Cinta itu bukan sepotong cerita roman picisan sepasang jiwa muda. Cinta tidak bisa di buat-buat. Dia alami lahir dari hati yang tulus, merasuk kasih dan sayang. Terajut dalam ikatan batin, bersatu dalam keridhaanNya.
Saya pernah menjadi nara sumber dalam sebuah forum kajian Islam, salah satu peserta muda bertanya? Ustaz? Apa cinta itu sesungguhnya?(sepertinya yang bertanya ingin sebuah jawaban yang romantis). Justru saya tidak akan menjawab potongan puisi romatis atau rangkaian kata yang membuat jiwa muda hilang akalnya. Saya tau, banyak dari kalangan muda salah menafsirkan cinta.
Saya jawab : Cinta itu adalah "Pengelolaan Emosi". Iya cinta sesungguhnya adalah saat pasangan mampu mengelola emosinya pada tempatnya. Peserta tadi tidak puas. "Kok cuma itu jawabannya ustaz? Singkat amat!". Baiklah akan saya jelaskan yang agak panjang.
Cinta adalah pengelolaan emosi. Emosi adalah suara hati, mengelola rasa yang kita miliki, mengelola perasaan yang kita miliki, sehingga ber-efek ke prilaku. Menikah tidak cukup dengan kata-kata romantis. Tidak cukup dengan saling melampar pantun cinta. Tidak cukup dengan pemberian bunga sepucuk mawar merah. Lalu mengucap aku mencintaimu kasih. Kayak di film-film romantis. Tapi ada saatnya kita perlu memuji orang yang kita cintai. Tapi tidak setiap saat. Kalau saya sekali puji tahan satu minggu, lagee sie ruboh, treb itheunππ.
Cinta mampu mengelola rasa. Mengelola emosi. Mencintai sepenuhnya, mencintai kelebihan dan kekurangan. Mencintai apa adanya. Mampu mencintai apa yang dimiliki. Mampu nencintai dan mengasihi keluarga dari orang yang dicintai. Mampu melihat persoaalan rumah tangga dari berbagai sudut pandang.
Saat emosi menjadi panas dan gersang, lalu dengan tenang kita mampu merubah menjadi salju. Saat dingin menggigil kita mampu menjadi penghangat. Tidak perlu saling curiga berlebihan. Tidak perlu juga cemburu kelewatan seperti kerasukan jin himalaya. Kesetiaan lahir dari kesetiaan. Kepercayaan lahir dari kejujuran hati yang lapang. Saling mendoakan kebaikan dengan harapan terketuk pintu langit buat pasangan sejati.
Lalu, saya perhatikan yang bertanya tadi, dia paham gak ya, maksud saya. Gimana? Jawaban saya? Lalu dia jawab "ustaz kenapa berubah jadi pujangga cinta?" Hehe saya ketawa, baiklah saya jawab dari sebuah cerita pribadi saya kali ini. Begini ya?
Dulu saya sangat membenci pete dan jengkol. Kamu tau kan? Itu dua jenis makanan yang sangat harum baunya. Bagi mereka penikmat pete dan jengkol, ini adalah favorite food yang dicari, walau sedang meugang. Walau sedang hari qurban, banyak daging segar, tetap ngidam pete dan jengkol. Setelah makan nah asap knalpotnya lebih ngeri daripada asap knalpot mesin padi yang keliling di desaku.hehe
Setelah saya menikah, saya mencoba saling mengerti. Saat saya baru tau istri saya menyukai pete dan jengkol. Awalnya saya risih, tapi berusaha tetap tenang, waspada, dan bersabar. Saya perhatikan saat istri makan, memang ini makanan spesial. Hanya di bakar di kompor gas, tapi se-akan akan seperti satu porsi daging panggang ala turkey di lalap dengan saus cabe. Sepertinya sangat lezat.
Akhirnya istri saya mengajak saya mencoba makanan yang saya benci itu. "Makanlah bang? Pasti nanti suka juga, lamak bana ini, penambah selera makan, coba sajolah dulu?" Akhirnya saya makan sepotong pete Bakar pertama dalam hidup saya setelah menikah.
Ternyata benar cinta itu bisa mengubah emosi saya terhadap pete dan jengkol. Kini setelah mencoba beberapa kali. Ternyata benar lamak bana ini pete sama jengkol. Maknyus walau hanya di bakar di kompor. Ini hasil dari mencoba mencintai apa yang dicintai pasangan. Ini lah cinta sesungguhnya. Saat kita mampu berusaha mengelola emosi untuk saling menerima. Bahkan lebih hebat saat bisa saling belajar menghargai dan menghormati. Sudah pahamkan? ππ
Rizki Dasilva
0 Comments
Post a Comment