Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sebungkus Nasi Dan Sepotong Roti

sebungkus-nasi-dan-sepotong-roti


Pagi ini saya belajar keteladanan hidup dari seorang bapak penjual roti keliling. Beliau berdagang dengan berjalan kaki ratusan meter mengelilingi perumahan dari pagi sampai petang. Tak lupa membunyikan trompet sebagai tanda kedatangannya. Hanya karena iba, saya sering membeli. Apalagi bila kebetulan berjumpa dengannya sedang berteduh di bawah pohon di tengah terik mentari sambil memakan sebagian roti dagangannya yang masih banyak berjejer rapi.

Seperti biasa, pagi tadi beliau melewati rute yang sama. Saya sedang berada di sebuah warung membeli lontong. Anak penjual lontong yang kisaran usianya sekitar tiga tahun sebut saja namanya Maulana, menangis meminta roti, sedangkan ibunya sangat sibuk melayani pelanggan. Aneh, bapak penjual roti tahu bahwa Maulana meminta roti, tetapi ia malah mempercepat langkahnya menghindari. 

Tangisnya makin histeris. Saya tidak tega melihat anak-anak menangis. Selesai membayar lontong, saya ajak dia naik sepeda motor saya mengejar bapak penjual roti.

"Paaaak....! Tunggu sebentar!" Pinta saya ketika hampir mendekat kepadanya.

Beliau berhenti. 

Maulana turun dan memilih dua potong roti yang ia sukai.
"Ini uangnya, Pak!" Saya memberikan recehan dua ribu rupiah.
Namun beliau tidak mau menerima. Memasukkan kembali ke dalam kantong baju Maulana. Kemudian menambahkan lima potong roti lainnya kedalam kantong plastik dan digenggamkan pada tangan Maulana. 

""Kenapa Bapak tidak mau menerima uangnya? Roti bapak masih banyak yang belum laku." Tanya saya. 

"Ini anak ibu penjual warung itu, kan?"

"Iya, benar."

"Ambil saja. Ibu itu sangat sering memberikan nasi pada saya cuma-cuma. Begitu lewat saya di depan warungnya, rame atau tidaknya pelanggan, ia selalu memberikan sebungkus nasi kepada saya. Makanya saya hindari tadi saat anak ini memanggil. Karena saya takut merepotkannya lagi. Karena kami sama-sama orang tidak punya. Mencari sepiring nasi untuk hidup hari ini." Jelasnya sederhana. 

"Terima kasih banyak ya... Saya harus jalan lagi." Tutupnya.
Saya yang berterima kasih kepada Bapak. 

Benar, orang kaya dan miskin sama-sama berbagi udara di kota ini, tetapi kebahagiaan sejati hanya akan ada dalam setiap hati yang senang memberi.

-Ismi Marnizar-
Lokasi foto: Mata ie, Balohan
Kota Sabang