Bentuk-Bentuk Pendidikan Keluarga dalam Islam
A.
Bentuk-Bentuk
Pendidikan Keluarga dalam Islam
Ajaran yang dibawakan oleh nabi-nabi sejak awal hingga
lahirnya agama Islam, selalu menjaga martabat kemanusiaan agar tidak mengalami
penurunan yang mengakibatkan menyamai martabat binatang. Tetapi apa yang
dikhawatirkan oleh nabi-nabi, betul-betul terjadi di kalangan manusia, di mana
mereka saling merusak dirinya dengan berbagai macam kedhaliman bahkan nabinya
juga dimusuhi, dengan alasan bahwa dialah yang menghalang-halangi kebebasan
mereka melakukan hal-hal yang dikehendakinya.
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أعمل
المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا (رواه أبو داود)[1]
Artinya: Tidak ada sesuatu amalan
yang berat timbangan pada hamba daripada akhlak yang baik (H. R. Abu Daud)
إن خلقت الدن والإنسان الا ليعبدون (الذرية: 56)
Artinya: Dan tidak Aku menciptakan
jin dan manusia melainkan mereka hanyalah untuk menyembah-Ku (adz-Dzariyat: 56)
Dilihat dari seruan nabi dalam Al-Qur'an yang selalu
mengajak umatnya menyembah Allah, karena keadaannya manusia saat itu sudah
terlalu sesat dalam kemusyrikan, bahkan sudah terlampau jauh dari kedudukan
manusia sebagai hamba Allah, sehingga makin bergeser dari kedudukannya sebagai
khalifah di bumi ini, yang seharusnya bertugas untuk menyembah-Nya, serta untuk
memakmurkan dunia beserta seluruh penghuninya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui pendidikan keluarga dalam
Islam, maka perlu diuraikan bahwa ada tiga macam sendi Islam yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya sehingga kualitas seorang muslim selalu
dapat diukur dengan pelaksanaannya terhadap ketiga macam sendiri tersebut, yang
mencakup:
1.
Masalah
aqidah, yang meliputi enam macam rukun iman, dengan kewajiban beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
kiamat-Nya, dan qadar baik serta qadar buruk yang telah ditentukan-Nya.
2.
Masalah
syari’ah, yang meliputi pengabdian hamba terhadap Tuhan-Nya, yang dapat dilihat
pada rukun Islam yang lima, dengan kewajiban mengucapkan dua kalimah syahadat,
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji di Baitullah. Dan muamalah juga termasuk masalah
syari’ah yang meliputi perkawinan, pewarisan, hubungan perkonomian, masalah
ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dan kewajiban manusia dan sebagainya.
3.
Masalah
ihsan, yang meliputi hubungan baik terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia
serta terhadap seluruh makhluk di dunia ini.[2]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat pahami bahwa pendidikan
keluarga merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan manusia yang
diajarkan oleh Rasulullah saw. Hanya manusialah yang dituntut untuk berakhlak
mulia di antara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Hal ini dituntut dari
manusia, karena ia di samping diciptakan dalam bentuk dan rupanya yang
terindah, juga diberikan akal untuk memilih, menilai dan membandingkan antara
baik, buruk atau benar dan salah dalam kehidupannya.
Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai
berikut:
عن عائشة رصي الله عنها قال رسول الله ضلى الله عليه
وسلم: حسن الخلق وحسن الجوار يعمران الديار ويزيدا ن فى الأعمار (رواه البخارى)[3]
Artinya: Dari Aisyah ra. Berkata
Rasulullah saw bahwa: berakhlak yang baik dan berhubungan dengan tetangga yang
baik, akan membawa keberuntungan dan kemakmuran (HR. al-Bukhari)
Berkenaan dengan hadits tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa akhlak yang mulia bertetangga yang baik itu akan mendatangkan kemakmuran.
Hal tersebut dalam hadits ini secara rasio dapat diterima, karena akhlak yang
baik akan mendapatkan banyak kawan dan disukai orang sehingga semua kesulitan
dapat dipecahkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan keluarga sangat penting dalam kehidupan umat manusia sangat penting,
karena pendidikan keluarga yang berhubungan dengan akhlak merupakan salah satu
pengetahuan yang mengatur secara langsung hubungan manusia dengan Tuhannya,
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.
[1]Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut : Dar al-Fikri, t.t.), hal. 173
[2]Mahmud Syaltut, Aqidah dan
Syari’ah, Terj. KH. Ali Yafie, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1990), hal. 55
[3]Al-Mawardi, Adab al-Dunya
wa al-Dina, (Beirut :
Dar al-Fikri, t.t.), hal. 237