Peran Edukasi Fatimah Az-Zahra Dalam Pendidikan
BAB IV
PERAN EDUKASI FATIMAH AZ-ZAHRA DALAM PENDIDIKAN
A. Fatimah Az-Zahra Sebagai Murid
Secara etimologi peserta muridadalah �anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi muridadalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan�.[1]Dengan kata lain murid adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran. �Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan�.[2] Menurut Abuddin Nata �peserta didik dalam pendangan Islam adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan relegius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat�.[3]
Ayahanda Fatimah Az-Zahra hidup di tengah-tengah bangsa yang pada waktu itu sedang diselimuti dekadansi sosial, kebodohan, tidak mengenal agama, dan tidak mengenal tata kehidupan sosial dan kenegaraan. Terus menerus bertikai antar sesama kabilah. Dari masyarakat yang begitu terbelakang itu, beliau berhasil membentuk suatu generasi baru yang memiliki harga diri, berakhlak mulia, beraqidah mendalam, beriman teguh, berakhlak luhur, serta tunduk pada kebenaran. Semuanya itu merupakan masalah yang sebelumnya tidak pernah bisa ditegakkan oleh orang lain. Rasulullah adalah guru pertama yang mengajarkan peri kemanusiaan kepada umat manusia dan mendidik semua bangsa. Beliau mempunyai kewibawaan yang amat disegani oleh orang-orang Arab yang waktu itu terkenal dengan kekerasan, kekuatan dan keberaniannya.
Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a besar di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala. Ketika masih kanak-kanak, Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a sudah mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun, dia bersama ayah bundanya hidup menderita, dibuang ke daerah akibat pemboikotan orang-orang kafir Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim. Setelah bebas dari penderitaan 3 tahun diboikot, datang pula ujian berat atas diri Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a, dengan wafatnya bunda tercinta, Sayyidatina Khadijah r.a. Perasaan sedih selalu menyelubungi hidupnya sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu. Rasulullah Saw sangat mencintai puterinya ini. Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a adalah puteri bungsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw merasa tidak ada seorang pun di dunia, yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat di sisinya selain puteri bungsunya itu.[4]
Berbagai cara ditempuh kaum musyrikin Quraisy untuk menekan ayahandanya agar mau menghentikan dakwahnya. Dari Ibnu abbas diriwayatkan bahwa Nabi masuk ke ka�bah dan mulai melakukan shalat. Maka, berkatalah Abu Jahal, �Siapa yang mau berdiri ke tempat orang ini dan merusak shalatnya?� Berdirilah Ibnu Az Zab�ari. Ia mengambil kotoran hewan dan darah, kemudian melemparkannya kepada beliau. Fatimah datang menghilangkan kotoran itu dan mencaci mereka yang asyik tertawa.
Kaum musyrikin melakukan perbuatan apa saja terhadap diri Rasul baik dengan ejekan, cemoohan, penghinaan, atau perbuatan jahat lainnya. Putri beliau, menyaksikan sendiri penganiayaan sekejam itu yang dialami oleh ayahnya. Hal ini tidak hanya diketahuinya tetapi Fatimah juga ikut merasakannya. Partisipasi wanita shalihah atau peranannya yang bersifat edukatif dapat dilihat dari sifat-sifat ketaqwaan yang dimilikinya. Sifat taqwa yang dimiliki wanita shalihah dapat melahirkan perbuatan atau tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral, karena inti dari taqwa itu sendiri adalah taat kepada agama, sedangkan agama mengajarkan nilai-nilai moral.
Sesungguhnya Fatimah telah memiliki sifat-sifat ketakwaan tersebut. Dia telah ikut memberikan pengorbanan dan memikul pemboikotan dan kesulitan untuk membantu ayahandanya menyebarkan agama Allah, menyiarkan kalimat tauhid, dan mengibarkan panji keadilan. Beliau selalu setia mendampingi ayahnya untuk menyelamatkan manusia dalam memberi petunjuk kepada umat manusia kepada tujuan-tujuan yang suci. Dengan demikian, Fatimah Az-Zahra telah memberikan peranan penting sebagai seorang wanita shalihah yaitu ikut menyebarkan nilai-nilai moral untuk bisa mewarnai kehidupan manusia.
B. Fatimah Az-Zahra Sebagai Guru
Guru dapat diartikan sebagai seorang yang pekerjaannya mengajar�.[5]�guru sebagai pendidik profesional, sebab secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab pendidikan yang terpikul dipundak para orang tua�.[6]Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah�.[7]Pendidik/guru dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu yang pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentinga kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.[8]
Menurut Mahmud Khalifah Usamah Quthub �pendidik adalah orang yang bersamudrakan ilmu pengetahuan. Ia adalah cahaya yang menerangi kehidupan manusia, ia adalah musuh kebodohan, dan penghapus kejahiliyahan. Ia juga mencerdaskan akal dan mencrahkan akhlak. Oleh karena itu menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk memuliakan seorang pendidik dan menghargainya�.[9]Menurut Iskandar Agung �Pendidik dianggap memiliki peran strategis dalam memperoleh hasil belajar anak didik. Melalui pendidik transporasi nilai ilmu pengetahuan dan lain-lainnya berlangsung, sehingga kemampuan dan keterampilan pendidik diduga akan mempengaruhi hasil belajar siswa�[10].
Imam Wahyudin dalam bukunya Pengembangan Pendidikan, Strategi Inovatif dan Kreatif dalam Mengelola Pendidikan Secara Konprehensif menjelaskan bahwa:
Pendidik merupakan pemeran utama kegiatan pembelajaran yang berinteraksi langsung dengan peserta didik dalam kegiatan proses belajar mengajar. Keberhasilan Lembaga Pendidikan Islam dalam mengemban misinya sangatt ditentukan oleh mutu keinterelasian unsur-unsur sistemik yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas proses transformasi dan mutu hasil kerja institusi pendidikan, seperti tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, biaya, anak didik, masyarakat dan lingkungan pendukungnya.[11]
Mendidik anak termasuk tugas yang sangat berarti dan urusan penting yang berat yang diletakkan pada pundak Fatimah, karena ia memperoleh lima orang anak: Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin yang meninggal keguguran ketika ia masih berupa janin di dalam perut ibunya. Tinggallah baginya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.
a. Kelahiran Hasan
�Hasan bin Ali bin Abu Thalib (Bahasa Arab: ??? ?? ??? ?? ??? ????)? (c. 625 � 669) adalah anak dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, dan cucu pertama dari Muhammad. Menurut hampir seluruh sekte Syi'ah, Ia merupakan Imam kedua, sedangkan sekte lainnya menyebut bahwa Imam kedua adalah saudaranya Husain bin Ali. Walaupun begitu, ia merupakan salah seorang figur utama baik dalam Sunni dan Syi'ah karena ia merupakan Ahlul Bait dari Nabi Muhammad Saw. Ia juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke-2 setelah ayahnya terutama bagi tarekat Syadziliyyah.�.[12]
b. Kelahiran Husain
Al Husain dilahirkan di Madinah tanggal 5 Sya�ban tahun ke-4 H. Dilahirkan menjelang fajar, putra Fatimah ini disambut dengan kegembiraan bercampur kecemasan. Beberapa saat sesudah kelahirannya, Rasulullah Saw. yang semula berwajah berseri, mendadak nampak sedih. �Anak ini kelak akan dibunuh oleh golongan angkara murka� ungkap Rasulullah. Seperti diketahui, apa yang dikhawatirkan Rasulullah beberapa saat sesudah kelahiran al Husain tersebut 56 tahun kemudian menjadi kenyataan.
Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak yang membayangkan rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit. Sebaliknya, ia menganggap lingkungan rumah luas dan penting. Baginya, rumah adalah pabrik untuk menghasilkan manusia-manusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan tinggi untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas untuk melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam masyarakat di luar rumah.
Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya wanita adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi mulia. Dan Allah telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang paling sulit dan tugas penting yang paling berat dalam kehidupan.
c. Kelahiran Zainab dan Ummu Kultsum
Sayyidah Zainab lahir pada tanggal �lima Jumadil Awal tahun lima atau enam Hijriah. Berdasarkan hasil kajian, Sayyidah Zainab adalah anak perempuan pertama Sayyidah Fathimah Zahra as.Ada juga yang mengatakan bahwa Sayyidah Zainab lahir empat tahun sebelum Rasulullah saw. wafat�.[13]Ketika Sayyidah Zainab lahir, Sayyidah Fathimah Zahra as. Berkata kepada Amirul Mukminin as., �Karena ayahku tengah bepergian, tolong beri nama bagi anak ini. �Imam Ali as. Menjawab, �Aku tidak mau mendahului ayahmu.�Setelah tiga hari berlalu, Rasulullah saw. pulang dari perjalanan. Sebagaimana biasa, pertama Rasulullah saw. datang ke rumah Sayyidah Fathimah Zahra as. Kemudian beliau berkata, �Anak-anak Fathimah adalah anak-anakmu.
Karena itulah Fatimah memikul tanggung jawab pendidikan. Perkataan �pendidikan anak� memang singkat dan sederhana, namun maknanya dalam, luas dan sangat berarti. Pendidikan bukan hanya berarti seorang ayah memberikan makanan, minuman, dan pakaian, dan berusaha mencari nafkah, sedangkan sang ibu menyiapkan makanan, mencuci pakaian dan memperhatikan kebersihan anak, lalu tidak ada tanggung jawab lain. Islam tidak merasa cukup dengan batasan ini. Bahkan, ia menjadikan tanggung jawab kedua orang tua jauh lebih besar daripada itu dalam pendidikan anak. Karena, kepribadian seorang anak yang tak berdosa ketika dilahirkan, tergantung pada pendidikan, pengawasan, dan aturan orang tuanya. Setiap perbuatan dan tingkah laku orang tua akan berpengaruh dalam jiwa seorang anak yang halus. Si anak akan mengikuti mereka dan merefleksikan tingkah laku mereka secara utuh bagaikan sebuah cermin.
Di rumah yang sederhana, Fatimah telah mendidik anak-anaknya yang oleh sejarah diakui sebagai manusia-manusia terbaik. Ia bersama suaminya menempatkan diri sebagai teladan bagi anak-anak mereka. Kepada putra sulungnya, Hasan, Fatimah pernah berkata, �Hasan, anakku, jadilah engkau seperti ayahmu, belalah kebenaran, sembahlah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Pemberi Kebaikan. dan janganlah engkau bergaul dengan orang-orang pendendam.[14]
Akan tetapi sangat disayangkan, sejarah tidak banyak mencatat rincian dari metode yang lurus tersebut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena program pendidikan pada saat itu berlangsung tertutup di dalam rumah, sehingga orang lain tidak mengamati secara rinci perilaku Ali dan Fatimah Az-Zahra baik perkataan dan perbuatan terhadap mereka. Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa metode Fatimah dalam pendidikan adalah metode Islam itu sendiri. Secara singkat akan penulis tunjukkan beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari dalam keluarga Fatimah dalam pendidikan anak-anaknya antara lain:
a) Cinta dan kasih sayang.
Sebagian orang membayangkan bahwa masa pendidikan seorang anak dimulai ketika ia sudah dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang buruk, yang bagus dan yang jelek. Pendidikan sebelum masa itu tidak akan ada hasilnya karena si anak belum dapat menangkap apa-apa dari sekelilingnya dan lingkungannya. Pendapat tersebut jelas tidak benar. Pakar-pakar pendidikan menekankan bahwa semua kejadian dan peristiwa yang terjadi di lingkungan seorang anak pada masa dininya, juga cara perlakuan kedua orang tua , temasuk cara penyusuannya, sangat berpengaruh terhadap anak dan perkembangan kepribadiannya di masa mendatang.
Ahli-ahli psikologi dan pendidikan telah menetapkan bahwa di awal dan akhir masa kanak-kanak, seorang anak sangat membutuhkan cinta dan perhatian orang lain. Ia menghasratkan cinta dan keterkaitan (kedekaatan) ibu dan ayah kepadanya. Setelah itu, tidak penting lagi apakah ia hidup di istana atau di gubuk yang kosong, memakai pakaian yang bagus atau jelek, dan memakan makanan yang enak dan baik atau tidak, selama ia merasakan kehangatan, kelembutan dan kasih sayang yang dapat memuaskan perasaannya.
Hati ibu yang penuh kasih sayang dan asuhannya yang hangat serta cinta ayah yang tulus dan belas kasihnya akan memancarkan pada diri anak sumber-sumber kebaikan, semangat tolong menolong, serta cinta dan sayang kepada orang lain. Kasih sayang ini akan menyelamatkannya dari kelemahan dan ketakutan akan kesendirian dan akan memberinya harapan dalam kehidupan. Sikap yang benar dan cinta yang dalam dan murni ini akan menumbuhkan benih kebaikan dan kebiasaan yang bagus pada diri anak. Cinta ini akan membuatnya berjiwa sosial, suka menolong dan melayani orang lain, menunjukannya jalan kebahagiaan, dan mengeluarkannya dari perilaku menarik diri dan lari dari kenyataan.
Sebaliknya seorang anak yang yang tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang akan tumbuh sebagai seorang anak yang penakut, pemalu, lemah, penyendiri, pemurung, dan selalu bersedih. Ia akan berusaha menunjukkan bahwa ia tidak membutuhkan masyarakat. Ia pun melakukan kejahatan, seperti mencuri dan membunuh, untuk memberi balasan kepada masyarakat yang tidak memberinya cinta, kasih sayang, agar masyarakat mengerti bahwa ia tidak lagi membutuhkan cinta mereka yang tidak ia mereka berikan dahulu.
Ketika Nabi melewati rumah Fatimah dan mendengar Husain menangis. Maka beliau mengatakan,�Apakah kamu tidak tahu bahwa tangisannya itu menyakitiku? Nabi begitu mencintai Hasan dan Husain. Pada suatu hari beliau memasuki rumah Fatimah sebagaimana yang beliau lakukan setiap hari sejak lahirnya anak-anak itu. Beliau masuk dan melihat keduanya sedang tidur, sedang Hasan lapar dan menangis. �Beliau tak mendapatkan makanan. Beliau tak sampai hati membangunkan orang-orang yang paling beliau cintai itu. Dengan tenang dan tak beralas kaki beliau pergi ke biri-biri yang ada di rumah itu, memerahnya lalu memberikan susu kepada anak itu sehingga ia tenang.
Jadi, cinta dan kasih sayang termasuk kebutuhan yang paling penting dalam pendidikan anak. Pelajaran ini telah dipraktekkan dengan sangat cermat di dalam rumah Fatimah. Rasulullah telah mengajarkan hal itu kepada putrinya dalam praktik nyata.
b) Menumbuhkan kepribadian
Para ahli psikologi mengatakan bahwa seorang pendidik harus menumbuhkan pada anak sikap percaya diri, menghormati orang lain, dan bercita-cita tinggi. Ia harus menghargi pribadi dan keberadaannya, agar ia jauh dari perbuatan jelek dan tidak menyerah karena merasa hina dan rendah. Sebaliknya jika si pendidik meremehkannya, tidak menghormatinya, dan menghancurkan pribadinya, maka ia akan tumbuh menjadi seorang penakut, minder, dan tidak percaya diri. Ia tidak berani melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, karena ia merasa lemah dan tidak mampu mengerjakannya. Orang-orang demikian tidak akan memiliki peran dalam kehidupan dan masyarakat, cepat tunduk karena merasa hina dan rendah, dan segera menyerah karena mendapat kesulitan.
Menumbuhkan kepribadian dapat dilakukan dengan memberikan dorongan-dorongan kepada anak agar mempunyai sifat-sifat yang terpuji dengan menyebutnya di hadapan orang lain serta mengajarkannya untuk memiliki pribadi kuat dan terhormat.
Nabi sedang berbicara di atas mimbar, sedang Hasan berada di sisinya. Sekali waktu ia memandang orang-orang, sekali waktu ia memandang Nabi. Lalu Nabi mengatakan, �Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin.�� Fatimah dan kedua anaknya Hasan dan Husain, datang ke tempat Rasulullah. Lalu ia berkata, �Wahai Rasulullah, kedua anakmu ini adalah anak-anakmu. Warisilah mereka berdua sesuatu.�Maka Nabi mengatakan, �Untuk Hasan kewibawaanku dan kedudukanku, sedangkan untuk Husain keberanianku dan kedermaawananku.
c) Menjadi teladan yang baik
Seorang wanita muslimah harus bisa menampilkan perilaku publik maupun personal yang mencitrakan prinsip-prinsip agama dan dakwahnya. Masalah ini sebenarnya adalah lanjutan dari kewajiban wanita muslimah. Mewujudkan syarat-syarat keteladanan adalah tanda keikhlasan dan jalan mempengaruhi orang lain. Oleh karena itu, tingkah laku seorang wanita muslimah harus bisa lebih fasih dalam menyuarakan dakwah dan lebih kuat pengaruhnya daripada ucapan dan penuturannya.
Seorang wanita muslimah harus bisa menjadi teladan pertama bagi anak-anaknya yang cepat sekali meniru dan terpengaruh dengan tingkah lakunya. Sebab anak adalah titipan terbesar setelah agama. �Kepada para wanita hendaknya membentuk diri mereka dengan prinsip-prisnip kebaikan sehingga mereka akan menjadi teladan yang baik dan ditiru anak.
Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa:
Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Namun sejalan dengan bertambahnya usia sang anak, muncul �agenda persoalan� baru yang tiada kunjung habisnya. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan santun, penuh berbakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik dengan lingkungan masyarakatnya, tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya. Perilakunya semakin tidak terkendali, bentuk kenakalan berubah menjadi kejahatan, dan orangtua pun selalu cemas memikirkanya.[15]
Mengingat betapa pentingnya pendidikan anak, maka muncullah konsep pendidikan anak berupa kumpulan pemikiran atau ide tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan anak oleh Abdullah Nashih Ulwan. Beliau merupakan seorang tokoh pemikir Islam yang berasal dari kota Halb Syiria yang mempunyi pandangan bahwa anak merupakan aset yang berharga bagi orang tua, bangsa dan agama, dimana kemajuan atau kemunduran bangsa dan agama di pengaruhi oleh kualitas anak-anak. Banyak kiranya orang tua yang lalai dengan tugas mereka sebagai pendidik sehingga terciptalah anak-anak yang berakhlak buruk yang merugikan bangsa dan agama.
Lebih lanjut Abdullah Nashih Ulwan, menegaskan bahwa:
Hanya ada satu cara agar anak menjadi permata hati dambaan setiap orangtua, yaitu melalui pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orang tuanya. Upaya dalam mendidik anak dalam naungan Islam sering mengalami kendala. Perlu disadari disini, betapa pun beratnya kendala ini, hendaknya orang tua bersabar dan menjadikan kendala-kendala tersebut sebagai tantangan dan ujian.[16]
Dalam mendidik anak setidaknya ada dua macam tantangan, yang satu bersifat internal dan yang satu lagi bersifat eksternal. Kedua tantangan ini sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sumber tantangan internal yang utama adalah orang tua itu sendiri. Ketidakcakapan orang tua dalam mendidik anak atau ketidak harmonisan rumah tangga.�Sunatullah telah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah berimbang antara fikriyah (pikiran), ruhiyah (ruh), dan jasadiyahnya(jasad)�.[17]
Fatimah Az-Zahra telah menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang tepuji pada diri anak-anaknya sejak dini. Ketika Hasan dan Husain jatuh sakit, Nabi bersama Abu Bakar dan Umar menjenguknya kemudian Nabi berkata �Wahai Abal Hasan, jika engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan mereka.� Lalu Ali berkata, �Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.�
Begitu juga yang diucapkan oleh Fatimah dan kedua putranya. Akhirnya mereka berpuasa selama tiga hari tanpa ada makanan untuk berbuka karena Allah telah menguji kesabaran mereka dengan mendatangkan fakir miskin selama tiga hari berturut-turut ketika menjelang berbuka puasa. Fatimah Az-Zahra telah memberikan teladan yang nyata bagi kedua putranya tentang pelajaran mengutamakan orang lain atas diri sendiri.
d) Pelajaran iman dan taqwa
Yang dimaksud dengan dasar-dasar keimanan ialah segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah yang ghaib. �Akidah Islam memiliki ciri khas yaitu keseluruhan bersifat ghaib. Karena Itu, orangtua dan pendidik akan sedikit kebingungan; bagaimana menyampaikannya kepada anak dan bagaimana anak akan menerimanya, bagaimana menjelaskannya dan bagaimana memaparkannya�[18].
Hannan Athiyah Ath-Thuri dalam bukunya Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak menjelaskan bahwa pendidikan keimanan adalah �sinergi berbagai unsur aktifitas pedagogis; pengaitan anak-anak dengan dasar-dasar keimanan, pengakrabannya dengan rukun-rukun Islam, dan pembelajaran tentang prinsip-prinsip syariat islam�.[19]
Kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman diatas, berupa dasar-dasar pendidikan Iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, Ia hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, Alquran sebagai imamnya, dan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin dan tauladannya.
Rasulullah menanamkan ajaran-ajaran agama di rumah Fatimah sejak masa kanak-kanak yang paling awal dan masa penyusuan. Ketika Hasan dilahirkan, beliau mengazaninya di telinga yang kanan dan mengiqamahinya di telinga yang kiri. Ketika Husain dilahirkan, beliau juga melakukan hal yang sama. �Abu Abdillah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat, sedang Husain di sampingnya. Rasulullah bertakbir, namun Husain tidak bertakbir. Sampai Rasulullah bertakbir tujuh kali barulah Husain bertakbir.
Rumah memiliki peranan yang sangat penting untuk menjadi salah satu media pendidikan anak. Sebab lingkungan pertama yang dilihat anak adalah rumah dan keluarganya. Gambaran hidup yang pertama-tama terbentuk di alam pikirannya adalah apa yang dilihatnya dari kondisi keseharian keluarga di dalam rumah dan cara hidup mereka. Jiwa anak kecil sangat fleksibel, menyerap segala sesuatu dan terpengaruh dengan segala pengaruh yang terjadi di lingkungannya pertama ini. Fatimah, didikan wahyu yang tumbuh dalam asuhan kenabian ini mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak mengabaikannya dan tidak melupakan pengaruhnya terhadap anak, mulai dari menyusui anaknya dengan air susunya sendiri sampai perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya.
Fatimah mengetahui bahwa ia harus mendidik para pemimpin yang akan dipersembahkannya kepada masyarakat sebagai teladan Islam yang hidup sebagai gambaran, hakikat dan model Alquran yang bergerak. Jelas pekerjaan ini tidak mudah. Fatimah tahu bahwa ia harus mendidik orang seperti Hasan dan Husain, yang rela mengorbankan dirinya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan penolong-penolongnya di jalan Allah, demi membela agama dan mencegah kedzaliman, agar ia dapat mengairi pohon Islam dengan darahnya. Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak yang membayangkan rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit. Sebaliknya, ia menganggap lingkungan rumah luas dan penting. Baginya, rumah adalah pabrik untuk menghasilkan manusia-manusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan tinggi untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas untuk melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam masyarakat di luar rumah.
Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya wanita adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi mulia. Dan Allah telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang paling sulit dan tugas penting yang paling berat dalam kehidupan.
C. Fatimah Az-Zahra Sebagai Masyarakat
Fatimah Az-Zahra adalah seorang wanita yang sedemikian tinggi kemuliaan, agama dan kedudukannya di kalangan keluarga Nubuwwah. Jadi tidak mengherankan kalau tidak sedikit tokoh orang terkemuka yang mengemukakan keinginannya hendak mempersunting putri beliau. Dimulai oleh Abu Bakar Ash Shidiq ra. Kemudian Umar bin Khatab, menyusul lainya lagi dari kalangan Quraisy terkemuka. Semua mengajukan lamaran untuk memperistri Fatimah Az-Zahra akan tetapi Rasulullah tidak mengabulkan keinginan mereka. Beliau hanya menjawab: Belum tiba suratan takdirnya. Akhirnya Abu Bakar menyarankan Ali bin Abi Thalib untuk meminang Fatimah. Mendengar saran Abu Bakar, Imam Ali tidak segera memberi tanggapan. Baru beberapa saat kemudian ia berkata, �Hai Abu Bakar, sesungguhnya engkau telah mengingatkanku pada sesutu yang sudah lama aku lupakan. �Demi Allah memang minatku sangat besar kepada Fatimah, dan tidak ada yang menjadi penghalang bagiku kecuali kemiskinanku� Setelah mendengarkan saran Abu Bakar akhirnya Imam Ali memberanikan diri dan bertekad menghadap Rasulullah.
Rumah tangga Ali dan Fatimah merupakan contoh yang mengagumkan dalam hal kemurnian, ketulusan dan kasih sayang. Mereka saling menolong dengan serasi dan tulus dalam mengatur urusan rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya. Di awal kehidupan rumah tangganya, mereka meminta keputusan Rasulullah dalam hal pengurusan rumah. Beliau memutuskan bahwa Fatimah mengurus apa-apa yang ada di dalam rumah dan Ali mengurus yang ada di luarnya.
Fatimah dalam kehidupan rumah tangganya bersikap sebagai ibu rumah tangga yang baik. Ia memperhatikan urusan rumah tangga sampai yang sekecil-kecilnya. Ia mengurus semua kebutuhan dengan jerih payahnya sendiri. Ia tidak mempunyai pembantu ataupun hamba sahaya. Ia tidak mengupah orang lain. Seluruh hidupnya penuh dengan kerja keras dan perjuangan. Ia menepung gandum, dan memutar gilingan dengan tangannya sendiri. Ia membuat roti dan menyap lantai dan mengatur semua pekerjaan rumah tangganya dengan tenaganya sendiri.
Salah satu riwayat tentang hal itu mengemukakan: �Pada suatu hari Rasulullah datang ke rumah Fatimah. Saat itu puterinya sedang menggiling tepung sambil menangis, sedangkan pakaian yang dikenakannya sangat buruk dan kasar. Melihat itu Rasulullah ikut menangis dan kemudian berkata: �Hai Fatimah, terimalah kepahitan dunia sekarang ini untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak.
Ali berkata kepada seorang laki-laki dari bani Sa�ad: �Maukah kamu saya ceritakan tentang saya dan Fatimah? Ia tinggal bersama saya dan ia adalah keluarga Rasulullah yang paling dicintai oleh beliau. Namun, ia mengambil air dengan qirbah (tempat air), sehingga menimbulkan bekas di dadanya, ia menggiling dengan gilingan sehingga tangannya bengkak, ia membersihkan rumah sehingga pakaiannya kotor, ia menyalakan api di bawah periuk. Ia betul-betul capai dengan semua pekerjaan itu.
Putri Rasulullah ini tidak menganggap rendah pekerjaan di dalam rumah. Ia tidak pula menolak melaksanakannya walaupun ia anak manusia paling agung dalam Islam, bahkan di seluruh alam sampai Ali merasa kasihan kepadanya dan memuji perbuatannya.
Fatimah hidup di rumah Ali dalam suasana yang sensitif dan sangat mengkhawatirkan, ketika pasukan Islam senantiasa dalam keadaan siaga dan terlibat dalam peperangan-peperangan yang membinasakan setiap tahun, di mana suaminya ikut pada sebagian besarnya. Fatimah juga sangat mengerti tentang tanggung jawabnya yang berat dan peranan serta pengaruhnya terhadap suaminya.
Sesungguhnya seorang wanita mempunyai pengaruh yang besar terhadap suaminya. Ia dapat mengarahkan si suami ke mana saja ia sukai. Kebahagiaan dan kesusahan seorang suami, kemajuan dan kemundurannya, ketenangan dan kesedihannya, serta keberhasilan dan kegagalannya mempunyai kaitan yang kuat dengan istrinya dan perlakuan istri terhadapnya di dalam rumah. Rumah merupakan benteng tempat seorang suami berlindung dari keletihan-keletihan kehidupan, kesulitan-kesulitan dunia, dan bencana-bencana masyarakat dan umat. Di dalamnya ia beristirahat, mengembalikan kekuatannya, dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi episode berikut kehidupan. Dan istrilah orang pertama yang bertanggung jawab terhadap tempat berlindung dan beristirahat itu. Karenanya orang-orang mengatakan-sebagaimana keterangan dari Imam Musa bin Ja�far bahwa jihad seorang istri adalah berlaku baik terhadap suami.
Fatimah Az-Zahra hidup di samping suaminya dengan perasaan bahagia dan penuh ketentraman. Ia selalu riang. Tidak ada perselisihan yang tak dapat diselesaikannya dengan baik. Ia menyadari dirinya sebagai istri seorang pejuang Islam yang senantiasa sanggup berkorban. Seorang yang selalu mengibarkan panji-panji perjuangan. Fatimah sadar bahwa dirinya harus dapat menjadi istri yang sepadan dengan kedudukan suaminya sebagai pejuang Islam. Terhadap suaminya ia bersikap seperti ibunya (Siti Khadijah r.a.) kepada Rasulullah. Ia selalu menyertai beliau dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah Swt. Ia menginsyafi bahwa dirinya harus sanggup memperteguh kesabaran menghadapi kekerasan hidup dan berbagai macam kesulitan, seperti yang dilakukan suaminya dalam menghadapi rintangan kaum musyrikin yang selalu menghancurkan agama Islam. Kenyataan menunjukkan bahwa Fatimah sanggup menjadi istri yang demikian itu. Ia dapat menyesuaikan hidupnya dengan tugas besar dan penting yang dipikulkan Allah ke atas pundaknya.
Fatimah mengetahui bahwa panglima pasukan yang pemberani ini (Ali) akan masuk ke medan perang dan mengalahkan musuh bila ia tenteram dan tenang dengan istrinya serta bahagia di dalam rumah. Imam Ali, pemimpin orang-orang yang berperang dan berkorban untuk agama tentu kembali ke rumah dengan tubuh yang letih dan lelah. Ia mendambakan kehangatan, kasih sayang, dan cinta kasih dari istrinya yang mulia ketika si istri membalut lukanya, membersihkan darah dari tubuh dan pakaiannya, dan menanyakan berita-berita peperangan.
Fatimah dilahirkan di tengah masyarakat yang tidak mengenal nilai-nilai luhur ilahi, penuh dengan kebodohan dan khurafat. Tradisi batil semacam membangga-banggakan diri, mengubur hidup-hidup anak perempuan, pertumpahan darah dan peperangan menjadi budaya yang telah berakar pinak dalam masyarakat Arab jahiliyah saat itu. Karena Rasulullah SAW pun akhirnya bangkit menyuarakan pesan-pesan suci Islam, menentang tradisi jahiliyah dan diskriminasi gender. Di tengah masyarakat terbelakang semacam itulah, kehadiran Fatimah, putri Rasulullah menjadi tolak ukur perempuan muslim.[20]
Fatimah senantiasa memberikan semangat kepada suaminya, memuji keberanian dan pengorbanannya, dan membantunya untuk menyiapkan diri untuk menghadapi peperangan berikutnya. Tidak pernah Fatimah keluar rumah tanpa izin suaminya. Tidak pernah ia membuat suaminya marah. Ia sadar betul bahwa Allah tidak akan menerima perbuatan seorang istri yang membuat marah suaminya sampai si suami ridha terhadapnya. Sebaliknya, Fatimah juga tidak pernah marah terhadap suaminya. Ia tidak pernah berdusta di rumahnya, tidak pernah berkhianat terhadapnya dan tidak pernah melawannya dalam urusan apapun. �Demi Allah,� kata Imam Ali, �aku tidak pernah marah kepadanya dan tidak pernah menyusahkannya sampai ia wafat. Ia juga tidak pernah membuatku marah dan tidak pernah menentangku dalam urusan apapun.
Sesungguhnya Fatimah dan Ali dapat hidup dalam kehidupan yang paling menyenangkan, akan tetapi riwayat telah menunjukkan bahwa kehidupan Fatimah dan Ali sederhana sekali dan sering mengalami kesulitan. Semua itu untuk memberikan contoh kepada kaum muslim tentang kehidupan sebuah masyarakat Islam berdasarkan prinsip ajaran akhlak. Seorang pemimpin harus menjadi tauladan, sebagai orang yang menolak kemewahan hidup duniawi. Rasulullah selalu mengajarkan agar setiap orang yang bekerja untuk perbaikan masyarakat, setiap pendidik, setiap penguasa agar terlebih dahulu memperbaiki, mengajar, dan memimpin dirinya sendiri dan keluarganya sebelum mengajak orang lain dengan ucapan dan peringatan. Tingkah laku akan lebih besar pengaruhnya daripada sekedar mengajak orang lain.
Untuk menciptakan keluarga yang baik sangat diperlukan pengatur yang mampu mengelola rumah tangga dengan baik. Dalam hal ini, Fatimah telah dengan ikhlas melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri. Terbentuknya masyarakat bermoral sangat tergantung pada kondisi keluarga yang ada di dalamnya Apabila keluarga itu baik, maka akan tebentuk masyarakat yang baik pula. Dengan sifat taqwa yang dimilikinya, Fatimah Az-Zahra telah memberikan teladan kepada masyarakat untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah demi terwujudnya masyarakat yang bermoral. Di sinilah letak peran Fatimah Az-Zahra sebagai seorang istri yang menjadi teladan untuk menciptakan masyarakat yang bermoral.
[4]Ahlulbaitrasulullah, Sayyidatina Fatimah Az-Zahra ra, artikel diakses Tanggal 16 November 2015 dari http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.co.id html
[9] Mahmud Khalifah Usamah Quthub, Menjadi Pendidik Yang Dirindui, (Surakarta: Ziyad Visimedia, 2009), hal. 9.
[10]Iskandar Agung, Menghasilkan Pendidik Kompeten &Profesional,(Jakarta: Bee Media Indonesia, 2012), hal. 1.
[15]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, Terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Cet. 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 5.