Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Faktor Penghambat Badan Usaha Milik Desa Menjadi Raksasa



Meski sudah berjalan tiga tahun tetapi perkembangan Badan Usaha Milik Gampong dalam mendorong kesejahteraan masyarakat melalui unit usaha yang dibangunnya, masih jauh dari harapan. Ribuan Gampong masih bahkan masih belum mendirikan lembaga ini. Apa sajakah hambatan-hambatan yang dialami sebagian besar Badan Usaha Milik Gampong sehingga belum juga mampu melaju sebagai lembaga usaha yang cepat memberi pengaruh kesejahteraan bagi Gampongnya?

Dari telusur data yang dilakukan BerGampong.com terungkap, beberapa hal yang membuat Badan Usaha Milik Gampong di banyak Gampong tak juga mampu bergerak menjadi mesin pendorong kesejahteraan warga. Beberapa hal itu antara lain:
  1. Pemahaman perangkat Gampong tertama kepala Gampong mengenai Badan Usaha Milik Gampong masing sangat kurang. Ini terjadi karena kepala Gampong selama ini hanya mengenal tugas sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yang lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan penanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas. Akibatnya, butuh usaha keras untuk memahami Badan Usaha Milik Gampong yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan. Lemahnya pemahaman mengenai Badan Usaha Milik Gampong itulah yang membuat wacana Badan Usaha Milik Gampong tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga Gampong. Bagaimana bisa bersosialisasi kalau pemahamannya sendiri masih sangat kurang memadai. Akibatnya, isu Badan Usaha Milik Gampong hanya berhembus pada kalangan elit Gampong saja atau hanya pada lingkaran perangkat Gampong.
  2. Para perangkat Gampong belum memahami sepenuhnya besarnya wewenang yang dimiliki Gampong saat ini meski sudah lahir UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Gampong. Azas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan Gampong memanfaatkan potensi dan asset yang dimilikinya sesuai amanat UU Gampong.
  3. Konsep pembangunan Gampong yang selama ini dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan sturktur dari atas. Selain itu pembangunan fisik lebih gampan terlihat sebagai ‘prestasi’ karena ada bentuk fisik yang terlihat. Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program yang tidak hasilnya tida terlihat secara fisik. Lemahnya pembangunan SDM inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirusahaan Gampong tidak berkembang.
  4. Belum tercipta komunikasi yang baik antara elit Gampong dengan warga masyarakat mengenai berbagai isu yang seharusnya dikomunikasikan. Bukan rahasia lagi, sebagian besar kepala Gampong dan perangkat Gampong hanya membuka informasi berbagai isu pada kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Akibatnya, banyak Badan Usaha Milik Gampong yang strukturnya diisi oleh orang-orang dekat kepala Gampong atau bahkan keluarganya sendiri. Hal ini juga terjadi pada dataran operasional lainnya. Makanya banyak warga Gampong tidak tahu isu yang berkembang mengenai Badan Usaha Milik Gampong.
  5. Banyaknya perilaku kekuasaa yang koruptif pada struktur atas, terbukti dengan banyaknya kepala daerah seperti Bupati dan Gubernur yang diringkus KPK karena kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, membuat spirit menciptakan perubahann sosial untuk masyarakat menjadi loyo dan bahkan malah meniru tindakan itu. Terbukti ada ratusan kepala Gampong yang saat ini menghadapi meja hijau karena diduga menyalahgunakan dana Gampong untuk kepentingan dirinya sendiri.
  6. Banyaknya program pemerintah sebelum Badan Usaha Milik Gampong seperti KUD, BUUD dan berbagai program lainnya yang gagal dan tak tentu rimbanya itu membuat sebagian warga Gampong berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang seharusnya menjadi modal bagi usaha Gampong yang dijalankan Badan Usaha Milik Gampong.
  7. Penguasaan Kemampuan Manajerial yang Kurang Memadai. Tak mudah bagi Gampong mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Kalaupun ada warga yang memiliki kemampuan seperti itu biasanya sudah bekerja di tempat lain dan kalau dia ditunjuk mengelola Badan Usaha Milik Gampong maka itu hanya sebatas sambilan saja. Akibatnya, Badan Usaha Milik Gampong tidak melaju dan jalan di tempat. Sementara jika menunjuk orang degan kapasitas yang tidak memadai, ditandai dengan track record yang dimilikinya, maka sama saja dengan membawa Badan Usaha Milik Gampong pada arah yang lebh mengkawatirkan.
  8. Badan Usaha Milik Gampong sendiri tidak cukup ‘seksi’ bagi sebagian besar anak muda untuk berkarya. Masih sulit meyakinkan kaum muda bahwa Badan Usaha Milik Gampong bisa menjamin kesejaheraan bagi para pegiatnya. Ini yang membuat anak muda belum banyak berkiprah di Badan Usaha Milik Gampong, akibatnya logika usaha yang dibangun sebagian besar Badan Usaha Milik Gampong masih dijalankan dengan model konvensional karena dijalankan kaum tua.
  9. Kondisi ini diperparah dengan gencarnya kampanye yang menciptakan citra bahwa Badan Usaha Milik Gampong harus menghasilkan keuntungan besar dengan bentuk profit (rupiah). Ini sangat tampak dari ukuran keberhasilan Badan Usaha Milik Gampong yang sering diukur dari laba yang disetorkan ke kas Gampong. Cara pandang seperti ini membuat para kepala Gampong dan perangkat Gampong tambah beban berat karena harus menciptakan mesin uang. Bagaimana bisa menciptakan unit usaha dengan omset dan untung besar bagi Gampong terpencil misalnya. Bukankah kesejahteraan sosial tidak hanya masalah angka rupiah saja. Lebih penting mana: keuntungan rupiah besar yang realistis bagi sebagian besar Gampong atau manfaat sosial sehingga bisa menggerakkan dan mendorong berkembangnya ekonomi Gampong.
Itulah beberapa situasi yang menghambat laju Badan Usaha Milik Gampong menjadi seperti diharapkan. Gampong-Gampong di seluruh Indonesia harus beranjak dari pola masa lalu karena kali ini Gampong memiliki weenang penuh mengotimalisasi asset dan kekayaan yang dimilikinya. Bagaimana dengan Gampong Anda?