Kondisi Intelektual Haidar Putra Daulay
1. Kondisi Intelektual
Pengertian sederhana tentang
“intelektual adalah anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada
pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran
kreatif”[1].
Kaum intelektual menjadi orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan
apa adanya. Mereka senantiasa mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu
saat dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan luas.
Beberapa
karakteristik dasar yang membedakan kaum intelektual dengan anggota masyarakat lainnya.
“Karakteristik itu terutama terletak pada penggunaan intelek, akal pikiran
bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tetapi lebih berorientasi pada
pengembangan ide-ide”[2].
Kaum intelektual mampu berfikir bebas dalam artian mencakup pengamatan yang
cermat terhadap gejala-gejala disuatu lingkungan, pemahaman tentang sebab-sebab
gejala itu dan korelasinya dengan gejala lain.
Insan
intelektual dengan beberapa kualifikasi bukanlah monopoli produk sekolah atau
lebih khusus lagi perguruan tinggi. Umat Islam Indonesia memajukan
ajaran-ajaran Islam di Indonesia, umat Islam Indonesia mengalami
keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
“perbenturan umat Islam Indonesia dengan pendidikan dan kemajuan Barat
memunculkan kaum intelektual baru yang sering juga sering disebut cendikiawan
sekuler. Kaum intelektual sebagian besar adalah hasil pendidikan Barat yang
terlatih berpikir secara Barat”[3].
Karena dalam proses pendidikan mereka mengalami cuci otak dari hal-hal yang
berbau Islam. Akibatnya, mereka terasing dan teralienasi dari ajaran-ajaran
Islam dan masyarakat muslim sendiri.
Karena
itulah kemudian muncul gagasan dikalangan umat Islam Indonesia untuk
menciptakan ulama intelektual dan intelektual ulama. Atau dengan kata lain, agar
ulama intelektual atau intelektual ulama dapat dijumpai pada diri seseorang.
“Pengetahuan dan penghayatan Islam dikalangan masyarakat Islam pada umumnya
belum pula menggembirakan konflik dan pertentangan sangat mudah terjadi hanya
karena masalah-masalah khilafiah yang kecil”[4]. Dalam buku
karangan–karangan Haidar Putra Daulay lebih banyak menekankan pada Pendidikan
Islam di Indonseia.
Dalam pandangan
Haidar Putra
Daulay Pendidikan Islam telah dimulai di Indonesia sejak masuknya Islam ke
wilayah ini. Pendidikan Islam mulanya berlangsung di daerah-daerah pesisir
pantai. Mereka berdagang sambil mengajarkan agama Islam setelah masyarakat
Muslim terbentuk kemudian di bangun masjid sebagai tempat ibadah dan
mengajarkan pendidikan Islam melalui ceramah, membaca Al-Qur'an dan
lain-lainnya. selanjutnya muncullah lembaga pendidikan yang khusus untuk proses
pembelajaran yang disebut pesantren.
Menurut Haidar
Putra Daulay, “lembaga pendidikan Islam terdiri dari 3 bentuk, Pertama,
lembaga pendidikan informal yaitu yang berlangsung di rumah tangga. Kedua,
lembaga pendidikan non formal yang berlangsung di masyarakat. Ketiga,
lembaga pendidikan formal yang berlangsung di sekolah. Khusus lembaga
pendidikan formal ada empat jenis bentuknya, yakni pesantren, sekolah, madrasah,
dan perguruan tinggi”[5].