Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga


BAB II
TINDAKAN KEKERASAN DALAM RUMAH   TANGGA DAN PERMASALAHANNYA


A.   Pengertian Tindakan Kekerasan dalam Rumah  Tangga
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas empat istilah kata yang berbeda maknanya. Tindakan berasal dari kata tindak yang diberikan imbuhan 'an'. Tindakan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan perlakuan tegas terhadap seseorang yang berbuat salah.[1]Sedangkan tindakan adalah suatu kekejaman yang dilakukan terhadap seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar.[2] Namun istilah kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang orang lain.[3] Rumah tangga terdiri atas dua kata yaitu rumah dan tangga. Namun demikian istilah rumah tangga sudah dibentuk sedemikian rupa, sehingga menjadi satu kata yang mempunyai pengertian sekelompok orang-orang yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.[4]
Namun demikian, dalam Undang-Undang 23 Tahun 2004 dijelaskan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perbuatan yang menyebabkan seorang isteri, pembantu, anak-anak dan orang tua menjadi menderita disebabkan oleh adanya tindakan penganiyaan baik penganiayaan fisik maupun penganiayaan mental.[5]
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kutip di atas, maka dapat dipahami bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga suatu tindakan bersifat penganiayaan yang dapat melukai badan atau raga dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri, anak, orang tua atau pembantu dengan tujuan mencapai maksud yang diinginkannya.
Tetapi dalam rumah tangga ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan saling memaki sering terjadi.[6]Tetapi semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Sebab kekerasan dalam rumah tangga jauh lebih buruk. Hal ini terjadi biasanya, jika korban dan pelaku tidak setara. Lazimnya pelaku mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar baik dari segi ekonomi, kekuatan fisik, maupun status sosial dalam rumah tangga. Dan karena posisinya yang khusus itu seringkali pelaku memaksakan kehendaknya untuk diikuti orang lain. Untuk mencapai keinginannya, pelaku akan menggunakan berbagai cara, kalau perlu cara kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, isteri, suami, anak atau bahkan pembantu rumah tangga. Namun secara utuh kekerasan dalam rumah tangga yang penulis fokuskan dalam pembahasan karya tulis ini adalah penganiayaan suami terhadap isterinya. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah isteri.
Berbagai bentuk dan tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh anak-anak, remaja dan orang dewasa, jika ditelusuri secara seksama berakar pada proses kebiasaan yang dibiarkan di dalam rumah tangga. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian memperlihatkan bahwa 50 % sampai 80 % laki-laki yang memukul isteri atau anak-anak ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang ayah atau suami memukul ibu atau isterinya. Ironisnya, mereka menganggap bahwa penganiayaan merupakan suatu hal yang wajar terjadi.[7]
Penganiayaan terhadap isteri sebenarnya tidak terbatas pada deraan yang bersifat badani seperti menampar, menggigit, membentur ke tembok sampai membunuh. Ada bentuk-bentuk penganiayaan yang yang bersifat kejiwaan atau emosi. Penganiayaan ini bisa dalam bentuk penanaman rasa takut yang melalui intimidasi, ancaman, hinaan, mengecilkan arti isteri sampai membatasi ruang geraknya.
Selain penganiayaan fisik dan mental, berdasarkan kenyataan, kaum isteri seringkali mengalami penganiayaan seksual. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari dari pemaksaan hubungan seksual ketika isteri tidak siap melakukannya, hubungan seksual yang diiringi penyiksaan, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki isteri.[8]
Masyarakat beranggapan dan selalu percaya bahwa rumah tangga adalah tempat yang aman. Tempat di mana kehangatan selalu bersemi. Di dalamnya terdapat pasangan suami isteri yang saling mencintai. Dan anak-anak adalah belahan jiwa orang tuanya. Namun apa sebenarnya yang terjadi? Kehidupan sehari-hari sering menimbulkan kenyataan yang menyedihkan. Amat jauh dari anggapan masyarakat.

B.   Aturan-Aturan Hukum yang Mengatur Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Merebaknya tindak kejahatan seperti ini di Indonesiatelah mendorong berbagai kalangan mengembangkan berbagai cara untuk mengatasinya. Dewasa ini telah lahir beragam upaya dan lembaga yang memberi perhatian kepada masalah ini.
Salah satu bentuk perhatian itu adalah pendirian berbagai pusat pelayanan perempuan korban kekerasan, melakukan sosialisasi terhadap anti kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap isteri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerhati dan instansi pemerintah. Lembaga ini tumbuh dibeberapa kotabesar juga muncul di beberapa kotakabupaten. Adaberagam jenis layanan yang ditawarkan. Parakorban dapat memanfaatkannya sesuai kebutuhan mereka. Di antara layanan yang diberikan adalah memberikan konsultasi melalui telepon (hotline), mengupayakan pendampingan kejiwaan, serta memberikan bantuan medis dan pendampingan hukum.[9]
Di antara lembaga tersebut ada juga yang menyediakan tempat singgat perlindungan sementara bagi korban yang memerlukan, terutama dalam situasi darurat. Misalnya dalam kasus-kasus di mana korban harus keluar rumah karena jiwanya terancam.
Salah satu komponen penting dalam upaya membantu korban kekerasan dalam rumah tangga adalah bantuan hukum. Bantuan hukum sangat dibutuhkan mengingat sampai sekarang hukum di Indonesiabelum memenuhi rasa keadilan para korban kekerasan ini. Dalam hukum positif Indonesia, belum dijumpai ketentuan yang secara tegas mengatur masalah kekerasan dalam rumah tangga, seperti kejahatan seksual lainnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga di atur dalam pasal-pasal hukum pidana mengenai penganiayaan. Hal inilah yang mendorong berbagai kalangan untuk mengupayakan lahirnya sebuah Undang-Undang khusus tentang kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan rapat paripurna DPRRI 14 September 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang ini diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota rumah tangga khususnya perempuan dari segala tindak kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Dengan kehadiran Undang-Undang ini dapat menjadi sarana keadilan bagi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.[10]
Disahkannya Undang-Undang di atas adalah suatu anugerah bagi kaum perempuan walaupun sama sekali bukan berarti masalah tersebut selesai, karena berdasarkan pengalaman korban kekerasan, di samping ketidakpuasan mereka terhadap materi hukum, hal lain yang sering dipermasalahkan adalah lemahnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum seringkali dirasakan tidak berpihak kepada korban. Misalnya, jika kasus kekerasan dalam rumah tangga, para hakim masih saja menganggap bahwa persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi sehingga penyelesaiannya sebaiknya di antara keluarga sendiri, bukan di pengadilan. Pelayanan pihak kepolisian juga mengandung berbagai masalah, sebab dalam banyak kasus justeru korban yang dipersalahkan, sebelum menyidik kasus kekerasan secara sungguh-sungguh.
Langkah penanganan kekerasan dalam rumah tangga semakin lengkap setelah beberapa polwan dan purnawirawan polisi berinisiatif untuk merintis terwujudnya saat ini dikenal sebagai Ruang Pelayanan Khusus (RPK) bagian pelayanan masalah perempuan di kantor polisi. Langkah pembaharuan ini dilandasi keprihatinan atas pelayanan pihak kepolisian yang diberikan selama ini. Sebagai sebuah lembaga perlindungan negara, pelayanan polisi tampaknya masih sering mengecewakan korban. Kritik yang diberikan kepada polisi dan pihak yang berwenang lainnya berkaitan dengan penanganan terhadap korban selama ini antara lain:
  1. Perempuan korban kekerasan sering kali justeru diduga sebagai pihak yang memancing tindak kekerasan.
  2. Menganggap persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan pribadi dan harus diselesaikan di rumah dan bukan untuk dilaporkan.
  3. Kalaupun masalahnya diperkarakan, proses penyidikannya sangat membebani korban. Prosesnya sangat bertele-tele, menghabiskan waktu, uang dan tenaga. Hal ini membuat korban lebih menderita.[11]
Sebagai usaha mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, telah diupayakan berbagai aturan-aturan hukum yang bertujuan untuk meminimalisir tindak kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu aturan yang digunakan dalam mengatasi tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah penggunaan Undang-Undang Nomor 351 tentang penganiayaan yang menjelaskan bahwa penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-.[12]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa pelaku penganiayaan akan diberikan tuntutan hukuman paling lama dua tahun delapan bulan. Dengan adanya ketentuan ini, tentunya akan menurunnnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sebab penganiyaan yang dimaksudkan dalam KUHP tersebut sengaja menyebabkan perasaan orang lain menjadi sakit, tidak enak, atau melukai.
Namun demikian, dalam Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga akan dikenakan sanksi hukuman penjara paling lama 3 tahun dan paling sedikit satu tahun dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- atau paling sedikit 15.000.000,-.[13]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa sanksi hukum terhadap pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga cukup berat. Hal ini perlu diterapkan sebagai upaya untuk mengatasi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi selama ini. Akan tetapi, anehnya setiap terjadi tindakan kekerasan dalam rumah jarang sekali korban yang berani melaporkan tindak kekerasan tersebut.
Padahal dalam ketentuan Islam sendiri sangat dilarang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw. sebagai berikut:
?? ??? ????? ??? ???? ??? ???: ??? ??? ? ???? ??? ???? ???? ???? ??????? ??????? ??? ?????? ???? ?? ??? ??? ???? ??? ?? ????? ????? ??? ???? ????? ????? ??? ????? ?? ??? ???? ???????? ??????? (???? ???????) [14]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, berkata Rasulullah saw. Ajarilah wanita-wanita itu, karena sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk dan sesungguhnya yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, maka jika kamu ingin meluruskan niscaya ia putus, dan jika kamu biarkan niscaya ia senantiasa bengkok, oleh karena itu, ajarilah wanita dengan cara lemah lembut (H. R. Bukhari)

Berdasarkan keterangan hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa Islam melarang mengambil tindakan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan Islam menganjurkan kepada siapa saja untuk mengajari wanita dengan cara yang lemah lembut. Hal ini menandakan bahwa Islam tidak mentolerir terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Di sisi lain, Islam juga memberikan aturan hukum tersendiri jika terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu bentuk aturan hukum dalam Islam adalah adanya ketentuan qisas bagi orang yang melakukan kekerasan terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
?? ??? ??? ???? ??? ?? ?????? ??? ?? ? ????? ??? ????? ??? ?? ??? ????? ????? ????? ??? ??? ??????? ?????? ?????? ???? ??????? ?????? ??????? ????? ??? ???? ???? ???? ??? ???? ??? ????? (???? ???????)[15]
Artinya: Dari Anas ra., bahwasanya ada seorang Yahudi telah memukul kepala seorang gadis dengan dua batu, gadis itu ditanya: �siapakah yang melakukan ini terhadapmu, apakah sifulan, apakah difulan?, sehingga disebutkan nama seorang Yahudi, lalu gadis itu mengangguk kepalanya, lalu orang Yahudi itu ditangkap dan mengakuinya, lalu Nabi saw. memerintahkan untuk memukul kepala orang Yahudi itu dengan dua batu (H. R. Bukhari)

Berdasarkan keterangan hadits tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum Islam juga melarang adanya tindak kekerasan terhadap orang lain. Larangan ini juga berlaku terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan menurut hukum Islam dalam konsep qisas memberikan toleransi kekerasan di balas dengan kekerasan pula. Artinya, menurut konsep hukum Islam, jika terjadi tindak kekerasan baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga, hakim menggunakan ketentuan qisas sebagai balasan terhadap kekerasan tersebut.

C.   Penyebab Terjadi Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya anggapan bahwa isteri merupakan pelayan bagi suaminya. Dengan adanya anggapa demikian, maka sudah menjadi satu bentuk kepercayaan yang telah mendarah daging dalam tatanan kehidupan berkeluarga dalam masyarakat banyak.
Suatu hal yang patut dicermati sehubungan dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah pengaruh anggapan tersebut. Apalagi anggapan seperti itu sangat berlawanan dengan kenyataan. Pada umumnya masyarakat masih sangat meyakini anggapan ini karena dapat mempengaruhi sikap masyarakat terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekuasaan suami terhadap isterinya. Padahal sikap demikian tidak perlu dipelihara, sebab di samping menyebabkan korban fisik dan mental isteri, juga akan berurusan dengan penegak hukum.[16]
Di sisi lain, tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam tatanan itu, perempuan ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas dua), yang berada di bawah superioritas kaum lak-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sebagai pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. akibatnya, perempuan hanya ditempatkan di ranah domestik saja, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Karena persepsi tersebut dianggap benar, timbullah berbagai bentuk tindak kekerasan, penindasan, pelecehan seksual, dan sebagainya terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu, di sini penulis memaparkan beberapa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, di antaranya adalah:
Pertama, masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa harus kuat dan berani serta tanpa ampun. Laki-laki dilatih untuk merasa berkuasa atas dirinya dan orang sekelilingnya sekaligus. Itulah kejantanan. Jika mereka menyimpang dari peran tersebut, mereka dikatagorikan sebagai laki-laki lemah. Dan hal ini sangat melukai harga diri dan martabat laki-laki. setelah mereka tumbuh menjadi dewasa dan menikah, masyarakat semakin mendorong mereka untuk menaklukkan isteri. Jika gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang mendorong suami untuk menggunakan cara apapun, termasuk cara-cara kekerasan demi menundukkan isterinya. Jika tetap membesarkan anak laki-laki seperti ini, maka termasuk golongan yang melanggengkan budaya kekerasan.[17]
Kedua, kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suami. Dan salah satu akibatnya, isteri sering diperlakukan semena-mena sesuai dengan kehendak mootsuaminya. Banyak penelitian membuktikan bahwa pemicu tindak kekerasan terhadap isteri justeru bukan kesalahan isteri sendiri. Suami yang frustasi di tempat kerja dan tidak mampu mengatasi persoalannya dengan sangat mudah melampiaskankejengkelannya.[18]
Ketiga, fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Masyarakat pada umumnya percaya bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Di dalam rumah tangga, ini berarti suami si atas isteri. Isteri sepenuhnya milik suami sehingga suami bisa berbuat apa saja agar isteri kembali ke jalan yang benar. Termasuk di dalamnya melakukan tindak kekerasan.
Keempat, masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami isteri. Orang lain tidak boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang oleh masyarakat yang dengan sengaja menutup mata terhadap fakta kekerasan dalam rumah tangga yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah rumah tangga yang orang lain tidak layak mencampurinya. Hal ini sungguh aneh, karena kita melihat seorang perempuan yang tidak dikenal diserang oleh seseorang dijalanan, maka dilain pihak berusaha menghentikannya dan melapor kepada polisi. Tetapi jika mengetahui kalau suami yang menganiaya isterinya, maka orang lain tidak perlu mencampurinya.[19]
Kelima, pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggapnya bahwa laki-laki menguasai perempuan. Tafsiran semacam ini mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan suami melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik. Hak ini diberikan kepadanya karena suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Suami adalah penguasa yang mempunyai kelebihan-kelebihan kodrati yang merupakan anugerah Allah. Pemahaman seperti di atas melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan, jika tidak diluruskan dengan penafsiran yang lebih sesuai dengan semangat keadilan yang merupakan ruh Islam.[20]

D.   Bentuk-Bentuk Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kebanyakan orang menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan para suami adalah kekhilafan sesaat. Apalgi setelah melakukan kekerasan suami kemudian suami meminta maaf dan kembali bersikap mesra terhadap isterinya. Tidak banyak pihak yang menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu prilaku berulang, mengikuti pola yang khas. Untuk memahami kasus kekerasan terhadap isteri harus dipahami siklus dan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi. Pemahaman ini sangat membantu untuk mengerti mengapa perempuan yang dianiaya tetap mencoba bertahan dalam situasi buruk itu. Namun bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat dikatagorikan ke dalam tiga bentuk yaitu:
1.   Kekerasan Fisik
Adapun kekerasan yang dapat digolongkan secara fisik adalah:
a.     Muncul ketegangan
Ketegangan muncul disebabkan percekcokan terus menerus. Terkadang dibarengi kekerasan kecil. Namun semuanya dianggap sebagai bumbu perkawinan, sehingga ketegangan-ketegangan berlalu begitu saja.[21]
  1. Pemukulan akut
Bentuk ini yang sering muncul sebagai penderitaan korban. Ketegangan meningkat menjadi penganiayaan. Bentuknya bisa bermacam-macam. Mungkin berupa tamparan, tendangan, cekikan, bantingan, dan seringkali penyerangan dengan senjata tajam atau senjata api. Kekerasan semacam ini bisa berhenti bila isteri meninggalkan rumah, meninggal, atau suami menyadari kesalahannya.[22]
  1. Bulan madu semu
Dalam bentuk ini suami sering kali menyesali tindakannya. Bentuknya bisa rayuan dan berjanji tidak melakukan lagi. Bahkan tidak jarang suami memperlihatkan sikap mesra yang berlebihan seperti memberi hadian istimewa. Kalau sudah demikian, biasanya isteri akan luluh dan memaafkan tindakan kekerasan yang dilakukan suami. Tentu dengan harapan badai akan berlalu, dan babak kehidupan baru segera dimulai. Itulah sebabnya mengapa isteri sering bertahan di dalam rumah tangga.[23]
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk menampar, bahkan membunuh sekalipun. Namun sebenarnya perlakukan semacam itu patut dikecam, apalagi dalam Islam tidak pernah diberikan tolerasni untuk memperlakukan isteri secara keras dan kasar, bahkan Islam melindungi hak-hak perempuan.
Berdasarkan pengalaman banyak isteri korban kekerasan, babak bulan madu ini tidak lama bertahan. Tahapan ini cepat berlalu oleh munculnya konflik dan ketegangan baru. Ketegangan ini lalu menyulut kekerasan dan selanjutnya diikuti bulan madu. Ada tiga permasalahan yang melingkupi permasalahan ini, antara lain:
  1. Semakin lama semakin pendek waktu perputaran lingkaran. Mungkin awalnya memerlukan waktu satu sampai dua tahun untuk melalui tahap ini. Namun, lima tahun kemudian hanya memerlukan waktu sebulan untuk merampungkan ketiga bentuk tersebut.
  2. Semakin lama putarannya, semakin buruk kekerasan yang dialami isteri. Mulanya mungkin hanya menampar, tetapi lima tahun kemudian bisa mematahkan tulang.
  3. Semakin lama tahap yang dilalui, semakin pendek masa bulan madu. Mungkin awalnya suami amat menyesal, minta maaf, dan bersumpah untuk tidak mengulangi lagi. Lima tahun kemudian, suami bahkan tidak menampakkan penyesalannya sehingga ketegangan berikutnya segera menyusul.[24]
2.   Kekerasan Mental
Sementara itu kekerasan dalam rumah tangga yang dapat digolongkan kekerasan mental adalah:
a.     Sindiran
Sindiran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isterinya. Sindiran ini biasanya terjadi apabila siisteri berbuat hal-hal yang tidak disenangi suami, sehingga siisteri selalu disindir dengan kata-kata yang menyakitkan oleh suaminya.[25]
b.    Bersikap masa bodoh (ogah-ogahan)
Suami bersikap apatis terhadap isteri karena berbuat kesalahan atau karena suami tidak senang lagi dengan isterinya, akan membuat isteri tersiksa batinnya. Kekerasan semacam ini sangat sering terjadi dewasa ini, karena menurut anggapan sebagian suami perlakuan seperti akan memudahkan isteri menurut kepadanya atau bahkan bisa mempercepat isteri meninggal.[26]
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat dikatagorikan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan dalam bentuk fisik dan kekerasan dalam bentuk mental. Namun kedua bentuk kekerasan akan berakhir pada penganiayaan isteri baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Bahkan penganiayaan langsung akan dikenakan hukuman penjara sebagaimana telah penulis sebutkan di atas.
Sebenarnya kekerasan terdiri dari tindakan memaksakan kekuatan fisik dan kekuasaan kepada pihak lain. Biasanya prilaku ini bertujuan untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Meski tindak kekerasan, baik bentuk fisik maupun non fisik, keduanya menyebabkan implikasi yang serius bagi kesehatan fisik dan mental seseorang, namun perlu diingat bahwa fenomena ini bukanlah semata persoalan keilmuan medis, melainkan melingkupi segala aspek kehidupan. Dan tindak kekerasan bukanlah fenomena kriminal semata, melainkan terkait dengan persoalan hukum, etika-moral, kesehatan, serta sosial budaya, politik, dan latar belakang seseorang.[27]
Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan, seperti:
a.     Jatuh sakit akibat stress seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dan lain-lain.
b.    Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.
c.     Berkemungkinan bunuh diri atau membunuh pelaku.
d.    Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.
e.    Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil.
f.      Bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa.
g.    Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar.[28]
3.   Kekerasan Seksual
Pelecehan seksual juga merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya. Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap isteri meliputi sodomi, menikmati kepuasan seksual melalui pemukulan dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boike Nugraha bahwa �melakukan hubungan intim melalui jalan yang tidak dihalalkan agama termasuk tindak kekerasan seksual�.[29]
Akan tetapi akibat kekerasan seksual tersebut, maka penderitaan isteri akan berakhir, ketika:
  1. Isteri meninggal dunia akibat deraan atau penganiayaan yang dialami.
  2. Suami meninggal dunia. Dalam beberapa kasus dibunuh oleh isteri yang tidak tahan menderita.
  3. Isteri meninggalkan suami, karena sudah tidak sanggup menahan penderitaan.
  4. Isteri mengambil tindakan hukum untuk menghentikan kekerasan.
  5. Suami menyadari tindakan kekerasan adalah sifat dan ia mencari bantuan untuk mengubah dirinya.
  6. Suami mendapat tekanan sosial tertentu hingga menghentikan tindakan kekerasan.[30]
Mengenal masalah kekerasan dalam rumah tangga, harus mencermati siapa yang bertikai. Siapa pelaku kekerasan dan siapa korbannya. Penulis menampilkan beberapa masalah pokok seputar pelaku dan korban.
Berdasarkan kenyataan, isteri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat. Data dan fakta tentang para korban ini menunjukkan dengan gamblang bahwa semua perempuan dari berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama maupun rentan usia telah tertimpa musibah kekerasan.




[1]Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 785

[2]Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, hlm. 775

[3]Ibid., hal. 235

[4]Ibid., hal. 798
[5]Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Jakarta: Dirjend Perlindungan Hukum, 2004, hlm. 11

[6]Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Bejana, 2003, hlm. 55
[7]Ibid., hlm. 64
[8]Pusat Komunikasi Berbasis Jender, Stop Kekerasan dalam Rumah Tangga, Yokyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 123
[9]Farha Ciciek, Jangan AdaLagi Kekerasan dalam Rumah Tangga , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 37
[10]Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
[11]Rifka Annisa, Benarkah Kita Mencintai Isteri Kita, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 25

[12]R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politiea, 1991, hlm. 244

[13]Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
[14]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 232
[15]Ibid., hlm. 313
[16]Farha Ciciek, Op. cit., hal. 45
[17]Mernissi Fatima, Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994, hlm. 66

[18]Kalyanamitra, Menguak Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Bejana, 1999, hlm. 85
[19]Hasyim Syafiq, Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 117

[20]Kalyanamitra, Op. cit., hlm. 33
[21]Mas�udi Masdar, Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 225
[22]Pusat Komunikasi Kesehatan Perspektif Gender, Op. cit., hlm. 112

[23]Kalyanamitra, Op. cit., hlm. 55

[24]Al-Husaini, Baitun Nubuwah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, hlm. 132

[25]Fayumi Badtiyah, Op. cit, hlm. 22

[26]Kalyanamitra, Op. cit, hlm. 85
[27]Zaithunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, Cet. VI, Yokyakarta: Pustaka Pesantren, 2006, hlm. 12-13
[28]Ashgar AliEngineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Jakarta: LSPPA, hlm. 1994, hlm. 213

[29]Boike Nugraha, Konsultasi Masalah Seksual, dalam Majalah Hidayah Edisi 45, 2004, hlm. 93
[30]Fayumi Badtiyah, Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: UI Press, 1999, hlm. 15