Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Mendidik Anak dengan Ganjaran dan Hukuman


A.    Mendidik Anak dengan Ganjaran dan Hukuman
                 

Hukuman diberikan, apabila metode-metode yang lain sudah tidak dapat merubah tingkah laku anak, atau dengan kata lain cara “hukuman merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh pendidik, apabila ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab hukuman merupakan tindakan tegas untuk mengembalikan persoalan di tempat yang benar”.[19] “Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diberikan. Karena ada orang dengan teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak memerlukan hukuman. Tetapi pribadi manusia tidak sama seluruhnya”.[20] Sebenarnya tidak ada pendidik yang tidak sayang kepada siswanya.
Demikian juga tidak ada orang tua yang merasa senang melihat penderitaan anaknya. “Dengan memberikan hukuman, orang tua sebenarnya merasa kasihan terhadap anaknya yang tidak mau melaksanakan ajaran Islam. Karena salah satu fungsi dari hukuman adalah mendidik”.[21] Sebelum anak mengerti peraturan, ia dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar apabila tidak menerima hukuman dan tindakan lainnya salah apabila mendapatkan suatu hukuman.
Dalam memberikan hukuman ini diharapkan orang tua melihat ruang waktu dan tempatnya. Diantara metode memberikan hukuman kepada anak adalah[22]:
1.     Menghukum anak dengan lemah lembut dan kasih sayang.
2.     Menjaga tabiat anak yang salah.
3.     Hukuman diberikan sebagai upaya perbaikan terhadap diri anak, dengan tahapan yang paling akhir dari metode-metode yang lain.
Memberi hukuman pada anak, seharusnya para orang tua sebisa mungkin menahan emosi untuk tidak memberi hukuman berbentuk badaniah. Kalau hukuman yang berbentuk psikologis sudah mampu merubah sikap anak, tentunya tidak dibutuhkan lagi hukuman yang menyakitkan anak tersebut. Menurut Nashih Ulwan, hukuman bentuknya ada dua, yakni hukuman psikologis dan hukuman biologis.
Bentuk hukuman yang bersifat psikologis adalah : [23]
1.     Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan.
2.     Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat.
3.     Menunjukkan kesalahan dengan kecaman.
Hukuman bentuk psikologis ini diberikan kepada anak dibawah umur 10 tahun. Apabila hukuman psikologis tidak mampu merubah perilaku anak, maka hukuman biologislah yang dijatuhkan tatkala anak sampai umur 10 tahun tidak ada perubahan pada sikapnya. Hal ini dilakukan supaya anak jera dan tidak meneruskan perilakunya yang buruk. Sesuai sabda Rasul Saw yang diriwayatkan Abu Daud dari Mukmal bin Hisyam sebagai berikut:
حدثنا مأمل بن هشام قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ (رواه ابو داود(
Artinya: Dari Muamal Ibnu Hisyam, ia berkata: bersabda Rasulullah Saw. Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukulilah mereka itu karena shalat ini, sedang mereka berumut sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud)[24]

Sebenarnya, tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki digunakannya hukuman dalam pendidikan kecuali terpaksa. Hadiah atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman. “Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan dalam hal anak yang berumur 10 tahun belum juga mau shalat. Ahli didik muslim berpendapat bahwa hukuman itu tidak boleh berupa siksaan, baik badan maupun jiwa. Bila keadaan amat memerlukan, maka hukuman itu harus digunakan dengan hati-hati”.[25]
Para ahli pikir Islam dalam bidang pendidikan telah memberikan pandangan tentang penerapan hukuman untuk mendidik anak. Hukuman yang edukatif adalah pemberian rasa nestapa pada diri anak didik akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku yang tak sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungan hidupnya misalnya di sekolah, di dalam masyarakat sekitar, didalam organisasi sampai meluas kepada organisasi kenegaraan atau pemerintahan. “Pada prinsipnya para ahli pikir muslim tidak berkeberatan memberikan hukuman kepada anak didik yang melanggar peraturan, karena hukuman bersumber dari ajaran Allah yang dijelaskan dalam ayat-ayat Alquran, disamping hadiah yang dijadikan  metode untuk mendorong dalam berbuat kebaikan”.[26]


               [19] Muhammad Quthb, t.t, Terj. Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung: Ma-arif, 1993), hal. 334.

               [20] Ibid., hal. 334.

               [21] Elizabeth B. hurlock, t.t. Terj. Med.Meitasari Tjandrasa, Perkembangan Anak, Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 87.

               [22] Ulwan, Tarbiyatul...., hal. 155.

               [23] Ibid., hal. 159.
[24] Abi Daud, Sunan Abi Daud, Juz I, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t), hal. 133.

               [25] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1979), hal. 135.
               [26] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) , hal. 158.