Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Dasar dan Tujuan Pendidikan Life Skill Bagi Subjek Didik


BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A.    Dasar dan Tujuan Pendidikan Life Skill Bagi Subjek Didik.
Pendidikan kecakapan hidup (life skill) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menentukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.[1]
1.   Dasar pendidikan life skill bagi subjek didik
Ketika membahas life skill atau dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kecakapan hidup, maka pertama-tama yang perlu dipahami adalah kapan dan mengapa muncul istilah life skill dan apa yang dimaksud dengan life skill itu. Berpijak dari pernyataan-pernyataan tersebut uraian konsep dasar life skill ini diawali dengan kondisi-kondisi bangsa Indonesia terutama dunia pendidikan yang memunculkan kebijakan pendidikan life skils.
Dalam memasuki abad ke 21, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar;
2.     Sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai.
3.     Untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global.
4.     Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional, sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong partisipasi masyarakat.[2]
Menurut Ijoni, salah satu pertimbangan yang mendasari diterapkannya pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skills) adalah adanya kenyataan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Sementara itu di lain pihak, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa datang, sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada bidan akademik dan vokasional saja, melainkan harus dapat memberi bekal “learning how to learn”.[3]
Pendidikan kecakapan hidup dalam rumusan UU No. 20 Tahun 2003 dalam Pasal 26 ayat 3,  secara jelas menyatakan pendidikan kecakapan justru merupakan rincian dari pendidikan non formal, yang selengkapnya  berbunyi:
“Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetiaan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.”[4]
Pada rumusan tersebut nampak ada sedikit duplikasi seperti “pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja” yang biasanya di anggap sebagai bagian dan pendidikan kecakapan hidup dituliskan seolah berdiri sendiri, dan bukan bagian dan bukan pendidikan kecakapan hidup. Selanjutnya pengertian pendidikan kecakapan hidup, dapat dijumpai pada penjelasan pasal 26, ayat (3)  sebagai berikut:
“Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri.”[5]
Dari uraian di atas maka menjadi jelas bahwa yang menjadi dasar dalam pendidikan life skills bagi subjek didik adalah karena adanya tantangan besar yang dihadapi dalam hal perkembangan ilmu dan teknologi. Karena kemajuan pesat itulah dituntut ditumbuh kembangkan pendidikan life skills bagi subjek didik.
b.     Tujuan pendidikan life skills bagi subjek didik
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) sebenarnya bukan merupakan hal baru bagi pesantren, sebab sejak dahulu jenis pendidikan ini memang menjadi andalan bagi pesantren. Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era global ini, pendidikan kecakapan hidup yang dilaksanakan secara tradisional di lingkungan pesantren perlu mendapatkan sentuhan teoritis dan teknis, sehingga para alumni pesantren dalam era global ini mampu bersaing dengan para alumni lembaga pendidikan lainnya, dalam merebut lapangan pekerjaan yang semakin lama semakin ketat.
Secara umum dapat dikemukakan, tujuan dari penyelenggaraan kecakapan hidup (life skills) di lingkungan pesantren adalah untuk membantu peserta didik (para  santri), mengembangkan kemampuan berpikir, menghilangkan pola pikir/kebiasaan yang kurang tepat dan mengembangkan potensi diri agar dapat memecahkan problema kehidupan secara kontraktif, inovatif dan kreatif sehingga dapat menghadapi realitas kehidupan dengan bahagian baik secara lahiriyah maupun batiniah.[6]
Dirjen kelembagaan agama islam menjelaskan tujuan pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup secara umum bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa datang. Sedangkan, secara khusus pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup, bertujuan untuk:
1.     Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga mereka cakap bekerja (cakap hidup) dan mampu memecahkan masalah hidup sehari-hari
2.     Merancang pendidikan dan pembelajaran agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya sekarang dan dimasa datang.
3.     Memberikan kesempatan pada lembaga pendidikan untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan pendidikan berbasis luas, dan
4.     Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan lembaga pendidikan dan di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.[7]
Menyimak tujuan pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup tersebut, secara tersirat menjelaskan kepada kita bahwa lembaga pendidikan diharuskan memberikan peluang yang luas dan besar kepada peserta didik untuk mendapatkan pendidikan tambahan yang berdimensi kecakapan kepada peserta didik. Pendidikan tambahan tersebut bukan berarti menambah jam pelajaran, tetapi memberikan materi-materi yang dapat menggugah peserta menggeluti sebuah keterampilan sehingga ia mampu memanfaatkan keterampilan tersebut untuk kepentingan masa depannya.
Menurut Dadang Yunus tujuan pendidikan life skills  secara umum adalah pendidikan kecakapan hidup yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan non formal bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan sikap warga belajar di bidang pekerjaan/usaha tertentu sesuai dengan bakat minat perkembangan fisik dan jiwanya serta potensi lingkungannya, sehingga mereka memiliki bekal kemampuan untuk bekerja atau berusaha mandiri yang dapat menjadikan bekal untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sedangkan Tujuan Pendidikan life skill secara khusus memberikan pelayanan pendidikan kecakapan hidup kepada warga belajar agar:
1.     Memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap yang di butuhkan dalam memasuki dunia kerja baik bekerja mandiri (wirausaha) dan atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa dengan penghasilan yang semakin layak untuk memenuhi hidupnya.
2.     Memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karya-karya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global.
3.     Memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya.
4.     Mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sepanjang hayat (life long education) dalam rangka mewujudkan keadilan di setiap lapisan masyarakat.[8]
Tujuan pendidikan kecakapan hidup menurut Slamet pH adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu,sanggup dan terampil menjaga kelangsungan hidup, dan perkembangannya di masa datang.[9]
Dari uraian di atas meskipun bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup, namun tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup dan terampil di masa datang.

B.    Jenis dan Kriteria Pendidikan Life Skill
Life skill pada dasarnya merupakan interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga ia dapat hidup mandiri. Kecakapan hidup (life skill) adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja.  Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan.  Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri. Bukankah dalam hidup ini, di manapun dan kapanpun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan. Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi dua jenis dan kriteria utama, yaitu:
1.     Kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill/GLS), yang mencakup kecakapan personal (personal skill/PS) dan kecakapan sosial (social skill/SS).  Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memahami diri (self awareness) dan kecakapan berpikir (thinking skill), sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
2.       Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS), yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional (vocational skill).  Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan lainnya (identifying variables and describing relationship among them),  kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses), dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian (designing and implementing a research).  Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill)  dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill). 
Menurut para pakar maupun badan/lembaga yang memiliki otoritas di bidang pendidikan, pelatihan dan kesehatan, mengemukakan jenis-jenis dan kriteria pendidikan life skill sebagai berikut:
a.    Menurut Isjoni
Dalam pedoman penyelenggaraan program kecakapan hidup pendidikan non formal Isjoni mengelompokkan pendidikan life skill menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.     Kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), antara lain meliputi; pengelolaan kebutuhan pribadi, pengelolaan keuangan kepribadian, pengelolaan rumah pribadi, kesadaran kesehatan, pengelolaan pakaian, kesadaran pribadi sebagai warga negara, pengelolaan waktu luang, rekreasi dan kesadaran lingkungan.
b.     Kecakapan hidup sosial/pribadi (personal/social skilli) antara lain meliputi; kesadaran diri (minat, bakat, sikap, kecakapan), percaya diri, komunikasi dengan orang lain, tenggang rasa dan kepedulian pada sesama, hubungan antar personal, pemahaman dan pemecahan masalah, menemukan dan mengembangkan kebiasaan positif, kemandirian dan kepemimpinan.
c.      Kecakapan hidup bekerja (occupational skill), meliputi: kecakapan memilih pekerjaan,  perencanaan kerja, persiapan keterampilan kerja, latihan keterampilan, penguasaan kompetensi, menjalankan teknologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan, dan menghasilkan produk barang dan jasa.[10]
1.     Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam mengelompokkan life skill secara operasional ke dalam 4 jenis yaitu:

1.     Kecakapan pribadi (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri sendiri, kecakapan berpikir rasional, dan percaya diri.
2.     Kecakapan sosial (social skill), seperti kecakapan melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan tanggung jawab sosial.
3.     Kecakapan akademik (academic skill), seperti kecakapan dalam berpikir secara ilmiah, melakukan penelitian dan percobaan-percobaan dengan pendekatan ilmiah.
4.     Kecakapan vokasional (vocational skill), berupa kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat, seperti bidang jasa (perbengkelan, jahit menjahit, dan produksi barang-barang tertentu (peternakan, pertanian, perkebunan).[11]
2.     Menurut Fahrudin, mengelompokkan life skill ke dalam tiga kelompok yaitu:
1.     Kecakapan personal, terbagi dua bagian yaitu:
a.      Kecakapan berpikir rasional, yang meliputi; menggali/ menemukan info, mengolah info, mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara kreatif
b.     Kecakapan akademik, yang meliputi; kemampuan mengidentifikasi variabel, kemampuan menjelaskan hubungan variabel dengan gejala, kemampuan merumuskan hipotesis, kemampuan merancang penelitian dan kemampuan melaksanakan penelitian.
2.     Kecakapan sosial, meliputi; kemampuan komunikasi, kemampuan bekerja sama dan kemampuan membuat harmonisasi.
3.     kecakapan vokasional, meliputi; kecakapan kejuruan, kecakapan sehari-hari, dan kecakapan kerja.
3.     Menurut Mundzier Suparta, membagi life skill menjadi dua bagian yaitu kecakapan dasar dan kecakapan instrumental.
Life skill yang bersifat dasar adalah kecakapan universal dan berlaku sepanjang zaman, tidak tergantung pada perubahan waktu dan ruang yang merupakan fondasi pendidikan persekolahan maupun pendidikan non formal agar bisa mengembangkan keterampilan yang bersifat instrumental.
Life skill yang bersifat instrumental adalah kecakapan yang bersifat relatif, kondisional, dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan.
Orientasi pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dilingkungan pesantren dapat difokuskan pada kecakapan-kecakapan sebagai berikut:
1.     kecakapan personal (self awarness), kecakapan ini meliputi; unsur-unsur berikut:
-        Kesadaran siapa diri saya, antara lain mencakup; keimanan sebgai makhluk Tuhan yang Maha Esa, mengembangkan karakter diri, dan belajar memelihara lingkungan.
-        Kesadaran akan potensi diri, antara lain meliputi; belajar menolong diri sendiri, menumbuhkan kepercayaan diri dan tidak cengeng melalui berbagai kegiatan, mengenal fungsi anggota tubuh dan cara optimalkannya, seperti mengungsikan kedua tangan untuk bekerja.
2.     Kecakapan berpikir rasional (Thinking skill) kecakapan ini mencakup
-        Kecakapan menggali informasi
-        Kecakapan mengolah informasi
-        Kecakapan mengambil keputusan dan
-        Kecakapan memecahkan masalah.
3.     Kecakapan sosial (social skill) kecakapan ini meliputi:
-        Kecakapan komunikasi dengan empati, antara lain dapat dikembangkan melalui bercerita, mendengarkan orang lain, menuangkan gagasan melalui tulisan, gambar dan sebaginya.
-        Kecakapan bekerja sama, dapat dikembangkan melalui kerja kelompok, bergotong-royong membersihkan ruangan, halaman dan lingkungan pesantren.
4.     kecakapan pra-vocasional (pre-vocational skills) unsur kecakapan ini antara lain meliputi:
-        Keordinasi mata-tangan dan mata-kaki, antara lain dikembangkan melalui menggambar, menulis, melempar, bermain, menangkap bola dan sebagainya.
-        Keterampilan lokomotor dapat dikembangkan antara lain melalui: berjalan, berlari-lari, melompat, merayap dan sebagainya.
-        Keterampilan non-lokomotor, dapat dikembangkan antara lain melalui berbagai gerakan tubuh, senam dan sebaginya.
5.     Keterampilan keahlian khusus, yaitu keterampilan dalam pendalaman satu atau beberapa jenis keterampilan tertentu, yang nantinya akan menjadi keterampilan siap pakai dalam kehidupan di masyarakat pemilihan keterampilan ini harus akrab lingkungan dan fungsinya.[12]

C.  Signifikansi Pendidikan Life Skill Bagi Kehidupan Subjek Didik
Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang mensinergikan mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.  Kecakapan hidup (Life Skill) yaitu kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan  menemukan solusi untuk mengatasinya. 
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja.  Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan.  Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri.  Bukankah dalam hidup ini, di manapun dan kapanpun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.[13]
Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari.[14]
Pendidikan kita selama ini berjalan dengan verbalistis dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran.  Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa.  Seakan-akan pendidikan bertujuan untuk menguasai mata pelajaran. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian.  Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari dan sampai lulus seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi.[15]
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.
Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari  Pendidikan yang mengitegrasikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learing to live together.
Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara.  Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. Pendidikan kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang.  Secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk:
1.     mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi;
2.     merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya di masa datang;
3.     memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan;
4.     Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.[16]

D.  Dimensi-dimensi pendidikan Life Skills dalam Kurikulum Pesantren
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) sebenarnya bukan merupakan hal baru bagi pesantren sebab sejak dahulu jenis pendidikan  ini memang menjadi andalan bagi pesantren. Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era global ini, pendidikan kecakapan hidup yang dilaksanakan secara tradisional di lingkungan pesantren perlu mendapatkan sentuhan teoritis dan teknis sehingga para alumni pesantren dalam era global ini mampu bersaing dengan para alumni lembaga pendidikan lainnya dalam berebut lapangan pekerjaan yang semakin lama semakin ketat.
Secara umum dapat dikemukakan, tujuan dari penyelenggaraan kecakapan hidup (life skills) di lingkungan pesantren adalah untuk membantu peserta didik  (para santri) mengembangkan kemampuan berpikir, menghilangkan pola pikir/ kebiasaan yang kurang tepat, dan mengembangkan potensi diri agar dapat memecahkan problema kehidupan secara konstruktif, inovatif dan kreatif sehingga dapat menghadapi realitas kehidupan dengan bahagia baik secara lahiriah maupun batiniah.
Kurikulum merupakan alat untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Dengan adanya kurikulum yang telah terencana dan tersusun bagus dan sesuai dengan lembaga pendidikan, maka tujuan yang dimaksudkan dan diinginkan dapat tercapai dengan semestinya. Maka kurikulum secara umum adalah bahan pendidikan berupa kegiatan pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak-anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Menurut M. Nasir Budiman, “Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan karena ia merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan”.[17] Sedangkan Zakiah Daradjat menyatakan bahwa “Kurikulum dapat dipandang sebagai salah satu program pendidikan dan direncanakan serta dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu”.[18]
Perkataan kurikulum ini bila dilihat berdasarkan istilah bahasa berasal dari kata Latin yaitu “curriculum”, maka pengertiannya adalah sejumlah jarak yang harus ditempuh seseorang di sebuah lembaga pendidikan atau segala mata pelajaran yang ditawarkan dan segala tanggung jawab dalam mempengaruhi anak didik dalam setiap kegiatan di suatu lembaga pendidikan. Namun pada dasarnya istilah kurikulum itu belum ditemukan dalam kamus sebagaimana diungkapkan kafrawi sebagai berikut:
Pada sebagian pesantren terutama pesantren sebelum perang, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupun materinya dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari, yang semua itu merupakan satuan proses pendidikan dalam madrasah, madrasah lama memang belum mampu merumuskan secara tajam materi pelajarannya dalam bentuk kurikulum madrasah yang sebenarnya.[19]

Di samping itu masih banyak pesantren-pesantren yang memakai kurikulum lama dan sama sekali menolak adanya adaptasi, sikap demikian pesantren harus siap menghadapi perkembangan zaman yang terus menerus mengalami perubahan. Kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan pesantren meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan di pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Jadi penyusunan kurikulum di pesantren tidak persis sama, karena tergantung pada kemampuan dan kemahiran pimpinan pesantren itu sendiri.
Pola pelaksanaan life skills ini dapat bervariasi, namun perlu diingat bahwa pendidikan kecakapan hidup (life skills) harus akrab lingkungan dan fungsional, artinya life sikills tersebut harus disesuaikan dengan kondisi santri dan lingkungannya serta memenuhi prinsip-prinsip umum pendidikan yang ada.
a.      Prinsip-prinsip pendidikan kecakapan hidup (life skills)
Prinsip-prinsip pendidikan kecakapan hidup (life skills) yang dimaksud adalah mencakup hal-hal berikut:
a.      Pendidikan kecakapan hidup (life skills) hendaknya tidak mengubah sistem pendidikan yang telah berlaku.
b.   Pendidikan kecakapanhidup (life skills) tidak harus mengubah kurikulum, tetapi yang diperlukan adalah penyiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup.
c.      Etika sosio-religius bangsa tidak boleh dikorbankan dalam pendidikan kecakapan hidup (life skills) melainkan justru sedapat mungkin di integrasikan dalam proses pendidikan.
d.   Pembelajaran kecakapan hidup (life skills) menggunakan prinsip learning to knot (belajar untuk mengetahui sesuatu), learning to do ( belajar untuk dapat mengerjakan sesuatu), learning ning to be (belajar untuk menjadi jati dirinya sendiri), dan learning to life together atau belajar untuk hidup bersama.
e.      Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup (life skills) di pesantren hendaknya menerapkan manajemen berbasis pesantren
f.    Potensi daerah sekitar pesantren dapat direfleksikan dalam menyelenggarakan pendidikan kecakapan hidup (life skills) di pesantren, sesuai dengan pendidikan kontekstual  (contextual learning and learning(CTL) dan pendidikan berbasis luar (broad based education).
g.   Paradigma learning for life (pendidikan untuk hidup) dan learning to work (belajar untuk bekerja) dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan sebagai terjadi pertautan antara pendidikan kebutuhan nyata para peserta didik (santri)
h.     Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup (life skills) diarahkan agar peserta didik atau santri:
a.      Menuju hidup yang sehat dan berkualitas
b.     Mendapatkan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan yang luas, serta
c.      Memiliki akses untuk memenuhyi standar hidup secara layak.[20]
b.     Orientasi pendidikan kecakapan hidup (life skills)
Orientasi pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dilingkungan pesantren dapat difokuskan pada kecakapan-kecakapan sebagai berikut:
1.     Kecakapan personal (silf awaeness) kecakapan ini meliputi unsur-unsur berikut:
-        Kesadaran siapa diri saya antara lain mencakup: keimanan sebagai makhluk Tuhan Yang Esa. Pengembangan karakter diri, dan belajar memelihara lingkungan.
-        Kesadaran akan potensi diri, antar lain meliputi: belajar menolong diri sendiri, menumbuhkan kepercayaan diri tidak cengeng melalui berbagai kegiatan, mengenal fungsi anggota tubuh dan cara mengoptimalkannya, seperti, memfungsikan kedua tangan untuk bekerja.
2.     Kecakapan berpikir rasional (thinking sills) kecakapan ini mencakup;
-        Kecakapan menggali informasi
-        Kecakapan mengolah informasi
-        Kecakapan mengambil keputusan dan
-        Kecakapan memecahkan masalah.
3.     Kecakapan sosial (social skills) kecakapan ini meliputi:
-        Kecakapan komunikasi dengan empati, antara lain dapat di kembangkan melalui bercerita, mendengarkan orang lain, menuangkan gagasan melalui tulisan, gambar dan sebagainya.
-        Kecakapan bekerja sama, dapat di kembangkan melalui kerja kelompok, bergotong-royong membersihkan ruangan, halaman dan lingkungan pesantren.
4.     Kecakapan pra-vocasional (pre-vocational skills) unsur kecakapan ini antara lain meliputi:
-        Keordinasi mata-tangan dan mata-kaki, antara lain di kembangkan melalui menggambar, menulis, melempar, bermain, menangkap bola dan sebagainya.
-        Keterampilan lokomotor dapat di kembangkan antara lain melalui: berjalan, berbaris-lari, melompat, merayap dan sebagainya.
-        Keterampilan non-lokomotor, dapat di kembangkan antara lain melalui berbagai gerakan tubuh, senam dan sebagainya.
5.     Keterampilan keahlian khusus, yaitu keterampilan dalam pendalaman satu atau beberapa jenis keterampilan tertentu, yang nantinya akan menjadi keterampilan siap pakai dalam kehidupan di masyarakat. Pemilihan keterampilan ini harus akrab lingkungan dan fungsional.[21]

E.  Model Pembinaan Life Skill dalam Pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam

Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan dalam setiap GBHN dan repelita selalu tercantum bahwa peningkatan mutu merupakan salah satu prioritas pembangunan di bidang pendidikan.  Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan.  Namun demikian berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. NEM SD sampai Sekolah Menengah relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dari sisi perilaku keseharian siswa, banyak terjadi ketidak kepuasan masyarakat. Tawuran antar siswa kini sudah menjadi berita biasa.  Tawuran kini sudah menjalar sampai ke SLTP di kota kabupaten.  Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik.  Ketidakpuasan berjenjang juga terjadi, kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran di Sekolah Menengah, dan kalangan perguruan tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan.  
Kini juga muncul gejala lulusan SLTP dan SLTA banyak yang menjadi pengangguran di pedesaan, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, mereka merasa malu  jika harus membantu orangtuanya sebagai petani atau pedagang.  Terkait dengan itu, studi Blazely dkk. (1997) melaporkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada.  Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri.
Untuk maksud tersebut, pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu sebagai upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Pendidikan juga harus dapat mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Pendidikan juga diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memelihara diri sendiri, sambil meningkatkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat dan lingkungannya. 
Di samping itu perlu dikembangkan kesadaran bersama bahwa: (1) komitmen peningkatan mutu pendidikan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik sebagai pribadi-pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, merupakan langkah strategis pembangunan nasional, sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan (2) pemerataan daya tampung pendidikan harus disertai pemerataan mutu pendidikan, sehingga mampu menjangkau seluruh masyarakat.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sangat diperlukan pola pendidikan yang dengan sengaja dirancang untuk membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yang secara integratif memadukan kecakapan generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problema kehidupan.  Pendidikan haruslah fungsional dan jelas manfaatnya bagi peserta didik, sehingga tidak sekedar merupakan penumpukan pengetahuan yang tidak bermakna. Pendidikan harus diarahkan untuk kehidupan anak didik dan tidak berhenti pada penguasaan materi pelajaran. 
Adapun model pembinaan Life Skill yang harus dilakukan oleh seorang pendidik dalam pembelajaran di lembaga Islam Adalah sebagai berikut:
a.   Kesadaran Diri
Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya.
Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak dan berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.  Dengan kesadaran diri seperti itu, nilai-nilai agama dijadikan sebagai “roh”  dari mata pelajaran lainnya.[22]
Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.  Oleh karena itu dalam naskah ini, kesadaran diri dikategorikan sebagai suatu kecakapan hidup. Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi: (1) kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, makhluk sosial, serta makhluk lingkungan, dan (2) kesadaran akan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik fisik maupun psikologik.
Kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntunan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama?  Oleh karena itu, diharapkan agar mata pelajaran Agama dan Kewarganegaraan menanamkan prinsip-prinsip seperti itu, dan bersama guru mata pelajaran lain mengimplementasikan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan kehidupan sehari-hari di sekolah.
Jujur, disiplin, amanah dan kerja keras tidak hanya dapat dikembangkan melalui mata pelajaran Agama dan Kewarganegaraan.  Melalui mata pelajaran Matematika atau Fisika, juga dapat dikembangkan sikap jujur, misalnya tidak boleh memalsu data praktikum atau hasil perhitungan tertentu.  Disiplin terhadap waktu maupun aturan yang telah disepakati dapat dikembangkan melalui setiap mata pelajaran, misalnya kapan dan bagaimana memulai kegiatan belajar, praktikum maupun kegiatan ekstra kurikuler. Amanah dikembangkan ketika menggunakan peralatan praktikum maupun perlengkapan sekolah lainnya. Kerja keras dapat dikembangkan dalam mengerjakan tugas-tugas, baik individual maupun kelompok.[23]
Kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakini orang lain.  Bukankah memang Tuhan YME menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu. Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan.  Nah, jika sikap itu bersumber dari kesadaran diri, maka pengawasan dari pihak lain menjadi tidak lagi penting, karena setiap orang akan mengontrol dirinya sendiri.
Kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memerlihara lingkungan.  Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan YME, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Tuhan.  Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologik.  Oleh karena itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (sebagai karunia Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya.  Jika siswa menyadari memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi.  Demikian pula untuk potensi jenis lainnya.  Wali kelas, guru Bimbingan Konseling, guru Bimbingan Karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.[24] 
Kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rokhani) diharapkan mendorong untuk memelihara jasmani dan rokhaninya, karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri.  Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rokhani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan, yang harus dilakukan.  Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya Biologi dan Olahraga dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan Agama, Kewarganegaraan, Sastra dapat menjadi wahana pemeliharaan rokhani. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensi yang dikaruniakan-Nya.  Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu.  Dan itu berarti setiap orang harus terus menerus belajar. Dengan demikian prinsip life long education didorongkan kepada siswa, sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan YME.  Jadi belajar terus menerus sepanjang hayat merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang harus dilakukan oleh setiap orang. Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.[25]
Kecakapan kesadaran diri, sebagaimana dijelaskan di atas, kini semakin penting, karena salah satu problem bangsa ini adalah “rusaknya” moral. Para ahli menyebut, masyarakat kita sedang dijangkiti “penyakit me first”, yang selalu memikirkan keuntungan diri di urutan paling depan. Melalui penekanan kesadaran diri dalam pendidikan yang diaplikasikan melalui semua mata pelajaran, diharapkan secara bertahap moral bangsa dapat diperbaiki. Pendidikan untuk mengembangkan kesadaran diri seringkali disebut sebagai pendidikan karakter, karena kesadaran diri akan membentuk karakter seseorang.  Karakter itulah yang pada saatnya terwujudkan menjadi perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, banyak ahli yang menganjurkan penumbuhan kesadaran diri ini yang perlu dikembangkan sejak usia dini dan diupayakan menjadi kehidupan keseharian di rumah maupun di sekolah.
b.   Kecakapan Berpikir

Kecakapan berpikir pada dasarnya merupakan kecakapan menggunakan pikiran/rasio kita secara optimal.  Kecakapan berpikir mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching),  kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan secara cerdas (information processing and decision making skills), serta  kecakapan memecahkan masalah secara arif dan kreatif (creative problem solving skill).
Kecakapan menggali dan menemukan informasi memerlukan kecakapan dasar, yaitu membaca, menghitung dan melakukan observasi.  Oleh karena itu, anak belajar membaca bukan sekedar “membunyikan huruf dan kalimat”, tetapi mengerti maknanya, sehingga yang bersangkutan dapat mengerti informasi apa yang terkandung dalam bacaan tersebut. Siswa yang berlajar berhitung, hendaknya bukan sekedar belajar secara mekanistik menerapkan kalkulasi angka dan bangun, tetapi mengartikan apa informasi yang diperoleh dari kalkulasi itu.  Oleh karena itu kontekstualisasi Matematika atau mata pelajaran lainnya menjadi sangat penting, agar siswa mengerti makna dari apa yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, sebagai suatu informasi.[26]
Kecakapan melakukan observasi sangat penting dalam upaya menggali informasi. Observasi dapat dilakukan melalui pengamatan fenomena alam lingkungan, melalui berbagai kejadian sehari-hari, peristiwa yang teramati langsung maupun dari berbagai media cetak dan elektronik, termasuk internet.  Seringkali kita melihat banyak hal, tetapi apa yang kita lihat tidak menjadi informasi yang bermakna, karena kita sekedar melihat dan tidak memaknai apa yang kita lihat.  Melihat dengan cermat dan memaknai apa yang dilihat itulah yang disebut observasi.   Kata-kata bijak: “siapa yang menguasai informasi akan memenangkan suatu kompetisi” perlu dikembangkan dalam pendidikan. Agar informasi yang terkumpul lebih  bermakna harus diolah. Hasil olahan itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia.  Oleh karena itu, kecakapan berpikir tahap berikutnya adalah kecakapan mengolah informasi.  Mengolah informasi artinya memproses informasi tersebut menjadi simpulan.  Sebagai contoh, jika kita memiliki banyak informasi tentang harga buku yang sedang kita cari, kita harus mengolahnya menjadi simpulan buku di toko mana yang paling murah, yang mutunya paling baik, yang mudah dicapai dari tempat tinggal, dan sebagainya.
Untuk dapat mengolah suatu informasi diperlukan kemampuan membandingkan, membuat perhitungan tertentu, membuat analogi, sampai membuat analisis sesuai dengan informasi yang diolah maupun tingkatan simpulan yang diharapkan.  Oleh karena itu kemampuan-kemampuan tersebut penting untuk dikembangkan melalui mata pelajaran yang sesuai.   Melalui mata pelajaran Biologi, siswa dapat mengolah informasi tentang buah-buahan, sehingga siswa dapat menyimpulkan buah apa yang kandungan vitaminnya banyak, harganya relatif murah dan mudah didapat.  Dengan prinsip serupa, mata pelajaran lainnya juga dapat mengembangkan kecakapan mengolah informasi. Jika informasi telah diolah menjadi suatu simpulan, maka tahap berikutnya orang harus mengambil keputusan berdasarkan simpulan-simpulan tersebut.  Fakta menunjukkan seringkali orang takut mengambil keputusan karena takut menghadapi risiko yang muncul, pada hal informasi untuk dasar pengambilan keputusan telah tersedia.
Dalam kehidupan sehari-hari, betapapun kecilnya, kita selalu dituntut untuk mengambil keputusan.  Misalnya siswa harus mengambil keputusan untuk membeli buku atau memfotocopi buku teman.  Ibu rumah tangga harus mengambil keputusan memasak apa untuk hari minggu. Ketika seseorang menjadi pimpinan, baik organisasi formal maupun tidak formal, maka salah satu tugas pokoknya adalah membuat keputusan.  Oleh karena itu, siswa perlu belajar mengambil keputusan dan belajar mengelola risiko, melalui simpulan-simpulan analisis informasi.
Setiap saat orang menghadapi masalah yang harus dipecahkan.  Pemecahan masalah yang baik tentu berdasarkan informasi yang cukup dan telah diolah dan dipadukan dengan hal-hal lain yang terkait.  Pemecahan masalah memerlukan kreativitas dan kearifan.  Kreativitas untuk menemukan pemecahkan yang efektif dan efisien, sedangkan kearifan diperlukan karena pemecahkan harus selalu memperhatikan kepentingan berbagai pihak dan lingkungan sekitarnya.  Oleh karena itu sejak dini, siswa perlu belajar memecahkan masalah, sesuai dengan tingkat berpikirnya.[27]
Untuk memecahkan masalah memang dituntut kemampuan berpikir rasional, berpikir kreatif, berpikir alternatif, berpikir sistem, berpikir lateral dan sebagainya.  Oleh karena itu, pola berpikir tersebut perlu dikembangkan di sekolah dan kemudian diaplikasikan dalam bentuk pemecahan masalah.  Model pembelajaran pemecahan masalah (problem based instruction) dapat diterapkan untuk maksud tersebut. Kecakapan sosial atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill) mencakup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill) dan  kecakapan bekerjasama (collaboration skill).

c.    Kecakapan Berkerjasama

Kecakapan bekerjasama sangat diperlukan karena sebagai makhluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari manusia akan selalu bekerjasama dengan manusia lain.  Kerjasama bukan sekedar “kerja bersama” tetapi kerjasama yang disertai dengan saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu. Studi mutakhir menunjukkan kemampuan kerjasama seperti itu sangat diperlukan untuk membangun semangat komunalitas yang harmonis.
Kecakapan kerjasama tidak hanya antar teman kerja yang “setingkat” tetapi juga dengan atasan dan bawahan.  Dengan rekan kerja yang setingkat, kecakapan kerjasama akan menjadikan seseorang sebagai teman kerja yang terpercaya dan menyenangkan. Dengan atasan, kecakapan kerjasama akan menjadikan seseorang sebagai staf yang terpercaya, sedangkan dengan bawahan akan menjadikan seseorang sebagai pimpinan tim kerja yang berempati kepada bawahan. [28]
Seorang akan menjadi rekan kerja yang menyenangkan, jika mau “mengambil tanggung jawab” (take responsibility) dari tugasnya, menghargai pekerjaan orang lain dan ringan tangan membantu teman yang memerlukan.  Seseorang akan menjadi staf yang terpercaya, jika mampu menunjukkan tanggung jawab, dedikasi,  kemampuan, inisiatif dan kreativitas kerja sesuai dengan tugas yang diberikan. Seseorang akan menjadi pimpinan tim kerja yang menyenangkan jika memiliki kecakapan membimbing bawahan dan memperhatikan kesulitan yang dialami dengan penuh empati, serta dapat menyelesaikan konflik secara bijak. Kecakapan kerjasama tidak hanya dapat dikembangkan lewat mata pelajaran Kewarganegaraan atau Agama, tetapi dapat melalui semua mata pelajaran.  Melalui mata pelajaran Ekonomi, kerjasama dapat dikembangkan dalam mengerjakan tugas kelompok, karyawisata, maupun bentuk kegiatan lainnya.
d.   Kecakapan Hidup Spesifik

Kecakapan hidup yang bersifat spesifik (specific life skill/SLS) diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu.  Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus tentang mesin mobil.  Untuk memecahkan masalah dagangan yang tidak laku, tentu diperlukan kecakapan pemasaran.  Untuk mampu melakukan pengembangan biologi molekuler tentunya diperlukan keahlian di bidang bio-teknologi.
Kecakapan hidup spesifik biasanya terkait dengan bidang pekerjaan (occupational), atau bidang kejuruan (vocational) yang ditekuni atau akan dimasuki. Kecakapan hidup seperti itu kadang-kadang juga disebut dengan kompetensi teknis (technical competencies) dan itu sangat bervariasi, tergantung kepada bidang kejuruan dan pekerjaan yang akan ditekuni.  Namun demikian masih ada, kecakapan yang bersifat umum, yaitu bersikap dan berlaku produktif (to be a productive people). Artinya, apapun bidang kejuruan atau pekerjaan yang dipelajari, bersikap dan berperilaku produktif harus dikembangkan. Bidang pekerjaan biasanya dibedakan menjadi pekerjaan yang lebih menekankan pada keterampilan manual dan bidang pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir. [29]
e.   Kecakapan Akademik

Kecakapan akademik (academic skill/AS) yang seringkali juga disebut kecakapan intelektual atau kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir pada GLS.  Jika kecakapan berpikir pada GLS masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik/keilmuan.  Hal itu didasarnya pada pemikiran bahwa bidang pekerjaan yang ditangani memang lebih memerlukan kecakapan berpikir ilmiah.[30]
Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan melakukan identifikasi variabel dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomena tertentu (identifying variables and describing relationship among them),  merumuskan hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian (constructing hypotheses), serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan (designing and implementing a research). 
Kata penelitian dan aspek-aspek kecakapan akademik di atas, tidak hanya mencakup penelitian eksperimental atau penelitian untuk membuktikan suatu hipotesis, tetapi juga penelitian bentuk lainnya, misalnya rancang bangun.  Bukankah dalam rancang bangun, seseorang sebenarnya juga melakukan hipotetik-hipotetik atau bahkan kreasi tertentu yang kemudian dituangkan dalam bentuk rancangan, yang diyakini paling sesuai dengan tujuan yang diharapkan.  Dan tentu saja, kreasi ataupun rancangan tersebut, telah mempertimbangkan berbagai faktor/variabel yang terkait.  Jadi secara esensi, proses rancang bangun juga melalui tahapan-tahapann yang mirip dengan penelitian. Sebagai kecakapan hidup yang spesifik, kecakapan akademik penting bagi orang-orang yang akan menekuni pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir.  Oleh karena itu kecakapan akademik lebih cocok untuk jenjang SMA dan program akademik di universitas. 
Namun perlu diingat, para ahli meramalkan di masa depan akan semakin banyak orang yang bekerja dengan profesi yang terkait dengan mind worker dan bagi mereka itu belajar melalui penelitian (learning through research) menjadi kebutuhan sehari-hari.  Tentu riset dalam arti luas, sesuai dengan bidangnya.[31]
Pengembangan kecakapan akademik yang disebutkan di atas, tentu disesuaikan dengan tingkat berpikir siswa dan jenjang pendidikan. Namun perlu disadari bahwa kecakapan itu dapat dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran/mata kuliah di berbagai jenjang pendidikan. Melalui mata pelajaran Ekonomi, siswa dapat belajar mengidentifikasi variabel apa saja yang mempengaruhi harga gabah, kemudian mempelajari hubungan antar variabel tersebut, merumuskan hipotesis, merancang penelitian untuk membuktikan, bahkan sampai melaksanakannya, sesuai dengan tingkatan berpikirnya. Melalui pelajaran Kewarganegaraan, siswa dapat belajar mengidentifikasi variabel yang menyebabkan terjadinya tawuran antar siswa, mempelajari hubungan antara variabel-variabel tersebut dan mencari solusi mengatasinya dengan merumuskan hipotesis-hipotesis, jika salah satu atau beberapa variabel diberi perlakuan. Tentu saja harus disadari bahwa tidak semua aspek dalam kecakapan akademik dapat dan perlu dilaksanakan dalam suatu pembelajaran. Mungkin saja hanya sampai identifikasi variabel dan mempelajari hubungan antar variabel tersebut. Mungkin juga sampai merumuskan hipotesis dan bahkan ada yang dapat sampai mencoba melakukan penelitian, sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pola seperti itu oleh para ahli disebut pola belajar dengan cara meniru bagaimana ahli (ilmuwan) bekerja.  Pola ini sangat penting bagi siswa atau mahasiswa yang akan menekuni pekerjaan yang mengandalkan kecakapan berpikir, karena pola pikir seperti itulah yang nantinya digunakan dalam bekerja.






[1] Isjoni, Dari Subtansi ke Praktis Pokok-Pokok Pikiran Meningkatkan Kualitas Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal, 55.
[2] Fahrudin, “Peranan Nilai-nilai Agama dalam Pembelajaran Muatan Life Skills Disekolah, Jurnal (Online), http: www.google.com, Diakses Jum’at 9 Juli 2010.

[3] Isjoni, Dari Subtansi ke Praktis…, hal. 54.

[4] Tim Penyusun, UU Sisdiknas 2003 UU RI No. 20 Tahun. 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 13.

[5] Ibid ….., hal. 46.
[6] Mundzier Suparta, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), hal. 163.

[7] Departemen Agama  Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Integrasi Life Skills Terhadap Pembelajaran, (Jakarta: Iklas Beramal,2005), hal. 12-13.
[8] Dadang Yunus, pendidikan Life Skill, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 45.

[9] Slamet pH, Konsep dan tujuan Pendidikan Life Skill, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999), hal. 50.
               [10] Isjoni, Dari Subtansi ke Praktis…, hal. 60.

               [11] Departemen Agama  Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Integrasi Life Skills Terhadap Pembelajaran…, hal. 20.
[12] Mundzier Suparta, Manajemen Pondok ..., hal, 165-166
               [13] Departemen Agama  Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Integrasi Life Skills Terhadap Pembelajaran…, hal. 25.

               [14] Ibid., hal. 26.
               [15] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 50.
               [16] Ibid., hal. 53.
[17]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 3.
[18]Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1984), hal. 122.

[19] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), hal. 19.
               [20] Muhyi Batu Bara, Sosiologi Pendidikan, Cet. 1, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), hal. 98.
               [21] Ibid., hal. 102.
[22]  Zakiah Daradjat, Islam dan Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 3.

               [23] Ibid., hal. 5.
               [24] Ibid,. hal. 7.
               [25] Ibid., hal. 10.
               [26] Zakiah Daradjat, Psikologi Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 72.
               [27] Ibid., hal. 75.
[28] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1982), hal. 173-178.

[29] Sumadi Suryabrata, psikolofi kepribadian, ( Jakarta: Rajawali, 1993), hal 11.

               [30] Muhyi Batu Bara, Sosiologi Pendidikan…, hal. 102.
               [31] Ibid., hal. 104.