Mendidik Anak dengan Hafalan
A. Mendidik Anak
dengan Hafalan
Ilmuwan Barat mengakui bahwa anak-anak belum bisa diajak
berpikir secara sempurna. Karenanya, hafalan menjadi salah satu materi
pendidikan terpenting pada usia ini. Berhubung Barat (sekuler) tidak
mengakui adanya kitab suci yang perlu dihafalkan, maka hafalan yang dianggap
akan berpengaruh besar terhadap kecerdasan anak-anak adalah bahasa. “Semakin
banyak kosakata yang dimiliki seseorang, semakin mudahlah baginya untuk
mendapatkan informasi dan memahami ilmu pengetahuan”.[1]
Sesungguhnya, “pendidikan dasar yang mengutamakan
perkembangan bahasa bukanlah eksklusif milik Barat. Jauh sebelumnya, Ibn Sina,
ilmuwan Islam abad 11 M, telah mengajarkan pentingnya hafalan Alquran untuk
memperkaya kosakata anak.”[2]
Dengan demikian, kelak anak-anak ini akan lebih mudah memahami fikih dan
ilmu-ilmu lainnya. Hanya saja, barangkali metode menghafal di Barat yang
berbeda dengan metode “tradisional” kita. Kita masih banyak terpaku pada metode
menghafal di mana anak duduk manis dan memfokuskan pikiran pada hafalan.
Misalnya: ibukota Indonesia Jakarta, ibukota Malaysia Kuala Lumpur. Hasilnya,
selain membosankan, hafalannya juga sangat mudah hilang.
Sementara, di Barat, para pendidik sudah mencarikan
metode-metode alternatif, seperti melalui permainan, kartun pendidikan, buku
cerita, dan sebagainya. Artinya, anak-anak bisa digiring untuk menghafalkan
sesuatu tanpa merasa sedang menghafal. Misalnya, untuk menghafal nama-nama
ibukota negara, ada kartun postcard from buster yang mengajak anak-anak
mengenal berbagai budaya dan tempat. Film ini dibuat dengan kemasan yang sangat
menarik, diputar setiap hari dan diulang berkali-kali selama setahun (sebab
targetnya memang tidak untuk mengenalkan 365 tempat per tahun). Anak-anak terhibur
dan tetap bisa menjawab nama tempat-tempat di dunia. Menarik, bukan? Hafalan
model ini juga terbukti lebih bertahan lama dibandingkan dengan metode
“tradisional” kita. Contoh lain adalah menghafal nama-nama binatang dan
klasifikasinya. Metode kita adalah duduk manis melafalkan: “Vertebrata adalah
binatang bertulang belakang. Yang termasuk vertebrata adalah bla, bla, bla.”
Padahal, klasifikasi ini bisa dihafalkan melalui permainan kartu kuartet. Lagu
juga merupakan sarana yang mudah dan populer untuk menghafal. Lagu ABC,
misalnya, telah berhasil membantu hampir seluruh anak dari seluruh penjuru
dunia dalam menghafalkan huruf-huruf. Efek yang luar biasa dasyat. Ayat-ayat Alquran
yang tiap hari diputar secara berulang-ulang melalui pengeras suara masjid juga
telah terbukti dihafalkan oleh penduduk sekitarnya, tanpa mereka merasa sedang
menghafal atau duduk manis untuk menghafalkan.
Sedangkan hafalan “tradisional” memiliki sisi negatif
yakni menimbulkan kejenuhan dalam belajar. Sementara itu, lagu-lagu berlirik
kotor diputar di mana-mana secara berulang-ulang, lebih enak didengar, dan
membebaskan pikiran mereka dari pelajaran sekolah yang menjenuhkan. Walhasil,
mereka lebih hafal lirik lagu-lagu beserta nama seluruh personel band dan
nama-nama artis daripada ilmu pengetahuan. Padahal, mereka tidak pernah duduk
tenang berkonsentrasi untuk menghafalkan lagu-lagu dan nama artis.
Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa Barat tidak
menganggap penting hafalan. Yang benar, metode hafalan mereka lebih bervariatif
sehingga tidak terasa seperti menghafal. Selain itu, mereka lebih selektif
dalam memilah dan memilih apa yang perlu dihafalkan. Mengenai selektivitas
bahan ini, Insya Allah akan saya lanjutkan pada edisi mendatang, disebabkan
adanya keterbatasan tempat.
[2]
Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah Saw, terj.
Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal.
303-305.