu berturut-turut para sultan yang merasa diinjak wilayah pemerintahannya, antara lain Sultan Hasanuddin (1631 - 1670), Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1683), Sultan Mahmud Badarudin II (1767 - 1852), Sultan Thoha Syaifuddin (1816 - 1904).[2]
Para ulama yang berjihad melawan pemerintah Hindia Belanda dalam memperjuangkan kemerdekaan, yaitu Tuanku Imam Bonjol (1772 - 1864), Pangeran Diponegoro (1785-1855) berjuang bersama sahabat beliau Kyai Maja dan Sentot Alibasya, Pangeran Antasari (1797-1862). Kemudian terjadi perlawanan di Maluku, yaitu Kapitan Pattimura (1783-1817) dan Martha Khristina Tiahahu (1800-1818) dan pemberontakan Trunojoyo dari Madura.[3]
Bila dikatakan bahwa bangsa Indonesia terjajah selama lebih kurang 350 tahun oleh bangsa Belanda, hal tersebut tidak benar, karena pada kenyataannya masyarakat Aceh tidak pernah berhasil dikuasai secara keseluruhan, para syuhada daerah ini dipimpin oleh Teuku Umar (1854-1899), Teuku Chik Ditiro (1836-1891), Cut Nyak Dhien (1850-1908), Cut Nyak Mutia (1870-1910) dan Panglima Polem. Sementara itu meletus perlawanan di Pulau Jawa yang dipimpin Sri Susuhan Pakubuwono VI (1807-1949).[4]
Akhirnya Raja Sisingamangaraja (1849-1907) memimpin perlawanan terhadap Belanda. Setelah itu rasa kesadaran bahwa perlawanan harus dilakukan bersama-sama muncul dan berdirilah Budi Utomo pada tanggal 1908, Syarikat Islam berdiri tahun 1911, Partai Nasional Indonesia berdiri 1927, dan pada tanggal 28 Oktober 1928 resmi pemuda-pemudi dari seluruh Indonesia berkumpul untuk mengucapkan sumpah pemuda. Tahun-tahun berikutnya pergerakan bersifat Nasional.[5]
Akan halnya Syarikat Islam adalah satu di antara organisasi politik Indonesia yang paling menonjol waktu itu. Berbeda dengan Muhammadiyah yang bercorak sosio keagamaan. Syarikat Islam sejak semula adalah gerakan politik, Syarikat Islam adalah tranformasi dari Syarikat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi.
Pada tahun 1912 Syarikat Dagang Islam menjadi Syarikat Islam dan mendapat pemimpin organisasi baru, yaitu H. O. S. Cokroaminoto (1883-1934). Perubahan Syarikat Dagang Islam menjadi Syarikat Islam bukan hanya perubahan nama saja, tetapi terutama dalam perubahan orientasi, yaitu dari komersil ke politik.[6]
Jadi apa yang dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Soetomo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan KI Hajar Dewantara membawa dampak positif dalam perjuangan pergerakan secara nasional, namun diboncengi beberapa organisasi oleh ideologi tersendiri.
Tanggal 8 Desember 1941, pecah Perang Pasifik sebagai rangkaian Perang Dunia II. Jerman, Italia, dan Jepang melancarkan aksi tempurnya yang mendunia. Jepang di Asia sedangkan dua sekutunya di Eropa. Hal tersebut membuat Pemerintah Hindia Belanda tidak ketinggalan bertekuk lutut kepada Pemerintah Jepang pada tanggal 9 Maret 1942. Gubernur Jenderal Carda, van Starkenborgh Stachouwerm dibawa Jepang ke Formosa. Tiga setengah tahun lamanya bangsa Indonesia ikut merasakan beratnya dijajah negara matahari terbit ini. Mereka memperkosa rakyat dengan kerja rodi. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama.[7]
Dengan diserbunya Jepang oleh Rusia di Manchuria maka mulai
terasa kelemahan Jepang untuk mempertahankan daerah-daerah
jajahannya.
Jepang diserang dari utara (Rusia) dan dari selatan (Amerika Serikat) dan puncaknya adalah jatuhnya bom atom di kota Hiroshima (4 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Jadi tidak benar bila Marsekal (U) Jepang Terauchi di Dalat (300 km dari Saigon, Muangthai, berkeinginan memberikan Indonesia kemerdekaan. Mereka mutlak pasrah setelah mengalami musibah-musibah tersebut di atas. Begitu juga sikap Laksamana (L) Maeda di Jakarta, tampak kehilangan jiwa samurainya. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang resmi menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.[8]
Sekelompok anak-anak muda, dalam keadaan kevakuman seperti ini bergelora ingin memproklamirkan kemerdekaan, tetapi mereka masih tetap ingin membutuhkan pemimpin sesepuh mereka Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, atau bila tidak bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, mereka mengancam akan membumihanguskan sisa-sisa Jepang yang sudah tidak berdaya di Jakarta. Mereka dengan semangat patriot yang menggebu memang berhasil melarikan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok.[9]
Akibat penculikan kedua tokoh tersebut, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sedianya akan dilangsungkan di Jalan Pejambon Jakarta batal, karena tidak dihadiri Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Begitu juga rapat yang direncanakan di Hotel Des Indres pada malam harinya.
Andaikata rapat di Jalan Pejambon ataupun di Hotel Des Indres jadi terlaksana, maka barangkali di kedua tempat tersebutlah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, dan waktunya pun tercatat 16 Agustus 1945 hari Kamis (baik siang maupun malam). Hanya Allah yang Maha Bijaksana menjatuhkan hari keramat itu pada hari yang dikehendaki-Nya.
Akan tetapi, Bagi umat Islam seluruh dunia bulan Ramadhan adalah bulan yang pahala beribadat dalam bulan puasa tersebut lebih dari seribu bulan beramal, dan hari Jum`at adalah hari dilangsungkannya shalat Jum`at berjama’ah  sebagai pengganti shalat dhuhur. Lepas dari kesadaran para pelaku dan pendahulu, maka proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia jatuh pada kedua waktu suci tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaannya ke seluruh dunia. Proklamasi itu ditandatangani atas nama bangsa Indonesia oleh Soekarno dan Hatta, di jalan Pegangsaan No. 56 Jakarta. Pristiwa ini dicatat dan akan dikenang oleh seluruh bangsa Indonesia sampai kiamat.[10]
Sejak proklamasi kemerdekaan tersebut, sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah suatu bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah konstitusi dan ideologi yang mereka ciptakan sendiri sesuai perkembangan budaya masyarakat. Faktor ruang dan waktu adalah yang paling banyak menentukan pertumbuhan ekonominya.
Itulah sebabnya segera keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoinesia (PPKI) mengadakan sidang dan berhasil menetapkan antara lain sebgai berikut:
1.     Undang-Undang Dasar 1945, yang terdiri dari:
a.      Pembukaan, yang merupakan staat’s Fundamental Norm, memuat empat alinea antara lain tentang pernyataan kemerdekaan Indoensia yang terperinci, azas politik dalam dan luar negeri, tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dasar, ideologi, dan falsafah Pancasila.
b.     Batang Tubuh, yang merupakan konstitusi tertulis berbentuk singkat dan supel. Dikatakan singkat karena dari 37 pasal, 16 bab, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Atuarn Tambahan. Dikatakan simpel karena menyesuaikan diri dengan keadaan perkembangan zaman.
c.      Penjelasan, yang merupakan penguraian resmi UUD 1945 tersebut diatas, yaitu menerangkan tentang pokok-pokok pikiran (4 pokok pikiran) dan sistem pemerintahan negara (7 kunci pokok).[11]

2.     Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia
masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Ada empat periode besar sistem pemerintahan, politik dan administrasi negara Republik Indonesia yang pernah dilalui, hal tersebut terjadi terutama karena adanya pergantian konstitusi, yaitu sebagai berikut.

1. Periode 18 Agustus 1945 s. d. 27 Desember 1949
Dalam periode yang dipakai sebagai pegangan adalah Undang­-Undang Dasar 1945, tetapi sudah barang tentu belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen oleh karena bangsa Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Walaupun UUD 1945 ini telah diberlakukan oleh PPKI, namun yang baru dapat terbentuk hanya presiden dan wakil presiden, serta para menteri sebagai pembantu presiden dan para gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
Tentang hal ini dapat dilihat pada Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI, jadi tidaklah menyalahi apabila MPR belum dimanfaatkan karena pemilu belum dilakukan. Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam UUD 1945, belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat tersebut di atas. Jadi sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan dibantu oleh Komite Nasional.[12]
Menteri-menteri pertama yang diangkat presiden dalam Kabinet Presidensiil ini adalah sebagai berikut :
1.          Menteri Dalam Negeri                       : R.A.A. Wiranatakusumah
2.          Menteri Luar Negeri                          : Akhfhad Subar o, SH.
3.          Menteri Kehakiman                            : Prof DR. Soepomo, SH.
4.          Menteri Kemakmuran                        : RP. Surakhman Tjokro Adisuryo
5.          Menteri Keuangan                              : dr. Sanusi
6.          Menteri Kesehatan                             : dr. R. Buntaran Martoatmodjo
7.          Menteri Pengajaran                            : KI Hajar Dewantara
8.          Menteri Sosial                                                : Iwa Kusuma Sumantri, SH
9.          Menteri Penerangan                           : Mr. Amir Syarifuddin
10.      Menteri Perhubungan                         : R. Abikusnocokrosuyoso
11.      Menteri Pertahanan                            : Soepriyadi (Komandan PETA)
12.      Menteri Pekerjaan Umum                  : R. Abikusnocokrosuyoso
Sedangkan gubernur-gubernur yang pertama kali diangkat dalam Republik Indonesia yang muda ini adalah sebagai berikut:
1.         Gubemur Sumatera                             : Teuku Mohammad Hassan, SH
2.         Gubernur Kalimantan                         : Ir. Pangeran Mohammad Noer
3.         Gubernur Sualawesi                           : DR. Samuel Ratulangi
4.         Gubernur Jawa Barat                          : Sutaryo Kartohadikusumo
5.         Gubernur Jawa Tengah                       : Raden Pandji Suroso
6.         Gubernur Jawa Timur                         : Raden A. Suryo
7.         GubernurNusa, Tenggara                   : I Gusti Ketut Puja, SH
8.         Gubernur Maluku                               : J. Latuharhary, SH[13]
Di samping itu dilantik pula menteri-menteri negara, Yaitu : R. Otto Iskandardinata, dr. Amir, Mr. Maramis, Wakhid Hasyim, dan Mr. Sartono, serta Walikota Jakarta Soewirjo. Sedangkan Sekretaris Negara dipegang oleh A.G. Pringgodigdo, Juru Bicara Pemerintahan Sukarjo Wiryopranoto dan Jaksa Agung Gatot Kusuma, Mihardja, SH. Pengangkatan dilangsungkan pada  tanggal 29 Agustus 1945 tetapi baru diumumkan pada tanggal 20 Oktober 1945.[14]
Pada, tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah
menyatakan berdirinya, Tentara Keamanan Rakyat, sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi, yaitu seorang tokoh tentara-Pembela Tanah air, karena
Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Blitar,
kemudian diadakan musyawarah TKR yang dihadiri oleh para Panglima
Divisi dan Residen, terpilihlah Sudirman menjadi Panglima Besar. Beliau dilantik oleh Presiden Soekarno pada  tanggal 18 Desember 1945, dan tanggal 3 Juni 1945 TKR resmi menjadi TNI (TentaraNasional Indonesia).
Dalam Kongres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada  tanggal 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta mengeluarkan apa yang disebut Maklumat X (baca eks). Maklumat X ini berisikan penegasan terhadap kata bantuan dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sejak Maklumat X ini dikeluarkan kepada KNIP diberi wewenang untuk turut membuat undang-undang dan menetapkan GBHN; jadi seolah-olah memegang sebagian kekuasaan MPR, di samping memiliki pula kekuasaan DPA dan DPR.[15]
Kemudian dikeluarkan pula Maklumat tanggal 14 Desember 1945. Kesan bahwa sistem pemerintahan Indonesia ketika itu tidak demokratis dapat dihilangkan dengan adanya maklumat ini, yang merupakan konvensi ke arah sistem pemerintahan parlementer. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 ini, memang dibentuk Kabinet Parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri (PM) dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai subsitut MPR/DPR.
Sejak saat itu sistem presidensil beralih kepada sistem pemerintahan parlementer, walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama sistem ini berjalan yaitu sampai dengan tanggal 27 Desember 1949,-UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Oleh karena itu sebagian orang berpendapat bahwa perubahan dalam sistem pemerintahan dan administrasi negara ini merupakan tindakan yang menyalahi UUD 1945 sendiri menjadi anutan.
Pada tanggal 3 November 1945 keluar pulalah Maklumat Pemerintah tentang keinginan untuk membentuk partai-partai politik, sehingga berlakulah sistem parlementer sekaligus sistem multi partai. Partai-partai tumbuh bagai cendawan di musim hujan.
Pada tanggal 27 Juli 1947 serdadu Belanda dengan persenjataan lengkap melakukan penyerbuan ke berbagai kota di Indonesia, dan berhasil menduduki beberapa di antaranya. Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian wilayah Republik Indonesia dikuasai serdadu Belanda ketika itu, walaupun daerah-daerah pedalaman tidak terjangkau.
Pada tanggal 19 Desember 1948 kota Yogyakarta yang untuk sementara dijadikan ibu kota negara Republik Indonesia menjadi sasaran utama serangan serdadu Belanda. Negara dalam menghadapi keadaan sulit seperti itu, tiba-tiba persatuan bangsa dirobek-robek oleh, pemberontakan PKI di Madiun tanggal 18 September 1948.[16]
Pada tanggal 19 Desember 948 itu juga menjelang sore Yogyakarta jatuh ke tangan musuh, tetapi sebelumnya pukul 10.00 pagi, sidang Kabinet RI yang dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta memutuskan untuk memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dan apabila tidak sempat juga dapat dibentuk PDRI di India. Selanjutnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditawan oleh Belanda.
Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman pada hari itu juga menentukan sikap meninggalkan Yogyakarta, untuk menggelorakan kembali semangat rakyat dan para prajurit di seluruh tanah air, sekaligus memulai perang gerilya. Pada tanggal 1 Maret 1949 Sri Sultan Hamengkubuwono IX memprakarsai penyerbuan ke Yogyakarta selama enam jam.
Pada tanggal 8 Juli 1949 Letkol Soeharto menjemput Panglima Sudirman di Kecamatan Pojong, Kabupaten Wonogiri, dan tanggal 10 Juli 1949 Soekarno dan Hatta yang telah kembali dari penahanannya, menerima Jendral Sudirman di Istana, Kepresidenan Yogyakarta.

2. Periode 27 Desember l949 s/d l7Agustus 1950
Dalam periode ini Republik Indonesia menjadi negara serikat. Sebetulnya bukan kehendak seluruh bangsa Indonesia untuk memakai bentuk negara dan sistem pemerintahan, politik dan adminstrasi negara seperti tersebut di atas, tetapi keadaan yang memaksa, demikian.
Sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia, ia memang ditugaskan untuk memporak-porandakan keutuhan persatuan dan kesatuan Republik Indonesia yang baru merdeka, politik devide et impera memang dimilikinya. la yang mengusulkan untuk disetujuinya pembentukan negara dalam negara. Untuk terlaksananya gencatan senjata para pendiri republik ini memikirkan begitu banyaknya korban yang jatuh dari putra-putri terbaik ibu pertiwi.[17]
Walaupun di dalam jiwa bangsa Indonesia bergelora semangat juang dengan tekad ”sekali merdeka tetap merdeka”, dan "merdeka atau mati­” namun akhirnya para pemimpin bangsa bersedia melakukan berbagai perundingan, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak lagi.
Perhatikanlah surat Presiden Ir Soekarno kepada Jenderal Sudirman berikut ini:
Yang Mulia Panglima Besar
Adinda Sudirman
Assalamualaikum Wr. Wb.
Jika ditakdirkan Tuhan, saya besok pagi dengan keluarga pindah ke Jakarta.
Dinda,
Republik Indonesia Serikat yang didirikan sekarang ini bukan tujuan kita yang terakhir, Republik Indonesia Serikat kita pakai sebagai alat untuk meneruskan usaha dan perjuangan kita. Dalam usaha dan perjuangan yang masih di hadapan kita itu, kanda masih membutuhkan tenaga dan pikiran Dinda...
Sampaikan juga salam ta'zim istriku kepada Zus Dirman. Istriku minta diberi maaf dan doa ke hadirat Tuhan.
Sekian Saudaraku
Merdeka,
Soekarno
27 Desember 1949[18]
Jadi, setelah beberapa kali antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda terjadi pertempuran dan perdamaian, di antaranya terjadinya Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Perjanjian Renville (8 Desember 1947), dan Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), dan puncaknya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk serikat.
Hal ini karena menyadari bahwa tidak mungkin lagi mendirikan pemerintahan sebagaimana zaman Hindia Belanda dulu, oleh karena itu usahakan jalan lain, yaitu mendirikan sebuah negara berbentuk federal. Sedangkan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, oleh Belanda hanya dianggap sebagai salah satu negara bagian saja dalam negara Republik Indonesia Serikat tersebut.[19]
Negara-negara yang telah berhasil dibujuk untuk didirikan oleh Belanda, tahun-tahun sebelumnya adalah Negara Indonesia Timur (1946) Negara Pasundan (termasuk distrik Federal Jakarta), Negara Jawa Timur (16 November 1948), Negara Madura (23 Januari 1948), Negara Sumatera Timur (24 Maret 1948), dan Negara Sumatera Selatan. Sedangkan yang masih dalam persiapan adalah Negara Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, dan Jawa Tengah.
Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah konstitusi RIS. Undang-Undang Dasar ini terdiri dari mukaddimah, 197 pasal dan I lampiran. Dalam Pasal I- Ayat 1 disebutkan bahwa Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi. Sedangkan dalam Ayat 2 disebutkan bahwa kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.[20]
Sistem pemerintahan dalam kabinet parlementer dapat dilihat dari bunyi Pasal 118 Ayat 2 sebagai berikut.
Tanggung jawab kebijaksanaan pemerintah berada di tangan menteri, tetapi apabila kebijaksanaan menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka menteri-menteri itu    harus mengundurkan diri. Atau DPR dapat membubarkan menteri-menteri (kabinet) tersebut dengan alasan mosi tidak percaya.        
Presiden RIS dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh masing-masing pemerintah negara bagian, maka pada  tanggal 16 Desember 1949 diselenggarakan pemilihan presiden RIS di Yogyakarta. Ir Soekarno terpilih dalam pemilu tersebut dan dilantik pada  tanggal 17 Desember
1949, sehingga untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden Negara Republik Indonesia diangkat Mr. Asaat.
            Selain hal-hal tersebut di atas, dalam konstitusi RIS juga dikenal adanya Senat. Senat tersebut mewakili negara-negara bagian, setiap negara bagian mempunyai dua anggota dalam senat. Setiap anggota Senat mengeluarkan satu suara.        
Jadi dengan demikian, Senat adalah suatu badan perwakilan negara bagian, yang anggota-anggotanya, ditunjuk oleh masing-masing pemerintah negara bagian masing-masing.

3. Periode 17Agustus 1950 s/ d. 5 Juli 1959
Memperhatikan keadaan negara-negara bagian yang semakin sukar           untuk diperintah sedangkan kewibawaan pemerintah negara federal semakin berkurang selama penyelenggaraan konstitusi RIS, apalagi didukung kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, adat istiadat, agama, pulau-pulau, dan bahasa daerah maka rakyat di daerah-daerah sepakat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.
Pada, tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Oleh karenanya. sistem pemerintahan tetap dalam bentuk kabinet parlementer, yaitu para menteri (kabinet) bertanggung jawab kepada parlemen dan parlemer (DPR) dapat menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Untuk kuatnya kekuasaan presiden, lalu presiden hanya ditetapkan sebagai kepala negara saja tetapi tidak sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang perdana menteri yang mengepalai kabinet. Dengan demikian, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.[21]
Sebagaimana diketahui, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR atau anggota konstituante baru untuk pertama kali pada  tahun 1955. Sehingga dengan begitu yang merangkap tugas parlemen adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).Sedangkan untuk parlemen di daerah-daerah dibentuk Komite Nasional Daerah, walaupun belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akan halnya pembahasan pemerintahan daerah akan penulis uraikan pada  bagian tersendiri.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 UUDS 1950 diuraikan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara dengan bentuk kesatuan. Sedangkan untuk melaksanakan perpanjangan tangan pemerintah pusat serta pendelegasian wewenang, diselenggarakan desentralisasi. Dalam Pasal 131 disebutkan
”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang....”[22]
Walaupun sudah kembali kepada bentuk negara kesatuan, namun perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain masih terasa, ada yang menyesali keadaan ini tetapi ada pula yang menyetujuinya namun tetap memiliki ketidakpuasan kepada pemerintah pusat. Oleh karenanya pada  era ini terjadi berbagai jenis pemberontakan separatis, misalnya berikut ini.
1.      Pada tanggal 23 Januari 1950 meletus pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung.
2.      Pada tanggal 5 April 1950 meletus pemberontakan Andi Azis Cs di Makassar (Ujung Pandang).
3.      Pada tanggal 25 April 1950 meletus pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) di Ambon.
4.      Pada tanggal 10 Oktober 1950 meletus pemberontkan Ibnu Hajar cs di Kalimantan Selatan.
5.      Pada tanggal 17 Agustus 1951 meletus pemberontakan DI/TT dengan pemimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
6.    Pada tanggal 1 Desember 1951 meletus pemberontakan        Batalyon 426 di Jawa Tengah.
7.    Pada, tanggal 20 September 1953 meletuspemberontakan DI/TII kepemimpinan Daud Beureueh di Aceh.
8.    Pada tanggal 20 Desember 1956 terjadi peristiwa Dewan Banteng di Sumatera Barat.
9.      Pada tanggal 15 Februari 1958 dilanjutkan dengan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
10.   Pada tanggal 15 Februari 1958 itu juga Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) menyatakan diri membantu PRRI.[23]

Keadaan tersebut di atas semakin merancukan berbagai keadaan, di antaranya rancunya hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sebagaimana di ketahui pada akhir tahun 1955 diadakan pemilihan umum yang pertama di Indonesia dalam pemilihan anggota parlemen (aparat legislatif waktu itu disebut dengan istilah konstituante).
Kemudian konstituante menyelenggarakan pemungutan suara untuk mengetahui diterima atau tidaknya kembali UUD 1945, yang berturut-turut dilaksanakan pada hari Sabtu 30 Mei 1959, Senin 1 Juni 1959 dan   Selasa 2 Juni 1959. Tetapi hasil pemungutan suara yang diselenggarakan tersebut menunjukkan bahwa dukungan suara yang diperlukan (minimal 2/3 jumlah anggota) tidak diperoleh. Walaupun sebenarnya jumlah suara yang masuk lebih banyak menyetujui untuk kembali kepada UUD 1945
Hal ini dinilai pihak eksekutif sebagai ketidakmampuan pihak legislative menyelesaikan tugas mereka. Bahkan sebagai anggota konstituante ada yang menyatakan diri tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang pleno konstituante.[24]
Itulah sebabnya maka pada  tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, peristiwa pernyataan ini kita kenal dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

4. Periode 5 Juti 1959 s/d Sekarang
Di muka, telah dijelaskan runyamnya keadaan menjelang dinyatakannya kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (Dekret Presiden 5 Juli 1959). Dapat kita ketahui bersama bahwa UUD 1945 adalah undang-undang yang berusaha menjaga persatuan di tengah-tengah kebhinnekaan bangsa Indonesia. Penulis katakan demikian karena ada beberapa ketentuan dalam konstitusi ini yang membuat kuatnya kekuasaan presiden, dan sentralistis ini terasa diperlukan dalam kebhinnekaan untuk menghindari munculnya keseparatisan provinsialisme.
Menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk dimajukan, karena setiap pihak baik sipil (pegawai negeri dan parpol) dan militer (yang waktu itu dapat menentukan sikap) saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain.[25]
Sebaiknya Presiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari Sabang sampai Merauke. UUDS 1950 dianggap selama ini memang sudah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.



[1]Inu Kencana, Filsafat Kehidupan, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 117

[2]Mustafa Muhammad Thahhan, Op. cit., hlm. 35

[3]Ibid., hlm. 36

[4]Sumarsono, Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa, Bandung: Armico, 1990, hlm. 65
[5]Ibid., hlm. 66

[6]Ibid., hlm. 66
[7]Fachri Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991, hlm. 213

[8]Ibid., hlm. 214
[9]Sumarsono, Op. cit, hlm. 110

[10]Ibid., hlm. 95
[11]Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1975, hlm. 111
[12]Ibid., hlm. 80
[13]Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm. 210

[14]Ibid., hlm. 115
[15]Sartono Kartodirdjo, Op. cit, 1975, hlm. 50
[16]Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 23
[17]Sumarsono, Op. cit, hlm. 86
[18]Ibid, hlm. 88
[19]Sartono Kartodirdjo, Op. cit, 1975, hlm. 125

[20]Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1987, hlm. 75
[21]Sumarsono, Op. cit, hlm. 66

[22]Ibid, hlm. 93
[23]Nazaruddin Syamsuddin, Op. cit., hlm. 117
[24]Ibid., hlm. 255
[25]Sumarsono, Op. cit, hlm. 198