Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Pendidikan Agama Islam


BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG STRATEGI PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


A.    Pengertian Pendidikan Agama Islam
     
Istilah pendidikan agama terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan agama. Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membawa si anak ke tingkat kedewasaan dalam arti sadar dalam memikul tanggung jawab segala perbuatan secara moral. Dalam psikologi pendidikan disebutkan bahwa pendidikan adalah �Proses pertumbuhan yang berlangsung dilakukannya perbuatan belajar�.[1]  Jadi pendidikan adalah perubahan anak didik baik dari segi fisik maupun mental ke arah kedewasaan setelah melakukan proses belajar mengajar.
Dalam bahasa Arab agama disebutkan dengan �al-Din� artinya tunduk dan patuh kepada-Nya.[2] Namun Abdurrahman An-Nahlawi mendefinisikan �Al-Din� adalah kemenangan, kekuasaan, hukum dan urusan.[3] Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan panutan manusia dalam kehidupan di dunia   dan akhirat di dalamnya terdapat aturan atau ketetapan Allah SWT untuk mengarahkan atau membimbingnya ke jalan yang benar sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.
Pendidikan agama Islam mempunyai banyak definisi diantaranya:
Pendidikan agama Islam adalah �Suatu usaha untuk menumbuhkan, mengembangkan, mengawasi dan memperbaiki seluruh potensi fitrah manusia secara optimal dengan sadar dan terencana menurut hukum-hukum Allah yang ada di dalam semesta maupun di dalam Alquran�.[4] Menurut Ahmad D. Marimba, Pendidikan Agama Islam adalah �Suatu bimbingan baik jasmani dan rohani yang berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran dalam Islam�.[5] Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah umum disebutkan bahwa pendidikan agama adalah proses pembelajaran untuk mendidik dan mengembangkan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersifat agama, supaya dapat terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter watak dan kepribadian dengan landasan lain dan ketakwaaan serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari.[6]
Menurut Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah:
Proses penyampaian informasi dalam rangka pembentukan insan yang beriman dan bertaqwa agar manusia menyadari kedudukan, tugas dan fungsinya di dunia ini baik sebagai abdi maupun sebagai khalifah-Nya dengan selalu taqwa dengan makna, memelihara hubungannya dengan Allah, masyarakat dan alam sekitarnya serta bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.[7]

Menurut Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah:
Pendidikan melalui ajaran-ajaran Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat.[8]

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk membimbing, mengajar, dan mengasuh anak didik dalam pertumbuhan jasmani dan rohani sehingga mencapai tingkat kedewasaan. Pendidikan harus disesuaikan dengan ajaran Islam sebagai pandangan hidupnya. Islam itu sendiri bermakna kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.                         
B.    Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terancana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal memahami, mengahayati, hingga mengimani ajaran agama Islam dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungnya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.[9]
Dalam kegiatan pembelajaran tedapat dua kegiatan yang sinergi, yaitu guru mengajar dan siswa belajar yang biasa dikenal dengan istilah proses belajar mengajar (PBM), dalam kegiatan ini guru mengajarkan bagaimana siswa harus belajar, sementara siswa belajar bagaimana seharusnya belajar melalui berbagai pengalaman belajar hingga terjadi perubahan dalam dirinya dari segi kognitif, afektif dan atau psikomotorik. Benyamin S. Bloom dalam bukunya  The Taxonomy of education Objectives � Cognitive Domain menyatakan bahwa dalam �proses belajar mengajar akan diperoleh kemampuan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek pengetahuan (cognitive), aspek sikap (affective), dan aspek ketrampilan (psychomotor)�[10].
Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan individual  mengenai dunia sekitarnya yang meliputi perkembangan intelektual atau mental. Aspek affektivemengenai perkembangan sikap, perasaan, nilai-nilai yang dulu sering disebut perkembangan emosional dan moral, sedangkan psychomotor menyangkut perkembangan keterampilan yang mengandung unsur motoris. Ketiga aspek tersebut secara sederhana dapat dipandang sebagai aspek yang bertalian dengan �head� (aspek cognitive), �heart  (affektive), dan  hand   (psychomotor), yang ketiganya saling berhubungan erat dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Dari uraian di atas jelas bahwa proses belajar mengajar pendidikan agama di sekolah merupakan usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui bimbingan, pengajaran dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Jadi pembelajaran pendidikan agama di sekolah diharapkan membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial dan mampu mewujudkan ukuwah islamiyah dalam arti luas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar pendidikan Agama merupakan suatu proses yang mengakibatkan beberapa perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku seseorang sesuai dengan Taxsonomi Bloom yaitu tujuan pendidikan agama yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan sifat perubahan yang terjadi pada masing-masing aspek tersebut tergantung pada tingkat kedalaman belajar[11].
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pendidikan agama menekankan pada pengertian interaksi yaitu hubungan aktif dua arah (timbal balik) antara guru dan murid. �Hubungan aktif antara guru dan murid harus diikuti oleh tujuan pendidikan agama. Tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan penghayatan�[12], pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaanya berbangsa dan bernegara. Usaha guru dalam membantu murid untuk mencapai tujuan adalah guru harus memilih bahan ajar atau meteri pendidikan agama yang sesuai dengna tujuan yang akan dicapai. Di samping memilih bahan yang sesuai, guru selanjutnya memilih dan menetapkan metode dan sasaran yang paling tepat dan sesuai dalam penyampaian bahan dengan mempertimbangkan faktor situasi serta diperkirakan dapat memperlancar jalannya proses belajar mengajar pendidikan agama. Setelah proses belajar mengajar dilaksanakan, maka komponen lain yang harus disertakan adalah evaluasi.
C.    Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja memiliki arti tentang �sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja�.[13]Dalam Bahasa Inggris, padanan untuk makna kinerja adalah kata ferformanceyang �berarti kemampuan dan kemauan melakukan sesuatu pekerjaan, atau dapat disebut juga sebagai prestasi kerja, yaitu hasil yang diinginkan dari suatu perilaku. Dalam pengertian ini mencakup kemampuan mental dan fisik�.[14]
Secara terminologi, Fremont, Kast dan Rosenzweig yang diterjemahkan oleh M. Yasin, sebagaimana yang dikutip oleh Afnibar, menyatakan bahwa kinerja adalah �proses kerja seseorang individu untuk mencapai tujuan yang relevan�.[15]Dachniel menyatakan bahwa kinerja berarti �kemauan dan kemampuan melakukan suatu pekerjaan�.[16]Artinya, kinerja merupakan semangat, intensitas, kemauan serta kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Dalam kata kinerja juga terkandung makna profesionalitas, sebab dalam mewujudkan kinerja, keterampilan seseorang dalam bidang yang ia kerjakan sangat menentukan. Selanjutnya, Tuckman mendefinisikan bahwa �kinerja (performance) digunakan untuk menandai manifestasi pengetahuan, pemahaman, ide, konsep, keterampilan dan sebagainya yang dapat diamati�[17].
Guru PAI merupakan sebagai pendidik, amanah kinerja dalam melaksanakan tugasnya lebih terfokus pada internalisasi nilai yang berada dalam makna tugas mendidik. Label Pendidikan Agama Islam memberikan gambaran bahwa tugasnya bukan hanya sekedar mentransformasikan ilmu kepada para peserta didik, tetapi juga harus berusaha memberikan srtategi pemaknaan dari materi pembalajaran yang ia laksanakan, sehingga pendidikan Agama Islam yang sayarat dengan pendidikan nilai tidak hanya sekedar berada dalam level keilmuan peserta didik saja, tetapi menjadi identititas dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan di sekolah bukan hanya ditentukan oleh usaha murid secara individual atau karena interaksi antara guru dan murid dalam proses dan kegiatan belajar mengajar saja, tetapi faktor guru beserta segala aspek kepribadiannya juga banyak mempengaruhi tingkat kemajuan dan keberhasilan murid dalam belajar. �Guru adalah salah satu faktor pendidikan yang memiliki peran yang paling strategis, sebab dialah penentu terjadinya proses belajar mengajar�.[18]Dalam proses belajar mengajar ini guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar.
Oleh karena itu untuk mengetahui dan memahami tugas dan tanggung jawab guru, maka perlu diuraikan terlebih dahulu tentang definisi guru sebagai berikut:
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan ru) yang berarti �digugu� dan �ditiru�. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didiknya.[19]

M. Ali Hasan dan Mukti Ali mengatakan bahwa Pengertian guru secara terbatas adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas, dan dalam arti luas adalah seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadiannya, baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah.[20] Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa guru selain menyampaikan materi pelajaran di depan kelas, guru juga bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian peserta didiknya. Istilah lain yang identik dengan guru adalah pendidik dan pengajar. Namun, kedua istilah tersebut memiliki makna dan pengertian yang berbeda. Meski demikian, keduanya tetap tidak dapat dipisahkan, karena �seorang guru haruslah bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik�.[21]
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa:Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan, pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[22]

Bila dikaitkan dengan agama Islam, maka pendidik adalah sebagaimana dikemukakan oleh Samsul Nizar:Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya jasmani maupun rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[23]
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir adalah pendidik adalah sebagai berikut:
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektif, yang dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat yang setinggi mungkin, menurut ajaran Islam.[24]

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, pendidik memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengajar. �Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid�.[25]Sedangkan menurut pengertian para tokoh di atas, pendidik tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran saja. Tetapi pendidik memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan seluruh potensi anak didik agar mencapai tingkat kedewasaan.
Dalam konsep Islam guru adalah sumber ilmu dan moral. Ia merupakan tokoh identifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran akhlaknya, sehingga anak didiknya selalu berupaya untuk mengikuti langkah-langkahnya. Kesatuan antara kepemimpinan moral dan keilmuan dalam diri seorang guru dapat menghindarkan anak didik dari bahaya keterpecahan pribadi.[26] Dengan demikian guru agama Islam tidak sama dengan guru pada umumnya. Karena guru agama Islam memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mendidik para peserta didiknya. Sebagai seorang guru agama Islam, tidak hanya terbatas menyampaikan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga harus mampu membentuk peserta didik menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan menghamba kepada Khaliqnya dengan dijiwai nilai-nilai ajaran Islam. �Guru adalah prajurit terdepan di dalam membuka cakrawala peserta didik memasuki dunia ilmu pengetahuan dalam era global ini�.[27]
Karena guru merupakan faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan proses pendidikan. Maka, menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, guru juga memiliki �tanggung jawab yang besar dalam upaya menghantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan�.[28]      
Berbicara tentang perbaikan kinerja guru, khususnya guru PAI, tidak bisa dilepaskan dari apa yang menjadi tugas pokok (topoksi) utama dan berbagai tanggung jawab guru yang terkait lainnya. Tugas dan tanggung jawab guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar, perencana pembelajaran, supervisor, motivator, evaluator, innovator, serta tugas lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai guru pendidikan agama Islam.
Telaah atas eksistensi pendidik dalam literatur kependidikan menyatakan bahwa guru harus memiliki karakteristik professional sebagai berikut:
Pertama, komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continous improvement (improvisasi berkelanjutan). Kedua, menguasai dan mampu  mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi, dan implementasi ilmu kepada peserta didik. Ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Keempat, mampu menjadikan dirinya sebagi model dan pusat anutan (centre of self- identification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Kelima, mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).[29]

Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan nawaitu yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.
Program kegiatan sistem pembinaan profesional atau pemberian bantuan profesional kepada guru dilakukan dengan berbagai program kegiatan seperti pelatihan, tutorial dalam kelas. Program kegiatan disusun bersama, dilakukan secara berkelanjutan dan terjadwal, dipantau dan dievaluasi. Pelatihan guru dirancang bersama antara unsur Pembina, pengawas, tutor inti, guru pemandu, setelah mendapatkan masukan dari kepala sekolah tentang kebutuhan kebutuhan yang diperlukan oleh guru di dalam proses belajar mengajar. Bahkan masukan dari kepala sekolah yang berupa kajian dari hasil pelaksanaan supervisi kelas, sangat penting untuk menentukan warna dan isi materi pelatihan .          
D.    Keaktifan Siswa dalam Belajar
     
Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan pendidikan, dalam kegiatan ini siswa diharapkan aktif melakukan berbagai aktivitas belajar sebagai upaya mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai hal-hal yang belum diketahui yang dapat diperoleh siswa dari guru dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran tidak terjadi secara otomatis, tetapi dilakukan bersama-sama antara guru dan siswa sehingga siswa mendapatkan akses pengetahuan secara sempurna dan baik yang pada akhirnya siswa akan meraih prestasi belajar yang optimal.
Kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara terencana dan menyentuh aspek psikis siswa, sehingga tumbuh motivasi bagi siswa untuk melakukan aktivitas belajar dan meraih hasil belajar yang tinggi, sebab prestasi belajar yang tinggi hanya akan diperoleh bilamana dilakukan aktivitas belajar yang serius dan bersungguh-sungguh.
Selain dukungan yang diberikan guru untuk menggiatkan siswa dalam belajar, juga dibutuhkan dukungan orang tua dan keluarga di rumah tangga untuk memotivasi siswa agar lebih giat lagi dalam belajar. Dengan mengingatkan siswa untuk belajar oleh orangtua disertai pengawasan dan pemenuhan fasilitas. Dengan demikian akan memungkinkan siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan guru dan memperoleh prestasi belajar yang memuaskan.
Adanya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di sekolah, serta dukungan yang diberikan orang tua dan keluarga terhadap kegiatan belajar siswa, tidak lain adalah untuk menumbuh kembangkan kreativitas siswa supaya siswa memiliki pengetahuan, keterampilan, berwawasan dan yang paling penting adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Dalam menciptakan siswa yang berkualitas, berprestasi, kreatif dan mandiri, maka:
Pemerintah terus berupaya melakukan pembenahan dan perbaikan dalam sistem pendidikan nasional, untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang cukup mendasar yang dipandang oleh berbagai pihak sudah tidak  efektif, dan tidak mampu lagi memberikan bekal, serta tidak dapat mempersiapkan peserta didik untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Perubahan mendasar tersebut berkaitan dengan kurikulum, methode atau sistem pembelajaran, melalui keterampilan yang dengan sendirinya menuntut dan mempersiapkan berbagai perubahan pada komponen-komponen pendidikan lain.[30]

Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak dan situasi lingkungan serta lembaga pendidikan dimana siswa sekolah. Melalui pendidikan berdasarkan bidang studi yang diajarkan sebagai pelajaran memiliki dampak yang dapat menciptakan kecakapan bagi siswa.
Disadari bahwa untuk menciptakan manusia yang berprestasi, kreatif serta siswa yang berilmu pengetahuan tidak semudah yang dibayangkan. Karena untuk menciptakan siswa yang demikian perlu adanya keseimbangan keinginan dan keaktifan belajar siswa. Hal ini tidak terlepas tentang motivasi siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar.
Kegiatan pembelajaran dalam pendidikan, khususnya pendidikan formal yang berlangsung disekolah, merupakan interaksi aktif antara guru dan siswa. Tugas dan tanggung-jawab utama seorang guru adalah mengelola pembelajaran dengan lebih efektif, dinamis, efisien, dan positif, yang ditandai dengan adanya kesadaran dan keterlibatan aktif di antara dua subjek pembelajaran[31]. Guru sebagai penginisiatif awal dan pengarah serta pembimbing, sedangkan siswa  sebagai yang mengalami dan terlibat aktif untuk memperoleh perubahan diri dalam pembelajaran.
Peran guru dalam proses pembelajaran, bukanlah mendominasi, tetapi membimbing dan mengarahkan siswa untuk aktif memperoleh pemahamannya berdasarkan segala informasi yang siswa temukan dari lingkungannya. Siswa harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuan yang diperolehnya, sebab pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, akibatnya tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Keaktifan siswa merupakan salah satu prinsip utama dalam proses pembelajaran. Belajar adalah berbuat, oleh karena itu tidak ada belajar tanpa aktivitas. Pengalaman belajar hanya dapat diperoleh jika siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya[32]. Seorang guru dapat menyajikan dan menyediakan bahan pelajaran, tapi siswalah yang mengolah dan mencernanya sendiri sesuai kemauan, kemampuan, bakat, dan latar belakangnya.
Keaktifan siswa penting dalam proses pembelajaran sebab pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak dapat ditransfer begitu saja tetapi harus siswa sendiri yang mengolahnya terlebih dahulu. Praktik pembelajaran yang keliru mengkondisikan siswa untuk hanya menerima, manja, tanpa kreativitas untuk menemukan sendiri pengetahuannya atau apa yang dibutuhkannya untuk dipelajari. Keaktifan siswa dalam pembelajaran dapat diwujudkan melalui penggunaan berbagai macam variasi model pembelajaran dan media pembelajaran. 
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala kegiatan yang bersifat fisik maupun non fisik siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar yang optimal sehingga dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif.                              
E.    Peningkatan Prestasi Belajar Siswa
                                         
Menurut David Krech, mengemukakan bahwa, �pretasi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan sesuatu yang mungkin berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.[33] Prestasi itu dapat meningkat setelah melalui penafsiran yang dirangsang oleh suatu belajar, kemudian memberikan respon dengan menghubungkan stimulus tersebut pada objek pengetahuan yang berkaitan. Sehingga individu mengenal dan memberi makna pada pengetahuan itu. Dengan demikian mereka telah mengambil kesimpulan. Prestasi terjadi karena kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran. Penafsiran merupakan masa proses peningkatan prestasi yang sangat penting. Proses penafsiran ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman motivasi dan pengetahuan.
            William James menjelaskan peningkatan prestasi adalah suatu usaha meningkatkan kemampuan peserta didik yang dilakukan sendiri secara individu dengan melalui bantuan orang lain. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan cara membaca, melihat dan memahami suatu ilmu pengetahuan dengan serius.[34]
            Dalam meningkat prestasi cenderung menyusun program sepanjang garis tendensi-tendensi alamiah (hasil dari pengalaman-pengalaman yang telah dipelajari) tertentu yang ada di otak. Ia menambahkan bahwa cara kita mengapresiasikan situasi sekarang yang tidak bisa terlepas dari adanya pengalaman-pengalaman sensoris terdahulu, karena meningkatkan prestasi merupakan proses pengetahuan, yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lampau.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi ialah proses peningkatan pemahaman atau pemaknaan seseorang terhadap sesuatu objek berdasarkan informasi yang diperoleh dari inderanya. Informasi yang masuk melalui organ indera terlebih dahulu diorganisasikan dan diinterpretasikan sebelum dapat mengerti. Hasil pengolahan otak ini selanjutnya melahirkan peningkatan prestasi dalam kegiatan belajar.
Dalam meningkatkan prestasi belajar di sebuah lingkungan sekolah, tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal yang berhubungan erat dengan peningkatan prestasi antara lain adalah:
Menurut Thoha ada empat faktor yang mempengaruhi peningkatan prestasi belajar, yaitu:
a.     Faktor Psikologis
Prestasi seorang siswa dalam belajar dipengaruhi oleh keadaan psikologis atau kejiwaan. Pengalaman mental merupakan salah satu faktor bagi seorang guru adalah menilai dan menanggapi suatu masalah. Kondisi psikologis yang sedang tenang akan menghasilkan fikiran yang rasional, sehingga prestasi yang diharapkan benar-benar tinggi. Bila kondisi siswa sedang senang ia akan berpikir yang baik mengenai belajar di sekolah.[35]
b.     Faktor Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali siswa belajar segala sesuatu. Pola pikiran orang tua secara perlahan-lahan akan ikut juga mewarnai pola pikiran anaknya. Bila orang tua memandang segala sesuatu masalah dari sudut pandang yang positif dan objektif, hal itu akan berpengaruh pada pola pikir anaknya dimasa mendatang.[36]
c.     Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan tempat tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu faktor pembentukan prestasi dalam diri siswa.
d.     Karakteristik Guru
Karakteristik guru memberikan pengaruh yang amat besar terhadap prestasi siswa. Sebab guru merupakan salah faktor yang menentukan siswa dapat meraih prestasi yang lebih baik.
            Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi seorang siswa sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
1.     Faktor psikologis, termasuk emosional, keluarga dan lingkungan.
2.     Faktor karakteristik guru yang pada dasarnya berbeda dan unik dari guru lain.
3.     Faktor penilaian guru itu sendiri terhadap objek yang diamati berdasarkan hasil pendidikan, kebiasaan dan ketentuan yang berlaku dalam lingkungan tempat guru itu tumbuh dan berkembang.[37]
Meningkatkan prestasi siswa merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang mesti dilakukan jika terdapat siswa yang nakal dalam belajar. Namun dalam melakukan usaha meningkatkan prestasi siswa[38], maka guru menggunakan beberapa cara, antara lain:
1.      Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Namun demikian yang harus diingat  oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna.
2.      Memberi Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk sesuatu pekerjaan tersebut[39].
3.      Memberatkan Saingan/Kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
4.      Menumbuhkan Ego � Involvoment
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu motivasi yang cukup penting.
5.      Memberi Materi Ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar jika mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan merupakan sarana motivasi, tetapi memberikan ulangan jangan terlalu sering, karena siswa bisa bosan dan bersifat rutinitas.
6.      Mengetahui Hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka motivasi pada diri siswa untuk terus belajar dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat[40].
7.      Memberi Pujian
Pujian merupakan benyuk motivasi yang positif sekaligus umpan balik yang baik. Oleh karena itu, supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat.
8.      Memberi Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif kalau diberikan secara tepat dan bijak maka dapat menjadi alat motivasi. Tetapi guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.[41]
9.      Menumbuhkan Hasrat untuk Belajar
Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
10.  Menumbuhkan Minat
Motivasi sangat erat hubungannya dengan unsur minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan proses belajar mengajar akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Minat antara lain dapat dibangkitkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a)     Membangkitkan adanya suatu kebutuhan.
b)     Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau.
c)     Memberikan kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik.
d)     Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.[42]
11.  Menunjukkan Tujuan yang Diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Bermacam-macam motivasi itu dapat dikembangkan dan diarahkan untuk melahirkan hasil belajar yang bermakna. Pada mulanya, siswa termotivasi untuk rajin belajar, tetapi guru juga berperan untuk meningkatkan motivasi siswa dari tahap rajin belajar ke arah kegiatan belajar yang mampu memahami isi dari pelajaran yang didapati sekolah.





               [1] Withelingson. HC., Psikologi Pendidikan, Alih Bahasa M. Bukhari, (Jakarta: Aksara Baru, 1984), hal. 12.

[2] Harun Nasution, Islam Ditinja dari Berbagai Aspek, Jilid. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 9.

[3] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1996), hal. 33.
[4]Abdul Fida Kastori, Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ishlan, 1995), hal. 38.

[5]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 8, (Bandung: Al-Ma�arif, 1994), hal. 21.

[6]Kurikulum/GBPP Sekolah Menengah Umum, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), hal. 21.

               [7]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 181.
               [8]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 25.

               [9]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2004), hal. 145-156.

               [10]Nana Sudjana,  Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar,  (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hal. 152-153.
               [11] Pupuh Fathurrohman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar Melalui Konsep Umum dan Konsep Islami, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 28.

               [12]Muhaimin,  Paradigma Pendidikan IslamUpaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2004), hal. 145.
               [13] Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 156.

               [14]Gibson JL, J.M. Ivancevich, J.H. Donelly, Jr., organization: Behaviour, Structure and processes, Fifth Edition, (Texas: Bussines Publication Inc., 1992), hal. 9.
              
               [15]Afnibar, Memahami Profesi dan Kinerja Guru, (Jakarta: The Minang Foundatioan, th 2005), hal. 21.

               [16] M. Dachniel Kamars, Kurikulum Untuk Abad 21 dalam Model Pengelolaan dan Penelitian Kurikulum, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994), hal. 10.
               [17]Tuckman, Conducting Educational Research, (New York : Harcourt Brace Javanovich, INC, 1978), hal. 123.

               [18]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 75.

               [19]Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hal. 90.

               [20] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), hal. 81.
              
               [21]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 167.
               [22] UU RI Nomor 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 27.

               [23]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 41.

               [24]Ahamd Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 74.

               [25]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hal. 19.
               [26]Azra, Esei-esei..., hal. 167.

               [27]H.A.R. Tilaar, Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 167.
               [28]Nizar, Filsafat Pendidikan....., hal. 41.
               [29] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja  Rosdakarya, 1998), hal. 29.
               [30]Abdul Aziz Rambe,  Sumbangan Pendidikan Islam Dalam Pembangunan Nasional, (Medan:  Toha Putra, 1994), hal. 87.
               [31]Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. 8, (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 2004), hal.10.

               [32]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik ; dalam interaksi edukatif, Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 184.
[33]Yahya, dkk, Bagaimana Meningkatkan Prestasi Siswa, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), hal. 1.

[34]Widayatun, Metode Meningkatkan Prestasi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 110.
[35]Thoha, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 55.
[36]Ibid.,hal. 56.

[37]Ibid., hal. 57.

[38]Roestiyah N. K., Strategi Pengajaran Ilmu Eksact, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 45.

               [39]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 36.
               [40] Ibid.,

               [41] Ibid.,
               [42]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hal. 19.