Perjalanan Pemerintahan dalam Kerangka Demokrasi Terpimpin
A.
Perjalanan
Pemerintahan dalam Kerangka Demokrasi Terpimpin
Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet yang
baru, menggantikan Kabinet Djuanda yang mengembalikan mandat pada 6 Juli.
Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan Demokrasi Parlementer ke Demokrasi
Terpimpin. Dalam kabinet Soekarno ini, Djuanda tetap diberi posisi penting
sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak banyak berbeda dengan tugas Perdana
Menteri.[1]
Kabinet baru di bawah payung UUD 1945 ini diberi nama Kabinet Kerja. Kabinet
inilah yang bertugas melaksanakan gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi
Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan
yang memang sudah lama ia dambakan, tapi karena fondasinya tidak kokoh, sistem
itu pulalah yang akhirnya membawa ia ke jurang kehancuran politik untuk
selamanya. Dia terkubur bersama sistem yang diciptakannya, sekalipun jasanya
dalam pergerakan kemerdekaan dan penciptaan kesatuan bangsa tidak akan
dilupakan orang. Sekitar enam setengah tahun sistem ini beroperasi dalam
sejarah kontemporer Indonesia, secara politik umat Islam tidak saja berbeda
pandangan, bahkan berpecah-belah, berhadapan dengan sistem yang diciptakan
Soekarno. Pilihan untuk turut atau tidak turut dalam suatu sistem kekuasaan telah
membelah umat menjadi dua kubu yang saling berhadapan, sedangkan posisi politik
mereka secara nasional sudah tidak diperhitungkan lagi.
Sebenarnya sejak NU menarik diri dari Masyumi pada
1952 dan muncul sebagai partai politik, dalam menghadapi banyak kasus, partai
Islam baru ini lebih dekat kepada PNI atau bahkan PIG ketimbang Masyumi. Sikap
Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin, sementara NU, PSII dan Perti
turut serta di dalamnya -- semakin menempatkan partai kaum modernis itu pada
posisi politik yang terpencil, khususnya pada era sesudah jatuhnya Kabinet Ali
Roem-Idham pada Maret 1957. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil,
seperti PSI dan Partai Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politiknya
dalam DPR yang semakin melemah. Memang, bila dilihat dari cita-cita demokrasi,
pilihan mereka adalah pilihan yang tepat, tapi budaya politik Indonesia yang
sedang dikembangkan pada waktu itu adalah budaya politik otoriter dengan
Soekarno, PKI, dan pimpinan tertinggi Angkatan Darat sebagai pemain-pemain
utamanya. Dalam situasi seperti itu, cita-cita demokrasi yang hanya didukung
oleh suara minoritas dalam parlemen adalah seperti orang berteriak di tengah
padang pasir. Tidak ada telinga yang mempedulikannya. Situasi bagi Masyumi
semakin memburuk, setelah pada akhir 1957 beberapa tokoh partai ini menyertai
pergolakan daerah di Sumatera Tengah, sekalipun mungkin dengan tujuan ingin
menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang
"diujicoba" oleh beberapa panglima daerah Angkatan Darat dalam usaha
menentang pemerintah pusat di bawah pimpinan Soekarno dengan dukungan Jenderal
A.H. Nasution. Bulan madu Soekarno-Nasution sekalipun tidak dapat
dipertahankan, malah karir politik Soekarno menjadi sangat menentukan. Tanpa
sokongan Nasution plus pimpinan Angkatan Darat yang lain, tidak dapat
dibayangkan bahwa Soekarno akan melangkah begitu jauh.
Demokrasi Terpimpin dalam praktiknya adalah sistem
politik dengan baju demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semua ini terjadi?
Salah satu penjelasan dapat ditelusuri pada praktik politik demokrasi liberal,
ketika partai-partai begitu berkuasa, sehingga-kepentingan negara secara
keseluruhan sering terlantar. Barangkali sebagai negara yang baru merdeka,
Indonesia memang harus melalui proses jatuh-bangun dalam uji coba sistem
demokrasi. Dari sudut kenyataan ini, kita melihat Masyumi sebagai partai yang
kurang sabar, sehingga keputusan-keputusan penting yang diambil sering didorong
oleh idealisme demokrasinya yang begitu dalam, sementara realitas politik
sedang menempuh jalan lain. Tampaknya, idealisme politik yang tinggi inilah
akhirnya menghadapkan partai ini pada batu karang sejarah yang tak mampu ditembusnya.
Kita tidak tahu apakah Masyumi telah memperhitungkan semua ini sebelumnya. Saat
itu, NU yang muncul sebagai salah satu dari Empat Besar setelah pemilu 1955
baru "belajar" berpolitik mandiri, tapi kiprahnya dalam menghadapi
situasi politik yang sedang berubah tampak lebih lentur, meskipun sementara
orang mempertanyakan apakah kelenturan
ini disebabkan prinsip yang dianut atau karena prinsip itu sedang dicari dalam
pengalaman bernegara.
Penjelasan lain tentang mengapa harus Demokrasi
Terpimpin, dapat pula dicari pada kenyataan bahwa Bung Karno tidak mau lagi
jadi tukang stempel, dalam arti seorang presiden simbol sebagaimana ditentukan
oleh UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional pelaksanaan demokrasi
parlementer di Indonesia. Pendeknya, ia ingin langsung memimpin pemerintahan.
Tampaknya ia cukup kecewa ketika St. Sjahrir pada pertengahan November 1945
berhasil menyisihkan" Soekarno-Hatta dari pimpinan eksekutif dengan
membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih di bawah UUD 1945, yang
menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi
sebentar oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial 1948/1949,
perpolitikan Indonesia
sampai dengan Kabinet Ali-Roem-ldham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet
parlementer yang tidak pernah berumur panjang.
Keinginan Soekarno untuk berkuasa, langsung
disampaikan pertama kali pada 28 Oktober 1956. Pada waktu itu, ia mengemukakan
konsepsinya, yang antara lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional,
dan keterlibatannya secara langsung dalam memimpin pemerintahan. Oleh sebagian
orang, move politik semacam ini dipandang bertentangan dengan UUDS yang
masih berlaku saat itu. Di antara reaksi terhadap move itu diberikan
oleh M. Isa Anshary anggota DPR dan salah seorang pemimpin Masyumi sayap
radikal Isa Anshary menulis dalam majalah Daulah Islamiyyah sebagai berikut:
Konsepsi
Bung Karno adalah pelaksanaan ide beliau yang diucapkan pada 28 Oktober 1956
untuk menguburkan partai-partai dan pidato beliau di rapat Merah Putih di
Bandung, di mana beliau menyatakan keinginan untuk turut aktif dalam
pemetintahan. Jadi, Dewan Nasional bukanlah semata-mata dewan penasihat tetapi
adalah dewan yang memungkinkan presiden ikut aktif dalam pemerintahan.
Pemerintahan Soekarno itu berlainan pemerintahan Demokrasi biasa, karena
pemerintahannya adalah pemerintahan tanpa oposisi, dan tidak bertangungjawab kepada
parlemen. Ketiga-tiganya, baik ikutnya presiden dalam pemerintahan secara
aktif, maupun tidak bertanggungjawabnya kepada parlemen sebagai orang yang ikut
memerintah atau tidak ada oposisi di dalam negara, adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang tumbuh di
Indonesia.[2]
Dengan move politiknya
itu, Soekarno tampaknya tidak sabar menunggu hasil-hasil sidang Majelis
Konstituante yang pada waktu itu baru memulai pekerjaannya selama enam bulan.[3]
Juga adanya pembentukan Dewan Nasional yang dapat ditafsirkan orang sebagai
kekuatan ekstra parlementer, berarti Soekarno kurang atau bahkan tidak menghargai
DPR pilihan rakyat. Ironisnya, dengan konsepsinya Soekarno hendak mengubah
sistem ketatanegaraan Indonesia sampai ke dasarnya, sebagaimana diucapkannya di
Istana Negara 22 Februari 1957.[4]
Cara-cara berpikir dan bertindak yang tidak konstitusional ini seharusnya tidak
dilakukan oleh seorang presiden yang telah disumpah secara konstitusional.
Tapi, karena budaya otoriter pada waktu itu mulai menyeruak ke permukaan
politik Indonesia karena faktor-faktor yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
orang mulai merasa tidak begitu terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan
konstitusi. Jelas, gejala semacam ini merupakan gejala yang tidak sehat bagi
pembangunan demokrasi negara yang baru merdeka, seperti halnya Indonesia.
Kekecewaan Soekarno dengan keadaan, sebenarnya juga berpangkal pada kegagalan
mewujudkan kehendaknya: membentuk kabinet gotong royong atau kabinet berkaki empat,
di mana PKI turut serta di dalam Dewan Nasional kemudian dibentuk pada 11 juli
1957, yang langsung diketuai Soekarno. Kernudian dengan terbentuknya Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai Soekarno, berakhirlah tugas Dewan
Nasional karena sudah digantikan oleh DPAS yang dibentuk pada 22 Juli 1959 di
bawah UUD 1945. Pembentukan Dewan Nasional memang tidak jelas dasar hukumnya.
Oleh sebab itu, negawaran-negarawan seperti Hatta, Natsir, dan dan Sjahrir
telah mengecam pembentukan dewan yang tak punya dasar konstitusi ini.[5]
Tapi Soekarno mulai muncul sebagai seorang kepala negara otoriter,
sehingga dalam praktik politik dia sering berada di atas konstitusi. Dengan
demikian, kritik-kritik yang diberikan oleh tokoh-tokoh di atas tidak digubrisnya.
DPAS yang diketuai secara
formal oleh Soekarno, penanganan sehari-hari diserahkan kepada wakil ketuanya.
Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI ini memang berandil besar dalam pelaksananaan
Demokrasi Terpimpin. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar "pidato
kenegaraan presiden 17 Agustus 1959 dijadikan Manifesto Politik (Manipol) yang
kemudian berkembang menjadi Manipol-USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial) yang
kesemuanya menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin."[6]
Manipol ini kemudian dijadikan mata kuliah wajib di seluruh perguruan tinggi di
Indonesia.
Pembentukan dewan-dewan
tersebut yang pada Maret 1960 ditambah lagi dengan pembentukan DPRGR (Dewar
Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai ganti DPR pilihan rakyat yang
dibubarkan, merupakan mekanisme pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Yang menarik,
anggota-anggota yang duduk dalam dewan-dewan tersebut adalah mereka yang
disukai Soekarno, dan bertugas mengiakan move politiknya,
setidak-tidaknya secara formal. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa
orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir,
sebab mereka dinilai sebagai manusia antirevolusi. Oleh karena itu, pada
bulan-bulan pertama pelaksanaan Demokrasi Terpimpin terlihat proses
kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang terhadap demokrasi gaya
baru ini. Siapa yang mendukung dibiarkan hidup, sedangkan yang menentang harus
disingkirkan. Pihak yang ikut dalam sistem ciptaan Soekarno dapat turut serta
dalam jaringan kekuasaan, sekalipun sebagai peserta pinggiran. Sedangkan pihak
yang melawan, bukan saja disingkirkan dari lembaga-lembaga politik formal, tapi
juga partai mereka dibubarkan, dan tokoh-tokoh puncak mereka dipenjarakan
bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Kehadiran Demokrasi Terpimpin bukan hanya dilawan oleh Masyumi dan PSI,
sekalipun dua partai inilah yang paling gigih. Beberapa tokoh politik dari
partai-partai ada juga yang menentangnya, termasuk dua tokoh NU, yaitu KH M.
Dachlan dan Imron jadi. Hanya saja dua orang ini tidak berhasil menarik partai
ke garis politik mereka. Dengan demikian, perlawanan mereka terhadap Demokrasi
Terpimpin pada akhirnya menjadi tanggung
jawab pribadi, tapi mereka tetap pantas dicatat sebagai pahlawan demokrasi.
Dachlan dan Imron kemudian bergabung dengan Liga demokrasi, suatu badan
perlawanan terhadap Demokrasi Terpimpin yang dibentuk pada 24 Maret 1960. yang
menjadi tokoh-tokoh liga ini adalah figur-figur Masyumi, PSI, Partai Katolik,
Parkindo (Partai Kristen Indoneisa),
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), di samping tokoh-tokoh
NU. Awalnya, liga ini dibentuk sebagai protes terhadap pembubaran DPR pilihan
rakyat, sekalipun strategi jangka panjangnya untuk melawan sistem monolitik
Soekarno. Dalam hubungan ini menarik juga untuk dicatat, sedikit tentang IPKI
suatu partai politik yang didirikan oleh Jenderal A.H. Nasution, orang kedua
setelah Sukarno pada masa-masa permulaan Demokrasi Terpimpin. Dengan kehadiran
liga, A. H. Nasution tampaknya dihadapkan dengan dilema politik. Oleh sebab
itu, posisi yang diambilnya tidak mendukung dan tidak menentang liga, sekalipun
IPKI bergabung dengannya.[7]
Pada saat liga didirikan, Soekarno sedang di luar negeri. setelah pulang, ia
menunjukkan sikap anti terhadap liga. Sehingga, beberapa bulan kemudian, liga
dibubarkan tanpa ada yang mampu mempertahankan. Soekarno bertindak seenaknya.
Udara politik serba komando bertiup semakin kencang tanpa ada kendali
undang-undang yang dapat membendungnya, karena Soekarno berada di atas
undang-undang. Negara menjelma menjadi machststaat (negara kekuasaan),
bukan recht~ stoat (negara hukum), diakui atau tidak diakui. Tampak
perbedaan mencolok antara teori konstitusional berdasarkan UUD 1945 dengan realitas
politik yang serba keras yang ironinya mendapat dukungan sebagian partai.
Dukungan partai-partai terhadap budaya politik ini
semakin meyakinkan Soekarno bahwa sistem yang diciptakannya akan berjalan mulus, apalagi tentara dengan tokohnya A.H.
Nasution menyatakan berdiri di belakang sistem. Perjalanan partai politik yang
zigzag dari alur demokrasi ke alur otoriter dalam sejarah Indonesia
kontemporer, dapat dicatat sebagai fenomena dari fondasi demokrasi Indonesia
yang masih rapuh. Dengan kata lain, tradisi demokrasi yang mati-matian
diperjuangkan Masyumi dan PSI lebih merupakan gejala urban (kota), sebab
kedua partai ini, terutama PSI, sangat bercorak kota. Masyumi sekalipun
mempunyai pengikut di daerah pedesaan, tetapi tetap merupakan partai kota karena
mewakili aspirasi politik kaum modernis muslim. Ini berbeda dengan NU yang
mewakili Islam santri pedesaan yang merupakan tulang punggung pendukungnya.
Soekarno yang pada masa pro kemerdekaan begitu keras mengeritik Islam
tradisional, pada periode Demokrasi Terpimpin kritiknya ditujukan kepada sayap
modernis. Mengapa perubahan sikap ini terjadi, sesungguhnya tidak sulit
ditelusuri. Bagi Soekarno yang pada era itu bukan lagi sebagai seorang
demokrat, pertimbangan politik praktis jauh lebih penting ketimbang
pertimbangan rasional-intelektual. Yang ia perlukan pada waktu itu ialah
kelompok-kelompok politik yang bukan "kepala batu" seperti halnya
Masyumi Budaya politik yang ditandai oleh semangat ultra demokrasi pada masa
demokrasi liberal, harus dibabat sama sekali. Dalam hubungan ini, apa yang
dikemukakan Bung Hatta pada 1970. dalam hal ini, Berkata Bung Hatta:
Tetapi pengalaman itu tidak menjadi
pelajaran bagi pemimpin-pemimpin negara yang merundingkan pembentukan negara
kesatuan dengan Undang-undang Dasar 1950, yang berdasarkan pemerintahan Kabinet
Parlementer Pertentangan partai dalam DPR, yang hampir menimbulkan anarki
Kabinet Koalisi yang silih berganti serta Undang-Undang Pemilihan Um um yang
ultra‑demokrasi yang memperbanyak jumlah golongan dalam DPR yang dipilih
merintis jalan kepada diktatur - Soekarno dengan politik Nasakom. Dengan
dibubarkannya Konstituante dan DPR yang dipilih rakyat maka lenyaplah
pemerintahan demokrasi dari Indonesia .[8]
Sebagaimana dicatat
sebelumnya, pada penilaian Bung Hatta terhadap sistem Demokrasi Terpimpin tidak
berbeda dengan apa yang ditulisnya dalam artikel Demokrasi Kita pada
pertengahan tahun 1960. Dengan demikian, jelaslah bahwa Hatta sebagai seorang
demokrat sejati tetap konsisten dengan pendiriannya, tidak menghiraukan situasi
politik yang berubah. Bila penilaian Hatta dihadapkan pada penilaian
pemimpin-pemimpin partai yang tidak merasa ”tersinggung" oleh tindakan
pembubaran Konstituante dan DPR, maka dapat dilihat alangkah jauhnya jarak
perbedaan penilaian itu. Hatta menilainya dari kacamata seorang negarawan
demokrat, penilaian sebagian pemimpin partai lebih berangkat dari pertimbangan
politik praktis semusim, di samping juga barangkali ada ketidakberdayaan mereka
menghadapi budaya politik yang serba berang dan serba panglima. Dalam budaya
politik demikian, sayap pesantren melihat bahwa peran mereka dalam politik
adalah sebagai ”pelaku utama. Kemudian, terlibatnya dua tokoh NU dalam kancah Demokrasi
yang menentang pembubaran DPR, merupakan indikasi betapa minoritasnya sayap
pesantren yang dapat diajak mempersoalkan Soekarno yang pernah diberi gelar waliyyul-'amri
zysyauicart pada 1953. Dalam tradisi Islam klasik, sikap loyal ulama
terhadap penguasa zalim sekalipun bukan kejadian yang aneh, karena selalu saja
dicarikan pembenaran agama untuk mendukung semacam itu, sehingga doktrin agama
lebih banyak dipakai untuk tujuan-tujuan politik jangka pendek. Dalam sejarah
Indonesia kontemporer, baik kelompok umat yang memilih budaya "penyesuaian
diri" maupun yang mendukung sikap "idealisme martir", ternyata
sama-sama terpelanting dari pusat kekuasaan politik Indonesia pada periode
berikutnya yakni Demokrasi Pancasila sekalipun sejak enam tahun terakhir tampak
ada perubahan positif.[9]
Dari keterangan di atas dapat dipahami, bahwa
kehadiran Liga Demokrasi yang mencoba menentang arus adalah kehadiran sisa-sisa
kekuatan demokrasi yang sudah tidak berdaya pada masa awal Demokrasi Terpimpin,
sekalipun patut dikenang sebagai episode sejarah yang tidak boleh dilupakan.
Demokrasi yang belum berakar secara mantap dalam budaya politik Indonesia
modern, memang memerlukan waktu untuk merawat dan menumbuhkannya agar hidup
mekar dan sehat.
Namun demikian sistem
pemerintahan yang dianut oleh Soeharto yang berjalan selama 32 tahun masih
dipengaruhi oleh Demokrasi terpimpin. Hal ini terlihat dari sistem pemerintahan
yang kebijakan negera selalu diputuskan oleh presiden, sedangkan perangkat
negara lainnya seperti DPR, DPA kurang berpengaruh terhadap kepemimpinan
Soeharto. Dalam buku Soeharto Bapak Pembangunan dijelaskan bahwa Indonesia
merupakan negara demokrasi yang menganut azas Pancasila. Oleh karena itu
presiden diwajibkan menjalankan demokrasi yang amanatkan oleh dasar negara
tersebut.[10]
Akan tetapi sangat berbeda
dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh BJ Habibie. Sebagai bapak
reformasi BJ Habibie menjalankan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut
pada azas demokrasi bebas, sehingga seluruh undang-undang yang mengekang bangsa
Indonesia dalam mengeluarkan dihapus oleh BJ Habibie seperti Undang-Undang
Subversif. Bahkan pada zaman pemerintahan BJ Habibie, rakyat diberi kebebasan
untuk mengkritik dirinya sebagai presiden, sehingga menumbuhkembangkan aksi
protes di mana-mana.[11]
Sedangkan pada zaman
pemerintahan Gusdur sistem demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi bebas.
Artinya seluruh bangsa Indonesia bebas mengeluarkan pendapatnya termasuk
mengkritisi pemerintahan. Namun Gusdur memberikan syarat bahwa dalam memberikan
pendapat atau berorasi di tempat umum harus mendapat izin dari kepolisian,
sehingga kebijakan menjalankan demokrasi yang dilaksanakan Gusdur terkesan otoriter.[12]
Akan
tetapi dalam pemerintahan Megawati, perjalanan demokrasi Indonesia sudah mulai surut, karena di era
pemerintahan Megawati, setiap kritikan yang bermunculan dari rakyat sering
diabaikan begitu saja, sehingga tidak pernah dapat menyelesaikan permasalahan
yang timbul dalam masyarakat. Menurut pengamatan penulis demokrasi yang
dijalankan dalam pemerintahan Megawati juga menganut azas demokrasi terpimpin.[13]
Namun demikian, sangat berbeda
sistem pemerintahan yang dijalankan oleh SBY. SBY merupakan presiden pertama
Indonesia yang berasal dari militer, tetapi memihak kepada rakyat. Artinya
sistem pemerintahan yang dijalankan SBY menganut demokrasi pancasila yang
berarti semua rakyat dapat mengkritisi pemerintah. Bahkan hampir seluruh
kebijakan dijalankan berdasarkan hasil musyawarah dengan lembaga tinggi negara
lainnya.[14]
Berdasarkan keterangan di atas
dapat dipahami, bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan di Indonesia selama
ini sangat bergantung presidennya. Sebab pada umumnya sistem pemerintahan
Indonesia masih menganut sistem demokrasi terpimpin yang semua kebijakan
pemerintahan diatur langsung oleh presiden yang berkuasa saat itu.
[1]J. D. Legge, Soekarno; A Political Biografy , New York ,
Praeger Publishing, 1972, hlm. 311
[4]Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Jakarta : Kinta, 1974, hlm.
372
[5]Zulfikar Ghazali, Hukum dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia, 1986, hlm. 453
[7]Legge, Op. cit., hlm. 323
[8]Muhammad Hatta, Sesudah 25 Tahun, Jakarta : Djambatan, 1970, hlm. 18
[10]Yayasan Supersemar, Soeharto Bapak Pembangunan, Jakarta : Yayasan
Supersemar, 1992, hlm. 120
[11]Tim Penyusun, Bapak Refromas Indonesia, Jakarta :
Habibie Center , 1999, hlm. 45
[12]Amin Rais. dkk,, Demokrasi Ala Gusdur, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hlm. 212
[13]Arbit Sanit, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2004, hlm. 33
[14]Serambi Indonesia ,
Mengkritisi Pemerintahan SBY, Serambi Indonesia Edisi Rabu 22 Mei 2005,
hlm. 13