Tanda –tanda Kewalian
B.
Tanda –tanda Kewalian
Hakikatnya,
kewalian seseorang itu hanya diketahui oleh Allah Swt dan para walinya yang
dikehendaki oleh Allah Swt untuk mengetahui . namun demikian ada beberapa
tanda-tanda lahir yang dapat dijadikan pedoman untuk menilai kedekatan
seseorang kepada Allah Swt, sehingga mengantarkannya kepada pangkat waliyullah.
Tanda-tanda kewalian adalah berimana kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, dan
menjahui larangan-larangan-Nya dan menjahui semua hal yang tidak disukai oleh
Allah. Barang siapa yang beriman dan bertakwa kepada Allah, maka dia adalah waliyullah.
Sedangkan orang yang berbuat syirik, maka dia bukan waliyullah.
Tanda-tanda
kewalian dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
Iwr& cÎ) uä!$uÏ9÷rr& «!$# w êöqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ
úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qçR%2ur cqà)Gt ÇÏÌÈ
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula mereka bersedih
hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Qs. Yunus:62-63)
Ayat ini menjelaskan
tentang tidak ada kekhawatiran atau rasa ketakutan atas mereka dan seterusnya
bukan berarti bahwa rasa takut mereka hilang sama sekali. Karena ini adalah
merupakan naluri manusia sehingga mustahil terjadi walau pada diri para nabi sekalipun.
Jika demikian, bias jadi sesekali mereka takut, tetapi ketakutan itu tidak
mengatasi kemampuan mereka untuk bertahan dan tidak juga meliputi seluruh jiwa
raga mereka. Demikian juga dengan kesedihan. Sebagai manusia, mereka tentu saja
tidak dapat luput dari kesedihan, tetapi kesedihan itu tidak akan berlanjut[1] Kesedihan muncul karena luput
atau hilangnya sesuatu yang menyenangkan atau datangnya sesuatu yang dinilai
buruk. Mereka yang menyadari bahwa segala sesuatu milik Allah, bahkan dirinya
sendiri adalah milik-Nya. Dengan demikian tiada rasa takut dan sedih itu
merupakan salah satu sifat utama wali-wali Allah Swt. Sejak dalam kehidupan
dunia ini, bukan hanya nanti di akhirat sebagaimana dipahami oleh sementara
ulama.
Perlu dicatat bahwa
ketiadaan rasa takut dan sedih itu tidak menjadikan para wali Allah itu
mempersamakan antara bencana dan manfaat, atau kebaikan dan keburukan, tetapi
mereka menyadari bahwa setiap bencana adalah ujian yang mengantar mereka lebih
dekat kepada Allah Swt. Para awliya sebagai manusia bias saja mengalami rasa
takut, namun perasaan ini tidak berlangsung lama karena setelah itu Allah Swt.
menurunkan sakinah atas mereka sehingga ketenangan segera tiba.[2]
1.
Beriman
Adapun cara mensyukuri nikmat iman
adalah senantiasa menghiasinya dengan pendekatan diri kepada Allah dan beramal
shalih seperti shalat, zikir,berdoa, sabar,bersedekah,baik kepada sesame dan
lain sebagainya. Artinya, satu titik kebajikan pun akan memberikan nilai tambah
kepada iman seseorang, sebaliknya bila seseorang melakukan kemaksiatan setitik
pun berarti telah menodai iman seseorang itu. Seseorang perlu dan harus
menanamkan dalam dirinya sikap merasa diawasi oleh Allah,yang dalam istilah
tasawuf disebut dengan muraqabah.[3] Seorang mukmin yang hakiki dalam beramal senantiasa didasarkan pada
iman dan ilmu.artinya, seseorang itu senantiasa berjalan dalam kenyakinan yang
mantap dan menjauhkan diri dari sikap ragu-ragu.
Problem ragu-ragu merupakan sifat
alamiah manusia yang memiliki hati (qalb)
yang memiliki makna asal sebagai sesuatu yang berbolak-balik, terlebih anusia
diberikan akal berfikir yang senantiasa memberikan beberapa pertimbangan dan
alternatif. Dua potensi itu semakin mendukung adanya sikap ragu-ragu dalam
menetapkan atau menyakini sesuatu. Karena itu, hanya orang yang beriman dan
berilmu sajalah yang dapat menetapkan sesuatu dengan kenyakinan.
Oleh karenanya, iman itu harus berdiri
di atas kenyakinan yang kuat dan tidak lagi dimasuki oleh keraguan. Iman
menjadi keadaan yang menenteramkan hati, tidak
ada keraguan dalam segala tindakan,sebab, iman merupakn cahaya yang
dijadikan Allah Swt. Dalam hati hamba-hamba-Nya,sehingga dengan kenyakinan itu dapat jelas baginya
segala hal yang ghaib.
2.
Tawakal
Tawakal yaitu penyerahan diri atas segala persoalan kepada Allah dan
bersandar kepada-Nya. Imam al-Ghazali mengatakan, “hakikat tawakkal ialah
merupakan keadaan jiwa yang lahir dari tauhid dan lahir pengaruh tauhid ini
dalam perbuatannya”. Tawakal adalah
bagian dari buah tauhid yang tulus dan kukuh yang mantap di hati. Ketenangan
jiwa dan ketentraman di hati yang dirasakan orang yang bertawakal kepada
rabb-Nya. Dia merasakan ketenangan ini memenuhi seluruh relung jiwanya, sehingga
tidak merasakan kecuali rasa aman selagi orang lain merasa takut, merasa
tentram selagi orang lain merasa goncang, merasa yakin selagi orang lain merasa
ragu-ragu, merasa mantap selagi orang lain resah, optimistis selagi orang lain
pesimis.[4]
Ibnu Ujaibah
mengatakan, Tawakal adalah
kepercayaan hati terhadap Allah, sampai dia tidak bergantung kepada sesuatu
selain-Nya. Dengan kata lain, tawakal adalah bergantung dan bertumpu kepada
Allah dalam segala sesuatu. Selain itu, tawakal juga menuntut subyek untuk
melebihkan semua yang ada dalam kekuasaan Allah lebih dipercaya daripada yang
di tangan subyek.
Kata lain dari tawakal adalah mencukupkan diri dengan pengetahuan
Allah tentang dirimu, dari ketergantungan hatimu kepada selain Dia, dan engkau
mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah. Jadi, tawakal kepada Allah adalah menyerahkan
segala sesuatu kepada-Nya, bergantung dalam semua keadaan kepada-Nya, dan yakin
bahwa segala kekuatan dan kekuasaan hanyalah milik-Nya. Tawakal merupakan sikap
hati, sebagaimana tampak dalam definisi di atas. Oleh karena itu, tidak ada
pertentangan antara tawakal kepada Allah dan antara bekerja serta berusaha.[5]
Tawakal juga merupakan
salah satu hasil dari iman dan buah dari makrifat. Sejauh mana seorang hamba
mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, maka sejauh itu pulalah tawakalnya
kepada-Nya. Sesungguhnya yang bertawakal kepada Allah hanyalah orang yang tidak
melihat adanya pelaku selain dia. Orang yang bertawakal kepada Allah adalah
orang yang bangga dengan-Nya, dan tidak meminta sesuatu kepada selain hamba,
padahal dia menemukan semua apa yang diinginkannya pada Tuhannya.
Inti tawakal ialah kesadaran hati bahwa
segala sesuatu berada di tangan Allah Swt. Yang bermanfaat atau pun yang
bermudharat, yang meyenangkan atau pun meyusahkan. Jika seandainya seluruh
makhluk bersatu untuk memberi manfaat kepada seseorang, niscaya mereka tidak
akan memberinya manfaat apapun, kecuali yang telah di tetapkan Allah baginya atau
mereka semuanya bersatu padu untuk menimpakan suatu mudharat atasnya, niscaya
mereka tidak akan mampu melipahkan sesuatu kecuali yang telah di tetapkan Allah
Swt.
Allah Swt. telah menetapkan kekuasaannya
atas segala penjuru di timur dan barat, kemudian dengan keesaan dan ke-Ilahian-Nya,
dia memerintahkan kita melakukannya. Apabila Allah Swt. berulang kali
memerintahkan hambanya, firman yang
artinya “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.[6] Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
[1] Quraish Shihab, Terj.
Wahid hisbullah, Tafsir Al-Mishbah…,
114.
[3]Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 101-102.
[4]Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual.., 116.
[5]Isa Abdul
Qadir, Terj. Khairul Amru Harahap, Hakekat
Tasawuf (Jakarta:
Qisthi Press, 2010), 261-262.