Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Komunikasi Horizontal dalam Pembelajaran


A.    Komunikasi Horizontal dalam Pembelajaran   


Al-Quran memberikan dasar pendidikan nilai itu dengan pertama kali menanamkan nilai keimanan kepada peserta didik. Penegasan Luqmanul Hakim kepada anaknya, sebagaimana disinyalir dalam al-Quran Surat Luqmân ayat 13:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ) لقمان: ١٣(
Artinya:    Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(Qs. Lukman:13)[1]

Penanaman aqidah menjadi sangat penting untuk menciptakan pribadi muslim yang teguh iman, tidak mudah digoyang oleh berbagai keyakinan, trend, dan ajaran. Tauhid yang teguh, menjadikan setiap muslim menjadi kehidupan dengan mantap. Sikap itu menumbuhkan perilaku totalitas ubudiyyah hanya kepada Allah, hidup mati hanya untuk Allah. Tumbuh sikap keikhlasan berbuat semata untuk Allah, tidak untuk mendapatkan sanjungan atau pujaan dari orang.
Al-Quran kemudian memberikan nilai ketaatan sebagai hal penting dalam menjalani kehidupan. Undang-undang dan aturan-aturan tanpa ketaatan menjadi sia-sia belaka. Struktur ketaatan itu dimulai dari ketaatan kepada Allah. Mengikuti aturan dan hukum Allah menjadi mutlak tak terbantahkan. Maka Syariah-Nya wajib dijalankan dan ditegakkan oleh setiap muslim. Selanjutnya adalah ketaatan kepada Rasulullah SAW sebagai penerima ajaran dari Allah dan yang menjelaskan makna-maknanya kepada seluruh ummat manusia. Memang, ketaatan kepada manusia menjadi penting karena setiap orang membutuhkan orang lain dan di dalam berhubungan itu ada komitmen dan aturan yang harus ditaati. Namun ketaatan kepada manusia itu hanya berlaku ketika mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Itulah makna ketaatan kepada ulil amri (pemegang otoritas kekuasaan) sebagaimana disebut dalam QS. al-Nisâ’ ayat 59 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) النساء: ٥٩(
Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Qs. An-Nisa:59)[2]

Al-Quran menanamkan nilai kejujuran. Nilai itu di­tanamkan sedemikian rupa oleh Luqmanul Hakim ke­pada anaknya dengan membuat perumpamaan bahwa jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada di dalam batu, di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah membalas perbuatan itu. (QS. Luqman: 26). Bila sebiji sawi itu adalah kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan, tapi bila itu adalah kejelekan maka akan dibalas dengan kejelekan pula. Penanaman nilai itu menjadi sangat penting agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam perilaku kehidupan karena hakekatnya tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah. Al-Quran juga menanamkan nilai pengabdian kepada Allah secara vertikal dalam bentuk komunikasi langsung berupa shalat, maupun secara horizontal dalam bentuk saling ingat mengingatkan, menegur yang bersalah, memerintah kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar (QS. Luqman: 17).
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ) لقمان: ١٧(

Artinya:   Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(Qs. Lukman:17)[3]

Jadi, semua aktifitas seorang muslim diarahkan kepada kesadaran akan pengabdian kepada Allah, hingga yang bersifat duniawi pun sesungguhnya dalam rangka pengabdian kepada-Nya. Al-Quran juga menanamkan nilai kewajaran, tidak sombong dan congkak ketika berhasil mendapatkan prestasi tertentu. Dilukiskan dalam pendidikan Luqmanul Hakim kepada anaknya sebagaimana yang disebutkan dalam surat Lukman ayat 18 sebagai berikut:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ                ) لقمان: ١٨(
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqmân: 18)[4].

Seringkali bila manusia itu sudah merasa berhasil lantas sombong, membusungkan dada, menginjak yang lemah, merendahkan orang di bawahnya. Pendidikan nilai kewajaran menciptakan seorang semakin merunduk ketika ilmunya banyak, semakin dermawan ketika bertambah harta, dan semakin mengulurkan tangan ketika kekuasaannya bertambah. Kewajaran itu dilukiskan agar sederhana ketika berjalan dan lembut ketika berbicara. Karena suara keras itu suara binatang semacam keledai.
Bila nilai-nilai al-Quran itu dapat kita amalkan, tentu pesatnya kemajuan modernitas dan kekuatan teknologi bisa diimbangi oleh teguhnya nilai-nilai yang menghunjam di dalam diri. Keseimbangan yang padu menjadi penting dalam mewujudkan masyarakat dan negara yang maju. 


[1] Departemen Agama Islam, Al-Qur’an,..., hal. 653.
[2] Departemen Agama Islam, Al-Qur’an,..., hal. 114.
[3] Departemen Agama Islam, Al-Qur’an,..., hal. 653.

[4] Ibid.,