Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hakikat Penilaian Guru


BAB II

LANDASAN TEORITIS

Hakikat Penilaian Guru

A.    Penilaian Guru
1.     Pengertian Penilaian
Penilaian telah lama dikenal oleh manusia, mungkin usianya sama dengan usia manusia itu sendiri. Ini disebabkan manusia itu ingin mengetahui perkembangan suatu proses dan ingin membuat suatu keputusan. Hanya cara dan pendekatannya yang berlainan dan belum tersusun rapi.
Dahulu dan mungkin sekarang pun guru-guru kita melakukan penilaian didasarkan atas pertimbangan pribadi dan bersifat subjektif. Disini penilaian dimaksudkan untuk menyeleksi dan menentukan kelulusan dan kegagalan siswa. Sasaran penilaian adalah ingatan akan suatu bahan pelajaran yang telah diajarkan. Jawaban ujian yang baik adalah jawaban yang sama dengan resitasi guru. Demikianlah pandangan lama itu.
Penilaian pendidikan yang sebenarnya ialah supaya guru mengenal perkembangan pribadi murid untuk digunakan dalam proses perbaikan pengajaran. Mengajar adalah usaha mengembangkan dan menumbuhkan kemampuan murid.Tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan, halangan-halangan yang mengganggu pertumbuhan, pendugaan-pendugaan kecendrungan kelanjutan pengajaran dan titik-titik tolak peninjauan adalah hal-hal yang menjadi lapangan kegiatan penilaian. Dengan kata lain, penilaian itu hendaklah menunjukkan hasil usaha yang dinilai.Allah Swt berfirman:
فمن يعمل مثقال ذرة خيرايره. ومن يعمل مثقال ذرة شرايرهز
Artinya “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, nicaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, nicaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S. Az-zalzalah: 7-8)

Kalau pandangan umum di atas tadi dirumuskan maka dapatlah didefinisikan penilaian itu “sebagai suatu usaha yang menetapkan nilai, yang terdapat di dalam proses belajar-mengajar yang terlihat pada hasil belajar yang dicapai oleh seorang pelajar”.[1] Jadi, penilaian itu, dalam hal ini penilaian belajar merupakan suatu penilaian atau pertimbangan atas kemajuan siswa, dan sudah barang tentu pula terselip pengertian keterhalangan siswa itu. Penilaian atau pertimbangan itu menyangkut segi-segi apa yang dihasratkan dan apa yang dianggap baik bagi pendidikan siswa. Untuk itu diperlukan penyukatan, penilikan dan pendugaan.
Sementara itu, pendapat lain tentang pengertian penilaian adalah salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran untuk mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik.[2]
Jadi pengertian penilaian menurut penulis adalah usaha yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk mengetahui perkembangan anak didiknya sehingga dapat mengukur sebuah nilai yang telah dicapai oleh anak didik tersebut.

2.     Bentuk-Bentuk Penilaian Guru
Penilaian merupakan salah satu proses penting dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar-mengajar. Hakikat penilaian dalam pendidikan adalah proses yang sistematik, mengumpulkan data dan informasi, menganalisis dan selanjutnya menarik kesimpulan tentang tingkat pencapaian hasil dan tingkat efektivitas serta efisiensi suatu program pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan penilaian dapat dilakukan terhadap programnya sendiri, terhadap proses pelaksanaannya dan terhadap pencapaian hasil pelaksanaannya. Penilaian terhadap program pendidikan terutama berkaitan dengan ketepatan dan relevansi program dengan kebutuhan nyata masyarakat. Jenis penilaian juga dapat dibedakan berdasarkan pihak yang melaksanakannya. Dalam pendidikan, apabila penilaian itu dilakukan oleh guru atau sekolah sendiri maka disebut penilaian internal. Sebaliknya apabila penilaian itu dilakukan oleh pihak luar disebut penilaian eksternal.[3]
Mengevaluasi kemampuan siswa merupakan tugas pokok setiap guru di samping mengajar. Penilaian dalam pengajaran sangat penting dilaksakan, karena hasilnya dapat memberikan gambaran tentang kemajuan belajar siswa, selain itu untuk mengetahui prestasi belajar siswa, penilaian juga dipergunakan untuk mengetahui tepat tidaknya metode mengajar yang dipergunakan.
Oleh karena itu untuk mengetahui apakah bahan-bahan pelajaran yang telah di ajarkan dapat dimengerti oleh siswa atau belum, hal ini biasanya akan ditandai dengan adanya perubahan-perubahan tertentu pada diri siswa, untuk itu diperlukan juga pengukuran dan penilaian terhadap hasil penilaian akhir siswa.
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka pengukuran dan penilaian bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi tentang perkembangan dan kemajuan belajar siswa setelah beberapa pokok bahasan diajarkan. Selanjutnya penilaian hasil belajar siswa digunakan oleh guru untuk menilai apakah metode mengajar dan penyampaian materi yang digunakan sudah sesuai dengan yang apa diharapkan atau belum. Adapun tujuan penilaian adalah sebagai berikut:
1.  Menilai pencapaian tujuan sampai dimanakah telah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
2.  Menilai sesuai atau tidaknya alat-alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
3.  Menilai metode, sesuaikah dengan tujuan yang akan dicapai dengan bahan pelajaran atau tidak dan juga anak yang akan menerimanya.
4.  Meninjau kembali usaha-usaha yang gagal sebelumnya.
5.  Menilai atau menyelidiki anak mana yang harus diperhatikan secara khusus.
6.  Menyelidiki latar belakang kehidupan anak, sebagai pembantu dalam usaha memberikan bantuan.
7.  Menilai sampai dimanakah hasil yang telah diperoleh oleh siswanya.[4]

Dari kutipan diatas menggambarkan betapa banyaknya tujuan dan pentingnya penilaian. Oleh sebab itu guru harus mengetahui kegunaan penilaian dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Suharsimi Arikunto sebagai berikut:
Tujuan penilaian adalah untuk memonitor kemajuan belajar-mengajar langsung dan juga bertujuan untuk memberikan balikan (feedback) yang kontinyu (terus menerus) bagi penyempurnaan program pengajaran, baik yang menyangkut diri siswa maupun guru. Bahkan bagi siswa bertujuan untuk mendorong siswa kearah perbaikan belajar dalam arti bila ada kesalahan cara belajar pada masa lalu perlu diperbaiki (remedial) dan sebaliknya bila cara belajar itu telah betul, perlu ditingkatkan. Bagi guru balikan itu diperlukan sebagai bahan penyempurnaan pengajarannya dan peningkatan cara cara belajar siswa baik secara kelompok maupun individual dalam pengajaran.[5]
           
            Ada beberapa macam bentuk penilaian dalam pendidikan. Hal ini tergantung kepada tujuan pengukuran, sifat bahan pengajaran dan tingkat kematangan siswa.
Dalam pengajaran bidang studi terdapat bermacam-macam bentuk tes untuk mengukur hasil belajar siswa. Jika ditinjau dari segi melaksanakannya dapat digolongkan atas beberapa golongan tes antara lain tes lisan, tes tulisan atau tertulis dan tes perbuatan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Utju Ali Basyah yaitu:
1.     Tes dalam bentuk tertulis, yaitu suatu tes untuk menilai tercapai atau tidaknya suatu tujuan yang dilakkan secara tertulis. Misalnya untuk bidang studi IPA dan IPS biasanya digunakan tes tertulis.
2.     Tes dalam bentuk lisan, yaitu suatu tes yang dilakukan dengan cara lisan. Misalnya untuk pengajaran bahasa inggris biasanya digunakan tes lisan untuk mengetahui ucapan yang tepat.
3.     Tes dalam bentuk perbuatan, yaitu tes untuk menilai tercapai atau tidaknya sesuatu tujuan yang dilakukan dengan cara penertiban tugas misalnya bidang studi kerajinan tangan atau prakarya.[6]
Pada prinsipnya dalam setiap mata pelajaran penilaian dapat dibedakan dalam dua bentuk tes yaitu tes subjektif dan tes objektif:
1.     Penilaian dalam Bentuk Subjektif
Penilaian dalam bentuk subjektif merupakan tes untuk mengukur kemajuan belajar siswa yang memerlukan jawaban-jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian-uraian. Pada dasarnya untuk mengerjakan tes ini siswa memerlukan waktu yang cukup banyak, oleh karena itu apabila jumlah tes yang sedikit maka sudah tentu scope (ruang lingkup) dan bahan pelajarannya pun sedikit pula yang akan di tes, hal inilah yang membuat tes essay tidak dapat mengukur pengetahuan siswa secara menyeluruh. Namun demikian tes ini memiliki kebaikan antara lain:
1.     Menyusun tesnya mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama
2.     Siswa mempunyai kebebasan dalam menjawab dan mengeluarkan isi hati atau buah pikirannya
3.     Melatih siswa mengeluarkan buah pikiran dalam bentuk kalimat atau bahasa yang teratur (melalui kreasi dan fantasi).
4.     Lebih ekonomis dan hemat karena tidak memerlukan kertas yang terlalu banyak, untuk membuat soal dapat didikte atau ditulis dipapan tulis.[7]

Kebaikan alat penilaian dalam bentuk essay tersebut adalah soalnya mudah disusun dan disiapkan serta dapat mengukur kemampuan siswa sampai ke tingkat yang tinggi, seperti yang diperlukan untuk menyimpulkan suatu pengertian dan tidak memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk berspekulasi.
Adapun kelemahan-kelemahan tes essay menurut M. Ngalim Purwanto adalah sebagai berikut:
1.     Karena soalnya terbatas maka tidak mungkin untuk mencakup seluruh scope bahan pelajaran yang telah diajarkan.
2.     Pertanyaan sering bersifat kabur, sehingga sukar menentukan segi mana yang termasuk penting.
3.     Untuk mengoreksinya memerlukan waktu yang cukup banyak dan tidak dapat mewakili pada orang lain.
4.     Pemeriksaannya lebih sulit sebab memerlukan pertimbangan yang lebih banyak dari penilai.
5.     Karena adanya perbedaan jawaban maka penilaian guru akan dipengaruhi oleh unsur-unsur  subjektif.[8]

Dari uraian tersebut di atas jelas terlihat bahwa kelemahan tes essay itu tidak mungkin untuk mencakup semua bahan pelajaran yang diberikan dan pemeriksaannya pun sering dipengaruhi oleh unsur-unsur subjektif, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan jawaban dan tulisan siswa serta menyusun soal setiap masing-masing guru juga terdapat perbedaan.
2.     Penilaian dalam Bentuk Objektif
“Alat penilaian dalam bentuk objektif disebut dengan tes jawaban singkat (Short Answer Test), karena jawaban tes ini pendek dan ringkas”.[9] Disini siswa hanya diharuskan mengisi tempat yang kosong atau penulisan tanda-tanda atau kode-kode tertentu saja. Oleh karena itu dalam penggunaan tes objektif ini sangat memerlukan banyak waktu dalam penulisan soal, begitu juga dengan jumlah soalnya yang diajukan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan tes essay, dengan banyaknya jumlah soal tes, maka bahan pelajaran yang digunakan untuk membuat tes ini tentu akan lebih banyak pula sehingga akan menghasilkan alat ukur yang benar-benar dapat menilai hasil belajar siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan secara reseprentatif.
Tes objektif ini dapat dibuat dengan menggunakan paling sedikit dua bentuk dari empat macam bentuk butir tes objektif yang ada dan yang sering digunakan, adapun macam-macam tes objektif itu adalah sebagai berikut:
a.      Pilihan Ganda (Multiple Choice)
Tes objektif yang berbentuk pilihan ganda ini terdiri dari sejumlah butir tes (item), dimana pada setiap itemnya tersusun dari berbagai pertanyaan atau pernyataan yang disediakan yang kemudian disesuaikan dengan pernyataan sambungan sebagai jawaban.
Dalam bentuk pilihan ganda ini masih terdapat pula tiga cara atau tiga macam cara menjawabnya yang didalamnya terdapat petunjuk untuk menjawab bagi siswa. Adapun ketiga macam cara menjawab tersebut adalah terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
ֿ  Memilih satu saja jawaban yang diyakini paling betul diantara jawaban yang ada, biasa, jawabannya terdiri dari empat atau lima alternatif jawaban. Pemilihan yang demikian disebut pilihan jamak biasa.
ֿ  Pilihan ganda hubungan antar hal, yaitu suatu bentuk soal pilihan ganda dimana antara pernyataan pertama dengan pernyataan kedua mempunyai hubungan yang erat atau ada sebab-akibat, bisa juga tidak mempunyai hubungan sama sekali dan atau cara lainnya sesuai dengan petunjuk jawaban yang dibuat dan dikehendaki oleh guru. Pilihan jawaban semacam ini sering disebut dengan soal hubungan sebab-akibat.
ֿ  Pilihan ganda yang disebut dengan asosiasi pilihan jamak asli, yaitu dari satu jawaban yang akan dipilih (misalnya: a, b, c dan d) yang didalamnya terdapat jawaban alternatif lainnya dari empat pilihan yang disediakan dengan memilih nomor jawaban (1, 2,3 dan empat) misalnya bila nomor empat merupakan jawaban dari soal maka penyelesaiannya adalah adalah c yang dibuat oleh siswa pada lembar jawabannya.[10]

Biasanya pilihan jawaban dari bentuk butir tes pilihan ganda ini terdiri dari empat atau lima alternatif jawaban yang disebut dengan option. Dari ke empat atau kelima alternatif tersebut ada satu yang paling benar sedangkan yang lainnya adalah tidak benar yang disebut dengan pengecoh atau distraktor.
b.     Benar atau Salah (True Fals)
Bentuk tes ini adalah suatu bentuk tes yang butirnya pernyataan-pernyataan yang benar dan pernyataan-pernyataan yang salah. Dalam menjawab siswa memilih atau menunjuk yang mana diantara pernyataan yang benar dan mana yang salah pada pernyataan, yaitu dengan memberi tanda sesuai dengan apa yang diminta dalam petunjuk soal atau permintaan pembuat soal (guru).
c.      Menjodohkan (Matching Test)
Bentuk butir tes menjodohkan adalah bentuk butir tes yang terdiri dari dua kolom yang paralel, dimana masing-masing kolom berisi uraian-uraian, keterangan-keterangan atau pernyataan.
Adapun cara untuk menjawab butir tes ini siswa hanya diminta memasang atau menjodohkan pernyataan-pernyataan yang tersedia di sebelah kiri dengan pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan pernyataan yang telah disediakan di sebelah kanan. Kebiasaannya permasalahan atau persoalannya selalu ditempatkan di sebelah kiri lembar soal, sedangkan jawabannya diletakkan di sebelah kanan lembar soal.
Option yang diberikan biasanya dibuat lebih dari pertanyaan supaya siswa terhindar dari unsur langsung memberi jawaban terakhir pada pernyataan yang hanya tinggal satu.
d.     Melengkapi (Completion Test)
Bentuk tes ini terdiri dari satu pernyataan atau kalimat yang belum sempurna. Butir tesnya dapat berupa pertanyaan langsung dan jawaban  yang diharapkan relatif pendek namun waktu yang diperlukan siswa untuk mengerjakan soal tersebut lebih banyak kalau dibandingkan dengan bentuk butir tes objektif yang lainnya.
Dalam menjawab bentuk tes ini siswa diminta melengkapi kalimat yang belum sempurna tersebut dengan satu atau beberapa kata pada titik-titik yang disediakan. Biasanya kata-kata pelengkap item tes bentuk ini berupa nama kota, tanggal, nama orang dan lain-lain yang sifatnya pendek dan pasti.
Jadi jelaslah bahwa alat penilaian dalam bentuk objektif terdiri dari banyak bentuk, namun demikian tes ini juga memiliki kebaikan-kebaikan antara lain:
1.   Mengandung banyak segi-segi yang bersifat positif, misalnya dapat menghindari unsure-unsur subjektif baik dari segi siswa maupun guru yang mengajarkannya maupun guru yang memeriksanya.
2.   Lebih mudah dan cepat cara pemeriksaannya, karena dapat menggunakan pedoman kunci jawaban.
3.   Ketika mengadakan penilaian tanpa mengetahui nama siswa yang menjawab soal tersebut, dalam memeriksanya tidak ada unsur subjektif yang dapat mempengaruhinya.[11]

Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa kebaikan alat-alat penilaian dalam bentuk objektif adalah dalam pemeriksaannya dapat dihindari dari adanya unsur-unsur subjektif dan dengan adanya bentuk soal semacam ini lebih mudah dalam pemeriksaannya karena dibantu dengan membuat kunci jawaban.
Di samping itu alat penilaian dalam bentuk objektif ini juga memiliki kelemahan-kelemahan.
Menurut Mozer R. Toelehere dan Yuhara Sukra kelemahan alat penilaian dalam bentuk tes objektif adalah sebagai berikut:
1.     Membutuhkan waktu yang lebih lama dalam merancang soal bila dibandingkan dengan soal essay.
2.     Soalnya cenderung untuk mengungkapkan ingatan siswa dan sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi.
3.     Banyaknya kesempatan siswa untuk main untung-untungan.
4.     Kerja sama antara siswa ketika mengerjakan soal lebih memungkinkan dan terbuka.[12]

3.     Penilaian dalam Bentuk Tes Perbuatan
Tes perbuatan biasanya dilakukan oleh guru-guru sekolah, khususnya guru bidang agama maupun guru bidang studi lainnya. Yang dimaksud dengan tes perbuatan adalah tes untuk menilai kecakapan para siswa untuk membuat bahan-bahan media seperti: kubus, kerucut, shalat, akhlak maupun bentuk-bentuk perbuatan lainnya, setelah para siswa diajarkan dengan materi yang mengindikasikan kepada perbuatan maka para guru mengadakan penilaian tentang perbuatan atau keterampilan siswa memperagakan dalam mengaplikasikan tujuan pembelajaran tersebut.
4.     Penilaian dalam Bentuk Lisan
Tes lisan merupakan bentuk tes dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru kepada siswa secara lisan dan siswa menjawab secara lisan pula. Pelaksanaan tes lisan ini bertujuan untuk mengukur kesiapan siswa untuk mengemukakan kembali pengetahuan yang telah dipelajarinya.

3.     Teknik Penilaian Guru
Menyusun tes yang baik merupakan pekerjaan yang sulit bagi guru, disamping membutuhkan waktu yang lama juga perlu adanya ketenangan. Guru harus memperhatikan dengan jeli tentang tes yang akan dibuat, mulai dari penyusunan, melaksanakan dan memeriksa atau menilai siswa yang telah menjawab tes yang dibuat tersebut.
Disamping itu dalam penyusunan tes guru perlu memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek yang akan diukur baik kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan).
Penyusunan tes harus disiapkan sedini mungkin sehingga seorang guru perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan di dalam penyusunan butir-butir pertanyaan tes yang ditentukan dengan tepat untuk mengukur apakah siswa berhasil atau tidak dalam mengikuti pelajaran yang disajikan.
Dalam menyusun tes untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, Wayan Nurkancana mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Untuk mendapatkan suatu tes hasil kerja yang cukup representatif terhadap bahan yang ditetapkan dapat dilakukan dengan mengadakan analisa rasional. Artinya kita mengadakan analisa berdasarkan pikiran-pikiran yang logis, bahan-bahan apa yang perlu kita kemukakan dalam suatu tes, sehingga tes yang kita susun tersebut merupakan tes yang benar-benar merupakan pilihan yang representatif terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada sumber-sumber tertentu seperti: tujuan pelajaran, rencana pelajaran, buku pedoman dan ketentuan-ketentuan lainnya yang dianggap mendukung.[13]

Ada beberapa teknik atau cara menilai, yaitu:
1.     Penilaian Tes Tertulis
Penilaian tes tertulis sangat efektif untuk mengukur kemampuan penguasaan materi (kognitif) yang dikuasai oleh siswa. Penilaian tes tertulis dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas dan tergantung kepada kondisi yang dihadapi. Secara umum tes tertulis dibagi dalam 2 macam, yaitu:tes objektif dan tes essai.
Tes objektif terdiri dari: pilihan ganda (multiple choice), isian singkat (short answer), benar-salah (true-false), menjodohkan (matching), dan melengkapi (completion).[14]
Sedangkan untuk tes essai dibagi pada dua macam: uraian terbatas dan uraian bebas. Untuk kegiatan penilaian yang materinya sedikit ataupun jumlah siswanya terbatas hendaknya dihindari dari pemakaian tes secara objektif, agar siswa terbiasa mengorganisasikan pikiran dalam jawabannya dengan tes dalam bentuk uraian.
2.     Penilaian Tugas
Penilaian tugas adalah penilaian pada kemampuan melakukan ‘inquiry’ yang dapat memberikan informasi tentang kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan dalam merencanakan, mengorganisasikan, bekerja sama, mengidentifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis dan menginterpretasikan serta mengkomunikasikan temuannya dalam bentuk laporan tertulis.[15] Penilaian dalam bentuk tugas bisa dilakukan oleh siswa secara individu maupun berkelompok.
3.     Penilaian Produk
Penilaian produk adalah penilaian terhadap hasil karya cipta siswa baik berupa artikel/benda/ tulisan pada periode tertentu.[16] Untuk efektif, penilaian produk dapat dilakukan dalam tiga tahap, mulai dari tahap persiapan, tahap pembuatan produk dan tahap penilaian. Teknik penilaiannya biasanya menggunakan cara analitik, misalnya penilaian hasil rancangan siswa terhadap produk teknologi sederhana, penilaiannya berkaitan dengan desain, pemilihan alat dan sebagainya.
4.     Unjuk Kerja
Penilaian unjuk kerja merupakan teknik penilaian berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana yang terjadi.[17] Untuk menilai hasil belajar yang menggambarkan proses, kegiatan, tingkah laku, interaksi siswa atau unjuk kerja diperlukan pengamatan terhadap siswa pada saat melakukan kegiatan tersebut. Cara ini dipercaya lebih otentik dan lebih bisa dipertanggung jawabkan.
5.     Portofolio
Penilaian portofolio pada dasarnya adalah menilai karya-karya siswa berkaitan dengan mata pelajaran tertentu. Semua tugas yang dikerjakan siswa dikumpulkan, dan di akhir satu unit program pembelajaran diberikan penilaian. Dalam menilai dilakukan diskusi antara siswa dengan guru untuk menentukan skornya. Prinsip penilaian portofolio adalah siswa dapat melakukan penilaian sendiri kemudian hasilnya dibahas.
Penilaian portofolio adalah suatu usah untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan dan perkembangan wawasan pengetahuam, sikap dan ketrampilan siswa yang bersumber dari catatan dan dokumen pengalaman belajarnya.[18]
6.     Penilaian Sikap
Penilaian sikap merupakan teknik penilaian ranah afektif yang didalamnya mencakup penilaian minat, konsep diri, nilai, motivasi dan sejenisnya.[19] Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap suatu objek, misalnya sikap terhadap guru, pelajaran atau terhadap suatu kegiatan.

4.     Aspek-aspek Pernilaian Guru
1.     Kognitif
Kognitif adalah “penilaian guru terhadap ilmu pengetahuan yang dimiliki siswa.”[20] Penilaian ini sangat bergantung pada pengetahuan yang dimiliki siswa, bisa dilakukan dengan test tulisan maupun tulisan untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa setelah mempelajari materi yang telah diberikan siswa.
Penilaian terhadap hasil belajar penguasaan kognitif bertujuan untuk mengukur penguasaan dan pemilikan konsep dasar keilmuan (content objective) berupa materi-materi esensial sebagai konsep kunci dan prinsip utama. Konsep dalam bentuk ini harus dimiliki oleh siswa secara tuntas, bukan hanya dalam bentuk hafalan. Ranah kognitif lebih menitikberatkan pada kegiatan otak
Dalam pelaksanaan penilaian guru tidak boleh melihat anak yang telah berhasil menghafal banyak teori lebih pintar dari anak yang lain, karena teori yang dihafal oleh siswa harus mampu diterapkan dalam disiplin kehidupannya.
2.     Afektif
Afektif adalah “suatu bentuk penilaian guru yang berinisiatif pada pengalaman untuk belajar berdasarkan tingkah laku siswa.”[21] Penilaian guru pada aspek afektif ini hanya memberikan bagian dari pertanyaan tentang bagaimana siswa dalam belajar, seperti bagian tingkah laku siswa yang paling baik untuk diingat, misalkan kejadian-kejadian yang praktis dan sering kontradiksi dalam kehidupan siswa sehari-hari. Sebagaimana termaktub dalam surat al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا (الأحزاب: ٢١)
Artinya: Sesungguhnya ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q. S. al-Ahzab: 21)

Hasil belajar afektif berkaitan dengan sikap dan nilai, berorientasi pada penguasaan dan pemilikan  kecakapan proses atau metode. Ciri-ciri belajar ini akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatian terhadap pelajaran, kedisiplinan, motivasi belajar, rasa hormat terhadap guru, dan sebagainya.
3.     Psikomotorik
Psikomotorik adalah “pengamalan terhadap ilmu yang telah dimilki oleh siswa.”[22] Aspek penilaian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penerapan siswa dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan selama dalam belajar. Penilaian ini bisa dilakukan melalui pemberian tugas-tugas di luar sekolah seperti pekerjaan rumah (PR).
Hasil belajar ini merupakan ranah yang berkaitan dengan ketrampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif, akan tampak setelah siswa menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan kehidupan siswa sehari-hari.
Untuk menilai hasil belajar aplikatif ini dapat digunakan instrumen tes kinerja atau nontes dengan pedoman observasi. Ini semuanya tergantung kepada guru untuk melaksanakan berbagai macam bentuk penilaian terhadap siswa.






B.    Prestasi Siswa
1.     Pengertian Prestasi
Dalam bahasa Inggris belajar diistilahkan dengan education, istilah ini berarti mempelajari, menggali, membuat, jadi bertambah dalam pemahaman, membesarkan, memproduksi hasil-hasil  yang sudah matang. Pemahaman yang lebih rinci  mengenai  belajar harus mengacu kepada substansial yaitu penerimaan pengetahuan, pengalaman dan kepribadian.[23]
Secara keseluruhan definisi yang bertemakan  belajar itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa  yang dimaksud dengan belajar adalah upaya menerima, memahami, dan bimbingan dari pendidik  yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian  yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara herarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut  dapat dijabarkan  pada tingkat yang lebih rendah lagi,  menjadi tujuan  yang bercorak nasional, institusional, terminal, klasikal, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[24]
Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan prestasi belajar, maka belajar sangat erat kaitan dengan peningkatan prestasi belajar. Sebab belajar merupakan usaha yang dilakukan oleh siterdidik untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Menurut David Krech, mengemukakan bahwa, “pretasi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan sesuatu yang mungkin berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.[25]
            Prestasi itu dapat meningkat setelah melalui penafsiran yang dirangsang oleh suatu belajar, kemudian memberikan respon dengan menghubungkan stimulus tersebut pada objek pengetahuan yang berkaitan. Sehingga individu mengenal dan memberi makna pada pengetahuan itu. Dengan demikian mereka telah mengambil kesimpulan. Prestasi terjadi karena kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran. Penafsiran merupakan masa proses peningkatan prestasi yang sangat penting. Proses penafsiran ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman motivasi dan pengetahuan.
            William James menjelaskan peningkatan prestasi adalah suatu usaha meningkatkan kemampuan peserta didik yang dilakukan sendiri secara individu dengan melalui bantuan orang lain. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan cara membaca, melihat dan memahami suatu ilmu pengetahuan dengan serius.[26]
            Dalam meningkat prestasi cenderung menyusun program sepanjang garis tendensi-tendensi alamiah (hasil dari pengalaman-pengalaman yang telah dipelajari) tertentu yang ada di otak. Ia menambahkan bahwa cara kita mengapresiasikan situasi sekarang yang tidak bisa terlepas dari adanya pengalaman-pengalaman sensoris terdahulu, karena meningkatkan prestasi merupakan proses pengetahuan, yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lampau.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi ialah proses peningkatan pemahaman atau pemaknaan seseorang terhadap sesuatu objek berdasarkan informasi yang diperoleh dari inderanya. Informasi yang masuk melalui organ indera terlebih dahulu diorganisasikan dan diinterpretasikan sebelum dapat mengerti. Hasil pengolahan otak ini selanjutnya melahirkan peningkatan prestasi dalam kegiatan belajar.

2.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi
Dalam meningkatkan prestasi belajar di sebuah lingkungan sekolah, tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal yang berhubungan erat dengan peningkatan prestasi antara lain adalah:
Menurut Thoha ada empat faktor yang mempengaruhi peningkatan prestasi belajar, yaitu:
a.     Faktor Psikologis
Prestasi seorang siswa dalam belajar dipengaruhi oleh keadaan psikologis atau kejiwaan. Pengalaman mental merupakan salah satu faktor bagi seorang guru adalah menilai dan menanggapi suatu masalah. Kondisi psikologis yang sedang tenang akan menghasilkan fikiran yang rasional, sehingga prestasi yang diharapkan benar-benar tinggi. Bila kondisi siswa sedang senang ia akan berpikir yang baik mengenai belajar di sekolah.[27]
b.    Faktor Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali siswa belajar segala sesuatu. Pola pikiran orang tua secara perlahan-lahan akan ikut juga mewarnai pola pikiran anaknya. Bila orang tua memandang segala sesuatu masalah dari sudut pandang yang positif dan objektif, hal itu akan berpengaruh pada pola pikir anaknya dimasa mendatang.[28] Rasulullah Saw bersabda:
كل مولديو على الفطرة. فأبوه يهود نه أومحسا نه (رواه بخرى)
Artinya “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tuanya lah yang membuat dia menjadi yahudi, atau memajusi atau nasrani.” (Bukhari)[29]

c.     Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan tempat tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu faktor pembentukan prestasi dalam diri siswa.
d.    Karakteristik Guru
Karakteristik guru memberikan pengaruh yang amat besar terhadap prestasi siswa. Sebab guru merupakan salah faktor yang menentukan siswa dapat meraih prestasi yang lebih baik.
            Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi seorang siswa sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
1.     Faktor psikologis, termasuk emosional, keluarga dan lingkungan.
2.     Faktor karakteristik guru yang pada dasarnya berbeda dan unik dari guru lain.
3.     Faktor penilaian guru itu sendiri terhadap objek yang diamati berdasarkan hasil pendidikan, kebiasaan dan ketentuan yang berlaku dalam lingkungan tempat guru itu tumbuh dan berkembang.[30]
Meningkatkan prestasi siswa merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang mesti dilakukan jika terdapat siswa yang nakal dalam belajar. Namun dalam melakukan usaha meningkatkan prestasi siswa[31], maka guru menggunakan beberapa cara, antara lain:
1.     Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Namun demikian yang harus diingat  oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna.

2.     Memberi Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk sesuatu pekerjaan tersebut.
3.     Memberatkan Saingan/Kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
4.     Menumbuhkan Ego – Involvoment
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu motivasi yang cukup penting.
5.     Memberi Materi Ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar jika mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan merupakan sarana motivasi, tetapi memberikan ulangan jangan terlalu sering, karena siswa bisa bosan dan bersifat rutinitas.
6.     Mengetahui Hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka motivasi pada diri siswa untuk terus belajar dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
7.     Memberi Pujian
Pujian merupakan benyuk motivasi yang positif sekaligus umpan balik yang baik. Oleh karena itu, supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat.
8.     Memberi Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif kalau diberikan secara tepat dan bijak maka dapat menjadi alat motivasi. Tetapi guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.sebagai mana fiman Allah SWT sebagai berikut:
كد أب ءال فرعون واللذين من قبلهم كذبوأ بأ يتنا فأخذ هم الله بذ نو بهم والله شد يد العقاب ( ال عمر: ۱۱)
Artinya: "(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; Karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras siksa-Nya." (Q.S. Ali-Imran: 11)

9.     Menumbuhkan Hasrat untuk Belajar
Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
10.  Menumbuhkan Minat
Motivasi sangat erat hubungannya dengan unsur minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan proses belajar mengajar akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Minat antara lain dapat dibangkitkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a)     Membangkitkan adanya suatu kebutuhan.
b)    Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau.
c)     Memberikan kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik.
d)    Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.
11.  Menunjukkan Tujuan yang Diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Bermacam-macam motivasi itu dapat dikembangkan dan diarahkan untuk melahirkan hasil belajar yang bermakna. Pada mulanya, siswa termotivasi untuk rajin belajar, tetapi guru juga berperan untuk meningkatkan motivasi siswa dari tahap rajin belajar ke arah kegiatan belajar yang mampu memahami isi dari pelajaran yang didapati sekolah




[1]Jahja Qamar, Evaluasi Pendidikan Agama, (Jakarta: Ciawi Jaya, 1992), hal. 12

[2]Departemen Agama, Panduan Evaluasi Hasil Belajar, (Jakarta: Bina Mitra Pemberdayaan Madrasah, 2005, hal. 4
[3]Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 68
[4]Utju Ali Basyah, Teknik Penilaian dan Pengukuran dalam Pendidikan, (Banda Aceh: FKIP Unsyiah, 1979), hal. 1-2

[5]Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1993), hal. 8-9

[6]Ibid., hal. 16
[7]Ibid., hal. 17

[8]M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1988), hal. 48

[9]Ibid.,  hal. 48
[10]Ibid., hal. 50
[11]Mozer R. Toelehere dan Yuhara Sukra, Pedoman Perbaikan Pengajaran, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997), hal.25

[12]Ibid., hal. 25-26
[13]Wayan Nurkancana. Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hal. 52

[14]Anas Sujono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal. 9

[15]Ibid., hal. 28

[16]Ibid.,  hal. 31

[17]Ibid., hal. 34

[18]Ibid., hal. 38

[19]Ibid., hal. 44

[20]Ibid., hal. 147

[21]Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 149

[22]Ibid.,, hal. 156

[23]Khursyid  Ahmad,  Prinsip-prinsip Belajar Mengajar, terj. A.S Robith (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.

[24]Abudin Nata, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,  2000), hal. 292.

[25]Yahya, dkk, Bagaimana Meningkatkan Prestasi Siswa, (Jakarta:   Bina Aksara, 1995), hal. 1

[26]Widayatun, Metode Meningkatkan Prestasi Anak, (Jakarta:  Rineka Cipta, 1999), hal. 110
[27]Thoha, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 55

[28]Ibid., hal. 56

[29] Iman Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Al-kutub, t.t.) hal. 501

[30]Ibid., hal. 57

[31]Roestiyah N. K., Strategi Pengajaran Ilmu Eksact, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 45