Kedudukan Pendidikan Karakter dalam Islam
BAB II
KEDUDUKAN PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pengertian Pendidikan Karakter
Secara umum, istilah karakter sering diasosiasikan dengan apa yang disebut temperamen. Selain itu karakter dilihat dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki manusia sejak lahir. Dalam hal ini istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Sedangkan kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir[1]. Istilah karakter sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter secara etimologis berasal dari bahasa Yunani karasso, yang berarti cetak biru, format dasar, sidik, seperti dalam sidik jari.[2].
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai hidup, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, alam dan lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang berakhlak mulia. Pendidikan karakter menggarap berbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, dan juga pengembangan karakter.
Menurut Doni Koesoema Pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri[3]. Segala usaha baik yang formal di sekolah ataupun informal dalam keluarga dan lingkungan yang memberi kebebasan seseorang untuk berkembang merupakan proses pendidikan dalam arti luas. Dari sinilah karakter individu terbentuk, terutama dalam lingkungan keluarganya sebagai lingkungan pertama bagi tumbuh kembang seseorang.
Fihris dalam bukunya Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global menjelaskan bahwa:
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter pada hakekatnya ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain dan dunianya dalam komunitas pendidikan. Dengan demikian pendidikan karakter senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam membangun kehidupan bersama.[4]
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah �membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik�[5]. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter harus bersifat membebaskan karena hanya dalam kebebasannya individu �dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka�. Kebebasan dalam hal ini berarti tidak mengekang kreativitas dan potensi anak dengan belenggu sekolah atau keotoriteran orang tua. �Konsep pendidikan karakter, sama halnya dengan membahas manusia sebagai pribadi serta perilakunya dalam masyarakat. Tentu saja hal itu menyangkut permasalahan kebudayaan, etika, moral dan akhlak�[6]. Dengan demikian akan dapat dipahami urgensi pendidikan karakter bagi kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa.
Tentang ambiguitas terminologi �karakter� ini, mengajukan dua cara interpretasi. Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu:
Pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang talah ada sejak lahir (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui sejauh mana seseorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).[7]
Sedangkan kata pendidikan (education) secara etimologis berasal dari bahasa latin yakni �educare dan educereyang berarti melatih atau menjinakkan, menyuburkan. Jadi pedidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, dan mendewasakan�[8].
Menurut Masnur Muslich, Pendidikan karakter juga merupakan alih- alih dari pendidikan budi pekerti, sebagai pendidikan nilai-moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Dan semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, alam dunia dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotorik (perilaku).
Menurut Fihris, dalam pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.[9]Dari sini akhlak yang berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata mufrad khuluq yang berarti budi pekerti.[10]Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos, yang berarti kebiasaaan, sedangkan moral berasal dari bahasa latin juga, mores, yang berarti kebiasaan.[11]Di sisi lain ada yang memberi pengertian bahwa kata akhlak berasal dari kata khalaqa dengan akar bahasa khuluqun (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabiat, atau juga dari kata khalqun yang berarti kejadian atau ciptaan.[12]
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan kepribadian seseorang.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negarayang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah �kepatuhan akan nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya�.[13]Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah �pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda�.[14]
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolongmenolong dan gotongroyong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good, knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebajikan. �Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta akan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan�.[15]
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age).[16]Karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya
B. Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada intinya berfungsi �membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila�[17].
Pendidikan karakter berfungsi untuk[18]:
1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik
2. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Fungsi dari pendidikan karakter dan budaya bangsa menurut Puskur adalah sebagai berikut[19] :
1. Pengembangan; pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi yang berperilaku baik,
2. Perbaikan; memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat
3. Penyaring; untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai budaya dan karakter budaya yang bermartabat
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. Pendidikan karakter pada anak Usia Dini menjadi Dasar terbentuknya sikap dan perilaku anak ketika Dewasa, Pendidikan karakter yang baik akan membentuk pribadi anak yang Mandiri, Bertanggung jawab, dan Berani mengambil Resiko atas suatu yang akan diperjuangkannya. Serta membentuk Mental dan Spirital dengan kepercayaan Diri (percaya diri).
C. Dasar Penerapan Pendidikan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energy positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan).
Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa �m�n, isl�m, ihs�n dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqw�m); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa �qlus sal�m (akal yang sehat), qalbun sal�m (hati yang sehat), qalbun mun�b(hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan Perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: Istiq�mah(integritas), ihl�s, jih�d dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai th�gh�t (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (th�gh�t) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan th�gh�t itu berupa kufr(kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik(kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqw�m) menjadi makhluk yang serba material (asfala s�fil�n); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun mar�dl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu �l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (th�gh�t). Ketiga, sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan th�gh�tdan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-duny�(materialistik), dl�lim (aniaya) dan amal sayyi�t (destruktif)[20].
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan �amal al sayyi�t (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental th�gh�t ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
a. Ciri Dasar Pendidikan Karakter.
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam Pendidikan Karakter yaitu. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan nilai hierarkie. Kedua, koherensi yang member keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut akan resiko. Koherensi adalah dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Disitu seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai � nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter tersebut memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. Menurutnya orang � orang modern sering mencampuradukkan antara dua tersebut, antara independensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performa seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Adapun sebelas prinsip agar Pendidikan Karakter dapat berjalan secara efektif, ialah sebagai berikut[21] :
1. Kembangkan nilai � nilai etika inti dan nilai � nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik.
2. Definisikan �Karakter� secara komprehensif yang mencakup yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku.
3. Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja dan proaktif dalam pengembangan karakter.
4. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian.
5. Beri siswa kesempatan untuk tindakan moral.
6. Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter dan membantu siswa untuk berhasil
7. Usahakan mendorong motivasi diri kerja.
8. Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral yang berbagi tanggung jawab dalam Pendidikan Karakter upaya untuk mematuhi nilai � nilai inti yang sama dan membimbing pendidikan siswa.
9. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif Pendidikan Karakter.
10. Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
b. Tiga Basis Desain Penerapan Pendidikan Karakter.
Pendidikan Karakter jika ingin efektif dan utuh harus menyertakan Tiga Basis Desain dalam pemrogramannya. Yaitu adalah : Pertama, Pendidikan Karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pesrta didiknya, dan dilakukan dalam konteks pembelajaran. Kedua, desain Pendidikan Karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan batuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dalam diri siswa. Ketiga, desain Pendidikan Karakter dengan basis komunitas. Dalam mendidik, pihak sekolah tidak sendirian melainkan sosial diluar pun turut serta dalam pembentukan karakter seseorang. Misalnya keluarga, masyarakat umum dan negara.
D. Dampak Pendidikan Karakter
Situasi sosial, kultural masyarakat kita akhir akhir ini memang semakin mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dan lain-lainnya yang telah terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Hal ini mewajibkan kita untuk mempertanyakan sejauh mana lembaga pendidikan kita telah mampu menjawab dan tanggap atas berbagai macam persoalan dalam masyarakat kita? Ada apa dengan pendidikan kita sehingga manusia dewasa yang telah lepas dari lembaga pendidikan formal tidak mampu menghidupi gerak dan dinamika masyarakat yang lebih membawa berkah dan kebaikan bagi semuaorang?
Ada banyak pendapat mengapa pendidikan tampaknya �kedodoran? dalam menjawab berbagai macam persoalan dalam masyarakat kita. Dari segi tradisi pendidikan, dibandingkan dengan negara-negara maju, kita memiliki tradisi pendidikan yang masih muda. Negara kita baru membuat program pendidikan nasional secara terencana, katakanlah, baru pada pertengahan abad ke-20 ini. Para intelektual kita sebelum kemerdekaan, seperti Soekarno, Hatta, dan lain-lainnya, sebagian besar memperoleh pendidikan dari luar negeri, khususnya di negeri Belanda. Baru setelah kemerdekaan, pada masa Orde Lama, dan khususnya pada masa Orde Baru kita memiliki sistem pendidikan nasional yang kurang lebih terprogram dan terencana. Orde Baru telah memberikan sumbangan besar bagi berdirinya banyak Sekolah Dasar Inpres pada tahun 80-an yang memberikan kesempatan besar bagi anak-anak di daerah untuk memperoleh akses pendidikan.
Rupanya usaha nasional bagi perkembangan pendidikan nasional kita dengan perbaikan sarana dan fasilitas pendidikan tidak disertai dengan perencanaankurikulum yag memadai sehingga sejak zaman Orde Baru sampai sekarang kita selalu bermain �bongkar pasang? kurikulum. Kita kenal berbagai macam jenis kurikulum seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).[22]
Pada masa setelah reformasi, situasi pendidikan nasional semakin parah. Kurikulum tetap berganti setiap pergantian menteri, dari kurikulum 2004 ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menekankan pada aspek profesionalisasi bagi seorang guru.[23]Sementara itu, ribuan sekolah SD Inpres yang dibangun oleh Orde Baru pada tahun 80-an mulai rusak dan roboh,[24] program perbaikan gedung-gedung sekolah tidak terjadi secara signifikan sehingga banyak SD negeri kita yang situasinya mirip �kandang bebek�. Di beberapa tempat malahan warga saking marahnya sebab jengkel karena tidak segera ada perbaikan gedung sekolah, justru malah merobohkan sendiri gedung sekolah itu. Mereka khawatir akan keselamatan anak-anak mereka yang tetap belajar di sekolah yang hampir roboh tersebut.[25]
Dari segi sosial ekonomi, sampai akhir tahun 80-an, pertumbuhan ekonomi kita relatif cukup baik. Dunia pendidikan, meskipun tertatih-tatih, masih memberikan ruang bagi yang miskin untuk mengenyam pendidikan. Namun semenjak awal tahun 90-an, situasi ekonomi yang semakin baik rupanya disertai dengan berbagai macam ketimpangan ekonomi yang memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin. Setelah krisis ekonomi dan reformasi tahun 1998, pendidikan kita benar benar stagnan,40 sebab tidak terlihat adanya kemauan politik pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan ditambah dengan naiknya harga bahan bakar minyak dan harga sembilan bahan makanan pokok (sembako) yang menjadikan bertambahnya orang miskin di negeri kita dan brarti pula banyak anak yang putus sekolah sebab orang tua tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Sedangkan keadaan orang yang miskin semakin miskin.
Pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak mempunyai akhlak yang mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara keberhasilan pendidikan karakter dengan keberhasilan akademik, serta perilaku pro-sosial anak,[26]sehingga dapat membuat suasana sekolah dapat begitu menyenangkan dan kondusif untuk proses belajar-mengajar yang efektif. Anak-anak yang berkarakter baik adalah mereka yang mempunyai kematangan emosi dan spiritual tinggi, sehingga dapat mengelola stressnya dengan lebih baik, yang akhirnya dapat meningkatkan kesehatan fisiknya.
Para pakar pendidikan berpendapat bahwa terlalu menekankan pendidikan akademik (kognotif atau otak kiri) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter (kecerdasan emosi atau otak kanan), adalah penyebab utama gagalnya membangun manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dari beberapa studi yang menunjukkan bahwa keberhasilan manusia dalam dunia kerja 80 persen ditentukan oleh kualitas karakternya, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kemampuan akademiknya. Sehingga tidak berlebihan untuk menempatkan pendidikan karakter sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia seutuhnya, dimana karakter adalah input yang penting sekali dalam pembangunan sumber daya manusia.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya dampak dari pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya.[27]Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.
Selain itu, bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak.[28] Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti/ karakter menjadi bahan pembicaraan ramai.
Manusia bukan saja harus mempunyai kecerdasan emosi, tetapi harus mempunyai kecerdasan spiritual (spiritual quotient-SQ) agar dapat menjadi manusia yang sebenarnya manusia.[29]Kualitas mutu sumber daya manusia sekarang sudah dilihat secara holistik, membuat aspek kecerdasan emosi dan spiritual menjadi aspek yang penting, dan pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai kebajikan universal menjadi input yang sangat menentukan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia secara utuh.
[2] Ibid., hal. 90.
[3]Doni Koesoema, Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grafindo, 2007), hal. 28.
[5]Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 16.
[14]Akhmad Sudrajat, Konsep Pendidikan Karakter. http://AkhmadSudrajat .wordpress.com./ 2010/ konsep_ pendidikan_karakter, 27 Juli 2011.
Publishing, 2010), hal. 122.
[18]Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-danimplementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/ 29 September 2011.
[23]Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hal. 4.
[24]Jawa Pos, (Jawa Tengah: 14 Juli 2011), hal. 8.
[25]http://books.google.co.id/books?id=Setelah+krisis+ekonomi+dan+reformasi+tahun+1998, diakses tanggal 2 September 2011.
[27]Darmiyati, dkk., Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas, (Yogyakata: UNY press, 2010), hal. 38.