Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Wali


BAB III
KEWALIAN DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH


A. Pengertian Wali
Anggapan yang telah menyebar dikaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karamah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syariat islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahwa melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah, namun dia mampu  menunjukkan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karamah) maka orang tersebut bisa dianggap wali Allah.[1]
 Hal  ini  disebabkan  karena  kaum  muslimin  (terutama  yang  di  Indonesia)  sejak  kecil  telah ditanamkan  pemahaman  yang  rusak  ini.  Apalagi  ditunjang  dengan sarana�sarana elektronik seperti adanya film�film para sunan yang menggambarkan kesaktian para wali. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin. Ketahuilah Allah telah  menjelaskan  dalam  kitab�Nya  dan  sunnah  Rasul�Nya  bahwasanya.
Kata wali diambil dari lafad al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-�adawah adapun arti dari al-walayah adalah al-muhabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan) sedangkan arti al-�adawah adalah al-buqdlu(kebencian) dan al-bu�du (kejauhan) sedangkan wali artinya yang dekat. Apabila seseorang dekat kepada Allah disebabkan ketaatan dan keikhlasannya,dan Allah pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat kebajikan dan kurunianya, maka pada saat itu terjadilah perwalian dan orang tersebut dinamakan dengan wali.[2]
Wali secara bahasa berasal dari bahasa Arabwaliyun artinya orang saleh yang ketaatannya terus-menerus kepada Allah, tanpa diselang-selangi oleh perbuatan maksiat.[3]Wali dalam bahasa juga memiliki arti sabagai al-qarib yang artinya dekat. Sementara pengertian wali Allah dalam bahasa Indonesia adalah seorang hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Allah dan menjauhi segala larangan (maksiat). Allah pernah menjelaskan bahwa,wali Allah mereka yang beriman dan bertaqwa atas segala perintah yang diserukan Allah, maka dialah yang dianggap sebagai wali.
Wali menurut istilah adalah orang-orang yang dekat, mencintai dan mendapat pertolongan dari Allah. Allah memberikan petunjuk kepada walinya agar menaati, mencintai, dan menolong agamanya. Seorang wali harus beriman kepada Allah, mendekatkan diri padanya dengan ketaatan, dan menjauhkan segala yang dilaranganya. Menurut Ahli Sunnah Wal jamaah pengertian kewalian secara istilah tidak berbeda makna dengan pengertian menurut bahasa, yaitu berkisan antara dekat, cinta, dan penolong.[4]
Apabila seseorang dekat kepada Allah disebabkan ketaatan dan keikhlasannya,dan Allah pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat kebajikan dan kurunianya, maka pada saat itu terjadilah perwalian dan orang tersebut dinamakan dengan wali. Sufi yang telah mencapai tingkat wali Allah akan memiliki ilmu gaib atau ilmu laduni, yaitu mengetahui segala apa yang telah terjadi dan belum terjadi. Para kaum sufi yang telah sampai pada derajat wali Allah, berarti Tuhan telah menjadikan mata-Nya untuk melihat, telinga�Nya untuk mendengar. Mereka telah mendapat karamah atau berkah, yaitu kemuliaan yang istimewa sehingga mereka dapat berhubungan dengan alam gaib, dengan roh dan dengan malaikat.[5]
B.       Tahap-Tahap Menuju Wali
Ma�rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam al-Ghazali: Ma�rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah Swt. Ma�rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma�rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa: Ma�rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada lebih lanjut ditegaskannya bahwa: Ma�rifatitu adalah memandang kepada wajah Allah Swt. 
Pada tingkat hakikat ini seseorang hamba akan merasakan kebenaran yang sejati dan mutlak, yang masih belum diperolehnya lewat syari�at ataupun thariqat. Memang ada suatu kebenaran dalam syari�at maupun thariqat, tetapi suatu kebenaran tersebut masih belum mencapai puncaknya. Dan kalau dikaji lebih jauh, sebenarnya dalam syari�at itupun ada suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui bahwa kesemua hukum-hukum atau aturan yang tertuang dalam syari�at itu mempunyai suatu tujuan, yaitu pendekatan kepada-Nya. Tetapi upaya dalam syari�at ini adalah baru pada tahap pertama, dimana tahap berikutnya harus ditempuh dalam jalan tarekat, kemudian setelah kedua tahap ini dilalui maka akan mencapai tingkat hakikat (kebenaran yang hakiki).[6]
Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan dan kemudahan serta syari�at yang lengkap dan menjamin manusia dalam kehidupan bersih lagi mulia dan menyampaikan mereka kepuncak ketinggian dan kesempurnaan. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh Risalah Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepada-Nya dan mengokohkan hubungan antar sesama manusia serta menegakkannya diatas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Dimana seseorang itu wajib hukumnya untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal menuju kesempurnaan beragama. Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang dilakukan bagaimana mungkin bisa dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja tidak diketahui. Karena itu sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu di dalam kehidupan ini. Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya manis lezatnya ke imanan, dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan Jiwa akan mengalir di dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar, tawakkal serta ridho dalam menjalani hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang melebihi daripada kebahagiaan para arif billah/orang yang mengenal akan Allah.
Seandainya Allah Swt. membukakan akan rahasia keagungan para arif billah, maka niscaya orang-orang akan tercengang dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena Nur yang meliputi diri para Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke langit ketujuh. Karena itu lah Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya itu, sehingga tidak ada yang mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah dan mereka-mereka yang sama-sama telah sampai pada maqam Ma�rifatullahtersebut.
Adapun Manusia-manusia itu untuk sampai kepada pengenalan akan Allah (Ma�rifatullah) maka terlebih dahulu ia haruslah mengenal dirinya yang sebenar-benarnya.
Tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah :
1.   Menundakan Hawa Nafsu
Pembahasan tentang nafsu banyak dijelaskan dalam al-Quran dan sebagian ulama, hawa nafsu merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan, kadang-kadang mendorong kearah yang baik (makruf), kadang-kadang pula mendorong kepada yang buruk (munkar).[7]Hawa nafsu juga merupakan sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu obyek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut.
Manusia diciptakan Tuhan mempunyai hawa nafsu, yaitu sebagai penggerak dan pendorong untuk bekerja mengusahakan keperluan hidupnya atau menghindarkan bahaya yang mungkin menimpanya. Apabila manusia memperturutkan hawa nafsunya, tentu saja dia akan bertindak melanggarkan batas, akibatnya bukan saja akan membinasakan dirinya sendiri, juga manusia lainnya. Oleh karena itu, nafsu itu harus dikendali, supaya berjalan lurus dan tidak menyeleweng kepada kejahatan.[8]
Untuk dapat melaksanakan tarekat dengan baik seorang murid hendaknya mengikuti jejak dan melaksanakan perintah dan anjuran yang diberikan oleh mursyidnya. Ia tidak boleh mencari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan dan dengan segala kekuatannya ia harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa dan noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus memperbanyak wirid, zikir, dan doa, serta memanfaatkan waktu seefesien mungkin, untuk tidak melanggar hukum agama, murid harus belajar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat.[9]
Biasanya untuk melaksanakan aktivitas tarekat secara baik, pengikut tarekat dimasukkan kesebuah tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar) zawiat (tempat ibadah kaum sufi) atau khanqah, di tempat inilah amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa zikir ingatin yang terus tertuju kepada Allah Swt. dengan lidah terus menyebut nama-Nya ratib (mengucap kalimat la ilaha illah Allah tiada Tuhan selain aku) pembacaan wirid atau syair tertentu yang diiringi dengan bunyi. Bunyian seperti rebana dan melakukan gerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, maupun berupa pengaturan nafas yang berisi zikir tertentu.[10]
2.   Istiqomah

Istiqamah adalah menetapi jalan agama Allah. Menurut sebagian ulama, istiqamah selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, menetapi keimanan dan keyakinan terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam. Aplikasi istiqamah dalam kehidupan dengan cara melaksanakan semua kewajiban Islam secara rutin dengan ikhlas, seperti shalat, puasa, zakat serta menjauhi larangan-larangan Allah secara total. Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya.
Jadi muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. tulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqamah dalam sepanjang jalan dan diseluruh tahapan-tahapan dakwah.
Manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif dan buahnya yang lezat sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah istiqomah sebagai berikut; Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu juga berbeda dengan orang yang di dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan dakwah.

Pada tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka ia akan disesuaikan oleh Allah Swt. dengan hukum sunatullah yang berlaku di dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah kesabaranmu di dalam hukum Allah Swt. itu. (Tawakkal/berserah diri kepada Allah dengan meyakini bahwa apa yang terjadi atas dirinya, itu semua Qudrat Iradat Allah Swt. semata). Bersabarlah dan pasrahkanlah dengan sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama Saudara Mu�min serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain.
Sesungguhnya banyak di antara orang Mu�min Hamba-hamba Allah itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka yang takjub dan hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt yang dinyatakan ditampakkan oleh Allah berupa karomah-karomah membuat ia lupa akan Allah Swt. yang menganugrahkan kelebihan-kelebihan itu sehinggan karomah itulah yang menjadi maksud dan tujuannya.
Lalu lupa ia kepada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah Swt yang menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada jurang kefasikan, kembali dikuasai oleh Hawa Nafsunya. �Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah�. Berhati-hatilah di dalam tahapan ini, tidak ada seorangpun yang selamat dalam tahapan ini melainkan mereka yang benar di dalam memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt. sehingga jadilah Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah lah sebaik-baik penolong bagi orang-orang Mu�min.

3.   Sabar
Dilihat dari  pengertian sabar banyak ditemui berbagai macam defenisi baiksecara etimologi. Secara etimologi sabar dapatdilihat dalam beberapa pengertian yaitu :
a.      Sabar berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan al-Man�u,[11]Ash-Shabr yaitu menahan,[12]al-Shabru (menahan diri dari keluh kesah).[13]Dikatakan Shabran (aku menahan diriku dari berkeluh kesah),[14] Shabara(tidak berkeluh kesah), Shabara Nafsahu (menahan diri dan mengekangnya).
b.     Asal usul kata sabar yaitu dari kata al-Quwwah (kekuatan). Shad (obat yang sangat pahit), Waqa�a al-Qaumu Fi Amri Ahabburin (bahwa kaum tersebut berada dalam masalah pelik), Shabarratu Asy-Syita (musim dingin itu sangat dingin), al-Habsu(mencengah).
c.      Sabar dari kata kerja Shabartu dan Ashbiru, adapun Shabartudan Ashbiru (menanggung), Ash-Shabiru (pihak penanggung dan seolah-olah menahan dirinya untuk rugi).
Secara terminologi sabar merupakan menahan diri dari sesuatu yang tidak disenangi, menahan diri dari berkeluh kesah, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari mengamuk, seperti menampar pipi, mmerobek saku baju, dalam istilah syari�at dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sabar adalah menahan diri dari keluhan dan kemarahan,menahan lidah dari keluh kesah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi serta menahan anggota badan dari berbuat kekacauan.[15]
Jadi sabar merupakan menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah Swt. yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian,sakit dan kelaparan, tapi juga bisa berupa hal-hal yang disenangi. Sabar dalam dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari kesusahan dan menyingkapinya sesuai syari�at dan akal, seperti menjaga lisan dari celaan, dan menahan anggota badan dari berbuat dosa. Bahwa sabar bukan saja diidentik dengan cobaan saja atau kesulitan, tapi sabar harus diterapkan dalam setiap aspek baik dalam kesusahan maupun kesenangan, karena dengan adanya sabar maka bisa menahan diri untuk tidak bersikap berlebihan atau menahan diri dari pemborosan harta.
a.      Jenis-Jenis Sabar
Diantara kondisi-kondisi yang ditekankan agar bersabar secara  garis besar terbagi atas beberapa jenis-jenis sabar yaitu:
1.     Sabar dalam Ketaatan Kepada Allah
Sabar dalam ketaatan kepada Allah merupakan pengendalikan diri supaya tetap melaksanakan ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. jangan sampai mengengeluh, melalaikan atau meninggalkan dan kecelakaan dirinya, ketika seorang hamba mengetahui pahala yang terkandung dalam sebuah amal ketaatan. Taat kepada Allah Swt. bukanlah hal yang ringan, sebab dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. terdapat sesuatu yang berat atas jiwa dan fisik seseorang sehingga merasa kesulitan untuk menjalankannya, oleh sebab itu sangat diperlukan kesabaran.  Di sisi lain, ketaatan terkadang membutuhkan modal uang seperti zakat, infak, dan haji maka menjalankan ketaatan-ketaatan ini menjadi beban bagi jiwa manusia, karena tabiat dasar manusia itu pelit, sayang terhadap harta yang telah diusahakannya.[16]

2.     Sabar Terhadap maksiat
Sabar terhadap maksiat.[17] Merupakan menahan diri  dari berbuat  maksiat,karena perbuatan maksiat tidak lain adalah sebagai akibat dari godaan hawa nafsu yang selalu meminta kepuasan tanpa  mempertimbangkan halal atau haramnya. Bersabar dari kemaksiatan berarti berupaya untuk meninggalkan serta menjauhi setiap larangan Syari�at tanpa mempertimbangkan besar atau kecilnya dosa yang diakibatkannya. Begitu pula bersabar dari kemaksiatan berarti ikhlas untuk taat kepada perintah Allah dan Rasul dengan melakukan perintah-perintah Allah baik yang bersifat fardhu�in maupun fardhu Kifayah. Sabar dalam menjauhi kemaksiatan berarti sabar dalam dalam menjauhi dosa-dosa.
3.     Sabar Terhadap Musibah
Sabar terhadap musibah merupakan menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin dari tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Bahwa seseorang  mendapat musibah disesuaikan dengan kadar keberagamaannya, jika agamanya kuat, maka akan ditambahkan musibahnya, jika agamanya tidak kuat,  maka mendapatkan musibah sesuai dengan keberagamaan yang ada pada pada dirinya.[18]
C.       Tanda �tanda Kewalian
Hakikatnya, kewalian seseorang itu hanya diketahui oleh Allah Swt dan para walinya yang dikehendaki oleh Allah Swt untuk mengetahui . namun demikian ada beberapa tanda-tanda lahir yang dapat dijadikan pedoman untuk menilai kedekatan seseorang kepada Allah Swt, sehingga mengantarkannya kepada pangkat waliyullah. Tanda-tanda kewalian adalah berimana kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, dan menjahui larangan-larangan-Nya dan menjahui semua hal yang tidak disukai oleh Allah. Barang siapa yang beriman dan bertakwa kepada Allah, maka dia adalah waliyullah. Sedangkan orang yang berbuat syirik, maka dia bukan waliyullah. 
Tanda-tanda kewalian dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
Iwr& ?c) u!$u?9rr& !$# ?w ?qyz Og?n=t ?wur Nd ?cqRt?ts? ?%!$# (#qZtB#u (#qR%?2ur ?cq)Gt?
Artinya: �Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.� (Qs. Yunus:62-63)
Ayat ini menjelaskan tentang tidak ada kekhawatiran atau rasa ketakutan atas mereka dan seterusnya bukan berarti bahwa rasa takut mereka hilang sama sekali. Karena ini adalah merupakan naluri manusia sehingga mustahil terjadi walau pada diri para nabi sekalipun. Jika demikian, bias jadi sesekali mereka takut, tetapi ketakutan itu tidak mengatasi kemampuan mereka untuk bertahan dan tidak juga meliputi seluruh jiwa raga mereka. Demikian juga dengan kesedihan. Sebagai manusia, mereka tentu saja tidak dapat luput dari kesedihan, tetapi kesedihan itu tidak akan berlanjut[19] Kesedihan muncul karena luput atau hilangnya sesuatu yang menyenangkan atau datangnya sesuatu yang dinilai buruk. Mereka yang menyadari bahwa segala sesuatu milik Allah, bahkan dirinya sendiri adalah milik-Nya. Dengan demikian tiada rasa takut dan sedih itu merupakan salah satu sifat utama wali-wali Allah Swt. Sejak dalam kehidupan dunia ini, bukan hanya nanti di akhirat sebagaimana dipahami oleh sementara ulama.
Perlu dicatat bahwa ketiadaan rasa takut dan sedih itu tidak menjadikan para wali Allah itu mempersamakan antara bencana dan manfaat, atau kebaikan dan keburukan, tetapi mereka menyadari bahwa setiap bencana adalah ujian yang mengantar mereka lebih dekat kepada Allah Swt. Para awliya sebagai manusia bias saja mengalami rasa takut, namun perasaan ini tidak berlangsung lama karena setelah itu Allah Swt. menurunkan sakinah atas mereka sehingga ketenangan segera tiba.[20]

1.     Beriman
Adapun cara mensyukuri nikmat iman adalah senantiasa menghiasinya dengan pendekatan diri kepada Allah dan beramal shalih seperti shalat, zikir,berdoa, sabar,bersedekah,baik kepada sesame dan lain sebagainya. Artinya, satu titik kebajikan pun akan memberikan nilai tambah kepada iman seseorang, sebaliknya bila seseorang melakukan kemaksiatan setitik pun berarti telah menodai iman seseorang itu. Seseorang perlu dan harus menanamkan dalam dirinya sikap merasa diawasi oleh Allah,yang dalam istilah tasawuf disebut dengan muraqabah.[21] Seorang mukmin yang hakiki dalam beramal senantiasa didasarkan pada iman dan ilmu.artinya, seseorang itu senantiasa berjalan dalam kenyakinan yang mantap dan menjauhkan diri dari sikap ragu-ragu.
Problem ragu-ragu merupakan sifat alamiah manusia  yang memiliki hati (qalb) yang memiliki makna asal sebagai sesuatu yang berbolak-balik, terlebih anusia diberikan akal berfikir yang senantiasa memberikan beberapa pertimbangan dan alternatif. Dua potensi itu semakin mendukung adanya sikap ragu-ragu dalam menetapkan atau menyakini sesuatu. Karena itu, hanya orang yang beriman dan berilmu sajalah yang dapat menetapkan sesuatu dengan kenyakinan.
Oleh karenanya, iman itu harus berdiri di atas kenyakinan yang kuat dan tidak lagi dimasuki oleh keraguan. Iman menjadi keadaan yang menenteramkan hati, tidak  ada keraguan dalam segala tindakan,sebab, iman merupakn cahaya yang dijadikan Allah Swt. Dalam hati hamba-hamba-Nya,sehingga  dengan kenyakinan itu dapat jelas baginya segala hal yang ghaib.
2.        Tawakal

Tawakal yaitu penyerahan diri atas segala persoalan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Imam al-Ghazali mengatakan, �hakikat tawakkal ialah merupakan keadaan jiwa yang lahir dari tauhid dan lahir pengaruh tauhid ini dalam perbuatannya�.  Tawakal adalah bagian dari buah tauhid yang tulus dan kukuh yang mantap di hati. Ketenangan jiwa dan ketentraman di hati yang dirasakan orang yang bertawakal kepada rabb-Nya. Dia merasakan ketenangan ini memenuhi seluruh relung jiwanya, sehingga tidak merasakan kecuali rasa aman selagi orang lain merasa takut, merasa tentram selagi orang lain merasa goncang, merasa yakin selagi orang lain merasa ragu-ragu, merasa mantap selagi orang lain resah, optimistis selagi orang lain pesimis.[22]
Ibnu Ujaibah mengatakan, Tawakal adalah kepercayaan hati terhadap Allah, sampai dia tidak bergantung kepada sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain, tawakal adalah bergantung dan bertumpu kepada Allah dalam segala sesuatu. Selain itu, tawakal juga menuntut subyek untuk melebihkan semua yang ada dalam kekuasaan Allah lebih dipercaya daripada yang di tangan subyek.
Kata lain dari tawakal adalah mencukupkan diri dengan pengetahuan Allah tentang dirimu, dari ketergantungan hatimu kepada selain Dia, dan engkau mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah.  Jadi, tawakal kepada Allah adalah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, bergantung dalam semua keadaan kepada-Nya, dan yakin bahwa segala kekuatan dan kekuasaan hanyalah milik-Nya. Tawakal merupakan sikap hati, sebagaimana tampak dalam definisi di atas. Oleh karena itu, tidak ada pertentangan antara tawakal kepada Allah dan antara bekerja serta berusaha.[23]
Tawakal juga merupakan salah satu hasil dari iman dan buah dari makrifat. Sejauh mana seorang hamba mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, maka sejauh itu pulalah tawakalnya kepada-Nya. Sesungguhnya yang bertawakal kepada Allah hanyalah orang yang tidak melihat adanya pelaku selain dia. Orang yang bertawakal kepada Allah adalah orang yang bangga dengan-Nya, dan tidak meminta sesuatu kepada selain hamba, padahal dia menemukan semua apa yang diinginkannya pada Tuhannya.
Inti tawakal ialah kesadaran hati bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah Swt. Yang bermanfaat atau pun yang bermudharat, yang meyenangkan atau pun meyusahkan. Jika seandainya seluruh makhluk bersatu untuk memberi manfaat kepada seseorang, niscaya mereka tidak akan memberinya manfaat apapun, kecuali yang telah di tetapkan Allah baginya atau mereka semuanya bersatu padu untuk menimpakan suatu mudharat atasnya, niscaya mereka tidak akan mampu melipahkan sesuatu kecuali yang telah di tetapkan Allah Swt.
Allah Swt. telah menetapkan kekuasaannya atas segala penjuru di timur dan barat, kemudian dengan keesaan dan ke-Ilahian-Nya, dia memerintahkan kita melakukannya. Apabila Allah Swt. berulang kali memerintahkan hambanya, firman  yang artinya �Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.[24] Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.�
D.    Cara Menghormati Wali
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati.
Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kuburan Nabi Saw. saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi Saw. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia. Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid�ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian diakhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum�at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum�at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, sebagaimana dikatakan Imam Syafi�i: �Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah�.
Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberi tahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang di akhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dan sebagainya. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi �Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Mukhtar bin Abi �Ubaid mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu �Umar dan Ibnu �Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: �Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa �. (Asy Syu�araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman Allah, �Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu�. (QS. Al An�aam, ayat: 121).
Sebenarnya menghormati waliyullah bukanlah dengan berdoa di kuburannya, apalagi meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati, yang pada hakikatnya adalah merupakan kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. justru ini adalah merupakan suatu perbuatan yang di benci oleh waliyullah itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Sehingga mereka akan lebih merasa takut kepada wali daripada mereka takut kepada Allah.
Sesungguhnya menghormati waliyullah itu dengan berdoa dan bersungguh-sungguh serta tulus untuk beliau, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menganugerahkan suatu bentuk berkah yang berlimpah untuk beliau. Orang-orang yang berdoa dengan tulus untuk beliau maka orang-orang tersebut menjadi semakin dekat kepada Allah Swt.
E.    Mursyid dan Wali
Secara etimologi kata mursyid berasal dari �irsyad� yang artinya petunjuk. Jadi mursyid adalah orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama. Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt. untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan. 
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt. dengan mengikuti jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al-Qur�an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian.
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thariqah, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid shohibut thariqah  yang musalsal (silsilahnya) dari Rasulullah Saw. untuk mentalqin dzikir/wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam Thariqah Tijaniyah sebutan untuk mursyid adalah "muqoddam". Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam tarekat.
Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid�-muridnya dalam kehidupan lahiriyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah Swt. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli tarekat.
Mursyid adalah seorang laki-laki yang memimpin tharekat dan persulukan didaerah-daerah tertentu. Tugas mursyid adalah mengajar, membimbing, dan mendidik murid-murid dalam mengamalkan ajaran tarekat, dan senantiasa membimbing mereka untuk mengingat Allah dan mempunyai akhlakul karimah. Seorang wali yang mursyid adalah mereka berpegang teguh pada  al-Qu�ran dan hadis tidak pernah meninggalkan syariah dan sunnah. Karena tak ada tariqah tanpa syariah, karena syariah adalah penerang untuk menjalani jalan tariqah agar tak tersesat dan menuju hakikat.
Banyak thariqat yang berkembang dengan beragam bentuk cara pengamalannya, seperti thariqat Naqsyabandiyah, Qadariyah, Syatariah, Syadziliyah dan lain-lain. Semua ajaran thariqat tersebut dipimpin oleh seorang Guru Mursyid sebagai pembimbing dan penuntun ke jalan menuju pada satu tujuan yaitu ma�rifat billah atau mengenal Allah. tanpa guru yang mursyid tidaklah mungkin seseorang itu dapat melakukan perjalanan sampai kepada tujuan dimaksud.
Dalam khazanah ilmu tasawuf guru mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk hierarki manusia untuk sampai ke tingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi al-Qur�an telah tertanam dalam dirinya. Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti lebih dalam sehingga masih menjadi sebuah misteri dalam kehidupan manusia. Bahkan pemuka agama sekalipun banyak yang belum mengetahuinya. guru Mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.
Predikat mulia yang diberikan secara khusus oleh Allah kepada manusia pilihan ini sebenarnya secara gambling telah disebutkan dalam al-Qur�an surah al-Kahfi ayat 17 dengan sebutan Waliyam Mursyida artinya wali yang mursyid. Kata Wali di sini dalam versi kaum Sufi diartikan sebagai figure manusia suci, pemimpin rohani, manusia yang sangat taat beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kata Mursyid diartikan sebagai nul Ilahi, cahaya Ilahi atau energi Ilahi.
F.   Karamah
Karamah adalah kemuliaan dari Allah bagi para walinya yaitu orang yang telah sampai ke terminal hakikat dalam perjalanan ruhaninya menuju makrifat, karamah adalah satu tingkat di atas barokah dan satu tahap di bawah mukjizat para nabi,tetapi tidak di perintahkan untuk diproklamirkan atau di umumkan dan di tunjukan kepada orang lain. Karamah tidak dapat di analisa oleh akal telanjang mata, dengan karamah para wali dapat membuka mata kepala bisa menyadarkan mata fikiran, serta memantapkan mata hati terhadap hakikat tauhid, karamah itu hanya di berikan kepada orang-orang muttaqin, orang-orang muttaqin adalah wali-wali Allah.[25]
Karamah merupakan sesuatu kejadian yang luar biasa yang terjadi diluar kebiasaan manusia. Karamah yang ada pada para Nabi di sebut dengan mukjizat, contohnya adalah mukjizat al-Qur�an yang dimiliki Rasulullah Saw. Mukjizat tongkat Nabi Musa Saw. Adapun karamahyang dimiliki oleh orang-orang salih, seperti yang kita kenal contohnya apa yang terjadi dalam kisah Ashabul Kahfi dan juga kisah Maryam sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-Imran Ayat 37 yang berbunyi:
$ygn=6s)tFs $yg?/u? @Aq7s)/ 9`|ym $ygtFt7/Rr&ur $?$t6tR $YZ|ym $ygn=x.ur $?x.y? ( $yJ=. ?@yzy? $yg?n=t $?x.y? z>#tsJ9$# y?y`ur $ydy?Z $]%?? ( tA$s% LuqyJt? 4?Tr& 7s9 #x?yd ( Ms9$s% uqd `B ?Z !$# ( b) !$# -?t? `tB !$to? ?t/ A>$|m

Artinya: �Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.�

Karamah merupakan perkara luar biasa yang berlaku ke atas ulama atau wali Allah. Mereka adalah golongan insan yang beriman dan beramal saleh, ikhlas dalam perkataan, perbuatan serta menjadikan seluruh kehidupan mereka hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Para kekasih Allah sangat menumpukan seluruh perhatiannya kepada Allah dan Allah pun senantiasa memperhatikannya bahkan menjadikan insan soleh tersebut lebih dekat kepada-Nya. Karamah berlaku sepanjang zaman sejak dahulu hingga ke hari ini. Begitu halnya dari kalangan para sahabat, memiliki karamah atau kelebihan yang luar biasa. Mereka beriman dengan kejernihan kalbu, kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya melebihi segala-galanya bahkan kasih sayang mereka terhadap orang mukmin sangat mendalam, sehingga akhirnya mereka memperoleh darjat yang tinggi.
Karamah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali, karamah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian kepadanya, atau untuk menambah kenyakinannya kepada ajaran Allah, atau menjadi penolong dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Karamah berasal dari kata Ikram yang mempunyai arti penghargaan dan pemberian. Allah mengurniakan wali-wali-Nya berbagai kejadian luar biasa atau yang biasa disebut karamah. Hal itu diberikan kepada mereka sebagai rahmat dari Allah dan bukan karena hak mereka. Karamah biasa disebut sebagai kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang selalu meningkatkan taraf ibadahnya dan ketaatannya. Karamah itu diberikan sebagai suatu pembekalan ilmu atau sebagai ujian bagi seorang wali.[26] Dan karamah boleh terjadi tanpa sebab dan tanpa adanya tentangan dari orang lain.
Karamah biasanya datang dengan tidak diidam-idamkan sebelumnya bahkan para wali sangat takut sekali jika terjadinya karamah, karena merekatakut jika hal ini akan menyebabkan takjub terhadap dirinya sebagai hamba yang diberikan kemuliaan oleh Allah Swt. Oleh sebab itu biasanya para wali jika terjadi suatu karamah pada dirinya mereka makin bertambah khawatir terhadap dirinya, kalau mereka akan merasa ujub atau bangga terhadap dirinya.[27]
Karamah yang dimiliki oleh para wali Allah yang terpilih sungguh merupakan hujjah (argumen) dalam agama atau merupakan suatu kebutuhan yang mesti dimiliki kaum muslim.[28]Karamah para wali Allah hanya dapat diperoleh dikarenakan barakah dari mengikuti Rasulullah Saw. yang sebenar-benarnya. Keramah itu terkadang terjadi sesuai dengan kebutuhan seseorang.jika seseorang yang lemah imannya atau orang membutuhkan karamah merasa perlu memiliki karamah, akan datang kepadanya apa yang dapat memperkokoh imannya dan yang cukup memenuhi kebutuhannya.[29]





[1]Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), 19.
[2]Ibid.,20.
[3]Fuad Said, Keramat Wali-wali (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), 1.
[4]Musfir al-Qahtani, Buku Putih, 449.
[5]Abdul Qadir Jailani, Koleksi Terhadap Ajaran Tasawuf(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 1996), 214-215.
[6]Dowloand di Perpustakaan Islam, rabu, 13 Mei 2015.
[7]K.H. Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992), 83.
[8]Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992),183.
[9]H. Kahar Masyur, Membina Moral dan Akhlak(Jakarta: Kalam Mulia, 1987), 360.
[10]Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 234.
[11]Sabar ialah menahan yaitu menahan jiwa dari cemas,menahan dir iuntuk tidak berkeluh kesah, mencengah lisan dari mengeluh dan menghalangi anggota tubuh untuk tidak menampar pipi merobek-merobek pakaian. Lihat: Syamsuddin Muhammad Bin Abu Bakar Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Sabar Perisai Seorang Mukmin (Bairut: Pustaka Azzam, 1999), 19.
[12]Muhammad Bin Hasan Asy-Syarif, Manejemen Hati,al-Ibadat Al-Qalbiyah Wa Fi Hayati Mu�minin ,(Jakarta:Darul Ha, 1998),32.
[13]Keluh adalah kesulitan di dalam menerima sesuatu yang terjadi, lihat: Mahmud Yunus, Kamus..., 258.
[14]Solihin, Tasawuf Tematik (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 20.
[15]Ali Yayah, Mengungkap Makna & Hikmah Sabar As-Shabru Fi Dhau�Al-Kitab Wa As-Sunnah,Terj.Nasib Mustafa (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), 49.
[16]Jalan menuju Allah adalah jalan yang penuh dengan rintangan. Karena seseorang dalam menjalankan ketaatan ia harus mampu melawan apa-apa yang tidak disukai jiwanya, ia harus mampu mengalahkan kecenderungan jiwanya yang ingin berleha-leha,malas,tidak mau ada beban,dan ingin menikmati kesenangan-kesenangan,apalagi kalau fisiknya lemah dan capek,maka semakin beratnya menjalankan ketaatan. Lihat : Ali Yahya, Mengungkap Makna & Hikmah Sabar..., 102.
[17] Maksiat merupakan sikap, tindak tanduk dan perbuatan seseorang muslim yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segaja mengingkari dan meninggalkan segala yang diperintahkan serta segaja melakukan pelanggaran ketentuan yang telah digariskan dalam Syari�at (Al-Quran dan Sunnah), baik itu dilakukan oleh hati, lisan maupun perbuatan badan/fisik jasmani.Hakekat dari maksiat sebenarnya adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan sebagai kewajiban sebagai seorang muslim atau juga melanggar segala bentuk larangan yang diharamkan. Sedangkan akibat dari maksiat tersebut seseorang yang melakukannya mendapatkannya imbalan dosa, dimana dosa itu sendiri akan berujung kepada diperolehnya balasan berupan hukuman, demikian inti makna dari maksiat adalah yang diharamkan sehingga berdosa apabila dilakukan.
[18]Musibah adalah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa). Setiap manusia tidak akan terlepas dari segala ujian yang menimpa dirinya, baik musibah yang berhubunga dengan pribadinya sediri, maupun musibah dan bencana yang menimpa ada sekelompok manusia maupun bangsa. Terhadap segala macam musibah maupun bencana yang berupa banjir, angin topan, kecelakaan serta gempa bumi yang membawa korban manusia maupun harta benda, itu semua sebagai ujian, yang harus dihadapi dengan ketabahan dan sabar.Lihat: Depdikbud, Kamus...,766.
[19] Quraish Shihab, Terj. Wahid hisbullah, Tafsir Al-Mishbah�, 114.
[20] Ibid., 115.
[21]Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 101-102.
[22]Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual.., 116.
[23]Isa Abdul Qadir, Terj. Khairul Amru Harahap, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2010), 261-262.
[24]Isa Abdul Qadir, Terj. Khairul Amru Harahap, Hakekat Tasawuf�, 264.
[25]KH. Jamaluddin Kafie, Tasawuf Kontemporer(Jakarta: Republika, 2003), 153-155.
[26]Labib Mz, Memahami Ajaran Tasawuf,: Upaya menciptakan Insan Bertaqwa Melalui Hakikat Hidup Yang Sebenarnya (Surabaya: Cahaya Egency, 2000), 199.
[27]Muhammad al-Hamid, Kriteria Wali Palsu, ,(Kuala Lumpur, Jasmine, 2002), 2.
[28]Ibnu Taimiyah, Terj. Ikhwan al-Shafwa, Wali Allah dan Wali Setan (jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), 217.
[29]Ibid., 223.