Komunikasi Edukasi dalam Pembelajaran
A.
Komunikasi
Edukasi dalam Pembelajaran
dalam konteks
komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan
berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building)
tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan
dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabba-yurabba-tarbiyatan yang
didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju
kepada kesempurnaannya[1].
Dengan mengacu
pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah bersifat indokrinasi atau propaganda,
akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa
digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan yang baik,
lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak
mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka
metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara
prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya, pada saat sudah dewasa, maka yang diterapkan
adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan
logis, memiliki kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang
diucapkan.
Di sini proses
komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan
yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari
pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan
yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai
pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang
anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya[2].
Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya
mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak
menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa
dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang
tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi
yang beradab tersebut.
Pesan pertama agama
Islam yang diajarkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril merupakan model awal komunikasi pembelajaran dalam konteks Pendidikan
Islam. Komunikasi pembelajaran pada tahap ini berlangsung secara
manual-tradisional tanpa sentuhan teknologi kreatif, terutama teknologi
komunikasi.[3] Nabi, sebagai seorang yang
dinobatkan Tuhan sebagai juru bicaraNya, dan melalui mereka Tuhan berkomunikasi
dengan manusia menggunakan bentuk morfologis, sintaksis, dan semantik
bahasa manusia, membawa tugas untuk menyampaikan risalah Tuhan berupa wahyu.
Hal ini sesuai dengan
wahyu yang pertama yang diturunkan Allah sebagaimana yang terdapat dalam surat
Al-‘alaq ayat 1-5 sebagai berikut:
اقْرَØ£ْ بِاسْÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّØ°ِÙŠ Ø®َÙ„َÙ‚َ, Ø®َÙ„َÙ‚َ الْØ¥ِنسَانَ Ù…ِÙ†ْ عَÙ„َÙ‚ٍ,
اقْرَØ£ْ ÙˆَرَبُّÙƒَ الْØ£َÙƒْرَÙ…ُ,
الَّØ°ِÙŠ عَÙ„َّÙ…َ بِالْÙ‚َÙ„َÙ…ِ,
عَÙ„َّÙ…َ الْØ¥ِنسَانَ Ù…َا Ù„َÙ…ْ ÙŠَعْÙ„َÙ…ْ) العلق: Ù¡-Ù¥(
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Qs.
Al-‘Alaq:1-5)[4]
Dengan kata lain, Nabi
berperan sebagai jembatan penghubung antara Tuhan dan manusia; menyampaikan
ajaran-ajaran Tuhan kepada umat dengan memforward bahasa yang digunakan Tuhan
kepada manusia. Artinya, Nabi memiliki kemampuan berkomunikasi dalam dua bentuk
morfologis dan sintaksis bahasa: bahasa primordialnya sebagai
seorang manusia biasa, dan juga bahasa Tuhan. Rasulullah Muhammad SAW berupaya
menyimpan informasi yang diterimanya dengan cara menghafalnya sehingga
informasi itu dapat diberikan kembali saat diminta persis sebagaimana ia
diterima. Melalui kemampuan daya hafal Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis sehingga tak satupun ayat al-Qur’an yang
mengalami distorsi sebagai bukti jaminan Allah tetap melelihara kemurnianya
dapat menjadi sinyal betapa perlunya bantuan teknologi untuk menyamai kemampuan
mereka khusus bagi umat yang tidak memiliki daya kognitif seperti mereka.
Dengan adanya bantuan
teknologi, maka proses penghafalan al-Qur’an bisa dipercepat, mudah dan
sebagainya. Dalam kajian Psikologi Kognitif, kemampuan ingatan seseorang
terbagi kepada tiga jenis yaitu kemampuan menerima, menyimpan dan memunculkan
kembali informasi. Ingatan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
keberhasilan pembelajaran[5].
Semakin baik kemampuan ingatan seseorang, maka semakin banyak informasi yang
dapat dia terima, simpan, dan munculkan kembali.
Ketika wahyu Tuhan,
terutama yang hanya berbentuk semantik, ditransliterasikan kedalam bahasa
manusia menggunakan bentuk morfologis dan sintaksis, terjadilah sesuatu yang
tak terhindarkan, yaitu reduksi atas semantik pesan-pesan Tuhan. Sebab,
menerjemahkan semantik “bahasa” Tuhan ke dalam bentuk morfologis dan sintaksis
bahasa manusia sama halnya dengan: Pertama, membatasi semantik yang
sebelumnya sebenarnya tidak terbatas; Kedua, menyederhanakan semantik
yang sebelumnya “melampaui” kesederhanaan; Ketiga, mensistematisasikan
semantik yang sebelumnya tidak terikat oleh kaidah atau struktur apapun[6].
Jadi, jika terjadi reduksi atas semantik wahyu Tuhan, maka hal itu dapat
diterima sebagai suatu hal yang wajar terjadi karena Nabi memang diutus bukan
sebagai manusia super yang mampu mengatasi paradoks-paradoks eksistensial.
Terdapatnya perbedaan
semantik pemahaman ayat-ayat Tuhan oleh kalangan yang berbeda, ketika pesan
agama yang diterima Rasulullah diteruskan (forward) kepada manusia lain,
dan terjadi pengkodean ulang beberapa kali ke dalam bentuk morfologis
dan sintaksis yang berbeda-beda merupakan wujud dari kemungkinan kondisi
yang dapat membawa terjadinya reduksi pesan Tuhan yang tak terhindarkan.
Perbedaan eksistensial ini memaksa kita menerima konsekuensi bahwa ketika
bahasa yang Transenden (wahyu) ditransformasikan kedalam bahasa yang
imanen, maka ketika itu juga ia masuk dalam sebuah “wilayah” yang memandang
diferensiasi sebagai sebuah keniscayaan[7].
Dengan kata lain, wahyu akan dipahami dalam cara yang berbeda, sesuai dengan
karakteristik “bahasa” masing-masing manusia. Pada tataran yang lebih radikal,
semantik wahyu Tuhan akan diinterpretasikan seplural “bahasa” manusia.
“Bahasa” dalam hal ini, bukan hanya dalam pengertian leksikal semata, juga
mencakup di dalamnya persolan konteks. Konteks yang kemudian mempengaruhi cara
pandang seseorang. Karena itu, konteks yang berbeda akan menghasilkan
penafsiran sistematis yang berbeda pula atas satu wahyu. Pada titik ini, bahasa
Tuhan yang sebelumnya monolitik, kemudian tampil dalam keanekaragaman bentuk
dan pemahamannya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kontradiksi
pemahaman.
Disinilah terlihat
betapa Teknologi Informasi dan Komunikasi memainkan peranan yang sangat penting
dalam membantu manusia mengolah pesan, menyimpan dan memunculkannya kembali
saat diminta guna menghindari distorsi dan reduksi semantik. Salah satu bentuk
sinyal Teknologi Informasi dan Komunikasi terawal dalam Islam adalah proses
saving data dengan cara menghafal ayat-ayat yang diturunkan secara periodik
kepada Muhammad SAW dengan metode manual. Proses ini sebenarnya merupakan
sinyal akan kebutuhan TIK yang lebih canggih di kemudian hari, sebagai
pengembangan teknik menghafal menggunakan multimedia.[8]
Dalam kaitannya dengan
wahyu yang diterima para Nabi inilah, problem bahasa muncul. Bagaimana tidak,
Tuhan dan Nabi secara eksistensial berada dalam sebuah ranah yang berbeda:
Tuhan terlingkupi oleh transendensinya, sedangkan manusia dibatasi oleh
imanensinya. Konsekuensinya, jika yang satu mencoba berkomunikasi dengan yang
lainnya untuk menyampaikan informasi, maka problem bahasa menjadi hambatan
terbesar karena perbedaan simbol dan kode yang berbeda antara dua bahasa yang
berbeda. Sehingga bahasa yang satu tidak dapat dicerna oleh yang lainnya.
Selain itu, problem ini hanya dapat diatasi, terutama dalam pandangan Sufi dan
umat Kristiani, jika entitas yang satu mencoba untuk berfusi atau meleburkan
diri dalam cara “ber-ada” entitas yang lainnya. Dengan kata lain, yang
transenden menjelma menjadi yang imanen, atau sebaliknya. Ketika al-Hallaj mengatakan
“Ana al-Haq” tidak dapat diterima kalangan Muslim saat itu karena
perbedaan antara semantik yang mereka pahami dari simbol bahasa yang digunakan
Al-Hallaj ketika proses decode dan semantik yang ingin disampaikan Al-Hallaj
dan simbol bahasa yang digunakan mereka saat proses encode semanti dari
Al-Hallaj. Oleh karena komunikasi merupakan pertukaran makna di antara beberapa
orang dengan menggunakan sistem tanda yang umum (“the exchange of meanings
between individuals through a common system of symbol”)[9],
maka paling tidak, kedua belah pihak harus saling mengerti kode yang digunakan,
karena komunikasi tidak akan wujud kalau kedua belah pihak saling tidak
memahami kode bahasa yang digunakan. Dalam kasus Al-Hallaj, perbedaan semantik
“Ana al-Haq” antara Al-Hallaj dan Maum Muslimin kemungkinan tidak
menemukan titik temu, dan differensiasi telah mencatat sejarah duka dalam
perkembangan mistik Islam.
Melalui Malaikat
Jibril, proses peleburan bahasa dapat terjadi sehingga antara Jibril dan
Rasulullah SAW terjadi komunikasi, karena Jibril menggunakan simbol-simbol dan
kode bahasa yang digunakan Rasul. Kemudian Rasulullah SAW mempresentasikan dan
mensosialisasikan ajaran-ajaran Allah melalui bahasanya yang sekaligus bahasa
yang dipahami umatnya . Ini membuktikan bahwa Allah memang tidak pernah
mengutus utusanNya kecuali yang menguasai bahasa kaum yang bersangkutan, agar
informasi yang diberikan jelas dan komunikatif . Dalam komunikasi, kedua belah
pihak harus saling mengerti kode, tiada komunikasi kalau saling tidak memahami
kode. Komunikasi yang efektif terjadi apabila kedua belah pihak mengerti tanda
dan sistem masing-masing, komunikasi akan sukar terjadi apabila kedua belah
pihak menggunakan sistem atau kode (morfologis, sintaksis dan semantik)
yang berbeda.
Ketika Jibril meminta
Muhammad SAW membaca pesan pertama Allah yang beliau bawa berbentuk teks,
Muhammad SAW selaku seorang yang tidak pernah mempelajari dan tidak memiliki
pengetahuan tentang representasi sinyal-sinyal grafis terhadap fonologis
walaupun terhadap Bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu bagi beliau, menolak
untuk membaca dan dengan jujur mengakui keterbatasan pengetahuan kognitifnya
dengan mengatakan “Ma Ana bi Qari’ . Bahkan sampai tiga kali diminta
membaca, beliau tetap saja tidak melakukannya. Penolakan Rasulullah SAW untuk
membaca ternyata membuahkan hasil terhindarnya distorsi komunikasi. Selain itu
terciptalah efektifitas komunikasi, karena keefektifan komunikasi ditentukan
oleh kemampuan seseorang mengenal tanda-tanda daripada seseorang, mengetahui
bagaimana tanda-tanda itu digunakan dan memahami maksudnya.
Meskipun al-Qur’an
diturunkan dalam Bahasa Arab, akan tetapi apabila seseorang tidak mengerti
simbol-simbol grafis yang merepresentasikan fonologisnya, maka tidak akan
terjadi komunikasi. Setelah gagal melakukan transaksi komunikasi melalui media
teks, Jibril mengubah pesan teks menjadi pesan audio yang dibacakannya langsung
kepada Muhammad SAW. Kata pertama ‘Iqra’ diterima Rasulullah SAW,
melalui ketrampilan mendengar terhadap informasi yang disampaikan oleh Jibril
dalam Bahasa Arab. Sistim informasi yang berlangsung kala itu adalah dalam
bentuk face to face antara Jibril dan Muhammad SAW.
Berbicara tentang
sinyal visual yang diterima Rasulullah SAW beberapa saat setelah beliau kembali
dari Isra’, satu perjalanan malam yang jauh yang dari dan kembali ke Masjid
al-Haram melalui Masjidil Aqsa dan Sidrat al-Muntaha, adalah berupa video
Masjid al-Aqsa. Dengan sistem informasi berupa penayangan bentuk fisik Masjid
al-Aqsa kepada Muhammad SAW, telah membantu beliau menjelaskan setiap
karakteristik masjid tersebut yang ditanyakan kaum Qurays sebagai respon atas
ketidakpercayaan mereka akan peristiwa Isra’.
Bentuk pesan lain yang
menarik ketika Isra’ adalah gambar animasi tentang peristiwa yang bakal dialami
umat manusia di akhirat kelak, sebagai gambaran balasan atau ganjaran atas
aktifitas yang dilakukannya selama di dunia. Peristiwa yang diperlihatkan dalam
bentuk gambar bergerak, seperti orang yang sedang memukul-mukul kepalanya
sendiri, merupakan gambaran balasan atau hukuman yang bakal diterima. Gambar
animasi itu adalah proyeksi futuristis tentang akibat pelanggaran hukum Allah
dan sebagai sinyal diperlukannya teknologi kreatif dalam menyampaikan informasi
agar akurat dan tidak mengalami perubahan bahkan penyimpangan.
Peta perjalanan
komunikasi religius, kalau boleh dikatakan teknologi informasi dan komunikasi
kewahyuan, berawal dari (1) Allah melalui pengkodean (encode) atau pemberian
simbol terhadap bahasa Tuhan menjadi bahasa manusia kepada Jibril sebagai
penyampai pesan. Kemudian (2) Jibril melakukan pengkodean kembali (decode)
terhadap pesan yang diterimanya sehingga dia memahami dengan benar dan tepat
isi pesan sebelum dia sampaikan ke Muhammad SAW. Ketika (3) Jibril hendak
menyampaikan pesan Tuhan kepada Muhammad SAW, dia melakukan pengkodean kembali
(encode) pesan yang akan disampaikannya. Ketika (4) Muhammad SAW menerima
wahyu, beliaupun melakukan pengkodean (decode) sehingga dia bisa
menerima isi pesan persis sebagaimana yang dikehendaki Tuhan tanpa adanya
distorsi informasi. Tidak hanya sampai disitu, ketika (5) Muhammad SAW
mensosialisasikan pesan-pesan agama kepada pengikutnya, beliau mengadakan
pengkodean kembali (encode) secara audio terhadap apa yang beliau terima
sebelumnya dari Jibril kedalam bahasa para pengikutnya yaitu Bahasa Arab. Para
(6) pengikut beliau kemudian melakukan pengkodean ulang (decode)
sehingga apa yang mereka pahami dari Rasulullah SAW, juga persis sama dengan
informasi awal yang diterima Jibril dari Allah. Hasil tangkapan mereka, (7)
dikodekan kembali (encode) dalam bentuk sinyal teks di berbagai media
tradisional yang tersedia saat itu, termasuk tulang-belulang, pelepah kurma dan
sebagainya. Kemudian (8) dikodekan (decode) belakangan oleh sahabat-sahabat
beliau yang kemudian (9) dikodekan lagi (encode) untuk dibukukan di
zaman Usman ibn Affan.
Begitulah seterusnya
proses encode dan decode berlangsung hingga pesan Tuhan sampai
kepada kita para pengikut Muhammad SAW di abad 21 melalui jalur informasi yang
sangat panjang menggunakan teknologi informatika yang beragam mulai dari yang
paling simpel manual-tradisional sampai perangkat multimedia terkini yang
paling canggih dan kompleks. Kini pesan Allah itu sudah menyebar luas ke
berbagai wilayah di seluruh penjuru dunia dan disebarkan dalam berbagai bahasa
asing, dan melalui berbagai media baik teks, audio, video oleh percetakan
Mushaf al-Qur’an secara besar-besaran di kota Madinah al-Munawwarah dan
percetakan lokal di berbagai negara.
Sistim Informasi dalam
bentuk teks, grafis, audio, visual dan animasi yang dialami Rasulullah SAW,
ketika (i) menerima wahyu pertama, (ii) saat menjalani perjalanan Isra’, dan
(iii) ketika baru saja kembali dari Isra’, akhirnya menjadi trend kehidupan
manusia abad ini dengan mendapat sentuhan teknologi kreatif[10].
Meskipun teknologi kreatif ini bukan hasil kajian yang intensif terhadap
sinyal-sinyal teknologi informatika dari kehidupan dan pengalaman Rasulullah
SAW tersebut. Bahkan penggagas, penemu, serta pemain di sektor ini mayoritas
bukan dari kalangan Muslim sendiri. Walaubagaimanapun, sistem informasi ini
mampu direkonstruksi, diaktualisasikan dan digunakan untuk kemudahan hidup
modern di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan.
Sesuai perjalanan
waktu dan perkembangan kemajuan teknologi kreatif yang semakin canggih, dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diilhamkan Allah kepada manusia,
belakangan ini, ditemukan berbagai konsep yang tertuang dalam teknik
informatika untuk membantu mempermudah manusia berkomunikasi dan mengirim
informasi dengan lebih akurat, efektif dan efisien[11].
Dari paparan di atas,
dapat dipahami bahwa ICT sudah digambarkan sejak masa-masa awal kemunculan
agama Islam dan diikuti pada proses perjalanan kehidupan Rasulullah SAW
terutama ketika menjalani proses pembelajaran konsep-konsep agama Islam saat
menerima wahyu. Beberapa sinyal teknologi kreatif tentang pelahiran ICT di
kemudian hari merupakan tonggak kekuatan agama ini yang perlu dikaji dan
dikembangkan oleh umatnya. Dengan demikian kaum Muslim hari ini tidak hanya
sebagai pengguna ICT, tapi sebagai penemu dan pencipta teknologi kreatif untuk
pemajuan Islam dan Kaum Muslim dalam tataran global. Umat Islam diharapkan
menjadi umat yang maju karena memanfaatkan ajaran Islam, dan tidak lagi sebagai
umat yang tertinggal karena meninggalkan ajaran agamanya.
[1] Al-Ishfahani, al-Mufradaat fa Gharab al-Qur'an, ditahqiq oleh
Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt.), hal.
60.
[4] Departemen Agama Islam, Al-Qur’an,..., hal. 1079.
[5]
Susanto, Astrid S., Komunikasi dalam
Teori dan Praktek, cet. V, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hal. 15.
[9]
Pawit M. Yusup, Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek, Cet. I, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal. 9.
[11] Ibid., hal. 68.