Metode Pendidikan Tauhid Menurut Perspektif Islam
A.
Metode Pendidikan Tauhid Menurut Perspektif Islam
Metode berasal dari bahasa Greek atau Yunani “metodos”
, selanjutnya kata ini terdiri dari dua suku kata yakni “meta” yang artinya
melalui atau melewati dan “hodos” yang memiliki makna jalan atau cara. Sehingga
metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[1]
Metode mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah proses
pendidikan Islam. Karena seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan sebagai materi
pengajaran dari pendidik kepada peserta didik adalah melalui sebuah metode. Merupakan sebuah realita bahwa metode
penyampaian yang komunikatif akan lebih disenangi meskipun materi yang
disampaikan biasa-biasa saja, jika dibandingkan dengan materi yang menarik
tetapi metode yang disampaikan dengan tidak menarik maka materi tersebut tidak
dapat diterima dengan baik pula oleh peserta didik. Sehingga penggunaan metode
yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses mendidik.[2]
Metode merupakan hubungan sebab akibat dengan tujuan pendidikan,
sehingga tidak dapat diabaikan. Demikian pula dalam menyampaikan pendidikan
tauhid dalam keluarga harus pula menggunakan metode atau cara yang dapat
dilakukan oleh para orang tua, dan dapat dengan mudah dikondisikan dalam
lingkungan keluarga. Sehingga suasana dan lingkungan keluarga yang kondusif
akan lebih membantu cara dan tehnik penyampaian pendidikan tauhid bagi
anak-anak.
Maka yang dimaksud metode pendidikan tauhid dalam keluarga adalah
cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan tujuan pendidikan tauhid dalam
keluarga. Metode-metode yang digunakan untuk pendidikan tauhid dalam keluarga
antara lain :
1.
Kalimat tauhid
Metode pendidikan yang diajarkan Rasulullah saw. untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat kepada bayi
yang baru lahir. Adzan dan iqamat merupakan
panggilan bagi seorang muslim untuk shalat sujud beribadah mengakui keesaan
Allah, bertauhid bahwa Bersaksi Tidak Ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah Swt.
Dikatakan bahwa bayi yang baru lahir pendengarannya sudah
berfungsi, sehingga ia akan langsung mengadakan reaksi terhadap suara. Telinga
akan segera berfungsi segera setelah ia lahir,meskipun ada perbedaan antara
bayi yang satu dengan yang lain. Lebih jauh lagi Wertheimer dapat membuktikan
bahwa bayi juga akan memalingkan pandangannya ke arah suara yang ia dengar,
setelah 10 menit ia dilahirkan. Gerakan ini disebut sebagai reaksi orientasi.
Fungsi auditif bayi akan bereaksi terhadap irama dan lama waktu berlangsungnya.[3]
Sehingga suara yang didengar oleh sang bayi adalah suara
ketauhidan, telinganya yang akan bereaksi terhadap suara yang berirama,
sehingga lembut dan merdunya kumandang adzan dan iqamah dapat dijadikan awal
pendidikan untuknya. Inilah metode awal bagi orang tua untuk menanamkan
ketauhidan kepada anaknya dengan kalimat yang sempurna kalimat Laa Ilaaha
Illallah yang terdapat pada rangkaian adzan dan iqomat.
Ibnu Qoyyim mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Khatib
Ahmad Santhut bahwa tidak dapat dipungkiri jika adzan dan iqomah membawa
pengaruh dan kesan dalam hati.[4] Mendidik
anak dengan kalimat tauhid, yang akan mengikat jiwanya dan akan berpengaruh
bagi perkembangan anak di masa yang akan datang. Sehingga diharapkan kepada setiap orang tua tidak melupakan metode
ini ketika anak-anak mereka lahir.
2.
Keteladanan
Dalam Bahasa Arab “keteladanan”
berasal dari kata “uswah” yang berarti pengobatan dan perbaikan.[5] “al
uswah dan al iswah
sama dengan kata al qudwah dan al qidwah merupakan sesuatu yang
keadaan jika seseoarng mengikuti orang lain, berupa kebaikannya, kejelekannya,
atau kemurtadannya”. Pendapat ini
senada dengan pendapat Ibn Zakaria.[6]
Al-Quran sebagai sumber pendidikan Islam, juga pendidikan tauhid dalam
keluarga telah memberikan statemen tentang keteladanan. Keteladanan
merupakan sesuatu yang patut untuk ditiru atau dijadikan contoh teladan dalam
berbuat, bersikap dan berkepribadian.[7]
Namun dari ketiga ayat yang dijadikan sumber teori awal tentang
keteladanan, al-uswah selalu bergandengan dengan kata hasanah. Sehingga
keteladanan yang dijadikan contoh ialah dalam hal kebaikan. Jika kita melihat
sejarah, maka salah satu sebab utama keberhasilan dakwah Nabi Ibrahim dan Nabi
Muhammad Saw. adalah keteladanan mereka
dalam memberikan pelajaran langsung kepada umatnya. Perkataan dan perbuatan
selalu beriringan, bahkan Nabi Muhammad Saw. lebih dahulu melakukan suatu
perintah sebelum perintah tersebut ia sampaikan kepada kaum muslimin.
Di era yang modern ini, metode keteladanan masih sangat diperlukan
dalam dunia pendidikan, terlebih lagi pendidikan dalam keluarga. Keteladanan
akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi tercapainya tujuan
pendidikan dalam keluarga, begitu pula dalam hal pendidikan tauhid. Orang tua
merupakan contoh tauladan utama sebagai panutan bagi anak-anaknya, memegang
teguh ketauhidan dan menjaganya, serta mengamalkan nilai-nilai ketauhidan dalam
keluarga.
3.
Pembiasaan.
Pembiasaan adalah “proses untuk
membuat orang menjadi biasa”.[8]
Jika dikaitkan dengan metode pendidikan Islam maka metode pembiasaan merupakan
cara yang dapat digunakan untuk membiasakan anak berpikir, bersikap dan
berperilaku sesuai dengan ajaran agama Islam.
Metode ini sangat efektif untuk anak-anak, karena daya
rekam dan ingatan anak yang masih kuat sehingga pendidikan penanaman nilai
moral, terutama ketauhidan ke dalam jiwanya sangat efektif untuk dilakukan. Potensi
dasar yang dimiliki anak serta adanya potensi lingkungan untuk membentuk dan
mengembangkan potensi dasar tersebut melalui pembiasan-pembiasan agar potensi
dasar anak menuju kepada tujuan pendidikan Islam, hal ini tentunya memerlukan
proses serta waktu yang panjang.[9]
Kebiasaan seseorang, jika dilihat dari ilmu psikologi
ternyata berkaitan erat dengan orang yang ia jadikan figur dan panutan. Metode
pembiasaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah Nashih Ulwan sebagai
berikut:
Landasan awal dalam metode pembiasaan adalah “fitrah”
atau potensi yang dimiliki oleh setiap anak yang baru lahir, yang diistilahkan
oleh beliau dengan “keadaan suci dan bertauhid murni”. Sehingga
dengan pembiasaan diharapkan dapat berperan untuk menggiring anak kembali
kepada tauhid yang murni tersebut.[10]
Lebih lanjut Abdullah Nashih
Ulwan menjelaskan:
Bahwa bayi mempunyai hati yang bersih dan suci, ia merupakan amanat
bagi para orang tuanya. Oleh sebab itu hati yang bersih dan suci tersebut harus
selalu dibiasakan dengan kebiasaan yang baik, sehingga ia akan tumbuh dengan
kebiasaan-kebiasaan baik tersebut, Sehingga diharapkan kelak akan memperoleh
kebahagiaan dunia-akhirat.[11]
Ada beberapa syarat yang harus dilakukan untuk menerapkan metode
pembiasan ini antara lain :
Pertama, Proses pembiasan dimulai sejak anak masih bayi, karena kemampuannya
untuk mengingat dan merekam sangat baik. Sehingga pengaruh lingkungan keluarga
secara langsung akan membentuk kepribadiannya. Baik ataupun buruk kebiasannya
akan muncul sesuai dengan kebiasan yang berlangsung di dalam lingkungannya. Kedua, Metode ini harus dilakukan secara
terus menerus dan tidak terputus, teratur dan terencana. Oleh sebab itu faktor
pengawasan sangat menentukan. Ketiga, Meningkatkan pengawasan, serta melakukan
teguran ketika anak melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan. Keempat, Pembiasan
akan terus berproses, sehingga pada akhirnya anak melakukan semua kebiasaan
tanpa adanya dorongan orang tuanya baik ucapan maupun pengawasan. Namun akan melakukannya karena dorongan dan keinginan dari dalam
dirinya sendiri.[12]
Ahmad Amin menulis dalam kitabnya “Kitabul Akhlak” beliau
mengatakan bahwa metode pembiasaan ini sangat penting karena seluruh aktivitas
manusia terbentuk karena latihan dan pembiasaan. Lebih jauh lagi menurut beliau
ada dua hal yang menyangkut kebiasaan baik dan buruk yakni: Pertama, Faktor
interen dengan adanya minat, yakni dorongan yang berasal dari dalam diri
manusia yang cenderung untuk melakukan aktivitas tertentu. Kedua, Faktor
eksteren yakni adanya usaha agar anak cenderung melakukan kebiasaan-kebiasaan
melalui latihan-latihan.[13]
Begitu pula dalam pendidikan tauhid dalam keluarga dapat dilakukan
dengan pembiasaan atau latihan-latihan agar nilai-nilai ketauhidan tertanam
dalam diri anak. Meskipun tidak dapat dipungkiri pendidikan tauhid sangat
membutuhkan dan berkaitan erat dengan materi-materi pendidikan lain seperti
akhlak, fiqih, dan sebagainya. Namun bagaimana seluruh materi pelajaran
tersebut dapat mendukung kepada pendidikan tauhid sebab tauhidlah sebagai dasar
dari seluruh materi tersebut.
Ketauhidan anak akan tumbuh melalui latihan-latihan dan pembiasaan
yang diterimanya. Biasanya konsepsi-konsepsi yang nyata, tentang Tuhan,
malaikat, jin, surga, neraka, bentuk dan gambarannya berdasarkan informasi yang
pernah ia dengar dan dilihatnya.[14]
4.
Nasehat.
Mau’izah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh
pikiran dan perasaan orang yang menerimanya[15]. Ma’izah
adalah nasehat yang disajikan dengan cara yang dapat menyentuh kalbu. Inilah yang
lazim disebut nasihat baik (mau’izah hasanah).
Seluruh metode pendidikan tauhid dalam keluarga yang penyusun
jelaskan, semuanya saling berkaitan dan saling mendukung. Sehingga dalam
mendidik ketauhidan anak tidak hanya menggunakan satu metode saja, namun harus
menggunakan metode-metode yang lain, seperti metode kalimat tauhid; metode
keteladanan; metode pembiasaan, dan sekarang metode nasehat. Metode-metode
inipun, seperti yang sudah penyusun sampaikan membutuhkan materi-materi lain di
luar materi ketauhidan.
Salah satu potensi yang ada di dalam jiwa manusia adalah potensi
untuk dapat dipengaruhi dengan suara yang didengar atau sengaja diperdengarkan.
Potensi ini tidak sama dalam diri seseorang, serta tidak tetap. Sehingga untuk
dapat terpengaruh secara, suara yang didengar atau diperdengarkan haruslah
diulang terus. Permanen atau tidak pengaruh yang dihasilkan tergantung kepada
intensitas dan banyaknya pengulangan suara yang dilakukan. Nasehat yang dapat melekat dalam diri anak
jika diulang secara terus menerus. Namun nasehat saja tidaklah cukup ia harus
didukung oleh keteladanan yang baik dari orang yang memberi nasehat. Jika orang
tua mampu menjadi teladan maka nasehat yang ia sampaikan akan sangat berpengaruh
terhadap jiwa anak.[16]
Nasehat merupakan aspek dari teori-teori yang disampaikan orang tua
kepada anak. Metode ini memiliki peran sebagai sarana untuk menjelaskan tentang
semua hakekat.[17]
Termasuk dalam menyampaikan dan menjelaskan materi-materi pendidikan tauhid
adalam keluarga. Sehingga orang tua dituntut memiliki kemampuan bahasa yang
baik agar anak dapat menangkap dan memahami semua penjelasan yang
disampaikannya.
Nasehat ini harus dimulai juga sejak anak masih kecil, selain
sebagai sarana pendidikan tauhid juga sebagai dorongan dan motivasi anak untuk
belajar berbicara. Kemampuan bahasa anak akan diiringi oleh kemampuan otaknya
juga. Maksudnya ketika ia mendengarkan sebuah nasehat ia akan merekam setiap
kosa kata yang ia dengar dalam memorinya, serta akalnya juga mencoba memahami
setiap kosa kata sampai kalimat yang ia dengar. Oleh karena itu bahasa yang
digunakan orang tua haruslah sederhana dan jelas.
5.
Pengawasan.
Pengawasan dalam pendidikan sosial kemasyarakatan.
Pendidikan sosial merupakan suatu yang esensial sebagai manifestasi kehadiran
Islam rahmamatan lillalamin. Salat sebagai ibadah mahdhah ditutup dengan
membaca salam, ini berarti signifikasinya fungsi sosial dengan kehidupan
muslim. Nashih Ulwan
menjelaskan bahwa:
Dalam membentuk akidah anak memerlukan pengawasan, sehingga keadaan
anak selalu terpantau. Secara universal prisip-prinsip Islam mengajarkan kepada
orang tua untuk selalu mengawasi dan mengontrol anak-anaknya. Hal ini
dilandaskan pada nash Al Quran dalam surat At-Tahrim ayat 6. Fungsi seorang
pendidik harus mampu melindungi diri, keluarga dan anak-anaknya dari ancaman
api neraka. Fungsi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika pendidik
melakukan tiga hal yakni memerintahkan, mencegah dan mengawasi.[18]
Bukan anak-anaknya saja yang ia awasi tetapi juga dirinya
agar tidak melakukan kesalahan yang menyebabkan dirinya terancam api neraka. Bagaimana ia melindungi keluarganya dari api neraka jika ia tidak
mampu menjaga dirinya sendiri. Maksud dari pengawasan ialah orang tua memberikan teguran jika anaknya
melakukan kesalahan atau perbuatan yang dapat mengarahkannya kepada
pengingkaran ketauhidan. Pengawasan juga bermakna bahwa orang tua siap
memberikan bantuan jika anak memerlukan penjelasan serta bantuan untuk memahami
dan melatih dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan kepadanya. Muhammad Zein menjelaskan bahwa:
Metode pengawasan
dipakai orang tua untuk anak tanpa ada batasan usia. Metode-metode yang telah
dijelaskan di atas harus ber- تدرج, yakni bertahap sesuai dengan usia anak, dan
materi yang akan disampaikan. Faktor lain yang yang penting ialah bahwa semua
metode tersebut saling terkait dan saling membantu, dan pendidikan tauhid juga
sebagai sebuah proses. Oleh sebab itu hasil dari pendidikan tauhid dalam
keluarga tidak dapat dilihat langsung hasilnya. Namun berkembang secara terus
menerus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan tauhid
dalam keluarga harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus. Para
orang tua tidak boleh putus asa dan menyerah, apalagi sampai menghentikan
pendidikan ini. Jika berhenti maka prosespun akan berhenti. Orang tua harus
memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pendidikan tauhid anak. Rasa
tanggungjawab akan menjadi motor penggerak untuk memperhatikan dan memikirkan
pendidikan tauhid untuk anak-anaknya.[19]
[2]
Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 39.
[3] J.
Monks (et.al), Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hal. 87.
[4]
Khatib Ahmad Santhut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral, dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, Terjemahan Ibnu Murdah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1998), hal. 103.
[6] Ibid., hal. 117.
[9] Ibid., hal. 111.
[10] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam: Kaidah Kaidah
Dasar, Terjemahan Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, (Bandung: Remaja RosdaKarya,
1992), hal. 45.
[13] Abu
Tauhied, Ms., Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga,1990), hal. 95-96.
[16]
Umar Hasyim, Anak Saleh: Cara Mendidik Anak dalam Islam 2, (Surabaya: Bina Ilmu 1983), hal.
83.
[17]
Ulwan, Pendidikan...., hal. 66.
[19]
Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Sumbangsih Offset Papringan, 1991), hal. 68.