Profesionalisme Pendidik Dalam Mencapai Keberhasilan Pendidikan Islam
BAB I
P E N D A H U
L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
adalah investasi daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi
kelangsungan peradaban manusia di dunia. Oleh sebab itu, hampir semua Negara
menetapkan variabel pendidikan
sebagai sesuatu yang penting dan utama
dalam konteks pembangunan bangsa dan Negara. Begitu juga bagi bangsa
Indonesia menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama, karena merupakan sebuah
pandangan dan filosofi taraf Negara.
Salah satu komponen penting
dalam pendidikan adalah guru. Guru dalam konteks pendidikan mempunyai peranan
yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan bahwa faktor guru
merupakan figur utama yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan
pendidikan. Guru adalah penggerak pertama yang langsung berhadapan dengan
peserta didik dalam tatanan
mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus menanam nilai-nilai positif melalui bimbingan dan
keteladanannya, karena itu guru mempunyai misi dan tugas yang berat dalam melaksanakan
tugasnya, namun mulia dalam
mengantarkan tunas-tunas
bangsa ke puncak cita-cita. Maka dari berbagai sandang dan gelar yang
disapakan dalam bidang pendidikan sudah selayaknya guru mempunyai
berbagai kompetensi yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya.[1]
Profesionalisme
berkembang sesuai dengan kemajuan masyarakat modern. Hal ini telah menuntut
beraneka ragam spesialisasi ilmu yang sangat diperlukan dalam masyarakat,
bahkan kondisi ini telah mampu menghadirkan input yang semakin kompleks dalam
ruang pengetahuan yang ada.
Masalah profesi kependidikan sampai sekarang masih banyak diperbincangkan,
baik di kalangan pendidikan maupun di luar pendidikan. Kendatipun berbagai
pandangan tentang masalah tersebut telah banyak dikemukakan oleh para pakar
pendidikan, namun satu hal yang sudah pasti bahwa masyarakat merasakan perlunya
suatu lembaga pendidikan guru yang khusus berfungsi mempersiapkan tenaga guru yang terdidik dan
terlatih dengan baik. Implikasi dari gagasan tersebut ialah perlunya
dikembangkan program pendidikan guru yang sesuai dan memudahkan pembentukan
guru yang berkualifikasi profesional,
serta dapat dilaksanakan secara efektif
dalam kondisi sosial kultural masyarakat Indonesia.[2]
Dalam Islam, setiap pekerjaan harus dilakukan
secara profesional, dalam arti harus
dilakukan secara benar, itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli.
Rasulullah
Saw. bersabada:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيهِ
وَسَلَّمَ: اِذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ اِلَى غَيْرِ أهْلِهِ فَنْتَظِرُوا السَّاعَةَ.
(الحديث رواه البخاري)
Artinya: Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah
Saw. bersabda: “Apabila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli,
maka tunggulah kehancuran”.
(HR. Bukhari) [3]
“Kehancuran” dalam hadits ini dapat diartikan
secara terbatas dan dapat juga diartikan secara luas. Bila seorang guru
mengajar tidak dengan keahlian, maka yang "hancur" adalah muridnya.
Ini dalam pengertian yang terbatas. Murid-murid itu kelak mempunyai murid lagi,
kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar, maka akan timbullah
"kehancuran" Kehancuran apa? Ya, kehancuran orang-orang, yaitu
murid-murid itu dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka mengajarkan
pengetahuan yang dapat saja tidak benar. Ini kehancuran dalam arti luas.
Untuk menjadi pendidik yang profesional tidaklah mudah. Ia harus memiliki berbagai kompetensi
keguruan. Kompetensi dasar (basic
competency) bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot
potensi dasar kecenderungan yang dimilikinya. Potensi merupakan tempat dan
bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan untuk menjawab semua
rangsangan yang datang darinya. Potensi dasar ini adalah milik individu sebagai
hasil dari proses yang tumbuh karena adanya anugerah dan inayah dari Allah SWT.[4]
W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi dengan:
“competence ordinarily is defined as
adequacy for a task or as possessi on of require knowledge, skill, and
abilities” (suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang).[5]
Definisi ini mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri
untuk menguasai sejumlah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan khusus yang
terkait dengan profesi keguruannya,
agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memenuhi keinginan
dan harapan peserta didiknya.
Di samping itu, ia mampu mengimplementasikan
nilai-nilai yang diajarkan ke dalam diri subyek didik secara tepat dan benar
sebagai penganut Islam yang patut dicontoh dalam ajaran Islam dan bersedia
menularkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada pihak lain. Berkenaan dengan
hal ini, maka untuk mencapai keberhasilan pendidik dalam pendidikan Islam,
dapatlah dimasukkan ke dalam tiga syarat penting, yaitu: pertama, pada
pendidik melekat nilai-nilai personal-religious.
Kedua, pendidik memiliki nilai-nilai social-religious.
Ketiga, pendidik mampu bertugas secara profesional-religious.[6]
Berdasarkan kenyataan di daerah-daerah maju, di
mana para pendidik sudah memiliki 3 kemampuan dasar (kompetensi) yang cukup
bagus, maka tingkat keberhasilan pendidikannya pun akan menjadi lebih tinggi.
Dalam dunia pendidikan guru, dikenal adanya “Pendidikan Guru Berdasarkan
Kompetensi”.
Mengenai kompetensi guru ini, ada berbagai model
cara mengklasifikasikannya. Untuk program SI salah satunya dikenal adanya
“sepuluh kompetensi guru” yang merupakan profil kemampuan dasar bagi seorang
guru. Sepuluh kompetensi guru itu meliputi: menguasai bahan, mengelola program
belajar mengajar yang tepat, mengelola kelas, menggunakan media/sumber yang
sesuai, menguasai landasan kependidikan yang bagus, mengelola interaksi belajar
mengajar sistematis, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran yang
konsisten, mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan,
mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah serta memahami
prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.[7]
Rendahnya mutu pendidikan di daerah kita disebabkan karena kurang kemampuan profesionalisme
pendidik dan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan tersebut.
Untuk tercapainya keberhasilan dalam pendidikan
Islam diperlukan peran pendidik (guru) profesional yang memiliki
kriteria-kriteria dan syarat-syarat yang harus dipenuhi yang sesuai dengan ilmu
pendidikannya. Oleh sebab itu, dalam
penelitian ini penulis sangat tertarik untuk membahas secara jelas bagaimana profesionalisme pendidik dalam mencapai
keberhasilan pendidikan Islam. Hal ini penting dilakukan untuk memajukan dunia
pendidikan Islam di daerah kita.
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka penulis mengambil judul dalam penulisan
proposal skripsi ini adalah “PROFESIONALISME
PENDIDIK DALAM MENCAPAI KEBERHASILAN PENDIDIKAN ISLAM.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalah dalam penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa kriteria profesionalisme
pendidik ?
2.
Apa sajakah syarat-syarat menjadi pendidik yang profesional ?
3.
Bagaimana peran profesionalisme
pendidik dan hubungannya dengan keberhasilan pendidikan Islam?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apa kriteria profesionalisme
pendidik ?
2.
Untuk mengetahui apa sajakah syarat-syarat menjadi pendidik yang profesional ?
3.
Untuk mengetahui bagaimana peran profesionalisme pendidik dan hubungannya dengan keberhasilan
pendidikan Islam?
D.
Kegunaan Pembahasan
Adapun yang
menjadi kegunaan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah:
Secara
teoritis pembahasan ini bermanfaat bagi para pelaku pendidikan, secara umum
dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai profesionalisme pendidik dalam mencapai keberhasilan pendidikan
islam.
Selain itu hasil pembahasan ini dapat di
jadikan bahan kajian bidang study pendidikan.
Secara
praktis, hasil pembahasan ini dapat memberikan arti dan niliai tambah dalam
memperbaiki dan mengaplikasikan profesionalisme
pendidik dalam mencapai keberhasilan pendidikan
islam
ini dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, pembahasan ini di harapkan dapat
menjadi tambahan referensi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia
pendidikan Islam.
E.
Penjelasan
Istilah
Adanya kesimpangsiuran dan
kesalahpahaman dalam pemakaian istilah merupakan salah satu hal yang sering
terjadi, sehingga mengakibatkan penafsiran yang berbeda. Maka untuk menghindari
hal tersebut di atas, penulis merasa perlu mengadakan pembatasan dari
istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini.
Sebelum
melanjutkan uraian penulisan skripsi ini maka, lebih dahulu penulis menjelaskan
beberapa pengertian istilah yang terdapat dalam judul tersebut di atas. Uraian
ini disampaikan untuk menghindari timbulnya keragu-raguan dan kesalah paham
penafsiran yang dimaksud di kalangan pembaca.
Istilah-istilah yang perlu dijelaskan antara lain sebagai
berikut:
1. Profesionalisme
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu
jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan
khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.[8]
Jadi, profesi
adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang tidak dapat dipegang oleh sembarang
orang, tetapi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara
khusus. Sedangkan kata Profesional dapat diartikan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran,
atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.
Profesionalisme ialah paham yang
mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional, orang yang profesional ialah orang yang memiliki profesi. Menurut Muchtar Luthfi,
seseorang disebut profesi bila ia
memenuhi kriteria berikut ini: Pertama, profesi harus mengandung keahlian. Kedua, profesi dipilih karena panggilan hidup
dan dijalani sepenuh waktu. Ketiga, profesi
memiliki teori-teori yang baku secara universal.
Keempat, profesi adalah untuk
masyarakat bukan untuk diri sendiri. Kelima, profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diaknostik dan kompetensi
aplikatif. Keenam, pemegang profesi
memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya.
Ketujuh, profesi memiliki kode
etik, disebut kode etik profesi. Kedelapan,
profesi harus mempunyai klien yang
jelas. Kesembilan, profesi memerlukan organisasi profesi. Kesepuluh,
mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain.[9]
Menurut Glenn Langford, kriteria profesi mencakup: Upah, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
memiliki rasa tanggung jawab dan tujuan,
mengutamakan layanan, memiliki kesatuan, mendapat pengakuan dari orang
lain atas pekerjaan yang digelutinya. Masing-masing kriteria di atas
saling terkait antara satu dengan lainnya, rusak atau hilang salah satu
kriteria maka suatu pekerjaan tidak dapat dikategorikan profesional.[10]
Khusus untuk jabatan guru, sebenarnya juga sudah ada
yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya National
Education Association (NEA) menyarankan kriteria berikut: jabatan yang
melibatkan kegiatan intelektual, jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh
ilmu yang khusus, jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama, jabatan yang memerlukan latihan dalam
jabatan yang berkesinambungan, jabatan yang menjanjikan karier hidup dan
keanggotaan yang permanen, jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri,
jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi, jabatan
yang mempunyai organisasi profesional
yang kuat dan terjalin erat.[11]
Dalam studi tentang masalah profesionalisme tentang profesi,
definisi yang dikemukakan oleh Sikun Pribadi sebagai berikut: Profesi itu
pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji
terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau
pekerjaan dalam arti biasa, karena orang
tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.[12]
2.
Pendidik
Dalam konteks pendidikan Islam "pendidik"
sering disebut dengan murabbi, mu'allim, mu'addib, mudarris,
dan mursyid. Kelima istilah tersebut mempunyai tempat tersendiri menurut
peristilahan yang dipakai dalam konteks Islam. Di samping itu, istilah pendidik
kadang kala disebut melalui gelarnya, seperti istilah guru, ustadh, dan al-syakh.[13]
Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam
adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta
didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi
afektif (rasa), kognitif
(cipta),
maupun psikomotorik (karsa).[14]
Pendidik juga orang dewasa yang bertanggung jawab
memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi
tugasnya sebagai hamba Allah SWT. dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk
sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[15]
Guru sebagai pendidik mempunyai citra yang baik di
masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi
panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat
bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari. Apakah memang ada yang
patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya,
meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan pada anak didiknya,
dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan
siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat sering menjadi perhatian
masyarakat luas.[16]
Guru adalah pendidik. Guru merupakan suatu profesi, guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan
yang mensyaratkan kompetensi dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat
melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.
Profesionalisme pendidik atau guru
merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang
berkaitan dengan pekerjaan yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru
yang profesional adalah guru yang
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan
pengajaran.[17]
Oemar Hamalik menyebutkan bahwa guru professional harus memiliki persyaratan
yang meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru,
memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat,
berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, guru adalah
seorang warga Negara yang baik.[18]
Pendidik
wajib memenuhi beberapa syarat dan beberapa etika sehingga ia dapat menjadi
seorang pendidik yang baik dan guru yang bermanfaat, antara lain: hendaknya ia
mahir dalam profesinya, hendaknya ia
menjadi teladan yang baik, hendaknya ia mengamalkan perkara-perkara yang telah
ia perintahkan, hendaknya ia mengetahui bahwasannya ia bertanggung jawab di
hadapan Allah, hendaknya ia berkedudukan layaknya orang tua terhadap anak-anaknya,
suka tolong menolong, bermusyawarah, memiliki sifat tawadhu’, jujur, menepati
janji, dan sabar.[19]
3. Pendidikan Islam
Pendidikan dalam wacana ke-Islaman lebih populer
dengan istilah tarbiyah. Kata
pendidikan (tarbiyah) menurut bahasa
’arab memiliki tiga kata dasar, yaitu: Pertama: rabba, yarbu, rabaa’, kedua: rabiya,
yarba, ketiga: rabba, yarubbu.[20]
Pertama berasal dari rabba,
yarbu menurut Ibn Manzur: yang berarti zada
wa nama yang maknanya tambah dan
berkembang.[21]
Kedua berasal dari rabiya, yarba memiliki
arti nasyaa dan tara’ra’a yang berarti tumbuh dan berkembang.[22]
Ketiga berasal dari rabba, yarubbu
berarti ashlahahu wa tawalla amrah wa
sasahu wa qaama ’alaihi wa ra’aha berarti memperbaikinya, mengurusinya,
memperhatikan, dan membina.[23]
Kata tarbiyah
menurut Miqdad Yaljan, berarti: bertambah, memberi makan, memelihara, menjaga,
dan tumbuh. Juga digunakan secara majazi dengan arti mendidik tingkah laku,
meninggikan, dan mengangkat posisi.[24]
Tarbiyah dapat juga diartikan dengan
"Proses transportasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik,
agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari
kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian yang
luhur".[25]
Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun
1960 dirumuskan pendidikan Islam dengan: "proses transinternalisasi
pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran,
pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya,
guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat".[26]
Proses pendidikan tersebut di atas akan tercapai
dengan adanya peran yang baik dari guru. Semua orang yakin bahwa guru memiliki
andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat
berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan
hidupnya secara optimal.
Sebagai pengajar atau pendidik, guru merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Itulah sebabnya
setiap ada inovasi pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber
daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor
guru. Hal ini menunjukkan bahwa betapa eksisnya peran guru dalam dunia
pendidikan.[27]
F.
Metode penelitian
Adapun metodelogi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif: suatu penelitian yang menggambarkan tentang profesionalisme pendidik dalam mencapai keberhasilan pendidikan
islam. dalam hal ini Sukardi menjelaskan
bahwa: metode kuantitatif merupakan suatu metode yang melibatkan tindakan
pengumpulan data guna menentukan, apakah pengaruh tingkat satu variabel atau
lebih”.[28]
Selanjutnya Sukardi, mengatakan pula bahwa:
“Penelitian kuantitatif adalah suatu
metode penelitian yang menggunakan angka-angka dalam menjelaskan hasil
penelitian atau metode yang menunjukkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya
tentang situasi yang diambil suatu hubungan dengan kesehatan, pandangan, sikap
yang nampak atau kecenderungan yang sedang nampak, pertentangan yang sedang
meruncing dan sebagainya”.[29]
Penelitian ini akan menjelaskan profesionalisme pendidik dalam mencapai keberhasilan pendidikan
islam.
2.
Ruang Lingkup penelitian
Adapun ruang lingkup penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah : profesionalisme
pendidik dalam mencapai keberhasilan pendidikan
islam.
3.
Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Sumber data
primer adalah sumber data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data
dan penyelidik untuk tujuan penelitian.[30]. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah:
1) E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
Sumber data skunder yaitu sumber data
yang mendukung dan melengkapi sumber data primer tersebut yaitu buku:
1) Ilmu Pendidikan Islam,
karya Abdul Mujib
2) Ilmu Pendidikan Islam,
karya Ahmad Tafsir
3) Beberapa Asfek Dasar Kependidikan
karya Suryosubata B
4.
Tehnik Pengumpulan Data
Adapun tehnik
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik Library Research yaitu menelaah buku-buku, teks dan
literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan di atas.[31] Suatu metode pengumpulan data atau bahan
melalui perpustakaan yaitu dengan membaca dan menganalisa buku-buku,
majalah-majalah yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti. Selain
itu juga akan memanfaatkan fasilitas internet untuk memperoleh literatur-literatur
yang berhubungan dengan skripsi ini.
5.
Tehnik Analisa Data
Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia
membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap
analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara
dimensi-dimensi uraian.
Menurut Moleong, Lexy J
analisis data adalah yakni suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi
dengan mengidentifikasi karakter khusus secara obyektif dan sistematik yang
menghasilkan deskripsi yang obyektif, sistematik mengenai isi yang terungkap
dalam komunikasi.[32]
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan
dalam pembahasan proposal skripsi ini
adalah sebagai berikut :
Pada bab satu terdapat pendahuluan
meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pembahasan, kegunaan
pembahasan, penjelasan istilah, metode penelitian dan sistematika penulisan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Ghoffar E. M., Tafsir Ibnu Katsir,
Cet. I, Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004.
Abdul Mujib,
Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I,
Jakarta: Kencana, 2006.
Ahmad Mudjab Mahalli, Hadits-hadits
Mutafaq ’alaih, Cet. I, Jakarta: Kencana, 2004.
Ahmad Sunarto, Terjemahan Riyadhus
Shalihin, Cet. IV, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Amhad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Hamad Hasan Ruqaith, Konsep Islam dalam Mendidik Anak, Cet. I, Jakarta: Cendekia, 2004.
Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah,
Cet. I, Riyadh: Maktabah Darussalam, 1997.
Ibn Manzur Jamal al-Din Muhammad Bin Mukrim
al-Ansari, Lisan al-’Arab, Dar al-Misriyah,
juz 19, tt.
John W. Best, Metodologi Penelitian
Pendidikan, Terjemahan: Sanapiah, Faisal dan Mulyadi Guntur Waseso.
Kunandar, Guru Profesional, Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, Cet. I,
Jakarta: Gaung
Persada Press, 2006.
Miqdad Yaljan, Jawanib
al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Asasiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1987.
Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis
dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Mulyasa. E., Menjadi Guru Profesional, Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta:
Temprint, 1992.
Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Cet. XII, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
Soejipto, Profesi
Keguruan, Cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Suryosubata B., Beberapa Asfek Dasar Kependidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
Cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Tanpa Nama,
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2003, Guru dan
Uzer Usman.
Moh., Menjadi Guru Profesional, Cet. 18, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005.
Oemar Hamalik, Pendidikan Guru, Cet II,
Jakarta: Bumi
Aksara, 2003.
[3] Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah,
Cet. I, (Riyadh: Maktabah Darussalam, 1997), hal. 264
[4] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orang tua, (Solo: Pustaka Barokah,
2005), hal. 7.
[5] Roestiyah NK., Masalah-masalah
Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hal. 12.
[6] Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal.173.
[7] Sardiman, A.M., Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, Cet. XII, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), hal. 126.
[13] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 87.
[16]
Soetjipto, Profesi Keguruan …, hal.
42.
[17] Kunandar, Guru Profesional
…, hal. 46.
[18] Martinis Yamin, Sertifikasi
Profesi …, hal. 22.
[19] Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik …, hal. 16.
[20] Ibn Manzur Jamal al-Din Muhammad Bin Mukrim al-Ansari, Lisan al-’Arab, (Dar al-Misriyah, juz
19, tt), hal. 17.
[21] Ibid.
[22] Louis Ma’luf, Al-Munjid
fi-al-Lughah wa al-I’lam, (Beirut: Dar al-Mashrif, tt), hal. 247.
[23] Ibid.
[24] Miqdad Yaljan, Jawanib al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Asasiyah,
(Beirut: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1987), hal. 11.
[25] Nurcholis Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Temprint, 1992), hal. 45.
[26] Suryosubrata B., Beberapa
Asfek …, hal. 26.
[27] E. Mulyasa, Menjadi Guru
Profesional, Cet. III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 35.
[28] Sukardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, PT. Bumi Aksara. 2003),hal.
167
[29] Sukardi, Metodologi ………,hal. 160
[30] Winarmo Surachmad,. Dasar dan Teknik Research Pengantar
Metodologi Ilmiah, ( Bandung: Angkasa, 1987 ), hal. 163.
[31]Kartini, Pengantar Metodologi
Research Sosial, (Bandung:
Alumni, 1980), hal. 28.
[32] Moleong,
Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002), hal. 44.