Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hak dan Kewajiban Suami-isteri dan Anak dalam Pendidikan keluarga


A.    Hak dan Kewajiban Suami-isteri dan Anak dalam Pendidikan keluarga       
Hak dan Kewajiban Suami-isteri dan Anak dalam Pendidikan keluarga

Dalam Islam, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan yang luhur dan suci. “Perkawinan bukan hanya perbuatan akad biasa sebagaimana dikenal dalam perkawinan perdata”[1] lebih dari itu “perkawinan merupakan perbuatan yang memiliki nilai keakhiratan (falah oriented). Sedangkan hukum melakukannya bergantung pada kondisi subyek hukumnya”[2]. Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. “Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih besar pula, sesuai dengan fungsi dan perannya.”.[3]
Selanjutnya mengenai hak dan kewajiban suami isteri, Alquran telah secara rinci memberikan ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan tersebut diklasifikasi menjadi: Pertama, ketentuan mengenai hak dan kewajiban bersama antara suami isteri. Kedua, ketentuan mengenai kewajiban suami yang menjadi hak isteri. Ketiga, ketentuan mengenai kewajiban isteri yang menjadi hak suami.
“Secara teoretik, untuk menetapkan suatu hukum dalam Islam harus merujuk kepada Alquran dan sunnah Nabi sebagai sumber primer”[4]. Alquran digunakan sebagai petunjuk hukum dalam suatu masalah kalau terdapat ketentuan praktis di dalamnya. Namun apabila tidak ditemukan, maka selanjutnya merujuk kepada sunnah Nabi. Sementara itu terkait dengan ketentuan praktis mengenai hak dan kewajiban antara suami dan steri, banyak ditemukan dalilnya dalam Alquran. Dalil-dalil tersebut meliputi hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri, kewajiban suami terhadap isteri, kewajiban isteri terhadap suami.
Alquran tidak menentukan secara khusus tentang hak dan kewajiban bersama suami isteri sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ) البقرة: ٢٢٨(
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. Al-Baqarah: 228).

Ayat Alquran tersebut di atas, diperoleh ketentuan hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut: “Pertama, bergaul dengan baik sesama pasangan. Kedua, ada jaminan hak sesuai dengan kewajiban. Ketiga, halal bergaul antara suami isteri, dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain”[5].
Sedangkan katentuan yang berhubungan dengan kewajiban suami terhadap isteri dalam keluarga dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 24 sebagai berikut:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً) النساء: ٢٤(
Artinya:  Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Qs. An-Nisa:24).

Ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban suami membayar kepada isterinya. Suami tidak boleh meminta mahar (pada hari-hari berikutnya) dengan jalan paksa, namun apabila isterinya memberikan dengan sukarela, maka suami dibenarkan untuk mengambilnya. Mahar untuk selanjutnya menjadi hak penuh isteri apabila telah dicampuri.
Dalam Ensiklopedi Wanita Muslimah disebutkan bahwa akhlak isteri terhadap suami yaitu meliputi:
Pertama, wajib mentaati suami, selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah. Kedua, menjaga kehormatan dan harta suami. Ketiga, menjaga kemuliaan dan perasaan suami, yaitu berpenampilan di rumah dengan penampilan yang memikat suami, berbicara dengan tutur kata yang ramah dan selalu membuat perasaan suami senang dan bahagia. Keempat, melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak. Kelima, tidak boleh menerima tamu yang tidak disenangi suaminya. Keenam, tidak boleh melawan suaminya. Ketujuh, tidak boleh membanggakan sesuatu tentang diri dan keluarganya di hadapan suami, baik kekayaan, keturunan maupun kecantikannya. Kedelapan, tidak boleh menilai dan menganggap bodoh suaminya. Kesembilan, tidak boleh menuduh kesalahan atau mendakwa suaminya, tanpa bukti dan saksi-saksi. Kesepuluh, apabila melepas suami pergi bekerja, lepaslah dengan sikap kasih dan apabila menerima suami pulang kerja, sambutlah kedatangannya dengan muka manis, pakaian bersih dan berhias. Kesebelas, harus pandai mengatur urusan rumah tangga.[6]

Tujuan tersebut tidak akan terwujud manakala tidak ada pembagian tugas-tugas dalam kehidupan rumah tangga. Seperti misalnya semua tugas-tugas yang berkaitan dengan rumah tangga dikerjakan oleh suami atau isteri saja, sementara kemampuan isteri atau suami sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan adanya pembagian tugas-tugas yang berbentuk hak dan kewajiban (sebagai langkah preventif), dan masing-masing pihak bertindak atas haknya.



               [1] Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ed. Revisi, Cet. XXXIV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 8.

               [2] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hal. 241.

               [3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet. I, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 115-116.
               [4] Munawar Khalil, Biography Empat Serangkai Imam Mazhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly), Cet. III (Jakarta: Bulan Bindang, 1977), hal. 295-296.
               [5] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi...., hal. 53.
               [6] Ummu Hanin, Ensiklopedi Wanita Muslimah, alih bahasa oleh Amir Hamzah Fahrudin, Cet. XII, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 126-127.