B.
Tahap-Tahap Menuju Wali
Ma’rifat itu merupakan
tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang
penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam al-Ghazali: Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak
menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah Swt. Ma’rifat terhadap Zat Allah
adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan
sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang
menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya
Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha
Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat
dan Sifat Allah, maka selanjutnya al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa: Ma’rifat adalah mengetahui akan
rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala
yang ada lebih lanjut ditegaskannya bahwa: Ma’rifat
itu adalah memandang kepada wajah Allah Swt.
Pada tingkat hakikat ini seseorang hamba akan merasakan kebenaran
yang sejati dan mutlak, yang masih belum diperolehnya lewat syari’at ataupun
thariqat. Memang ada suatu kebenaran dalam syari’at maupun thariqat, tetapi
suatu kebenaran tersebut masih belum mencapai puncaknya. Dan kalau dikaji lebih
jauh, sebenarnya dalam syari’at itupun ada suatu upaya untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Perlu diketahui bahwa kesemua hukum-hukum atau aturan yang
tertuang dalam syari’at itu mempunyai suatu tujuan, yaitu pendekatan
kepada-Nya. Tetapi upaya dalam syari’at ini adalah baru pada tahap pertama, dimana
tahap berikutnya harus ditempuh dalam jalan tarekat, kemudian setelah kedua
tahap ini dilalui maka akan mencapai tingkat hakikat (kebenaran yang hakiki).[1]
Allah Swt. mengutus Nabi
Muhammad Saw. membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan dan kemudahan
serta syari’at yang lengkap dan menjamin manusia dalam kehidupan bersih lagi
mulia dan menyampaikan mereka kepuncak ketinggian dan kesempurnaan. Adapun
tujuan yang hendak dicapai oleh Risalah Islam ialah membersihkan dan mensucikan
jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepada-Nya dan mengokohkan
hubungan antar sesama manusia serta menegakkannya diatas dasar kasih sayang,
persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia
baik di dunia maupun di akhirat.
Dimana seseorang itu wajib hukumnya
untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal menuju kesempurnaan beragama.
Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang dilakukan bagaimana mungkin bisa
dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja tidak diketahui. Karena itu
sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu di dalam kehidupan ini.
Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya manis lezatnya ke imanan,
dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan Jiwa akan mengalir di
dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar, tawakkal serta ridho
dalam menjalani hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang melebihi daripada
kebahagiaan para arif billah/orang yang mengenal akan Allah.
Seandainya Allah Swt. membukakan akan
rahasia keagungan para arif billah, maka niscaya orang-orang akan tercengang
dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena Nur yang meliputi diri para
Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke langit ketujuh. Karena itu lah
Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya itu, sehingga tidak ada yang
mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah dan mereka-mereka yang sama-sama
telah sampai pada maqam Ma’rifatullah
tersebut.
Adapun Manusia-manusia itu untuk
sampai kepada pengenalan akan Allah (Ma’rifatullah) maka terlebih dahulu ia
haruslah mengenal dirinya yang sebenar-benarnya.
Tahapan-tahapan yang harus dilalui
adalah :
1. Menundakan
Hawa Nafsu
Pembahasan
tentang nafsu banyak dijelaskan dalam al-Qur’an dan sebagian ulama, hawa nafsu merupakan kekuatan yang
mendorong manusia untuk melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan,
kadang-kadang mendorong kearah yang baik (makruf), kadang-kadang pula mendorong
kepada yang buruk (munkar).[2]
Hawa nafsu juga merupakan sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar
dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau
fantasi seseorang. hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang
menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu obyek atau
situasi demi pemenuhan emosi tersebut.
Manusia
diciptakan Tuhan mempunyai hawa nafsu, yaitu sebagai penggerak dan pendorong
untuk bekerja
mengusahakan keperluan hidupnya atau menghindarkan bahaya yang mungkin
menimpanya. Apabila manusia memperturutkan hawa nafsunya, tentu saja dia akan
bertindak melanggarkan batas, akibatnya bukan saja akan membinasakan dirinya
sendiri, juga manusia lainnya. Oleh karena itu, nafsu itu harus dikendali,
supaya berjalan lurus dan tidak menyeleweng kepada kejahatan.[3]
Untuk dapat melaksanakan tarekat dengan baik seorang murid
hendaknya mengikuti jejak dan melaksanakan perintah dan anjuran yang diberikan
oleh mursyidnya. Ia tidak boleh mencari keringanan dalam melaksanakan amaliah
yang sudah ditetapkan dan dengan segala kekuatannya ia harus mengekang hawa
nafsunya untuk menghindari dosa dan noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus
memperbanyak wirid, zikir, dan doa, serta memanfaatkan waktu seefesien mungkin,
untuk tidak melanggar hukum agama, murid harus belajar ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan syariat.[4]
Biasanya untuk melaksanakan aktivitas tarekat secara baik,
pengikut tarekat dimasukkan kesebuah tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat
belajar) zawiat (tempat ibadah kaum sufi) atau khanqah, di tempat inilah amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa
zikir ingatin yang terus tertuju kepada Allah Swt. dengan lidah terus menyebut
nama-Nya ratib (mengucap kalimat la ilaha illah Allah tiada Tuhan selain aku)
pembacaan wirid atau syair tertentu yang diiringi dengan bunyi. Bunyian seperti
rebana dan melakukan gerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, maupun berupa
pengaturan nafas yang berisi zikir tertentu.[5]
2. Istiqomah
Istiqamah adalah menetapi jalan
agama Allah. Menurut sebagian ulama, istiqamah selalu
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, menetapi keimanan dan
keyakinan terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam. Aplikasi istiqamah dalam
kehidupan dengan cara melaksanakan semua kewajiban Islam secara
rutin dengan ikhlas, seperti shalat, puasa, zakat serta menjauhi
larangan-larangan Allah secara total. Setiap muslim
yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya,
harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan
nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya.
Jadi
muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan
akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi
gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau
mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam
menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh
sentralnya mengalami perubahan. tulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu
istiqamah dalam sepanjang jalan dan diseluruh tahapan-tahapan dakwah.
Manusia
muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai
kebenaran Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang
positif dan buahnya yang lezat sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah
istiqomah sebagai berikut; Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan
memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala
rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat
dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu juga berbeda dengan orang yang di
dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam
melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan
dakwah.
Pada tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka
ia akan disesuaikan oleh Allah Swt. dengan hukum sunatullah yang berlaku di
dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah kesabaranmu di dalam hukum Allah Swt.
itu. (Tawakkal/berserah diri kepada Allah dengan meyakini bahwa apa yang
terjadi atas dirinya, itu semua Qudrat Iradat Allah Swt. semata). Bersabarlah dan
pasrahkanlah dengan sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama
Saudara Mu’min serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain.
Sesungguhnya banyak di antara orang
Mu’min Hamba-hamba Allah itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka
yang takjub dan hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt
yang dinyatakan ditampakkan oleh Allah berupa karomah-karomah membuat ia
lupa akan Allah Swt. yang menganugrahkan kelebihan-kelebihan itu sehinggan karomah
itulah yang menjadi maksud dan tujuannya.
Lalu lupa ia kepada tujuan yang
sebenarnya yaitu Allah Swt yang menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada
jurang kefasikan, kembali dikuasai oleh Hawa Nafsunya. “Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah”.
Berhati-hatilah di dalam tahapan ini, tidak ada seorangpun yang selamat dalam
tahapan ini melainkan mereka yang benar di dalam memasrahkan segala sesuatunya
kepada Allah Swt. sehingga jadilah Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah
lah sebaik-baik penolong bagi orang-orang Mu’min.
3. Sabar
Dilihat
dari pengertian sabar banyak ditemui
berbagai macam defenisi baiksecara etimologi. Secara etimologi sabar
dapatdilihat dalam beberapa pengertian yaitu :
a.
Sabar berasal dari istilah yang
dikonotasikan dengan al-Man’u,[6]
Ash-Shabr yaitu menahan,[7]
al-Shabru (menahan diri dari keluh
kesah).[8]
Dikatakan Shabran (aku menahan diriku dari berkeluh kesah),[9] Shabara
(tidak berkeluh
kesah), Shabara Nafsahu (menahan diri dan mengekangnya).
b.
Asal usul kata sabar yaitu dari kata al-Quwwah (kekuatan). Shad (obat yang
sangat pahit), Waqa’a al-Qaumu Fi Amri
Ahabburin (bahwa kaum tersebut berada dalam
masalah pelik), Shabarratu Asy-Syita (musim
dingin itu sangat dingin), al-Habsu
(mencengah).
c.
Sabar dari kata kerja Shabartu dan Ashbiru, adapun Shabartu
dan Ashbiru (menanggung), Ash-Shabiru
(pihak penanggung dan seolah-olah menahan dirinya untuk rugi).
Secara terminologi sabar merupakan
menahan diri dari sesuatu yang tidak disenangi, menahan diri dari berkeluh
kesah, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari
mengamuk, seperti
menampar pipi, mmerobek saku baju, dalam istilah syari’at dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan sabar adalah menahan diri dari keluhan dan kemarahan,menahan
lidah dari keluh kesah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik
dalam menemukan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan
sesuatu yang disenangi serta menahan anggota badan dari berbuat kekacauan.[10]
Jadi sabar merupakan menahan diri dari
segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah Swt. yang tidak disukai itu tidak selamanya
terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian,sakit dan
kelaparan, tapi juga bisa
berupa hal-hal yang disenangi. Sabar dalam dalam hal ini berarti menahan dan
mengekang diri dari kesusahan dan menyingkapinya sesuai syari’at dan akal, seperti menjaga lisan dari celaan, dan menahan anggota badan dari berbuat dosa.
Bahwa sabar bukan saja diidentik dengan cobaan saja atau kesulitan, tapi sabar harus diterapkan dalam
setiap aspek baik dalam kesusahan maupun kesenangan, karena dengan adanya sabar
maka bisa menahan diri untuk tidak bersikap berlebihan atau menahan diri dari
pemborosan harta.
a.
Jenis-Jenis Sabar
Diantara
kondisi-kondisi yang ditekankan agar bersabar secara garis besar terbagi atas beberapa jenis-jenis
sabar yaitu:
1.
Sabar dalam Ketaatan Kepada Allah
Sabar dalam
ketaatan kepada Allah merupakan pengendalikan diri supaya tetap melaksanakan
ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. jangan sampai mengengeluh, melalaikan atau meninggalkan dan kecelakaan dirinya,
ketika seorang hamba mengetahui pahala yang terkandung dalam sebuah amal
ketaatan. Taat kepada Allah Swt. bukanlah hal yang ringan, sebab dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah Swt. terdapat
sesuatu yang berat atas jiwa dan fisik seseorang sehingga merasa kesulitan
untuk menjalankannya, oleh sebab itu sangat diperlukan kesabaran. Di sisi lain, ketaatan terkadang membutuhkan modal uang seperti zakat,
infak, dan haji maka menjalankan ketaatan-ketaatan ini menjadi beban bagi jiwa
manusia, karena tabiat dasar manusia itu pelit, sayang terhadap harta yang telah diusahakannya.[11]
2.
Sabar Terhadap maksiat
Sabar terhadap
maksiat.[12] Merupakan menahan diri dari berbuat
maksiat,
karena
perbuatan maksiat tidak lain adalah sebagai akibat dari godaan hawa nafsu yang
selalu meminta kepuasan tanpa
mempertimbangkan halal atau haramnya. Bersabar dari kemaksiatan berarti
berupaya untuk meninggalkan serta menjauhi setiap larangan Syari’at tanpa
mempertimbangkan besar atau kecilnya dosa yang diakibatkannya. Begitu pula
bersabar dari kemaksiatan berarti ikhlas untuk taat kepada perintah Allah dan
Rasul dengan melakukan perintah-perintah Allah baik yang bersifat fardhu’in maupun fardhu Kifayah. Sabar
dalam menjauhi kemaksiatan berarti sabar dalam dalam menjauhi dosa-dosa.
3.
Sabar Terhadap Musibah
Sabar terhadap
musibah merupakan menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah,
karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya dan dia tidak bisa menghindarinya,
artinya bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi
walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin dari tidak bisa sabar ketika
tertimpa musibah. Bahwa seseorang mendapat
musibah disesuaikan dengan kadar keberagamaannya, jika agamanya kuat, maka akan
ditambahkan musibahnya, jika agamanya tidak kuat, maka mendapatkan musibah sesuai dengan
keberagamaan yang ada pada pada dirinya.[13]
[1]Dowloand di
Perpustakaan Islam, rabu, 13 Mei 2015.
[2]K.H.
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama
(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992), 83.
[4]H. Kahar
Masyur, Membina Moral dan Akhlak
(Jakarta: Kalam Mulia, 1987), 360.
[5]Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), 234.
[6]Sabar ialah
menahan yaitu menahan jiwa dari cemas,menahan dir iuntuk tidak berkeluh kesah,
mencengah lisan dari mengeluh dan menghalangi anggota tubuh untuk tidak
menampar pipi merobek-merobek pakaian. Lihat: Syamsuddin Muhammad Bin Abu Bakar
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Sabar Perisai Seorang Mukmin (Bairut: Pustaka Azzam, 1999), 19.
[7]Muhammad Bin
Hasan Asy-Syarif, Manejemen Hati,
al-Ibadat Al-Qalbiyah Wa Fi
Hayati Mu’minin ,(Jakarta:Darul Ha, 1998),
32.
[8]Keluh adalah
kesulitan di dalam menerima sesuatu yang terjadi, lihat: Mahmud
Yunus, Kamus..., 258.
[10]Ali Yayah, Mengungkap Makna & Hikmah Sabar As-Shabru
Fi Dhau’Al-Kitab Wa As-Sunnah,Terj.Nasib Mustafa (Jakarta: Lentera Basritama,
2002), 49.
[11]Jalan menuju
Allah adalah jalan yang penuh dengan rintangan. Karena seseorang dalam
menjalankan ketaatan ia harus mampu melawan apa-apa yang tidak disukai jiwanya,
ia harus mampu mengalahkan kecenderungan jiwanya yang ingin
berleha-leha,malas,tidak mau ada beban,dan ingin menikmati
kesenangan-kesenangan,apalagi kalau fisiknya lemah dan capek,maka semakin
beratnya menjalankan ketaatan. Lihat : Ali Yahya, Mengungkap Makna & Hikmah
Sabar..., 102.
[12] Maksiat
merupakan sikap, tindak tanduk dan perbuatan seseorang muslim yang keluar dari
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segaja mengingkari dan meninggalkan
segala yang diperintahkan serta segaja melakukan pelanggaran ketentuan yang
telah digariskan dalam Syari’at (Al-Quran dan Sunnah), baik itu dilakukan oleh
hati, lisan maupun perbuatan badan/fisik jasmani.Hakekat dari maksiat
sebenarnya adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan sebagai kewajiban
sebagai seorang muslim atau juga melanggar segala bentuk larangan yang
diharamkan. Sedangkan akibat dari maksiat tersebut seseorang yang melakukannya
mendapatkannya imbalan dosa, dimana dosa itu sendiri akan berujung kepada
diperolehnya balasan berupan hukuman, demikian inti makna dari maksiat adalah
yang diharamkan sehingga berdosa apabila dilakukan.
[13]Musibah
adalah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa). Setiap manusia tidak
akan terlepas dari segala ujian yang menimpa dirinya, baik musibah yang
berhubunga dengan pribadinya sediri, maupun musibah dan bencana yang menimpa
ada sekelompok manusia maupun bangsa. Terhadap segala macam musibah maupun
bencana yang berupa banjir, angin topan, kecelakaan serta gempa bumi yang
membawa korban manusia maupun harta benda, itu semua sebagai ujian, yang harus
dihadapi dengan ketabahan dan sabar.Lihat: Depdikbud, Kamus...,766.
0 Comments
Post a Comment