A. Materi
Pendidikan Tauhid Bagi Anak
Menurut ulama salafiyah, pembahasan materi ketauhidan
terbagi menjadi dua bagian yakni tentang tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah.[1]
Dari kedua ketauhidan tersebut melahirkan ketauhidan ketiga yakni tauhid
Ubudiyah.[2] Abdullah
Nashih Ulwan menjelaskan bahwa:
Anak harus diajarkan ketauhidan sejak dini, sejak anak
mulai dapat memahami lingkungannya. Ketauhidan yang dimaksud ialah meliputi
dasar-dasar ketauhidan merupakan segala sesuatu yang ditetapkan dengan jalan
berita (khabar) yang diperoleh secara benar, berupa hakekat ketauhidan,
masalah-masalah gaib, beriman kepada Malaikat, Kitab-kitab Samawi, Nabi
dan Rasul Allah, siksa kubur, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib.[3]
Al Ghazali menjelaskan bahwa pembinaan ketauhidan
diperlukan 4 hal pokok yakni: Pertama, Makrifat kepada dzat-Nya. Kedua,
Makrifat kepada sifat-sifat-Nya. Ketiga, Makrifat
kepada af’al-Nya. Keempat, Makrifat
kepada syari’at-Nya.[4] Jika
kita menggunakan pengertian yang sama antara ketauhidan, akidah, dengan
keimanan, maka materi ketauhidan sama dengan materi keimanan. Konsep yang
penyusun gunakan ialah konsep Yunahar Ilyas yang membagi materi ketauhidan
menjadi empat, selain beliau juga membagi ruang lingkup ketauhidan kepada rukun
iman, yang memiliki 6 unsur.[5] Adapun materi pendidikan tauhid dalam keluarga
terbagi menjadi empat yakni: Pertama, Ilahiyat. Kedua, Nubuwat.
Ketiga, Ruhaniyat. Keempat,
Sam’iyyat.
Berikut ini adalah penjelasan keempat materi di atas :
1.
Ilahiyat
Pembahasan materi ini dibagi menjadi tiga hal yakni :
a).
Tauhid zat
Tauhid zat berarti bahwa zat Allah Swt. ialah
satu, tidak ada sekutu dalam wujud-Nya, tidak ada kemajemukan, serta tidak ada
tuhan lain di luar Diri-Nya.[6] Bersifat sederhana, tidak terdiri dari bagian-bagian ataupun organ-organ, intinya Allah adalah
satu dan tidak ada sekutu baginya, demikianlah pandangan para teolog dan
filosof tentang tauhid zat Allah Swt.[7]
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam
surat Ali Imran ayat 190 sebagai berikut:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ
لِّأُوْلِي الألْبَابِ) آل عمران: ١٩٠(
Artinya: Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(Qs. Ali-Imran:190).
Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif adalah
sebuah kekeliruan, bahkan sebuah kemustahilan dan ketidakmungkinan. Karena
kesamaran itulah, syaitan menerobos masuk ke dalam hati manusia sehingga mereka
ragu tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya menyamakan Allah (al-Khaliq)
dengan makhluk, tanpa ada keraguan. Makhluk pasti ada yang menciptakannya. Akan
tetapi pertanyaan tidak berhenti sampai di situ, bahkan dilanjutkan dengan
pertanyaan tentang siapa yang menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam
penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk. Muhammad Taqi Mishbah Yadzi
menjelaskan bahwa:
Tauhid zat merupakan tauhid tahap terakhir yang hanya
mampu dicapai oleh orang-orang yang arif.[8] Dijelaskannya
bahwa pada tahap ini mereka mempercayai bahwa yang hakiki terbatas pada Allah
Swt. Saja. Alam adalah
manifestasi dan cerminan dari Wujud-Nya. Mereka mengatakan bahwa Allah Swt.
Adalah Zat yang bersifat nonmateri (immaterial).[9]
Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa:
Kebenaran mutlak (absolut) tentang Zat Allah tidak
memerlukan bukti, namun yang harus dipercaya adanya Zat-Nya itu mempunyai
bekas-bekas, akibat-akibat, gejala-gejala yang dapat memperkuat bukti kebenaran
adanya Zat-Nya itu. Sehingga adanya Tuhan adanya
kebenaran mutlak yag tidak perlu dibuktikan adanya Zat Tuhan.[10]
Akal manusia tidak akan mampu menjangkau Zat Allah disebabkan oleh keterbatasannya. Oleh sebab
itu kita tidak boleh memikirkan Zat Allah , tetapi marilah memikirkan makhluk-makhluk
ciptaan-Nya.[11]
b). Tauhid asma
Tauhid asma adalah “mentauhidkan Allah dengan Nama-nama
Allah Swt.”.[12]
Nama-nama Allah yang sesuai dengan
keagungan keluhuran-Nya Ia gunakan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada
makhluk, selain 99 nama Allah, juga terdapat nama-nama lain yang tersebut dalam
hadis Rasul Saw. Seperti al-Hannan (yang Maha Pengasih), al-Mannan
(Yang memberi nikmat), al-Kafiil (Yang Maha Pelindung/Penjamin), Dzu
ath-Thaul (Yang Memiliki Keutamaan), Dzu al-Ma’arij (Yang memiliki
Jalan-jalan Naik), Dzu al-Fadhl (Yang Memiliki Karunia), al-Khallaq
(Yang Maha Pencipta). Nama-nama Allah haruslah merujuk kepada Syara’. Dari
seluruh nama-nama itu yang merupakan lambang
ketuhanan ialah “Allah”. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam
surat Al-A’raf ayat 180 sebagai berikut:
وَلِلّهِ
الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي
أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ )الأعراف: ١٨٠(
Artinya: Hanya milik Allah asmaa-ul husna ,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.(Qs. Al-A’raf: 180).
Berdasarkan ayat di atas, bahwa tidak diragukan, bahwa
sesuatu yang paling agung, paling mulia dan paling besar untuk diketahui adalah
tentang Allah. Dzat yang tidak ada sesuatupun berhak diibadahi kecuali Dia,
Rabb alam semesta, Pemelihara langit, Maha Raja yang Haq, yang disifati
dengan semua sifat sempurna. Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan dan
cela, maha Suci dari keserupaan serta kesamaan dalam kesempurnaanNya. Maka
tidak diragukan bahwa mengilmui nama-nama dan sifat-sifat serta
perbuatan-perbuatanNya merupakan pengetahuan paling agung dan paling utama.
c).
Tauhid sifat
Tauhid sifat-sifat Allah berarti kita menisbatkan sifat-sifat
kepada Allah Swt. Yaitu sifat dari Zat-Nya
sendiri.[13]
Sifat-sifat itu bukan sesuatu yang ditambahkan atau hal-hal yang lain dari
Diri-Nya. Mereka mengungkapkan bahwa “Sifat-Sifat
Tuhan tak lain adalah Zat Allah Swt. itu sendiri, mereka menyebutnya sebagai
“Tauhid dalam sifat”. Karena Allah tidak memiliki sifat-sifat diluar Diri-Nya”.[14]
Tauhid sifat merupakan tahap kedua dari pada tauhid. Pada tahap
ini manusia memandang setiap sifat kesempurnaan pada asalnya adalah milik Allah
Swt., sedangkan sifat kesempurnaan yang ada pada manusia serta makhluk hanyalah
bayangan atau cerminan atau manifestasi dari Sifat-Sifat Tuhan. Bahwa Sifat-Sifat
Allah Swt. bukanlah tambahan pada Zat-Nya.[15]
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-An’am
ayat 65 sebagai berikut:
قُلْ
هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن
تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُم بَأْسَ بَعْضٍ
انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ) الأنعام: ٦٥(
Artinya: Katakanlah: Dialah yang berkuasa
untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia
mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan
merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah,
betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka
memahami(nya). ( Qs. Al-An’am: 65).
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi sangat cenderung kepada
tauhid yang dimiliki oleh orang-orang ahli ma’rifat, yang mampu mencapai taraf
melihat, merasakan, mendengar yang tidak
bisa dilakukan oleh orang-orang awam, mereka malakukan riyadah ibadah untuk
membersihkan hati serta jiwa mereka dan benar-benar mendekatkan diri mencari
ridha Allah Swt.[16]
Yunahar, menjelaskan bahwa ada dua metode dalam tauhid
Nama dan Sifat-Sifat Allah Swt. sebagai berikut: “Pertama, Itsbat,
yakni mempercayai bahwa Nama dan Sifat yang dimiliki Allah merupakan
menunjukkan ke-Maha Sempurnaan Allah Swt. Kedua, adalah Nafyu
yakni menafikan atau menolak nama serta sifat yang menunjukkan ketidak
sempurnaan Allah Swt”.[17]
Selanjutnya beliau menyebutkan ada beberapa hal yang harus
diperhatikan berkaitan dengan Nama-Nama dan Sifat Allah Swt. antara lain:
Pertama, Nama-Nama Allah
hanyalah yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu tidak
boleh memberi nama kepada Allah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan
Sunnah. Kedua, Allah tidak
bisa disamakan, atau mirip Zat-Nya, sifat-sifat serta perbuatan-Nya dengan
makhluk. Ketiga, Percaya Nama dan Sifat Allah Swt. haruslah
apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakannya. Keempat, Selain nama
dan sifat-sifat Allah ada istilah “ismul-lah al-a’zham” yakni nama-nama
Allah Swt. yang dirangkai di dalam do’a.[18]
Sifat wajib dan mustahil bagi Allah Swt ada dua puluh sifat yakni:
1. Al Wujud (ﻭﺟﻮﺩ) artinya
ada, sedangkan yang mustahil bagi Allah adalah al ‘Adam yang artinya tdak ada.
2. Al Qidam
(ﻗﺪﻡ)
artinya yang tidak ada awal bagi wujud-Nya, lawannya adalah al-Huduts artinya
yang ada awalnya.
3. Al Baqa (ﺑﻘﺎﺀ)
artinya kekal atau tidak ada akhir akan wujud-Nya, sedangkan mustahuil Allah
bersifat al Fana artinya tidak kekal.
4. Mukhalafatuhu lilhawadis (ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ) artinya tidak akan
pernah sama dengan makhluk maksudnya Allah berbeda dengan segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini. Sedangkan Allah mustahil bersifat menyerupai atau sama
dengan makhluk.
5. Qiyamuhu binafsih (ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ) artinya berdiri sendiri, maksudnya Allah Swt. Maha
kaya dan tidak memerlukan bantuan siapapun, oleh sebab itu membutuhkan kepada
sesuatu makhluk adalah kemustahilan bagi Allah.
6. Wahdaniyat (ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ ) artinya esa, maksudnya Allah itu satu, tunggal dan mustahil bagi
Allah Berbilang, lebih dari satu.
7. Qudrat (ﻗﺪﺭﺓ) artinya maha Kuasa, Allah mustahil memiliki sifat lemah.
8. Iradat (ﺇﺭﺍﺩﺓ) artinya maha Berkehedak, mustahil Allah bersifat terpaksa.
9. Ilmu (ﻋﻠﻢ) artinya
maha Berilmu, mustahil bagi Allah memiliki sifat bodoh.
10. Hayat (ﺣﻴﺎﺓ) artinya maha Hidup, Allah mustahil mati.
11. Sam'un (ﺳﻤﻊ) artinya maha Mendengar, sehingga mustahil Allah bersifat tuli.
12. Basar (ﺑﺼﺮ) artinya maha Melihat, Allah mustahil bersifat buta.
13. Kalam (ﻛﻼ ﻡ) artinya maha berbicara, mustahil Allah bersifat bisu.
14. Kaunuhu qaadiran (ﻛﻮﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭﺍ) artinya yang Maha Kuasa, mustahil Allah bersifat yang
keadaan-Nya lemah.
15. Kaunuhu muriidan (ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺮﻳﺪﺍ) artinya yang Maha Berkehendak, Allah mustahil keadaan-Nya terpaksa.
16. Kaunuhu 'aliman (ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ) artinya yang Maha
Berilmu, mustahil Allah dalam keadaan bodoh.
17. Kaunuhu hayyan (ﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎ) artinya yang Maha Hidup, Allah mustahil keadaan-Nya mati.
18. Kaunuhu sami'an (ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻤﻴﻌﺎ) artinya yang Maha Mendengar, mustahil keadaan Allah itu tuli.
19. Kaunuhu bashiiran (ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺼﻴﺭﺍ) artinya yang Maha Melihat, sehingga mustahil Allah dalam keadaan
buta.
20. Kaunuhu mutakalliman (ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ) artinya yang Maha berkata-kata, mustahil Allah dalam keadaan bisu.[19]
Lebih lanjut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menjelaskan:
Pembagian tauhid kepada tauhid perbuatan. Tauhid perbuatan berarti
dalam melakukan perbuatan-perbuatan-Nya Allah tidak memerlukann bantuan
siapapun. Jika perbuatan tersebut membutuhkan sarana, Dia menciptakan dan
menggunakan sarana tersebut. Hal ini berbeda dengan Allah membutuhkan orang
lain di luar Diri-Nya dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan-Nya.[20]
Para kaum arif memiliki konsep yang berbeda dengan para teolog dan
filosof. Bagi para teolog dan filosof secara berurutan terlebih dahulu harus
memulai tauhid pada Zat Allah, selanjutnya sifat-sifat, terakhir ialah tauhid
perbuatan. Namun para kaum arif memulainya dengan tauhid perbuatan, lalu tahap
kedua tauhid sifat dan tahap terakhir adalah tauhid Zat. Tauhid perbuatan berarti bahwa, setiap
perbuatan yang ada adalah perbuatan Allah, yang lain hanyalah alat-alat dan
sarana-sarana, inilah yang dilihat oleh orang-orang yang telah menyucikan jiwanya,
yakni para kaum arif.[21]
2.
Nubuwat
Nubuwat menurut
bahasa berasal dari bahasa Arab naba bermakna yang ditinggikan, atau
dari kata nabaa yang berarti berita.[22]
Jadi Nabi adalah “seseorang yang
derajatnya ditinggikan Allah Swt. dengan memberikan berita atau wahyu
kepadanya.Sedangkan Rasul dari kata “arsala”
berarti mengutus, namun setelah dijadikan kata Rasul artinya berubah menjadi
yang diutus”.[23]
Maka Rasul adalah orang yang diutus Allah Swt. untuk menyampaikan
misi pesan (ar-risalah). Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah ada
tidaknya kewajiban untuk menyampaikan misi atau risalahnya kepada orang
lain.Jika tidak ada kewajiban untuk menyampaikan maka disebut Nabi dan jika ada
kewajiban untuk menyampaikan risalah yang diterima dari Allah kepada orang lain
(umat) ia disebut Rasul.[24]
Jumlah Nabi dan Rasul tidak dapat diketahui secara pasti,
namun yang wajib diketahui ada 25 orang yang disebutkan di dalam Al-Quran yakni
18 orang disebutkan dalam surat Al-An’am ayat 83-86 dan 7 orang lagi disebutkan
dalam ayat-ayat yang terpisah yakni: Pertama, Nabi Hud as. dalam surat
Hud ayat 50. Kedua, Nabi
Saleh
as. dalam surat Hud ayat 61. Ketiga, Nabi Syu’aib as. dalam surat Hud ayat 84. Keempat, Nabi Adam as. dalam surat Ali ‘Imran ayat 33. Kelima, Nabi Idris as. Dan Nabi Zulkifli as. dalam surat Al-Anbiya’ ayat 85. Keenam, dan Nabi Muhammad saw. Dalam surat Al-Fath ayat 29.
Jika nama-nama Nabi dan Rasul diurutkan secara kronologis adalah sebagai berikut: Adam as, Idris as, Nuh as, Hud as, Shaleh as, Ibrahim as, Isma’il as, Ishaq as, Ya’qub as, Yusuf as, Luth as, Ayyub as, Syu’aib as, Musa as, Harun as, Zulkifli as, Daud as, Sulaiman as, Ilyas as, Ilyasa as, Yunus as, Zakaria as, Yahya as, Isa as, Muhammad Saw.[25].
Para Nabi dan Rasul ini diutus untuk kaum dan bangsa masing-masing
seperti Nabi Hud as. dikirim untuk kaum ‘Ad, Nabi Shaleh
kepada kaum Tsamud, Nabi Syu’aib kepada kaum Madyan. Namun Nabi Muhammad diutus
untuk seluruh umat tidak hanya untuk
kaum Arab saja di mana Nabi Muhammad Lahir dan dibesarkan. Hal
ini ditunjukkan dengan firman Allah Swt. Sebagai berikut:
مَّا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً )الأحزاب: ٤٠(
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup Nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Qs. Al_Ahzab:40).
Sebagai seorang manusia pilihan Allah Swt. tentulah harus memiliki
sifat-sifat yang mendukung agar terlaksananya tugas kenabian dan kerasulan.
Sehingga Nabi dan Rasul pun memiliki sifat yang harus ada dalam dirinya (sifat
wajib), serta sifat yang tidak mungkin dimiliki (sifat mustahil), dan sifat
yang boleh dimiliki nya (sifat jaiz).
3.
Ruhaniyat.
Ruhaniyat ialah mempercayai keberadaan makhluk ghaib.[26] Ruhaniyat dapat ditempuh
dengan dua cara: Pertama melalui
informasi yang disampaikan Al-Quran
dan Sunnah. Kedua,
melalui bukti-bukti nyata yang ada di alam semesta.[27]
Makhluk secara garis besar dibagi dua yakni: Pertama,
ghaib (al-ghaib) yakni yang tidak
bisa dijangkau oleh salah satu pancaindera manusia. Kedua, nyata (as-syahadah) yakni makhluk yang dapat dijangkau oleh
salah satu pancaindera manusia.[28]
Pada masalah ruhaniyat ini yang menjadi materi pendidikan
tauhid dalam keluarga ialah malaikat, Jin, Iblis dan syaitan, serta ruh. Agar
sejak dini anak mempercayai adanya makhluk lain yang harus diyakini
keberadaanya, namun hanya sebatas percaya akan adanya, tanpa perlu ada rasa
takut dan khawatir, karena hanya Allah yang mampu mendatangkan kemanfaatan dan
kemudaratan.
4.
Sam’iyyat
Assam’iyyat menurut bahasa berarti “sesuatu yang ghaib yang hanya
bisa diketahui secara benar dengan cara ikhbari (berita yang didengar), yakni
apa yang didengar dan diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah”[29].
Atau dalam arti lain suatau perkara yang tertera dalam Al-Qur’an dan disebut
dalam hadits Nabi Saw. sedangkan perkara itu tidak bisa diterima oleh akal
manusia biasa atau sesuatu yang ghaib yang tidak bisa ditangkap oleh panca
indra manusia biasa tapi harus dipercayai oleh setiap muslim akil dan baligh.
Adanya perkara ini demi untuk meyakinkan kepastian adanya risalah yang dibawa
Rasulallah Saw.
Untuk mendukung ketauhidan materi tentang sam’iyat juga sangat
diperlukan, sehingga masalah-masalah yang berada di luar pengalaman manusia
haruslah berdasarkan sumber naqli yakni berdasarkan kepada Al-Quran
dan Al-
Hadits. Seperti masalah hidup setelah hidup di dunia ini yakni alam barzakh,
surga dan neraka, kiamat dan lain sebagainya. Namun pendidikan tauhid dalam
keluarga sebagai langkah awal dalam pendidikan anak sebelum anak menempuh
pendidikan formal. Maka masalah adanya kehidupan setelah mati perlu ditanamkan
kedalam diri anak. Bahwasanya ada balasan untuk setiap amal perbuatan yang
dilakukan setiap manusia, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari
tanggung jawab amal perbuatannya ketiaka
hidup di dunia ini. Bagi yang baik ada surga yang berhiaskan kenikmatan dan limpahan
karunia ridha Allah, dan ada neraka yang penuh dengan siksaan dan kemurkaan
Allah untuk pada pendosa.
كَيْفَ
تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ
ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ) البقرة: ٢٨(
Artinya:
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu
Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali,
kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(Qs. Al-Baqarah:28).
[1]
Abdullah bin Abdul Muhsin, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1995), hal. 98.
[2]
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 22.
[3] Hunainin, Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah
Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam: Tujuan, Materi, dan
Metode, (Yogyakarta: Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN
Sunan Kalijaga), hal. 37.
[4]
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 237.
[6]
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Terjemahan
M. Habib Wijaksana, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, (Bandung: Arasyi, 2003), hal. 99.
[7] Ibid., hal. 99.
[9] Ibid,
hal. 111.
[10]
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I : Akidah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 13.
[11] Ali
Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta
Harakah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal.
27.
[14] Ibid., hal. 101.
[15] Ibid,
hal. 107-108.
[18] Ibid., hal. 52-55.
[19]
Syeikh Muhammad Nawawi, Syarh Fath Al Majid, (Beirut: Dar Ihya al Kitab al Arabiyah, t. k., t.t), hal. 5-6.
0 Comments
Post a Comment