Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Rumah Tangga Harmonis Dengan Adanya Keteladanan


Rumah Tangga Harmonis Dengan Adanya Keteladanan

Rumah Tangga Harmonis Dengan Adanya Keteladanan

            Menurut pandangan ilmiah, tak ada hubungan kerabat yang lebih penting dari hubungan kerumah tanggaan. Dalam hubungan kerabat inilah akan terwujud rasa kasih saying, kerja sama, dan saling membantu dengan sebenarnya. Perlu kita perhatikan bahwa kebahagian hidup sebenarnya terdapat dalam hubungan suci dua pasangan, dalam kesempatan untuk menyaksikan segenap tingkah laku anak – anak yang telah terdidik dengan baik, dan dalam keadaan kerelaan untuk berkorban dalam kehidupan rumah tangga. Kita sama sekali tidak pernah menyaksikan situasi dan keadaan semacam itu selain dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu dalam sosiologi, hubungan dalam rumah tangga di sebut dengan hubungan pertama atau hubungan yang paling awal.
            Alangkah indahnya firman Alllah dalam al-Qur’an surat Al – ahzab ayat 21:
لقد كن فى رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الأخر وذكر الله ثيرا)التحريم: ٦(
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah(Qs. Al – ahzab: 21).

Keteladanan mengandung sebuah konsekuensi apa yang kita sampaikan pada anak pada dasarnya tidak cukup dengan kata–kata saja. Kata – kata ini perlu di topang oleh perbuatan atau sikap yang nyata. Apalagi pola berfikir anak masih sangat sulit untuk di ajak mencerna sesuatu yang bersifat abstrak. Nah, untuk merubah yang sesuatu abstrak di kognisi anak menjadi sesuatu yang nyata di perlukan contoh atau keteladanan yang dapat di saksikan anak secara langsung. Orang tua dapat membentuk kesadaran anak bahwa salat lima waktu hukumnya wajib bagi setiap muslim dengan cara memaparkan status hukum, akibat logis bila meninggal shalat, pengertian surga dan neraka, tanpa di barengi bukti nyata bahwa sang ayah juga mengerjakan shalat. Nasehat – nasehat itu akan hilang begitu saja ditelan angina. Sedangkan tauladan nyata akan tertancap kuat di benak sang anak. 
Para suami sepatutnya benar-benar menyadari bahwa dalam pandangan Islam sebaik-baik laki-laki adalahlaki-laki yang paling lemah lembut dan paling baik sikapnya kepda istri, keluarga serta anak-anaknya. Jadi, jika seorang suami bersikap berangasan, galak atau kasar, walaupun mempuyai pangkat dan jabatan yang tinggi, memiliki ilmu yang banyak, menyandang gelar mentereng, sebetulnya belum menjadi laki-laki yang baik. Memang, boleh jadi karena satu dan lain hal, istriterkadang membuat jengkel atau sulit menaati suami.”10
Namun, sebenarnya yang paling penting untuk dipikirkan adalah kepribadian sang suami itu sendiri. Mengapa? Karena, seorang suami akan sulit untuk mengubah istri atau anak-anaknya kearah yang lebih baik, jika si suami sendiri belum mengubah perilakunya menjadi baik. Padahal dalam Al Qur'an surat at-Tahrim : 6 Allah SWT berfirman:
يأيهاالذين الذين أمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا)التحريم:٦(
Artinya: Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka" ( Qs. At – tahrim: 6 )

Ini artinya, yang menjadi prioritas seharusnya adalah menjaga diri dan keluarga. Pokoknya kalau kita ingin berbuat sesuatu, sesudah kita memperbaiki diri, selamatkan keluarga. Banyak pemimpin yang jatuh gara-gara keluarganya. Bisa dari istrinya, dari anaknya, atau sebaliknya.
Ironisnya, kadang-kadang suami lebih banyak menuntut dan menyalahkan istri apabila ada hal-hal yang dianggapnya tidak baik. Misalnya, ketika sang anak malas belajar atau beribadah, suami sibuk menyalahkan istri. Istri dianggap tidak bisa memperhatikan anak, tidak mampu mendidik, dan sebagainya. Padahal, persoalan mendidik anak bukan semata-mata tanggung jawab istri. Tidak sedikit rumah tangga yang menganggap pendidikan anak hanya pekerjaan ibu, sementara suami lebih sibuk mencari nafkah. Padahal sosok ibu hanya sebagian daripada potensi rumah tangga.
Memang mencari nafkah bagi suami adalah kewajiban bahkan ibadah. Namun sesungguhnya, kewajiban suami itu bukan hanya mencari uang atau mencari nafkah lahir, tetapi seorang suami juga mempunyai kewajiban untuk menanamkan visi dalam rumah tangga. Kira-kira hendak dibawa kemana rumah tangganya nanti? Disamping itu selayaknya seorang suami dapat menjadi suri tauladan bagi istri dan anak-anaknya, serta mampu mengontrol moral keluarganya agar tetap terkendali.11
Orang tua harus lebih serius menjadi figur suri tauladan bagi anak-anaknya. Jangan sampai anak kecewa pada figur orang tuanya. Misalnya, sudah suami jarang pulang, ketika pulang bisanya hanya marah-marah. Bersikap kurang sopan dihadapan anak, memperlakukan istri tidak baik dihadapan anak. Ketika figur ayah tidak mencerminkan akhlaqul karimah, terus bagaimana anak bisa termotivasi untuk berakhlaq baik? Disinilah kebanggan anak pada figur ayah bisa pudar begitu saja. Anak tidak lagi melihat contoh konkret dari figure moral.
Oleh karena itu, seorang suami hendaknya bukan hanya bangga karena bisa membuatkan rumah untuk keluarga, jangan hanya bangga karena mampu membelikan mobil, motor, dan sebagainya, namun seorang suami seharusnya berusaha semaksimal mungkin untuk membangun keluarga yang bermoral, bermartabat, dengan ikut memperhatikan pendidikan moral dan akhlak anaknya sebaik mungkin. Sehingga akhlaknya kelak jauh lebih baik dari orang tuanya. Itulah prestasi, jangan bangga mempunyai anak kuliah diluar negeri, namun kelakuannya buruk. Itulah tanda kegagalan menjadi orang tua.
Bagaimanapun anak akan melihat sikap dan perilaku kedua orang tuanya. Kegigihan orang tua yang dengan serius membuat program suri tauladan bagi anak-anaknya adalah pendidikan yang tidak ternilai. Singkatnya, apa yang diinginkan dari si anak, mulailah dari diri sendiri. Ingin anak rajin, jadilah orang tua yang rajin. Ingin anak pintar mengaji, jadilah orang tua yang juga bisa mengaji. Ingin anak ramah dan lembut, mulailah dulu dari orang tuanya. Suami pun memiliki kewajiban untuk menata kesempurnaan ibadah, serta kebaikan akhlak dan moral keluarganya.12
Oleh karena itu, mengurus rumah tangga idealnya menempati porsi atau alokasi pemikiran khusus dari seorang suami. Bukan Cuma mengandalkan perhatian sepintas atau perhatian kedua setelah urusan pekerjaan. Dalam hadits diatas, akhlak yang baik serta perilaku lemah lembut dari seorang suami memang sangat ditekankan. Tentu saja, Rasulullah Muhammad SAW teramat patut untuk dijadikan sebagai sosok panutan suami yang ideal. Nabi Muhammad SAW begitu halus dan lemah lembut sikapnya kepada istri-istri beliau.
Disini berkali-kali disebutkan tentang kelembutan. Sebab walau bagaimanapun, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga. Dan kalau tidak hati-hati, seseorang yang merasa dirinya sebagai pemimpin, dalam skala apapun, cenderung menggunakan kekasaran. Hal inilah yang tampaknya patut digaris bawahi. Sebagimana firman Allah dalam Al – qur’an surat an-Nisaa ayat 19 :
... وعاشروهن با لمعروف فإن كر هتمو هن فعسى أن تكر هوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا) النساء:١٩(
Artinya: ….Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut.Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.  (Qs. An-Nisaa' : 19)

Apabila istri tidak taat kepada suami, bisa jadi suaminya belum layak ditaati. Suami harus berani mengevaluasi diri. Ibarat ada bisul terus dibelai, tentu orang menjadi marah bukan karena belaiannya, tapi karena bisulnya. Kekerasan itu bukanlah alternatif yang sangat penting, melainkan lemah lembutlah yang bisa mendobrak kekerasan. Aspek-aspek lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang suami ketika mendidik keluarga adalah perkataan yang harus terjamin kebenarannya. Jangan sampai seorang suami berbohong sedikitpun kepada anak dan istrinya, kecuali untuk hal-hal positif yang hanya ditujukan untuk menyenangkan hati mereka, seperti memuji masakan atau dandanannya.
Selanjutnya, bila memperingatkan sesuatu harus tepat situasi dan kondisi. Jangan sampai ketika bicara tidak tepat sikonnya, karena orang yang sedih dengan orang yang gembira itu berbeda situasi hatinya. Lalu, jika berbicara jangan smpai menyusahkan. Suami yang baik,kata-katanya itu harus yang enak. Jangan bicara yang membuat istri semakin tertekan. Misalnya, istri mempunyai kekurangan pada tubuhnya, jangan disebut-sebut. Istri yang mempunyai masa lalu jangan diungkit-ungkit. Istri mempunyai orang tua yang memiliki suatu kekurangan, jangan sekali-kali dibeberkan. Jangan membuat orang susah perasaannya. Dan terakhir, seorang suami yang baik itu, kalau berbicara dapat memberi manfaat.13
Nabi Muhammad SAW sangat memuliakan sekali istri-istrinya. Di rumah membantu pekerjaan istri-istrinya. Bahkan, Rasulullah SAW memanggil istrinya dengan panggilan kesayangan. Beliau benar-benar senang bercengkerama dengan keluarganya. Anak istri beliau dibahagiakan dan dimuliakan dengan bimbingan ukhrawi. Yang paling penting dari semua itu adalah selain suami harus berlemah lembut, mampu menjadi contoh/tauladan dan mampu mendidik, adalah bagaimana suami mendidik anak-anaknya agar bisa mengarungi hidup ini di jalan Allah. Tidak cukup hanya membawa uang, tetapi anak harus tahu bagaimana menyukuri uang, bagaimana menafkahkan uang di jalan Allah.
Kehormatan seorang suami bukan karena gelar, pangkat, kedudukan, harta, jabatan atau popularitas. Yang namanya kemuliaan itu kalau kita mempunyai kemampuan untuk jujur pada diri sendiri dan senantiasa memperbaiki diri agar tidak menyimpang dari jalan Allah. Sehingga walaupun dia tidak dikenal, dia pekerja yang memungut sampah, dia seorang pembantu di rumah, tapi bisa jadi lebih bagus daripada majikannya yang mempunyai status jabatan yang lebih tinggi. Karena dia mampu membimbing keluarganya menuju ridha Illahi. Allah tidak memandang kemuliaan seseorang dari materi duniawi melainkan keindahan akhlaq dan budi pekerti.



10 Muhammad Thalib, Membangun Keluarga  Islami, (Yokyakarta: Pro-U Media, 2008), hal. 14

11 Muhammad Thalib, Menghayati Psikologi Suami - Isteri, (Yokyakarta: Pro-U Media, 2008), hal. 84

12 Muhammad Thalib, Bimbingan Kemesraan Suami - Isteri, (Yokyakarta: Pro-U Media, 2008), hal. 23

13 Muhammad Thalib, Karakteristik Pernikahan Islami, ( Yokyakarta: Pro-U Media, 2008), hal. 33