Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Anjuran Membaca Al-Qur'an


BAB II
BACA AL-QUR'AN DI KALANGAN SISWA


A.  Anjuran Membaca Al-Qur'an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diwayukan kepada Nabi Muhammad saw ketika beliau sedang bertahannus di Gua Hira’ pada malam senin tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.
Al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada rasulullah saw dengan perantara malaikat Jibril merupakan landasan moral, pendidikan, sejarah kenabian, sumber hukum dan petunjuk bagi umat manusia untuk menjadi pengangan bagi manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Membaca Al-Qur'an merupakan salah satu jalan untuk mengetahui sumber hukum yang terkandung di dalamnya. Sebab di dalam Al-Qur'an mengandung berbagai macam persoalan hidup manusia baik yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlak ataupun syari’ah. Tanpa membaca Al-Qur'an, tentunya sumber hukum tersebut tidak dapat digali secara benar sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Al-Qur'an. hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 sebagai berikut:
Membaca Al-Qur'an merupakan dapat dilakukan sesuai dengan kehendak pemmbacanya, karena dengan membaca Al-Qur'an seseorang akan dapat memahami berbagai macam ilmu pengetahuan.[1] Namun demikian kebebasan membaca Al-Qur'an tersebut juga dibolehkan dilakukan dengan sekehendak hatinya, apalagi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pemahaman terhadap Al-Qur'an itu sendiri, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 16 yang berbunyi:
لَا تُحَّرِكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (القيامة :١٦)
Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat menguasainya”. (Q. S. al-Qiyamah: 16)
Di sisi lain Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta. Di dalam terkumpulnya wahyu Ilahi ini yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai serta mengamalkannya. Bukan saja itu, tetapi juga Al-Qur'an itu adalah kitab suci yang paling penghabisan diturunkan Allah, yang sisinya mencakup segala pokok-pokok syari'at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur'an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta  untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.[2]
Setiap mu’min yakin, bahwa membaca Al-Qur'an saja, sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda, sebab yang dibacanya itu adalah kitab suci Ilahi. Al-Qur'an adalah sebaik-baik bacaan bagi orang mu’min, baik di kala senang maupun di kala susah, di kala gembira atau di kala sedih. Malahan membaca Al-Qur'an itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.
Pada suatu ketika datanglah seseorang kepada sahabat Rasulullah saw. yang bernama Ibnu Mas’ud untuk meminta nasehat, katanya “Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tenteram, jiwaku gelisah dan pikiranku kusut; makan tidak enak dan tidur pun tidak nyenyak”. Maka Ibnu Mas’ud menasehatinya, katanya: “kalau penyakit itu menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang-orang membaca Al-Qur'an, engkau baca Al-Qur'an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacaya; atau engkau ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah, umpamanya di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah SWT ketenangan jiwa, ketenteraman pikiran dan kemurnian hati. Seandainya, jiwa engkau belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah SWT, agar diberi-Nya yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu, bukan lagi hatimu”.[3]
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa membaca Al-Qur'an merupakan salah satu obat yang dapat menyembuh penyakit jiwa. Artinya dengan membaca Al-Qur'an dapat menenangkan dan menenteramkan jiwa yang sedang dilanda kegelisahan. Bahkan di sisi lain Al-Qur'an, juga dapat menjadi obat penyakit yang dialami manusia secara nyata, seperti kerasukan setan dan lain sebagainya. Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannya nasehat ibnu Mas’ud itu. Dia pergi mengambil wadhu’ kemudian diambilnya Al-Qur'an, terus dia baca dengan hati yang khusyu’. Selesai membaca Al-Qur'an, berobahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang aman dan tenteram, pikirannya tenang, kegelisahannya hilang sama sekali.
Tentang keutamaan dan kelebihan membaca Al-Qur'an, Rasulullah saw. telah menyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,  sebagai berikut:
عن إبن عمر رضي الله عنهما: عن النبي صلى الله عليه وسلم: لا حسد الا فى اثنتين رجل أتاه الله القرآن فهو يقوم به أناء الليل وأناء النهار ورجل اتاه الله ما لا فهو ينفقه أناء الليل و أناء النهار. (رواه البخارى)[4]
Artinya: Dari Ibnu Umar ra., berkata Nabi Saw: jangan menghasut kecuali ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh dengki kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah SWT kitab suci Al-Qur'an ini, dibacanya siang dan malam; dan orang yang dianugerahi oleh Allah kekayaan harta, siang dan malam harta itu digunakannya untuk segala sesuatu yang diridhai oleh Allah”.

Di dalam hadits lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah saw. menyatakan tentang kelebihan martabat dan keutamaan orang yang membaca Al-Qur'an, adalah sebagai berikut:
عن أبن عباس رضي الله عنهما فى قوله عز وجل ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها: قال نزلت و رسول الله صلى الله عليه وسلم متوار بمكة فكان اذا صلى باصحابه رفع صوته بالقرآن فاذ سمع ذلك المشركون سبوا القرآن ومن أنزله ومن جاء به فقال الله تعالى لنبيه صلى الله عليه وسلم ولا تجهر بصلاتك فيسمع المشركون قرآتك ولا تخافت بها عن أصحابك أسمعهم القرأن ولا تجهر ذلك الجهر وبتغ بين ذلك سبيلا يقول بين الجهر والمخافتة (رواه البخاري و مسلم) [5]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a: Tentang firman Allah: Yang bermaksud: Dan janganlah kamu meninggikan suaramu dalam sembahyang dan jangan pula memperlahankannya. Katanya: Ayat ini diturunkan ketika Rasulullah s.a.w sedang bersembunyi di Mekah. Oleh itu apabila baginda sembahyang bersama para Sahabat, baginda meninggikan suaranya semasa membaca al-Quran. Apabila orang-orang musyrik mendengarnya, mereka memaki al-Quran, Zat yang menurunkannya dan orang yang membacanya. Maka Allah s.w.t berfirman kepada NabiNya s.a.w: Yang bermaksud: Janganlah kamu meninggikan suaramu di dalam sembahyangmu. Sehingga orang-orang musyrik mendengar bacaanmu. Yang bermaksud: Dan jangan pula memperlahankannya. Sehingga sahabatmu tidak mendengarnya. Perdengarkanlah al-Quran kepada mereka, tetapi jangan terlalu tinggi, sebaliknya carilah cara yang sederhana di antara keduanya. Jadi baginda membaca sederhana antara tinggi dan perlahan (H. R. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa Rasulullah saw melarang membaca Al-Qur'an dengan nada tinggi ketika dalam shalat. Tetapi beliau menganjurkan membaca Al-Qur'an dengan suara tinggi ketika di luar shalat yang bertujuan untuk mengingatkan orang yang lupa membaca Al-Qur'an. Sebab jika, Al-Qur'an jarang dibacakan, maka akan sangat mudah lupa.
Karena itu, mengutip hadits Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib ra., mengatakan:
عن عيد الله بن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، بئسما لأحدهم يقول نسيت آية كيت و كيت بل هو نسي استذكروا القرآن فلهو اشد تفصيا من صدور الرجال من النعم بعقلها (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ud r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Sangat buruk sekali apabila seseorang daripada kamu mengatakan aku lupa ayat ini, ayat ini, tetapi sebenarnya dia dilupakan. Sentiasalah membaca al-Quran karena sesungguhnya al-Quran itu lebih mudah hilang dari dada manusia berbanding dengan unta yang tercabut tali ikatan dari sendi kakinya (Bangsa Arab biasanya mengikat sendi unta semasa unta duduk supaya unta tersebut tidak lari). (H. R. Muslim).[6]

Dari keterangan hadits di atas, dapat dipahami adalah membaca Al-Qur'an akan sangat mudah lupa apabila jarang dibacakan. Oleh karena itu, untuk menghindari kelupaan tersebut, semestinya membaca Al-Qur'an itu dilakukan sesering mungkin, sehingga bacaan itu dapat dihafal dengan baik. Bahkan Rasulullah mengibaratkan bahwa menjaga bacaan Al-Qur'an lebih sulit dari menjaga dari kuda yang terikatan dengan tali tambatan. Ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur'an akan cepat lupa apabila tidak dilakukan dengan sering.

B.  Pendidikan Membaca Al-Qur'an
Berdasarkan sifat, corak dan pendekatannya, pendidikan Al-Qur'an dapat dibagi kepada empat bagian. Pertama, pendidikan yang bercorak normative-perenialis (Islamic education in normatif dan perenialis persepektive). Kedua, pendidikan yang bercorak filosofis  (Islamic education in filisofical persefektive). Ketiga, pendidikan yang bercorak sejarah (Islamic education  in historical  persepektive). Keempat, pendidikan yang bercorak aplikatif, (Islamic education in applicative).[7]
Pendidikan yang  bercorak nornatif-perenialis adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya  pada  penggalian  ajaran al-Qur'an dan hadist yang berkaitan  dengan  pendidikan  Islam  yang diyakini  sebagai ajaran yang  pasti  benar, harus diamalkan  dan  dinilai  lebih unggul  dibandingkan  konsep  pendidikan  yang berasal  dari sumber agama  lain.[8] Pendidikan semacam ini dapat dilakukan pada lembaga pengajian yang berbentuk pesantren dan dayah.
Pendidikan yang bercorak filosofis adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran filsafat Islam yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan sifatnya yang mendalam, radikal, universal dan sitematis, filsafat Al-Qur'an berupaya  menjelaskan konsep-konsep  yang mendasar tentang  berbagai hal  yang ada  hubungannnya  dengan berbagai aspek  pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan  pelajaran, guru, murid, hubungan guru murid, proses belajar mengajar, majenen, dan aspek pendidikan lainnya  dikaji secara mendalam untuk ditemukan inti gagasan yang terdapat didalamnya.[9]  Pendidikan ini dapat ditemukan pada lembaga pendidikan agama yang bersifat formal seperti MIN, MTsN, MAN dan IAIN.
Pendidikan yang bercorak histories adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada data-data empiris yang dapat dilacak dalam sejarah, baik yang berupa karya tulis, peninggalan berupa lembaga maupun pendidikan dengan berbagai aspeknya.[10] Model pendidikan seperti dapat dilihat pada lembaga pendidikan IAIN jurusan Sejarah dan Kebudayaan.
Adapun pendidikan Al-Qur'an yang bercorak aplikatif adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada upaya menerapkan  konsep-konsep kegiatan yang lebih konkret dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Corak pendidikan semacam ini juga dapat ditemukan pada dayah salafi, karena lembaga ini mengajarkan santrinya untuk mengaplikasikan norma-norma yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Secara umum prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan pendidikan Al-Qur'an, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola kegiatan ayah-anak dalam perwujudan pendidikan Al-Qur'an untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[11]
Belajar mengajar Al-Qur'an merupakan suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang mampu membaca Al-Qur'an dengan baik. Oleh karena itu, anak membutuhkan arahan secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan pendidikan tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai tujuan. Namun demikian, prinsip-prinsip pendidikan Al-Qur'an tidak sama dengan prinsip pendidikan lainnya.
Hal tersebut dikarenakan pendidikan Al-Qur'an adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna membelajarkan Al-Qur'an anaknya. Orang tua yang mengajarkan Al-Qur'an kepada anaknya yang berkeinginan untuk belajar ilmu Al-Qur'an. Namun demikian, orang tua tentunya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar yang dapat mengantarkan anak-anak kepada kemampuan membaca Al-Qur'an. Di sini tentu saja tugas orang tua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya, yang mendorong anaknya untuk bisa belajar Al-Qur'an dengan baik.
Sebenarnya semua halnya yang menyangkut dengan memberikan pendidikan Al-Qur'an kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak-anak untuk belajar. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak dalam melakukan proses belajar”.[12]
Oleh karena itu, sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar mengajar Al-Qur'an anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
1.   Pembelajaran memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
2.   Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.   Kegiatan pendidikan ditandai dengan penggarapan metode yang khusus.
4.   Ditandai dengan aktifitas anak sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar.
5.   Dalam kegiatan belajar orang tua harus berperan sebagai pembimbing.
6.   Dalam kegiatan belajar membutuhkan kedisiplinan.[13]
Melihat realitas tersebut di atas, maka di sini penulis merumuskan prinsip-prinsip pendidikan Al-Qur'an sebagai berikut:
1.   Memelihara dan membesarkan anak. Inilah prinsip paling sederhana dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2.   Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya.
3.   Memberikan pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4.   Membahagiakan anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.[14]

Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan pendidikan anak juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka anak-anak juga diajarkan di berbagai lembaga pendidikan Al-Qur’an seperti TPA, TPQ. Bahkan lembaga pendidikan non formal seperi dayah dan pesantren juga memberikan pengajaran Al-Qur’an kepada santrinya agar mereka dapat memahami tentang tata cara membaca Al-Qur’an yang sesuai dengan qira’ah-qira’ah tertentu yang telah ditetapkan menurut hukum bacaannya.

C.  Kewajiban Mengajarkan Al-Qur'an Kepada Anak
Setiap mu’min yang percaya Al-Qur'an, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap Kitab Sucinya itu. Di antara kewajiban dan tanggung jawab itu ialah mempelajari dan mengajarkannya. Belajar dan mengajarkan Al-Qur'an itu adalah kewajiban suci dan mulia. Rasulullah saw. telah mengatakan: sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya”. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menjelaskan: Sesungguhnya seseorang yang berpagi-pagi mempelajari ayat-ayat yang ada dalam Kitabullah lebih baik yang seperti itu daripada mengajarkan sembahyang sunat seratus raka’at. Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ibnu Abbas Rasulullah saw. bersabda: “Siapa-siapa yang mempelajari Kitabullah, kemudian diamalkannya isi yang terkandung di dalamnya, Allah akan menunjuki dari kesesatan dan akan dipeliharanya pada hari kiamat dari siksaan yang berat.
Jadi belajar Al-Qur'an itu merupakan kewajiban yang utama bagi setiap mu’min, begitu juga mengajarkannya. Belajar Al-Qur'an itu dapat dibagi kepada beberapa tingkatan, yaitu belajar membacanya sampai lancar dan baik, menurut qaidah-qaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid; belajar arti dan maksudnya sampai mengerti akan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya; dan terakhir belajar menghafalnya di luar kepala, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw., demikian pula di masa sekarang di beberapa negeri Islam.
Belajar Al-Qur'an itu hendaklah dari semenjak kecil, sebaik dari semenjak berumur 5 atau 6 tahun, sebab umur 7 tahun sudah disuruh mengerjakan sembahyang. Rasulullah saw. sudah mengatakan: “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sembahyang, bila sudah berumur 7 tahun dan pukullah (marahilah) bila dia tidak mengerjakan sembahyang kalau sudah berumur 10 tahun.
Menjadikan anak-anak dapat belajar Al-Qur'an mulai dari semenjak kecil itu, adalah kewajiban orang tuanya masing-masing. Berdosalah orang tua yang mempunyai anak-anak, tetapi anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Qur'an. Tidak ada rasa malu yang paling besar dihadapan Allah nantinya, bila anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Qur'an. Padahal dengan membaca Al-Qur'an akan mendapatkan beberapa kemuliaan sebagaimana digambarkan dalam hadits Rasulullah saw. telah bersabda:
عن أبى موسى الأشعرى رضى الله عنه قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مثلا مؤمن الذى يقرأ القرأن مثل الأترجه ريحها طيب وطعمها طيب ومثل المؤمن الذى لا يقرأ القرأن مثل التمرة لا ريح لهاوطعمها حلو ومثل المنافيق الذى يقرأ القرأن مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر ومثل المنافيق الذى لا يقرأ القرأن كمثل الخنظلة ليس لها ريح وطعمها مر (رواه المسلم) [15]
Artinya: “Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Quran ialah seperti perumpamaan buah utrujah iaitu buah yang berbau harum dan rasanya enak. Manakala perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Quran ialah seperti buah kurma, tidak ada baunya akan tetapi rasanya manis. Adapun perumpamaan orang munafik yang membaca al-Quran ialah seperti buah Raihanah iaitu buah yang berbau harum tetapi rasanya pahit. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Quran ialah seperti buah hanzhalah (peria) iaitu buah yang tidak ada bau sama sekali dan ditambah pula oleh rasanya yang pahit”.(H. R Muslim)

Pada tingkat pertama ini, yaitu tingkat mempelajari Al-Qur'an dengan baik, hendaknya sudah mereka laksanakan, sehingga tidak ada lagi orang yang buta huruf Al-Qur'an di kalangan masyarakat Islam. Di tiap-tiap rumah tangga orang Islam hendaknya diaktifkan benar-benar pemberantasan buta huruf Al-Qur'an, sehingga setiap muslim yang menjadikan keluarga rumah tangga itu sudah pandai semuanya membaca Al-Qur'an dengan baik. Batas untuk mempelajari Al-Qur'an itu hanya bila seseorang sudah di antar ke lubang kubur.
Jadi tidak ada alasan untuk tidak mempelajarinya, misalnya saja karena orang tua, karena sudah dewasa dan sebagainya. Dalam tingkatan pertama hanya sekedar pandai membaca Al-Qur'an dengan baik, hal ini berlaku bagi anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, pria atau wanita, semuanya berkewajiban untuk mempelajarinya.
Sesudah itu, barulah menginjak ke tingkat kedua, yaitu mempelajari arti dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian,, Al-Qur'an itu betul-betul menjadi pelajaran, petunjuk dan peraturan bagi setiap muslim dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia yang diridhai oleh Allah SWT. Selain itu mempelajari cara membaca Al-Qur'an serta mendalami arti serta maksud yang terkandung di dalam Al-Qur'an, yang terpenting adalah mengajarkannya. Jadi belajar dan mengajar Al-Qur'an merupakan dua tugas mulia dan suci, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedapat mungkin terus dipelajari dan terus diajarkan pula dan demikianlah seterusnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. demikian beliau menerima wahyu, waktu itu juga beliau mengajarkan kepada para sahabat, seketika selesai menerima wahyu itu turun. Para sahabat pun berbuat demikian. Seterusnya orang yang mendapat pelajaran dari para sahabat itu juga melanjutkannya kepada yang lain. Demikianlah secara sambung menyambung seperti rantai yang tidak pernah putus.
Jadi, pekerjaan mengajarkan Al-Qur'an merupakan tugas yang sangat mulia di sisi Allah. Di dalam tugas mengajarkan Al-Qur'an itu terkandung tiga kemuliaan, yaitu: kemuliaan mengajarkan yang merupakan warisan dari nabi; kemuliaan membaca Al-Qur'an sementara mengajarkannya; dan ketiga kemuliaan memperdalam maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan mengajar terus menerus, ia akan menjadi orang yang mahir membaca Al-Qur'an.
Dalam hal Rasulullah saw. bersabda sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
عن إبن عباس رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الماهر باالقرآن مع السفرة الكرام البررة، والذى يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له اجران (رواه البخارى)[16]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw. bersabda: Orang yang membaca Al-Qur'an, lagi pula ia mahir, kelak akan mendapat tempat dalam syurga bersama-sama dengan Rasul-Rasul yang mulia; dan orang-orang yang membaca Al-Qur'an, tetapi tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapatkan dua pahala (H. R. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan keterangan hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa mengajarkan Al-Qur'an merupakan perbuatan yang sangat mulia. Bahkan karena kemuliaan mengajarkan Al-Qur'an diberikan imbalan berganda oleh Allah SWT kepada orang yang mengajarkan Al-Qur'an tersebut. Oleh karena itu, mengajarkan Al-Qur'an adalah kewajiban yang mesti dijalankan oleh setiap umat Islam terutama mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anaknya. Apalagi mengajarkan Al-Qur'an sampai anak-akan mampu memahami isi kandungan Al-Qur'an merupakan kewajiban setiap orang tua.

D.  Kualifikasi Kemampuan Anak Membaca Al-Qur'an
Bagi seorang mu’min membaca Al-Qur'an telah menjadi kecintaannya. Pada waktu membaca Al-Qur'an, ia sudah merasa seolah-olah jiwanya menghadap kehadhirat Allah Yang Maha Kuasa; menerima amanat dan hikmat suci, memohon limpahan karunia serta rahmat dan pertolongannya. Membaca Al-Qur'an telah menjadi wiridnya (kebiasaannya) yang tertentu, baik siang maupun malam. Sibacanya sehalaman demi sehalaman, sesurat demi sesurat, sejuz demi sejuz sampai khatam. Tidak ada suatu kebahagiaan di dalam hati seorang mu’min melainkan bila membaca Al-Qur'an sampai khatam.
Di dalam Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali mencatat beberapa hadits yang diriwayatkan mengenai pembacaan Al-Qur'an. Digambarkan bahwa para sahabat dengan keimanan dan keikhlasan hati, berlomba-lomba membaca Al-Qur'an. Namun demikian dalam membaca Al-Qur'an mempunyai adab-adab tersendiri antara lain sebagaimana yang disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin yang menjelaskan bahwa adab membaca Al-Qur'an itu ada yang berbentuk adab lahir dan adab bathin. Adab yang mengenal bathin itu diperincikan menjadi arti pemahaman asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah, menghadirkan hati dikala membaca sampai ke tingkat memperluas perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan demikian, kandungan Al-Qur'an yang dibaca melalui perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya.[17]
Membaca Al-Qur'an merupakan hal yang keharusan mutlak untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun orang tua merupakan lembaga pendidikan pertama yang harus mengajarkan anaknya untuk membaca Al-Qur'an secara baik dan benar.[18]
Membaca Al-Qur’an merupakan suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang berguna bagi agama. Oleh karena itu, manusia perlu membaca secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan membaca Al-Qur'an tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai kebahagiaan. Namun demikian, prinsip-prinsip  tersendiri termasuk terhadap prinsip membaca Al-Qur'an anak.
Hal tersebut dikarenakan membaca Al-Qur'an adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna membelajarkan anaknya. Orang tua yang mengajar dan anak didik untuk membaca Al-Qur'an. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya. Sebagai orang tua tentunya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi membaca Al-Qur'an anak, yang dapat mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di sini tentu saja tugas orang tua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu, memberikan pengetahuan Al-Qur'an bagi seorang anak menghendaki hadirnya sejumlah prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan seseorang anak di luar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan tidak terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang lain, apalagi aktifitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca Al-Qur'an.
Sebenarnya semua halnya yang menyangkut dengan memberikan membaca Al-Qur'an kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak-anak melakukan belajar Al-Qur'an. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar”.[19]
Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan pendidikan membaca Al-Qur'an juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Namun demikian, apabila menyikapi kemampuan membaca Al-Qur'an anak dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1.      Membaca Al-Qur'an dalam bentuk mengejakan setiap hurufnya.
2.      Membaca Al-Qur'an dengan cara tartil.
3.      Membaca Al-Qur'an dengan cara melagukannya.[20]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan membaca Al-Qur'an anak terdiri atas tiga tingkatan yang berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan anak dalam membaca Al-Qur'an, sehingga terlihat bahwa ada anak-anak mampu mampu membaca Al-Qur'an sebagaimana orang dewasa membacanya dan begitu juga sebalikya.
Tetapi di sisi lain, pembacaan Al-Qur'an juga dianjurkan untuk membaca sesuai dengan makhrijul hurufnya, karena apabila huruf-huruf yang dibacakan tidak sahih, sudah barang tentu makna yang terkandung di dalamnya pun akan keluar dari yang dimaksudkan Al-Qur'an.
Pendidikan Al-Qur'an yang diajarkan di tingkat menengah dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1.    Bagus sekali, yaitu kelompok membaca Al-Qur'an dengan memenuhi kriteria pembacaan yang sesuai dengan aturan tajwid. Biasanya mereka membaca Al-Qur'an dengan menganut konsep melagukan dalam melantunkannya.
2.    Baik, yaitu kelompok yang membaca Al-Qur'an dengan memahami kaidah-kaidah pembacaan, tetapi tidak mampu melagukannya sebagaimana yang dibacakan qari-qari’ah.
3.    Kurang baik, kelompok ini termasuk kelompok yang tidak bisa membaca Al-Qur'an sama sekali, walaupun mereka bisa membaca dapat digolongkan dalam bentuk mengejakannya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa membaca Al-Qur'an terbagi kepada tingkatan, yakni tingkat bagus bacaannya, tingkat baik bacaannya, dan tingkat kurang baik bacaannya. Namun demikian ketiga tingkatan ini dibacakan secara ikhlas akan mendapatkan ganjaran yang sesuai pula dari Allah SWT.



[1]Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu dan Seni Baca Al-Qur'an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 10
[2]Masykur Djalal, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 111
[3]Masykur Djalal, Ulumul…., hal. 100
[4]Imam Bukahri, Shahih Bukhari, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 189.

[5]Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 178

[6]Imam Muslim, Shahih…., hal. 179

[7]Abudin  Nata, Sejarah Pendidikan Islam; Pada Priode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo  Persada, 2004), hal. 1. 

[8]Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 6.

[9]Majid  Fakhri, Sejarah  Filsafat  Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hal. 29.

[10]Ahmad Syalabi, asy-Syajaratu al-Tarbiyatu al-Islam, Terjemahan Munawar Khalil  Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989),  hal.12.

[11]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 5
[12]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29

[13]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar…, hal. 46-45
[14]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 38
[15]Imam  Muslim, Shahih Muslim, hal. 96

[16]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hal. 233
[17]Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 172

[18]Ari Furqan, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 65
[19]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29

[20]Manna’ Khalil al-Qattan, at-Ta’limu ‘Ulumu al-Qur’an, Terj. Mudzakkir AS, “Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an “ (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2000), hal. 231