Latar Belakang Lahirnya Demokrasi Terpimpin di Indonesia
A.
Latar
Belakang Lahirnya Demokrasi Terpimpin di Indonesia
Pahlawan bagi
suatu bangsa merupakan pengkhianat bagi negara lain yang menjadi musuh bangsa
tersebut, begitu pula sebaliknya. Tetapi yang akan penulis sampaikan adalah
pahlawan dalam pengertian yang sebenarnya, karena patokannya adalah siapa yang
memperjuangkan kebenaran dan siapa yang mempertahankan ketidakbenaran. Ilmu pengetahuan memang tidak tuntas
membicarakan kebenaran mutlak, karena menyangkut moral yang subjektif dan
relatif sifatnya pada dimensi ruang dan waktu". Oleh karena itu Kitab Suci
Al-Qur’an yang nama lainnya adalah Al Furqan (Pembeda) memberikan batasan[1],
antara -kebenaran (hak) dan ketidakbenaran (batil).
Dunia menyaksikan sendiri bagaimana bangsa Indonesia pernah dijajah,
sehingga para pahlawan (rakyat bersama-sama angkatan bersenjatanya) menuntut
kemerdekaannya itu. Dalam Al Qur`an surat an-Naml, ayat 34 Allah berfirman:
قالت إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوهاوجعلوا إعزّة أهلها أذلّة وكذلك يفعلون
(النمل: 34)
Artinya: Dia (Balqis) berkata, ”Sesungguhnya
raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakan dan
menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina, dan demikian pulalah yang akan
mereka perbuat (Q. S. An-Naml: 34).
Berdasarkan keterangan ayat di atas dapat dipahami bahwa penguasa yang
memimpin sebuah negeri dilarang melakukan pembinasaan dan penghinaan terhadap
rakyatnya. Namun demikian kenyataannya, pemimpin negeri dewasa ini cenderung menindas serta membuat rakyatnya
tersiksa. Sehingga perlakuan semacam itu akan menimbulkan kesan bahwa raja
merupakan sosok penjajah bagi rakyatnya.
Sejarah mencatat bahwa yang pertama menentang penjajah dengan menggerakkan
masyarakatnya (baik mengangkat senjata maupun jalan jalur (diplomasi) adalah
Sultan Agung Anyorokusurno (1591-1645). Kemudian perlawanan Untung Surapati
yang rela melepaskan istrinya seorang putri Belanda karena akan menentang
Belanda. Setelah itu berturut-turut para sultan yang merasa diinjak wilayah
pemerintahannya, antara lain Sultan Hasanuddin (1631 - 1670), Sultan Ageng
Tirtayasa (1631-1683), Sultan Mahmud Badarudin II (1767 - 1852), Sultan Thoha
Syaifuddin (1816 - 1904).[2]
Para ulama yang berjihad melawan pemerintah Hindia Belanda dalam
memperjuangkan kemerdekaan, yaitu Tuanku Imam Bonjol (1772 - 1864), Pangeran
Diponegoro (1785-1855) berjuang bersama sahabat beliau Kyai Maja dan Sentot
Alibasya, Pangeran Antasari (1797-1862). Kemudian terjadi perlawanan di Maluku,
yaitu Kapitan Pattimura (1783-1817) dan Martha Khristina Tiahahu (1800-1818)
dan pemberontakan Trunojoyo dari Madura.[3]
Bila dikatakan bahwa bangsa
Indonesia terjajah selama lebih kurang 350 tahun oleh bangsa Belanda, hal
tersebut tidak benar, karena pada kenyataannya masyarakat Aceh tidak pernah
berhasil dikuasai secara keseluruhan, para syuhada daerah ini dipimpin oleh
Teuku Umar (1854-1899), Teuku Chik Ditiro (1836-1891), Cut Nyak Dhien
(1850-1908), Cut Nyak Mutia (1870-1910) dan Panglima Polem. Sementara itu
meletus perlawanan di Pulau Jawa yang dipimpin Sri Susuhan Pakubuwono VI
(1807-1949).[4]
Akhirnya Raja Sisingamangaraja
(1849-1907) memimpin perlawanan terhadap Belanda. Setelah itu rasa kesadaran
bahwa perlawanan harus dilakukan bersama-sama muncul dan berdirilah Budi Utomo
pada tanggal 1908, Syarikat Islam berdiri tahun 1911, Partai Nasional Indonesia
berdiri 1927, dan pada tanggal 28 Oktober 1928 resmi pemuda-pemudi dari seluruh
Indonesia berkumpul untuk mengucapkan sumpah pemuda. Tahun-tahun berikutnya
pergerakan bersifat Nasional.[5]
Akan halnya Syarikat Islam
adalah satu di antara organisasi politik Indonesia yang paling menonjol waktu
itu. Berbeda dengan Muhammadiyah yang bercorak sosio keagamaan. Syarikat Islam
sejak semula adalah gerakan politik, Syarikat Islam adalah tranformasi dari
Syarikat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi.
Pada tahun 1912 Syarikat
Dagang Islam menjadi Syarikat Islam dan mendapat pemimpin organisasi baru,
yaitu H. O. S. Cokroaminoto (1883-1934). Perubahan Syarikat Dagang Islam
menjadi Syarikat Islam bukan hanya perubahan nama saja, tetapi terutama dalam
perubahan orientasi, yaitu dari komersil ke politik.[6]
Jadi apa yang dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Soetomo, Dr.
Tjipto Mangunkusumo, dan KI Hajar Dewantara membawa dampak positif dalam
perjuangan pergerakan secara nasional, namun diboncengi beberapa organisasi
oleh ideologi tersendiri.
Tanggal 8 Desember 1941, pecah Perang Pasifik sebagai rangkaian Perang
Dunia II. Jerman, Italia, dan Jepang melancarkan aksi tempurnya yang mendunia.
Jepang di Asia sedangkan dua sekutunya di Eropa. Hal tersebut membuat
Pemerintah Hindia Belanda tidak ketinggalan bertekuk lutut kepada Pemerintah
Jepang pada tanggal 9 Maret 1942. Gubernur Jenderal Carda, van Starkenborgh
Stachouwerm dibawa Jepang ke Formosa. Tiga setengah tahun lamanya bangsa
Indonesia ikut merasakan beratnya dijajah negara matahari terbit ini. Mereka
memperkosa rakyat dengan kerja rodi. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama.[7]
Dengan diserbunya Jepang oleh Rusia di Manchuria maka mulai
terasa kelemahan Jepang untuk mempertahankan daerah-daerah
jajahannya. Jepang diserang dari utara (Rusia) dan dari selatan (Amerika Serikat) dan puncaknya adalah jatuhnya bom atom dikota Hiroshima (4 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Jadi tidak benar
bila Marsekal (U) Jepang Terauchi di Dalat (300 km dari Saigon, Muangthai,
berkeinginan memberikan Indonesia kemerdekaan. Mereka mutlak pasrah setelah
mengalami musibah-musibah tersebut di atas. Begitu juga sikap Laksamana (L)
Maeda di Jakarta, tampak kehilangan jiwa samurainya. Pada tanggal 14 Agustus
1945 Jepang resmi menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.[8]
terasa kelemahan Jepang untuk mempertahankan daerah-daerah
jajahannya. Jepang diserang dari utara (Rusia) dan dari selatan (Amerika Serikat) dan puncaknya adalah jatuhnya bom atom di
Sekelompok anak-anak muda, dalam keadaan kevakuman seperti ini bergelora
ingin memproklamirkan kemerdekaan, tetapi mereka masih tetap ingin membutuhkan
pemimpin sesepuh mereka Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, atau bila tidak
bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, mereka mengancam akan
membumihanguskan sisa-sisa Jepang yang sudah tidak berdaya di Jakarta. Mereka
dengan semangat patriot yang menggebu memang berhasil melarikan Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok.[9]
Akibat penculikan kedua tokoh tersebut, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang sedianya akan dilangsungkan di Jalan Pejambon Jakarta
batal, karena tidak dihadiri Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Begitu juga
rapat yang direncanakan di Hotel Des Indres pada malam harinya.
Andaikata rapat di Jalan Pejambon ataupun di Hotel Des Indres jadi
terlaksana, maka barangkali di kedua tempat tersebutlah proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan, dan waktunya pun tercatat 16 Agustus 1945 hari Kamis (baik
siang maupun malam). Hanya Allah yang Maha Bijaksana menjatuhkan hari keramat
itu pada hari yang dikehendaki-Nya.
Akan tetapi, Bagi umat Islam
seluruh dunia bulan Ramadhan adalah bulan yang pahala beribadat dalam bulan
puasa tersebut lebih dari seribu bulan beramal, dan hari Jum`at adalah hari
dilangsungkannya shalat Jum`at berjama’ah sebagai pengganti shalat dhuhur. Lepas dari
kesadaran para pelaku dan pendahulu, maka proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia jatuh pada kedua waktu suci tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 1945,
pukul 10.00 WIB Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaannya ke seluruh
dunia. Proklamasi itu ditandatangani atas nama bangsa Indonesia oleh Soekarno
dan Hatta, di jalan Pegangsaan No. 56 Jakarta. Pristiwa ini dicatat dan akan
dikenang oleh seluruh bangsa Indonesia sampai kiamat.[10]
Sejak proklamasi kemerdekaan
tersebut, sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah suatu bangsa yang masih
muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan
berpijaknya adalah konstitusi dan ideologi yang mereka ciptakan sendiri sesuai
perkembangan budaya masyarakat. Faktor ruang dan waktu adalah yang paling
banyak menentukan pertumbuhan ekonominya.
Itulah sebabnya segera
keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indoinesia (PPKI) mengadakan sidang dan berhasil menetapkan antara lain sebgai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar
1945, yang terdiri dari:
a. Pembukaan, yang merupakan staat’s Fundamental
Norm, memuat empat alinea antara lain tentang pernyataan kemerdekaan
Indoensia yang terperinci, azas politik dalam dan luar negeri, tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dasar, ideologi, dan falsafah Pancasila.
b. Batang Tubuh, yang merupakan konstitusi tertulis
berbentuk singkat dan supel. Dikatakan singkat karena dari 37 pasal, 16 bab, 4
pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Atuarn Tambahan. Dikatakan simpel karena
menyesuaikan diri dengan keadaan perkembangan zaman.
c. Penjelasan, yang merupakan penguraian resmi UUD 1945
tersebut diatas, yaitu menerangkan tentang pokok-pokok pikiran (4 pokok
pikiran) dan sistem pemerintahan negara (7 kunci pokok).[11]
2. Presiden dan Wakil
Presiden Pertama Republik Indonesia
masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Ada empat periode besar sistem pemerintahan, politik dan administrasi
negara Republik Indonesia yang pernah dilalui, hal tersebut terjadi terutama
karena adanya pergantian konstitusi, yaitu sebagai berikut.
1. Periode 18 Agustus 1945 s.
d. 27 Desember 1949
Dalam periode
yang dipakai sebagai pegangan adalah Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sudah
barang tentu belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen oleh karena
bangsa Indonesia
baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Walaupun UUD 1945 ini telah diberlakukan oleh
PPKI, namun yang baru dapat terbentuk hanya presiden dan wakil presiden, serta
para menteri sebagai pembantu presiden dan para gubernur sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat di daerah.
Tentang hal ini dapat dilihat pada Aturan Peralihan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa untuk pertama kalinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
PPKI, jadi tidaklah menyalahi apabila MPR belum dimanfaatkan karena pemilu
belum dilakukan. Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam UUD
1945, belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat tersebut di
atas. Jadi sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk segala kekuasaan dijalankan oleh
presiden dengan dibantu oleh Komite Nasional.[12]
Menteri-menteri pertama yang diangkat presiden dalam Kabinet Presidensiil
ini adalah sebagai berikut :
1.
Menteri Dalam Negeri : R.A.A. Wiranatakusumah
2.
Menteri Luar Negeri : Akhfhad Subar o, SH.
3.
Menteri
Kehakiman :
Prof DR. Soepomo, SH.
4.
Menteri Kemakmuran : RP. Surakhman Tjokro Adisuryo
5.
Menteri
Keuangan :
dr. Sanusi
6.
Menteri Kesehatan :
dr. R. Buntaran Martoatmodjo
7.
Menteri
Pengajaran : KI
Hajar Dewantara
8.
Menteri
Sosial : Iwa Kusuma Sumantri, SH
9.
Menteri
Penerangan : Mr.
Amir Syarifuddin
10. Menteri Perhubungan : R. Abikusnocokrosuyoso
11. Menteri Pertahanan : Soepriyadi (Komandan PETA)
12.
Menteri
Pekerjaan Umum : R.
Abikusnocokrosuyoso
Sedangkan gubernur-gubernur yang pertama kali diangkat dalam Republik
Indonesia yang muda ini adalah sebagai berikut:
1.
Gubemur Sumatera :
Teuku Mohammad Hassan, SH
2.
Gubernur Kalimantan : Ir. Pangeran Mohammad Noer
3.
Gubernur
Sualawesi : DR.
Samuel Ratulangi
4.
Gubernur
Jawa Barat : Sutaryo Kartohadikusumo
5.
Gubernur
Jawa Tengah : Raden
Pandji Suroso
6.
Gubernur
Jawa Timur : Raden
A. Suryo
7.
GubernurNusa,
Tenggara : I Gusti Ketut
Puja, SH
8.
Gubernur
Maluku : J.
Latuharhary, SH[13]
Di samping itu
dilantik pula menteri-menteri negara, Yaitu : R. Otto Iskandardinata, dr.
Amir, Mr. Maramis, Wakhid Hasyim, dan Mr. Sartono, serta Walikota Jakarta
Soewirjo. Sedangkan
Sekretaris Negara dipegang oleh A.G. Pringgodigdo, Juru Bicara Pemerintahan
Sukarjo Wiryopranoto dan Jaksa Agung Gatot Kusuma, Mihardja, SH. Pengangkatan
dilangsungkan pada tanggal 29 Agustus
1945 tetapi baru diumumkan pada tanggal 20 Oktober 1945.[14]
Pada, tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah
menyatakan berdirinya, Tentara Keamanan Rakyat, sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi, yaitu seorang tokoh tentara-Pembela Tanah air, karena
Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Blitar,
kemudian diadakan musyawarah TKR yang dihadiri oleh para Panglima
Divisi dan Residen, terpilihlah Sudirman menjadi Panglima Besar. Beliau dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945, dan tanggal 3 Juni 1945 TKR resmi menjadi TNI (TentaraNasional Indonesia).
menyatakan berdirinya, Tentara Keamanan Rakyat, sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi, yaitu seorang tokoh tentara-Pembela Tanah air, karena
Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Blitar,
kemudian diadakan musyawarah TKR yang dihadiri oleh para Panglima
Divisi dan Residen, terpilihlah Sudirman menjadi Panglima Besar. Beliau dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945, dan tanggal 3 Juni 1945 TKR resmi menjadi TNI (TentaraNasional Indonesia).
Dalam Kongres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil
Presiden Drs. Mohammad Hatta mengeluarkan apa yang disebut Maklumat X (baca
eks). Maklumat X ini berisikan penegasan terhadap kata bantuan dalam Pasal IV
Aturan Peralihan UUD 1945. Sejak Maklumat X ini dikeluarkan kepada KNIP diberi
wewenang untuk turut membuat undang-undang dan menetapkan GBHN; jadi
seolah-olah memegang sebagian kekuasaan MPR, di samping memiliki pula kekuasaan
DPA dan DPR.[15]
Kemudian dikeluarkan pula Maklumat tanggal 14 Desember 1945. Kesan bahwa
sistem pemerintahan Indonesia ketika itu tidak demokratis dapat dihilangkan
dengan adanya maklumat ini, yang merupakan konvensi ke arah sistem pemerintahan
parlementer. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 ini, memang
dibentuk Kabinet Parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai
Perdana Menteri (PM) dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai
subsitut MPR/DPR.
Sejak saat itu sistem presidensil beralih kepada sistem pemerintahan
parlementer, walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama sistem ini berjalan
yaitu sampai dengan tanggal 27 Desember 1949,-UUD 1945 tidak mengalami
perubahan secara tekstual. Oleh karena itu sebagian orang berpendapat bahwa
perubahan dalam sistem pemerintahan dan administrasi negara ini merupakan
tindakan yang menyalahi UUD 1945 sendiri menjadi anutan.
Pada tanggal 3 November 1945 keluar pulalah Maklumat Pemerintah tentang
keinginan untuk membentuk partai-partai politik, sehingga berlakulah sistem
parlementer sekaligus sistem multi partai. Partai-partai tumbuh bagai cendawan
di musim hujan.
Pada tanggal 27 Juli 1947
serdadu Belanda dengan persenjataan lengkap melakukan penyerbuan ke berbagai
kota di Indonesia, dan berhasil menduduki beberapa di antaranya. Jadi dapat
dikatakan bahwa sebagian wilayah Republik Indonesia dikuasai serdadu Belanda
ketika itu, walaupun daerah-daerah pedalaman tidak terjangkau.
Pada tanggal 19 Desember 1948 kota Yogyakarta yang untuk sementara
dijadikan ibu kota negara Republik Indonesia menjadi sasaran utama serangan
serdadu Belanda. Negara dalam menghadapi keadaan sulit seperti itu, tiba-tiba
persatuan bangsa dirobek-robek oleh, pemberontakan PKI di Madiun tanggal 18
September 1948.[16]
Pada tanggal 19 Desember 948 itu juga menjelang sore Yogyakarta jatuh ke
tangan musuh, tetapi sebelumnya pukul 10.00 pagi, sidang Kabinet RI yang
dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta memutuskan untuk memberikan mandat
kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI), dan apabila tidak sempat juga dapat dibentuk PDRI di India.
Selanjutnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditawan oleh Belanda.
Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman pada hari itu juga menentukan sikap
meninggalkan Yogyakarta, untuk menggelorakan kembali semangat rakyat dan para
prajurit di seluruh tanah air, sekaligus memulai perang gerilya. Pada tanggal 1
Maret 1949 Sri Sultan Hamengkubuwono IX memprakarsai penyerbuan ke Yogyakarta
selama enam jam.
Pada tanggal 8 Juli 1949 Letkol Soeharto menjemput Panglima Sudirman di
Kecamatan Pojong, Kabupaten Wonogiri, dan tanggal 10 Juli 1949 Soekarno dan
Hatta yang telah kembali dari penahanannya, menerima Jendral Sudirman di
Istana, Kepresidenan Yogyakarta.
2.
Periode 27 Desember l949 s/d l7Agustus 1950
Dalam periode ini Republik Indonesia menjadi negara serikat. Sebetulnya
bukan kehendak seluruh bangsa Indonesia untuk memakai bentuk negara dan sistem
pemerintahan, politik dan adminstrasi negara seperti tersebut di atas, tetapi
keadaan yang memaksa, demikian.
Sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia, ia memang
ditugaskan untuk memporak-porandakan keutuhan persatuan dan kesatuan Republik
Indonesia yang baru merdeka, politik devide et impera memang dimilikinya. la
yang mengusulkan untuk disetujuinya pembentukan negara dalam negara. Untuk
terlaksananya gencatan senjata para pendiri republik ini memikirkan begitu
banyaknya korban yang jatuh dari putra-putri terbaik ibu pertiwi.[17]
Walaupun di dalam jiwa bangsa Indonesia bergelora semangat juang dengan
tekad ”sekali merdeka tetap merdeka”, dan "merdeka atau mati” namun
akhirnya para pemimpin bangsa bersedia melakukan berbagai perundingan, untuk
menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak lagi.
Perhatikanlah surat Presiden Ir Soekarno kepada Jenderal Sudirman berikut
ini:
Yang Mulia Panglima Besar
Adinda Sudirman
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Jika
ditakdirkan Tuhan, saya besok pagi dengan keluarga pindah ke Jakarta.
Dinda,
Republik Indonesia Serikat yang didirikan sekarang ini bukan tujuan kita
yang terakhir, Republik Indonesia Serikat kita pakai sebagai alat untuk
meneruskan usaha dan perjuangan kita. Dalam usaha dan perjuangan yang masih di
hadapan kita itu, kanda masih membutuhkan tenaga dan pikiran Dinda...
Sampaikan juga salam ta'zim istriku kepada Zus Dirman. Istriku minta diberi
maaf dan doa ke hadirat Tuhan.
Sekian Saudaraku
Merdeka,
Soekarno
27 Desember 1949[18]
Jadi, setelah beberapa
kali antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda terjadi
pertempuran dan perdamaian, di antaranya terjadinya Perjanjian Linggarjati
(25 Maret 1947), Perjanjian Renville (8 Desember 1947), dan
Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), dan puncaknya pada tanggal 27
Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat
harus berbentuk serikat.
Hal ini karena menyadari bahwa tidak mungkin lagi mendirikan pemerintahan
sebagaimana zaman Hindia Belanda dulu, oleh karena itu usahakan jalan lain,
yaitu mendirikan sebuah negara berbentuk federal. Sedangkan negara Republik
Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, oleh Belanda hanya
dianggap sebagai salah satu negara bagian saja dalam negara Republik Indonesia
Serikat tersebut.[19]
Negara-negara yang telah berhasil dibujuk untuk didirikan oleh Belanda,
tahun-tahun sebelumnya adalah Negara Indonesia Timur (1946) Negara Pasundan
(termasuk distrik Federal Jakarta), Negara Jawa Timur (16 November 1948),
Negara Madura (23 Januari 1948), Negara Sumatera Timur (24 Maret 1948), dan
Negara Sumatera Selatan. Sedangkan yang masih dalam persiapan adalah Negara
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara,
Bangka, Belitung, Riau, dan Jawa Tengah.
Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah konstitusi RIS.
Undang-Undang Dasar ini terdiri dari mukaddimah, 197 pasal dan I lampiran.
Dalam Pasal I- Ayat 1 disebutkan bahwa Republik Indonesia Serikat yang merdeka
dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.
Sedangkan dalam Ayat 2 disebutkan bahwa kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia
Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.[20]
Sistem pemerintahan dalam kabinet parlementer dapat dilihat dari bunyi
Pasal 118 Ayat 2 sebagai berikut.
Tanggung jawab kebijaksanaan
pemerintah berada di tangan menteri, tetapi apabila kebijaksanaan menteri/para
menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka menteri-menteri itu harus mengundurkan diri. Atau DPR dapat
membubarkan menteri-menteri (kabinet) tersebut dengan alasan mosi tidak
percaya.
Presiden RIS dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh
masing-masing pemerintah negara bagian, maka pada tanggal 16 Desember 1949 diselenggarakan
pemilihan presiden RIS di Yogyakarta. Ir Soekarno terpilih dalam pemilu
tersebut dan dilantik pada tanggal 17
Desember
1949, sehingga untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden Negara Republik Indonesia diangkat Mr. Asaat.
1949, sehingga untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden Negara Republik Indonesia diangkat Mr. Asaat.
Selain hal-hal tersebut di
atas, dalam konstitusi RIS juga dikenal adanya Senat. Senat tersebut mewakili
negara-negara bagian, setiap negara bagian mempunyai dua anggota dalam senat.
Setiap anggota Senat mengeluarkan satu suara.
Jadi dengan demikian, Senat adalah suatu badan perwakilan negara bagian, yang
anggota-anggotanya, ditunjuk oleh masing-masing pemerintah negara bagian masing-masing.
3. Periode 17Agustus 1950 s/ d. 5 Juli 1959
Memperhatikan keadaan negara-negara bagian yang semakin sukar untuk diperintah sedangkan kewibawaan
pemerintah negara federal semakin berkurang selama penyelenggaraan konstitusi
RIS, apalagi didukung kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai ragam
suku bangsa, adat istiadat, agama, pulau-pulau, dan bahasa daerah maka rakyat
di daerah-daerah sepakat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.
Pada, tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) tahun 1950. Oleh karenanya. sistem pemerintahan tetap dalam
bentuk kabinet parlementer, yaitu para menteri (kabinet) bertanggung jawab
kepada parlemen dan parlemer (DPR) dapat menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak
percaya. Untuk kuatnya kekuasaan presiden, lalu
presiden hanya ditetapkan sebagai kepala negara saja tetapi tidak sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan
dipegang oleh seorang perdana menteri yang mengepalai kabinet. Dengan demikian,
presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.[21]
Sebagaimana diketahui, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR atau anggota konstituante baru untuk pertama kali pada tahun 1955. Sehingga dengan begitu yang
merangkap tugas parlemen adalah Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP).Sedangkan untuk parlemen di daerah-daerah dibentuk Komite Nasional
Daerah, walaupun belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akan halnya
pembahasan pemerintahan daerah akan penulis uraikan pada bagian tersendiri.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 UUDS 1950 diuraikan bahwa negara Republik Indonesia
adalah negara dengan bentuk kesatuan. Sedangkan untuk melaksanakan perpanjangan
tangan pemerintah pusat serta pendelegasian wewenang, diselenggarakan
desentralisasi. Dalam Pasal 131 disebutkan
”Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar kecil yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang....”[22]
Walaupun
sudah kembali kepada bentuk negara kesatuan, namun perbedaan antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain masih terasa, ada yang menyesali keadaan ini
tetapi ada pula yang menyetujuinya namun tetap memiliki ketidakpuasan kepada
pemerintah pusat. Oleh karenanya pada
era ini terjadi berbagai jenis pemberontakan separatis, misalnya berikut
ini.
1. Pada tanggal 23
Januari 1950 meletus pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung.
2. Pada tanggal 5 April
1950 meletus pemberontakan Andi Azis Cs di Makassar (Ujung Pandang).
3. Pada tanggal 25 April
1950 meletus pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) di Ambon.
4. Pada tanggal 10
Oktober 1950 meletus pemberontkan Ibnu Hajar cs di Kalimantan Selatan.
5. Pada tanggal 17
Agustus 1951 meletus pemberontakan DI/TT dengan pemimpin Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan.
6.
Pada tanggal 1 Desember 1951 meletus pemberontakan Batalyon 426 di
Jawa Tengah.
7. Pada, tanggal 20 September 1953 meletuspemberontakan
DI/TII kepemimpinan Daud Beureueh di Aceh.
8.
Pada tanggal 20 Desember 1956 terjadi peristiwa
Dewan Banteng di Sumatera Barat.
9.
Pada tanggal 15 Februari 1958 dilanjutkan dengan
pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
10. Pada tanggal 15
Februari 1958 itu juga Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) menyatakan diri
membantu PRRI.[23]
Keadaan tersebut di atas semakin merancukan berbagai keadaan, di antaranya
rancunya hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sebagaimana di ketahui pada
akhir tahun 1955 diadakan pemilihan umum yang pertama di Indonesia dalam
pemilihan anggota parlemen (aparat legislatif waktu itu disebut dengan istilah
konstituante).
Kemudian konstituante menyelenggarakan pemungutan suara untuk mengetahui
diterima atau tidaknya kembali UUD 1945, yang berturut-turut dilaksanakan pada
hari Sabtu 30 Mei 1959, Senin 1 Juni 1959 dan Selasa
2 Juni 1959. Tetapi hasil pemungutan
suara yang diselenggarakan tersebut menunjukkan bahwa dukungan suara yang
diperlukan (minimal 2/3 jumlah anggota) tidak diperoleh. Walaupun sebenarnya
jumlah suara yang masuk lebih banyak menyetujui untuk kembali kepada UUD 1945
Hal ini dinilai pihak eksekutif sebagai ketidakmampuan
pihak legislative menyelesaikan
tugas mereka. Bahkan sebagai anggota konstituante ada yang menyatakan diri
tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang pleno konstituante.[24]
Itulah sebabnya maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, peristiwa pernyataan ini
kita kenal dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
4. Periode
5 Juti 1959 s/d Sekarang
Di muka, telah dijelaskan runyamnya keadaan menjelang dinyatakannya kembali
ke Undang-Undang Dasar 1945 (Dekret Presiden 5 Juli 1959). Dapat kita ketahui
bersama bahwa UUD 1945 adalah undang-undang yang berusaha menjaga persatuan di
tengah-tengah kebhinnekaan bangsa Indonesia. Penulis katakan demikian karena
ada beberapa ketentuan dalam konstitusi ini yang membuat kuatnya kekuasaan
presiden, dan sentralistis ini terasa diperlukan dalam kebhinnekaan untuk
menghindari munculnya keseparatisan provinsialisme.
Menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi liberal tidak semakin
mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan
makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk dimajukan,
karena setiap pihak baik sipil (pegawai negeri dan parpol) dan militer (yang
waktu itu dapat menentukan sikap) saling berebut keuntungan dengan mengorbankan
yang lain.[25]
Sebaiknya
Presiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu
padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari Sabang sampai Merauke.
UUDS 1950 dianggap selama ini memang sudah melakukan penyimpangan-penyimpangan
dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
[1]Inu Kencana, Filsafat Kehidupan, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, hlm. 117
[2]Mustafa Muhammad Thahhan, Op. cit., hlm. 35
[4]Sumarsono, Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa, Bandung : Armico, 1990,
hlm. 65
[7]Fachri Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1991, hlm.
213
[9]Sumarsono, Op. cit, hlm. 110
[11]Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta : Depdikbud, 1975,
hlm. 111
[13]Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, Jakarta : Gramedia, 1982, hlm. 210
[15]Sartono Kartodirdjo, Op. cit, 1975, hlm. 50
[16]Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1989,
hlm. 23
[17]Sumarsono, Op. cit, hlm. 86
[19]Sartono Kartodirdjo, Op. cit, 1975, hlm. 125
[20]Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 1987, hlm. 75
[21]Sumarsono, Op. cit, hlm. 66
[23]Nazaruddin Syamsuddin, Op. cit., hlm. 117
[25]Sumarsono, Op. cit, hlm. 198