Kewalian dalam Islam
. Kewalian
dalam Islam
Wali
adalah salah satu dari sekian banyak konsep di dalam Islam. Mereka adalah
orang-orang yang dekat kepada Allah dan merupakan orang yang dikasihi oleh-Nya.
Oleh karena itu seorang wali memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Namun demikian, sejak zaman dahulu
hingga saat ini, banyak oknum yang menipu masyarakat awam dengan berpura-pura
menjadi wali, dalam upaya mencapai tujuan-tujuan pragmatis tertentu. Dalam hal
ini, al-Qur’an dengan sangat jelas menyatakan bahwa yang disebut dengan wali
Allah adalah orang-orang yang selalu beriman, dan bertakwa kepada Allah Swt.
Allah berfirman tentang para wali Allah dalam al-Qur’an surat yunus ayat 62-64
yang berbunyi:
Iwr&
cÎ) uä!$uÏ9÷rr& «!$# w êöqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qçR%2ur cqà)Gt ÇÏÌÈ ÞOßgs9 3tô±ç6ø9$# Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# Îûur ÍotÅzFy$# 4 w @Ïö7s? ÏM»uHÍ>x6Ï9 «!$# 4 Ï9ºs uqèd ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÏÍÈ
Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita
gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada
perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah
kemenangan yang besar.Pada dasarnya kewalian adalah tugas yang
bersifat ilahiyah (wazifah ilahiyah).
Mereka adalah orang-orang yang mencerminkan kepribadian kenabian dalam segala
hal yang didelegasikan Allah kepada mereka.[1]
Para wali Allah selalu bertekad supaya amal ibadah mereka jangan sampai ada
kekurangannya baik dalam gambaran fisikibadah, apalagi dalam gambaran niat dan
ikhlas bagi ibadah yang dikerjakannya.[2]
Ayat ini menjelaskan
pengetahuan Allah Swt yang menyeluruh, setelah sebelumnya menjelaskan bahwa ada
manusia durhaka dan ada juga yang taat, di jelaskan pula bahwa Allah Swt
menganugerahkan aneka karunia kepada manusia di dunia kini seakan-akan ada yang
bertanya bagaimana kesudahan mereka yang taat dan durhaka di akhirat kelak.
ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada ketakutan yakni keresahan hati
atas mereka menyangkut sesuatu di masa datang dan tidak pula mereka dari saat
ke saat bersedih hati menyangkut sesuatu yang terjadi pada masa lampau.[3]
Para wali Allah Swt. adalah orang-orang yang
telah beriman yakni yang percaya secara bersinambung tanpa di selingi oleh
keraguaan dan mereka sejak dahulu hingga kini, selalu bertaqwa yakni yang
berbuah keimanan mereka dengan amal-amal saleh sehingga mereka terhindar dari
ancaman siksa Allah Swt.[4]
Kedekatan Allah kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan-Nya yang
menyeluruh tentang mereka dapat juga di samping itu dalam arti cinta, pembelaan
dan bantuan-Nya dan memberikan perlindungan dan rahmatnya adalah kepada
hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepada-Nya.
Tahap pertama yang harus
menghiasi jiwanya adalah iradah atau kehendak yakni munculnya hastrat dan
keinginannya yang kuat untuk berpegang teguh pada jalan yang membimbing kepada
kebenaran, iradah adalah gejolak api cinta, bila api ini di sulut dalam kalbu
manusia akan menanggapinya seruan kebenaran. Kedekatan kepada Allah baru tercapai
apabila kalbu telah dipenuhi oleh cahaya makrifah Ilahi, sehingga ketika itu
apabila seorang wali Allah melihat maka seseorang tersebut melihat bukti-bukti
kebenaran, dan apabila bergerak, maka geraknya adalah untuk memperjuangkan
agama-Nya dan apabila seseorang itu bersungguh-sungguh maka kesungguhannya
dalam ketaatan kepada Allah ketika itulah menjadi dekat dengan Allah, dan
seseorang itu menjadi wali Allah.[5]
Seorang
wali harus memegang teguh kepada perintah Allah, dan menjauhkan segala hal yang
tidak disukai Allah, wali merupakan
orang pengikut Nabi, jadi jelas bahwa wali harus menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang
tercela. Dalam Islam kewalian berpegang teguh
kepada syariat, dan menyibukkan dirinya untuk menghadap Allah dengan beragam
amal hingga mengantarkannya menjadi seorang wali yang sejati. Kewalian hanya
ditunjukkan oleh konsistensi pencurahan seluruh energi untuk mengikuti Nabi.
Jadi, barang siapa yang mencurahkan dirinya untuk mengikuti sunnah maka kita bisa menyebutkannya
sebagai wali Allah.[6]
Dalam
menempuh jalan rohani, manusia harus mencurahkan seluruh kemampuan dirinya.[7]
Setiap wali itu merupakan orang-orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah,
sehingga menjadi seorang sufi, seorang wali harus bisa melawan hawa nafsu, karena
hawa nafsu itu merupakan kecenderungan jiwa yang salah.[8]
1. Pengertian Kewalian
Kewalian
merupakan orang-orang yang keimanan
dan ketakwaannya mencapai jenjang
yang baik.[9]
Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, Istilah tasawuf maknanya bisa dekat, dan bisa
juga kekasih, bisa berarti
bimbingan atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali adalah orang yang dekat
dengan Allah Swt. Karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih
Allah Swt. Karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasihnya, maka ia pun
layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Konsep kewalian bisa dijelaskan dari sudut
relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Pemahaman tentang
wali apabila digabungkan mengarahkan pada satu pengertian bahwa wali adalah
orang yang disiplin melaksanakan taqarrub
(mendekatkan diri kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah
dan menjauhi larangannya.
Sebagian ulama lain berpendapat
bahwa seluruh orang yang beriman dan bertaqwa disebut dengan wali Allah, dan
wali Allah yang paling utama adalah Nabi, dan yang paling utama diantara Nabi
adalah para Rasul, yang paling utama dari para Rasul adalah “Ulul Azmi” dan yang terlebih utama Dari
“Ulul Azmi” adalah Nabi Muhammad.
Maka para wali Allah tersebut memiliki tingkatan yang berbeda dalam mendekatkan
dirinya kepada Allah.
Menurut
Ibnu Arabi, kata wali jamaknya awliaya’ yang
mempunyai makna kedekatan atau sentuhan, yang pada gilirannya membawa kepada
dua makna yang lebih dalam yaitu; pertama, berarti menjadi seorang teman.
Kedua, mengarahkan, mengatur dan mewakili. Karena itu,wali adalah teman
seseorang yang dekat.[10]
2. Ciri-ciri Kewalian
Beragam pandangan telah mewarnai tentang
kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar
biasa berarti seseorang tersebut telah sampai pada tingkat kewalian, seperti
tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang
berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian
lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersandal cepit berarti seseorang itu
adalah wali, ada pula yang berpandangan bila
seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi
pendapat-pendapat tentang kewalian.
Sedangkan
ciri dari pada
wali Allah itu bukan seperti yang dijelaskan di atas. Ciri-ciri
kewalian yaitu yang pertama, beriman artinya keimanan yang dimilikinya tidak
dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan, keimanan tersebut tidak hanya
sekadar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada takwa. Maka orang
yang tidak mengucapkannya atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid
tersebut adalah bukan termaksud dalam
wali Allah seperti menjadikan wali sebagai
perantara dalam beribadah kepada Allah atau menganggap bahwa hukum selain Islam
atau berpendapat semua agama adalah benar, atau berkenyakinan bahwa kenabian
dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat.
Kedua yaitu
takwa, yang merupakan seseorang bergantung diri kepada
Allah, dan meninggalkan semua masalah yang meragukan dan meninggalkan hal-hal
yang dilarang (haram), dan merupakan suatu kepatuhan terhadap Allah.[11] Yang
artinya seseorang melakukan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah melakukan hal-hal yang
diwajibkan agama. Di tambahkan
lagi dengan amalan-amalan sunnah. Oleh sebab itu, jika orang yang mengaku
sebagai wali, tetapi seseorang itu
meninggalkan Perintah Allah, maka seseorang termasuk pada jenis wali
setan, atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah Rasulullah dan para
sahabatnya contohkan.
Ketiga, ikhlas
dalam beribadah, tidak menciptakan tawassul
(perantara) dalam beribadah dan berdoa kepada Allah, ikhlas pula menjalankan
agama Allah. Banyak sekali motivasi yang mendorong seseorang untuk
beraktifikasi, berkarya secara maksimal, bahkan seseorang sanggup untuk menanggung rasa payah dan
juga rela berkorban. Di antara
motivasi tersebut adalah hasil yang segera bisa menikmati setelah bekerja atau
sebuah cita-cita yang terpendam dalam jiwa. Namun bisa saja harapan maupun
angan yang telah di banyangkan
tidak berhasil diraih oleh seseorang setelah itu seseorang bekerja keras dan berkarya sebagus
mungkin. Instink manusia secara umum merupakan perilaku yang biasa dilakukan
setiap orang secara naluriah. Di antara
contoh instink manusia yang paling mudah dijumpai pada setiap orang yang ada dihadapanmu
adalah rasa cinta kepada diri sendiri,
ingin mencari keselamatan, ingin mendapatkan harta, cenderung untuk
sombong, atau ingin bisa populer di
kalangan komunitasnya.[12]
Islam sangat
perhatian pada aktivitas manusia yang sangat erat hubungan dengan niat yang
tidak jarang dicampuri dengan unsur emosi maupun ambisi. Nilai sebuah amal
perbuatan menurut islam sangat tergantung pada faktor penggeraknya. Sering kita
menjumpai seseorang memberikan sumbangan dalam jumlah yang banyak. Namun
pemberian sebanyak itu disumbangkan hanya untuk menarik simpati massa, dan itu
merupakan suatu pemberian yang
tidak ikhlas.[13]
Keikhlasan terkandung dalam semua perbuatan yang terpuji seseorang dimulai dengan
penerimaan dan diakhiri dengan kesukaan Allah. Oleh karena itu, orang yang
tindakan-tindakannya diterima oleh Allah dan yang kepadanya Allah merasa senang
adalah orang yang tulus meskipun perbuatan yang dilakukannya hanya sedikit.[14]Ketika
seseorang melakukan suatu tindakan pasti hal itu digerakkan oleh berbagai
faktor, mungkin kebutuhan terhadap sesuatu seperti makanan, minuman, dan
lain-lainnya yang dianggap dapat memberikan manfaat dan kenyamanan hidupnya.[15] yakni
Islam serta sesuai dengan yang tertuang dalam al-Qur’an.
Keempat, tidak menjadikan musuh Allah dan musuh Islam, yakni orang kafir,
sebagai teman setia, penolong dan pelindung, apapun agama mereka, baik yang
berada dalam negeri Islam maupun yang diluar dan tidak pula mencintai mereka.
Dengan kata lain, tidak berkolaborasi atau berkoalisi dengan orang kafir dalam
menjalankan dan menegakkan agama Allah, khususnya jika landasan kolaborasi itu
bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam, baik secara akidah maupun syari’ah.
Kelima, memberikan loyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya dan
orang-orang beriman dan tidak memberikan loyalitas itu kepada orang kafir dan
menjadikan mereka sebagai penolong, apapun agama mereka. Allah menjelaskan dalam surat al-Maidah ayat 55-57 yang
berbunyi:
$uK¯RÎ) ãNä3Ï9ur ª!$# ¼ã&è!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# tbqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãur no4qx.¨9$# öNèdur tbqãèÏ.ºu ÇÎÎÈ `tBur ¤AuqtGt ©!$# ¼ã&s!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¨bÎ*sù z>÷Ïm «!$# ÞOèd tbqç7Î=»tóø9$# ÇÎÏÈ $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#räÏGs? tûïÏ%©!$# (#räsªB$# óOä3uZÏ #Yrâèd $Y6Ïès9ur z`ÏiB úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB óOä3Î=ö6s% u$¤ÿä3ø9$#ur uä!$uÏ9÷rr& 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# bÎ) LäêYä. tûüÏZÏB÷sB ÇÎÐÈ
Artinya:
Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti
menang. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi
buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah
kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman, yaitu: orang-orang
yang menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai
penolongnya.”
Ayat di atas dijelaskan siapa yang seharusnya
dijadikan wali bagi orang-orang beriman, penjelasan ini dikukuhkan dengan kata
sesungguhnya wali kamu tidak lain hanyalah Allah, karena hanya dia yang dapat
menolong dan membela, selain-Nya tidak akan mampu jika bukan atas izinnya.
Setelah menyebutkan wali yang pokok, ayat ini menyebutkan sesudah beliau adalah
orang-orang yang beriman yang terbukti ketulusan iman mereka, yaitu mereka yang
mendirikan shalat pada waktunya secara benar dan bersinambung dan menunaikan
zakat dengan tulus lagi sempurna seraya mereka bersujud kepada Allah.[16]
Mereka
melaksanakan tuntunan-tuntunan Allah atau menunaikan zakat dan sedekah sedang
mereka dalam keadaan butuh dan mereka itulah yang harus dijadikan aulanya oleh
orang-orang yang beriman sebagai wali Allah. Wali yang ditunjukan adalah Allah,
Rasul, dan orang-orang yang beriman, ini menunjukkan bahwa yang pokok sebagai
sumber dari segala perwalian hanya satu, yaitu Allah Swt. Selainnya tidak ada selanjutnya disebutkan
Rasul dan orang-orang beriman, tetapi bukan sebagai sumber dan pokok, karena
mereka juga pada hakikatnya menjadikan Allah Swt sebagai wali.[17]
3. Syarat menjadi waliyullah
Kata
wali mempunyai dua makna, yang pertama, berasal dari bentuk fa’iil
(subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek).
Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah Swt. sebagaimana telah difirmankan Allah Swt.
dalam surat al-Araf ayat 196 yang berbunyi:
¨bÎ) }Ïd¿Ï9ur ª!$# Ï%©!$# tA¨tR |=»tGÅ3ø9$# (
uqèdur ¯<uqtGt tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÒÏÈ
Artinya: Sesungguhnya
Pelindungku ialahlah yang Telah menurunkan al Kitab (al-Qur’an) dan dia melindungi
orang-orang yang saleh.
Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari fa’iil. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadah kepada
Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan. Kedua
arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang
sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak Allah Swt. atas dirinya sepenuhnya, di samping
perlindungan Allah Swt. padanya, disaat senang maupun susah.
Menjadi seorang muslim belum mendapat
jaminan akan Allah bela, akan diampunkan dosanya, amal ibadahnya akan diterima,
akan memberi bantuan dari-Nya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam
itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh
dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat,
berpuasa, naik haji, dan seseorang
itu tidak boleh menuduh orang itu kafir.akan tetapi seseorang yang
termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu seseorang bertaqwa.
Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan
pembelaan dari Allah di dunia dan di akhirat, barulah dosa diampunkan, barulah
amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah, pintu rezeki
akan terbuka tidak tahu dari mana datang dan sumbernya, mudahkan
kerja-kerjanya. Bila buat kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau buat banyak,
lebih banyaklah yang akan diperoleh.
Diantara
syarat-syarat menjadi wali itu yaitu:
1.
Mendapatkan
petunjuk dari Allah
Modal
utamanya merupakan kearah ketaqwaan, yaitu Allah memberikan hidayah dengan cara
mengetuk pintu hatinya. Dan seseorang
itu senang
dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk
Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun seseorang itu tidak tahu
apa itu Islam.[18]
2. Yakin
Yakin
merupakan suatu keadaan dimana hati tidak lagi terombang-ambing dan tidak pula
berubah-ubah. Manakala iman sudah sampai pada taraf yakin, maka tidak akan
pernah goyah, atau berubah-ubah. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa yakin
adalah iman, tetapi iman belum tentu yakin. Sebab iman sendiri dapat bertambah
dan berkurang sesuai dengan amal shaleh yang dikerjakannya.[19]
Apa saja ilmu yang diketahui dan difahami perlu seseorang itu yakini
terutamanya dalam persoalan aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul,
kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental. Jangan jadikan ilmu Islam itu
seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu seseorang belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu
politik dan ilmu alam.
3. Istiqamah Beramal
Beramal jangan bermusim, jangan ada
turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah, dan harus
meninggalkan maksiat. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau
berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus.
Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak, kadang-kadang berdakwah,
kadang-kadang tidak. Jadi mesti
mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah
larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal
hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus.
4. Ada Pemimpin yang Memimpin (Guru Mursyid)
Dapat memimpin baik dibidang ilmu,
akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga
hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah. Dalam Islam, pemimpin yang dapat
memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan mursyidun maknanya orang yang memimpin.
Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau
tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
Orang yang memimpin (mursyidun)
tidak sama dengan mua’lim juga tidak sama dengan ustad dan guru. Sebab mua’lim
itu hanya memberikan ilmu, mereka hanya memandang luarnya saja, tetapi mursyid
yang dapat memimpin. Allah memberikannya kepadanya ilmu-ilmu yang luar biasa,
yaitu ilmu lahir dan batin, bukan saja dia dapat memimpin akal tetapi juga hati
(roh). Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Oleh
sebab itu sebagaimana alimnya seseorang itu dia mesti mempunyai seorang
pemimpin.
5. Berdoa Kepada Allah
Usaha kita tidak memberi bekas
walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu
itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita
membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas
walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah
yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab kita mesti
selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan
taufik kepada kita.
Dengan kita berdoa dan berusaha,
hiduppun menjadi tentram, dan aman. Dan Allah senantiasa selalu bersama dengan
orang-orang yang selalu berdoa kepadanya, dan orang tersebut selalu merendahkan
dirinya dihadapan Allah. Dan selalu berada didalam jalan yang baik dan benar.
Dan mendapatkan ridha dari Allah Swt.
[1]Muhammad Zaki Ibrahim,
Tasawuf Hitam Putih Terj. Yazid
Muttaqin (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004), 35-36.
[2]Muhibbuddin Waly, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf (Sigapura:
Pustaka Nasional,2004), 428.
[3]Quraish
Shihab, Terj. Wahid Hisbullah, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2002), 168
[6]Muhammad Fauqi Hajjaj,
Tasawuf Islam dan Akhlak, Terj.
Kamran Irsyady (Jakarta: Perpastakaan Nasional, 2011), 210.
[7]William Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi : Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi
Terj. Ahmad Nidjam, (Yogyakarta: Qalam Press, 2001), 223.
[8]Jamaluddin Kafie, Tasawuf Kotemporer (Jakarta: Republika, 2003), 59.
[9]Ibnu Taimiyah, Mukzizat dan Karamah, Terj. Amiruddin
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), 32.
[11]Imam Ja’far Ash-Shadiq, 99 Wasiat Lentera Ilahi...,64-65
[12]Syekh Muhammad
al-Ghazali, Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Akhlak Seorang Muslim (Jakarta:
Perpustakaan Nasional, 2004).125
[14]Imam Ja’far
Ash-Shadiq, Terj. Rahmani Astuti, 99 Wasiat Lentera Ilahi (Bandung: Mizan Media
Utama, 1989).61
[15]Ahmad khalil, Narasi
Cinta dan Keindahan: Menggali Kearifan Nabi dan Interaksi Insani (Malang:
Malang Press, 2009), 144.