Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kedudukan Pendidikan Agama dalam Perspektif Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003


BAB I
P E N D A H U L U A N


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sangatlah penting dalam kehidupan, tanpa adanya pendidikan seorang anak tidak bisa berkembang. Pendidikan adalah bagian dari upaya untuk membantu manusia memperoleh kehidupan yang bermakna hingga diperoleh suatu kebahagian hidup, baik secara individu maupun kelompok. Pendidikan bisa juga diartikan sebagai segala pengalaman belajar yang mempengaruhi pertumbuhan individu, yang berlangsung dalam segala lingkungan dan berlaku sepanjang hidup.[1]
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Pendidikan islam (Madrasah) merupakan salah satu pilar pendidikan nasional, dalam catatan historis merupakan pencetak militan muslim untuk merebut kemerdekaan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki muatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]

Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan suatu proses atau upaya sadar untuk menjadikan manusia ke arah yang lebih baik. Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan dan sama dengan tujuan hidup.[3]
Pergulatan pemikiran yang selalu mengiringi perjalanan negara ini tak pernah bisa melepaskan diri dari perdebatan seputar relasi agama dan negara. Semenjak Indonesia merdeka, perdebatan ideologis menyangkut relasi tersebut mengemuka dengan cukup sengit. Setelah disepakati Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara, perdebatan itu mewarnai juga produk-produk hukum yang lahir sebagai kebijakan politik negara.
Pendidikan  merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan  dalam  proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan antar berbagai jenjang dan jenisnya.[4]
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah produk kebijakan tersebut yang sensitif dengan isu-isu sikap agama. Karenanya, semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur Pendidikan Nasional, isu pendidikan agama �sebagai refleksi sikap pemerintah terhadap agama- menjadi diskusi dan perdebatan yang terus belanjut sampai lahirnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 dan �untuk saat ini- berakhir dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[5]
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan  yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas  No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan  bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan  umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.[6]
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui Madrasah, institut agama dan pesantren yang dikelola oleh Kementerian Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional.[7]
Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Kemendiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan. Hal ini juga tampak pada bab x pasal 37 Undang-undang Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.[8]
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Persoalan krusial di atas nampaknya akan teratasi oleh diberlakukannya Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang ini keberadaan Pendidikan Agama nampak lebih kuat dibanding pada Undang-undang sebelumnya.[9]
Pada bab V Pasal 12 ditegaskan bahwa: �Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan Pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama�. Kemudian dalam bagian penjelasan pasal 12 dinyatakan bahwa pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan.[10]
Dengan adanya pasal 12 ini maka setiap anak didik akan mendapatkan Pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diberikan oleh Guru Agama yang sesuai dengan agamanya, tanpa membedakan tempat atau yayasan pengelolanya, baik negeri ataupun swasta, baik sekolah yang berdasar ciri khas agama tertentu maupun bukan. Sayangnya, hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan Undang-undang ini, khususnya pasal 12 ini. Itulah sebabnya, hingga saat ini, pelaksanaan di lapangan masih tetap menjadi persoalan.
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan hanya merupakan "affirmative action" atas UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 jelas-jelas menyatakan bahwa Madrasah Ibtidaiyah adalah SD dibawah pembinaan DEPAG, MTS adalah SMP dibawah DEPAG, Madrasah Aliyah adalah SMA dibawah binaan DEPAG, dan Madrasah Aliyah Kejuruan adalah SMK dibawah binaan DEPAG. Sebenarnya tidak ada masalah tentang PP No.55 Tahun 2007 karena sudah sejalan dan senafas dengan peraturan di atasnya[11].
Sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran karena di PP No. 55 Tahun 2007 ditegaskan bahwa boleh MI/MTs/MA/MAK hanya memiliki 2 jam pelajaran PAI tetapi bisa ditambah jam pelajarannya seperti semula. Kalau tidak bisa ditambah melalui Program Diniyah Takmiliyah. Program ini bermakna program keagamaan penyempurnaan di luar tatap muka di kelas. Disamping itu pula sebenarnya pemerintah membuka kesempatan Madrasah Diniyah agar lebih eksis.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 75 Tahun 2009 tentang UN SMP/Mts, SMPLB, SMA/MA,SMALB,dan SMK menetapkan standar kelulusan UN memiliki nilai rata-rata 5,50 untuk semua mata pelajaran yang diujikan. Standar itu memiliki kewajiban lulus dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran yang lain.Nilai itu berlaku untuk peserta UN tingkat SMP/Mts, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK. Sementara khusus untuk SMK nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN[12].
Berdasakan latar belakang masalah yang penulis bahas diatas, maka penulis tertarik untuk membuat kajian dengan judul �Kedudukan Pendidikan Agama dalam Perspektif Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
B. Rumusan Masalah
Adapun  yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi  ini adalah sebagai berikut : 
1.     Bagaimana ruang lingkup pendidikan agama?
2.     Bagaimana kurikulum pendidikan agama?
3.     Bagaimana Standar kelulusan pendidikan agama?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penulisan skripsi  ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui ruang lingkup pendidikan agama.
2.     Untuk mengetahui kurikulum pendidikan agama.
3.     Untuk mengetahui Standar kelulusan pendidikan agama.
D. Kegunaan Pembahasan
              Adapun yang menjadi kegunaan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah:
Secara teoritis pembahasan ini bermanfaat bagi para pelaku pendidikan, secara umum dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai kedudukan pendidikan agama dalam perspektif Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Selain itu  hasil pembahasan ini dapat di jadikan bahan kajian bidang study pendidikan.
Secara praktis, hasil pembahasan ini dapat memberikan arti dan nilai tambah dalam memperbaiki dan mengaplikasikan kedudukan pendidikan agama dalam perspektif Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 ini dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, pembahasan ini di harapkan dapat menjadi tambahan referensi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam.
E. Penjelasan Istilah
Agar terhindar darikesimpangsiuran dan kesalahpahaman dalam pemakaian istilah merupakan salah satu hal yang sering terjadi, sehingga mengakibatkan penafsiran yang berbeda. Maka untuk menghindari hal tersebut di atas, penulis merasa perlu mengadakan pembatasan dari istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini.
            Adapun istilah yang penulis anggap perlu dijelaskan adalah: Kedudukan, Pendidikan Islam dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
1.     Kedudukan
Kata kedudukan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata �duduk� dengan berawalan �ke� dan berakhiran �an� yang artinya letak atau tempat suatu benda, tingkatan, tingkatan, status (keadaan atau tingkatan orang) badan negara.[13] Dessy Anwar dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mendefinisikan kedudukan berasal dari kata �duduk� yang artinya �meletakkan tubuh atau bertumpu pada pantat;bersimpuh;letak sesuatu negeri, kota, berdiam dan sebagainya�.[14]
Jadi yang penulis maksudkan dengan kedudukan dalam judul skripsi ini adalah tingkatan/letak kedudukan pendidikan Islam dalam Sisdiknas.
2.     Pendidikan Agama
Hoetomo dalam Kamus Lengkap bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pendidikan berasal dari kata didik yang artinya �memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran;didikan;hasil didikan; bingung, bodoh.[15]
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Agama Islam adalah: pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itui sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.[16]
Dalam UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa �Pendidikan Agama� ialah �Pendidikan Agama� sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan yang berusaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang di anut oleh peserta didik yang bersangkutan.[17]
Pada dasarnya istilah pendidikan tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga sampai saat ini belum ada keseragaman pengertian atau definisi pendidikan yang diberikan para ahli. Masing-masing ahli pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh pola pikirnya masing-masing dalam memberikan pengertian pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menyebutkan bahwa �pendidikan Islam adalah ilmu yang berdasarkan Islam yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, dan ajaran tersebut didasarkan pada Al-Qur'an dan hadits�.[18]
Pendidikan merupakan kehidupan manusia itu sendiri dan menjadi tuntunan hidupnya, apabila hasil yang diperoleh dalam kehidupannya adalah produk pendidikan. Secara filosofis bahwa di dalam pendidikan itu mengandung nilai-nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya. Bahkan dikatakan pendidikan itu mewariskan nilai-nilai kepada generasi. Di sinilah pentingnya kelestarian, nilai dalam pendidikan sangat diutamakan. Pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus tidak akan sampai kepada suatu tujuan pendidikan bila tidak didasarkan kepada falsafah hidup dan sumber pedoman  kehidupan.
            Berkenaan dengan masalah tersebut di atas Wens Tainlain mengemukakan bahwa "Istilah paedagogigiek(ilmu pendidikan) berasal dari kata yunani �pedagogues� dan dalam bahasa latin pedagogues yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak kesekolah serta menjaga anak itu agar ia bertingkah laku susila dan disiplin�.[19]
            Berdasarkan kutipan di atas dapatlah diketahui bahwa unsur membuat anak menjadi susila dan beriman serta bertindak disiplin merupakan unsur yang dominant dalam membatasi pengertian pendidikan. Sebab jika tidak menuju pada perbaikan susila dan peningkatan kedisiplinan, bukan pendidikan namanya. Selain itu, John Dewey dalam Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati lebih lanjut mengemukakan pengertian tentang pendidikan sebagai berikut: �Pendidikan (pedagogik) adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional.�[20]
Dalam bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang. Pemahaman yang lebih rinci  mengenai  tarbiyah ini harus mengacu kepada substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman dan kepribadian. Karena itu pendidikan  Islam harus dibangun dari perpaduan istilah  'ilm  atau 'allama (ilmu, pengajaran), 'adl(keadilan), 'amal (tindakan), haqq (kebeenaran atau ketetapan  hubungan  dengan  yang benar  dan nyata, nuthq(nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat(tanda-tanda  atau simbol), tafsir dan ta'wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung dalam  istilah adab.[21]
Secara keseluruhan definisi yang bertemakan pendidikan agama itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan nilai pendidikan agama adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik  yang dilakukan secara sadar dan terencana agar tertanam suatu kepribadian  yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara hirarkis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut  dapat dijabarkan  pada tingkat yang lebih rendah lagi,  menjadi tujuan  yang bercorak nasional, institusional, terminal, klasikal, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[22]
Istilah �pendidikan� dalam pendidikan Islam kadang-kadang disebut al�ta�lim. Al-ta�lim biasanya diterjemahkan dengan �pengajaran�. la kadang-�kadang disebut dengan ta�dib. AZ-ta�dib secara etimologi diterjemahkan dengan penjamuan makan malam atau pendidikan sopan santun.[23]Sedangkan Imam al-Ghazali menyebut �pendidikan� dengan sebutan al-riyadhah. Al-�riyadhah dalam arti bahasa diterjemahkan dengan olahraga atau pelatihan. Term ini dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga al-�Ghazali menyebutnya dengan riyadhah al-shibyan.[24]
Dalam bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang. Pernahaman yang lebih rinci mengenai tarbiyah ini harus mengacu kepada substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman dan kepribadian. Karena itu pendidikan Islam harus dibangun dari perpaduan istilah �ilm atau �allama (ilmu, pengajaran). 'adl (keadilan), 'amal (tindakan), haqq (kebenaran atau ketetapan hubungan dengan yang benar dan nyata, nuthq (nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat (tanda-tanda atau symbol), tafsir dan ta'wil (penjelasan clan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung dalam istilah adab.[25]
Secara keseluruhan definisi yang bertemakan pendidikan agama itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa pendidikan agama adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara herarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, institusional, terminal, klasikan, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[26]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk membimbing, mengajar dan mengasuh anak didik dalam pertumbuhan jasmani dan rohani untuk mencapai tingkat kedewasaan sesuai dengan ajaran Islam dan pada akhirnya dapat mengamalkannya, serta menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselatan, kesejahteraan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Artinya metode dan materi pendidikan agama Islam yang digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan al-Qur'an dan as-�sunnah.
3.     Undang � Undang Nomor 20 Tahun 2003
Undang-Undang (atau disingkat UU) adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[27]
Dalam kamus bahasa Indonesia, Undang-undang diartikan sebagai ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (DPR, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintahan, raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Dapat juga diartikan sebagai aturan-aturan yang dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa.[28]
Undang - Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur tentang pendidikan Nasional.
F. Metodelogi Pembahasan
            Adapun metodelogi pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.     Pendekatan pembahasan
Dalam pembahasan ini penulis mempergunakan metode deskriptif analisis yaitu suatu metode pemecahan masalah yang meliputi pencatatan, penafsiran dan analisa terhadap data dalam pengkajian skripsi ini.[29]
Penelitian ini akan menjelaskan kedudukan pendidikan agama dalam perspektif Undang - Undang No. 20 Tahun 2003.
2.     Ruang lingkup pembahasan
Adapun ruang lingkup pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah :
Tabel 1. 1 Ruang Lingkup Pembahasan
No
Ruang Lingkup
Hasil Yang Diharapkan
1
Ruang Lingkup Pendidikan Agama
a)     Aqidah Akhlak
b)     Al-qur�an hadist
c)     Fiqih
d)     SKI
2
Kurikulum Pendidikan Agama
a).   Pengertian
b).   Macam-Macam Kurikulum
3
Standar Kelulusan
a)     Standar kelulusan Nasional
b)     Standar kelulusan kebijakan
3.     Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.     Data primer
Data primer adalah sumber data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data dan penyelidik untuk tujuan penelitian.[30]. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.     Data skunder
Data skunder yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber data primer tersebut yaitu buku �Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Guru dan Dosen� Tim Pustaka Merah Putih yang diterbitkan Pustaka PT. Agromedia Pustaka, 2007, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kebudayaan Agama Islam Dep. Agama, Jakarta, 1986, UURI No: 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Himpunan Peraturan-Peraturan Tentang Pendidikan Agama karya Djamil Latif,(Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri, Jakarta, 1993).
4.     Tehnik Pengumpulan Data
Adapun tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik Library Research yaitu menelaah buku-buku, teks dan literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan di atas.[31]Suatu metode pengumpulan data atau bahan melalui perpustakaan yaitu dengan membaca dan menganalisa buku-buku, majalah-majalah yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti. Selain itu juga akan memanfaatkan fasilitas internet untuk memperoleh literatur-literatur yang berhubungan dengan skripsi ini.
5.     Tehnik Analisa Data
Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.
Menurut Lexy J. Moleong, analisis data adalah yakni suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi dengan mengidentifikasi karakter khusus secara obyektif dan sistematik yang menghasilkan deskripsi yang obyektif, sistematik mengenai isi yang terungkap dalam komunikasi.[32]
G. Sistematika Penulisan
            Adapun sistematika dalam penulisan skripsi  ini adalah sebagai berikut : Bab satu, pendahuluan meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pembahasan, kegunaan pembahasan, penjelasan istilah, metode pembahasan dan sistematika penulisan.
Bab dua, mengenal lebih dekat tentang Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 meliputi : latar belakang munculnya Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, isi ringkas Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, kelebihan dan kekurangan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 dengan undang-undang sebelumnya dan strategi implementasi Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 dalam dunia pendidikan.
Bab tiga, kedudukan pendidikan agama dalam perspektif Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 meliputi: ruang lingkup pendidikan agama, kerikulum pendidikan agama dan standar kelulusan pendidikan agama
Bab empat, penutup meliputi: kesimpulan dan saran-saran
Sedangkan dalam penulisan skripsi ini untuk adanya keseragaman dan kesamaan dalam penulisan pengetikan penulis berpedoman pada buku � Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Almuslim Peusangan Kabupaten Bireuen tahun 2009.




[1] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), hal. 3

[2] Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dan Peraturan
Pemerintah R.I Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2008).
hal. 2.

[3] Ibid., hal. 4.

[4]Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, 1993/ 1994.

[5] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Islam diIndonesia,                  ( Jakarta: Kencana, 2004 ), hal. 20.

[6] Undang-Undang Sisdiknas UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Guru dan Dosen UU RI Nomor 14 Tahun 2005, (Jakarta: Asa mandiri, 2009 ), hal. 9.

[7]Zuhairini, dkk,. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kebudayaan Agama Islam Dep. Agama, Jakarta: 1986), hal. 103.

[8] Undang-Undang Sisdiknas...., hal. 19.

[9] Ibid., hal 30.

[10] Undang-Undang Sisdiknas., hal. 25.
[11] Afnil Guza, Standar Nasional Pendidikan (SNP), Cet.V, (Jakarta: Asa mandiri, 2008), hal. 10.

[12] Guza, Standar...., hal. 14.
[13]Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 1989), hal. 483.

[14]Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia cet.I, (Surabaya: Karya Abditama, 2001),hal. 127.

[15]Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal. 137.

               [16]Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam Cet. IV, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hal. 86.

[17]Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[18]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif  Islam, cet.VI, (Bandung: Rosda Karya, 2004), hal. 13.

[19]Wens Tainlain, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta:  Obor 1992), hal. 5.

[20]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta 1991), hal. 69.

[21]Khursyid  Ahmad,  Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, terj. A.S Robith (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.

[22]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 292.

[23] Ramayulis, llmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hal. 2.

[24] Ibid.

[25] Khursyid Ahmad, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, terj. A.S Robith (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.
[26] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafmdo Persada, 2000), hal. 92.
[28] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 1245.

[29]Suharsini Arikunto, Prosedur PenelitianSuatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 243.
[30]Winarmo Surachmad,. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah,                 (Bandung: Angkasa, 1987), hal. 163.

[31]Kartini, Pengantar Metodologi Research Sosial, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 28.

[32]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 44.