Hikmah Perkawinan dalam Islam
A.
Hikmah Perkawinan dalam Islam
Keluarga dalam Islam adalah perintah
agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia
yang dicoba-raih oleh setiap pribadi. Pernikahan mengandung beberapa hikmah
yang memesona dan sejumlah tujuan luhur. Seorang manusia laki-laki maupun
perempuan pasti bisa merasakan cinta dan kasih sayang dan ingin mengenyam
ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T. berfirman dalam surat Ar-Ruum ayat 21 :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ
أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم: ٢١(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS. Ar-Ruum; 21)
Dalam pandangan Islam, keluarga atau
rumah tangga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan
atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluargalah yang memiliki
andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar
bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan
mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor
taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama
untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga
sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru.[1]
Seseorang laki-laki
maupun perempuan dalam naungan keluarga akan menikmati perasaan memiliki
kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَي عَنْهُ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْمَنَ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.) رواه البخارى(
Artinya : Abdullah bin Mas’ud R.A. menceritakan bahwa Nabi saw berkata :Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara
kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya. (HR. Bukhari).[2]
Dari itu, ada dua catatan penting
yang perlu kita garis bawahi:
Pertama, Insting seksual yang menginginkan
lawan jenis bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun
ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan jalan dipraktikkan
dalam koridor manhaj Ilahi dan sebatas untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta
menjauhkan masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian insting
seksual. Islam juga bukan pendukung seks bebas. Masyarakat moderen di sekitar
kita dewasa ini melepas-bebaskan syahwat mereka secara liar di mana nilai-nilai
moral yang luhur, kehormatan diri, dan rasa malu tak lagi diperhatikan. Yang
mengerti akan kesakralan nilai-nilai adiluhung tersebut hanyalah kaum Muslimin.
Kedua, Wasiat Rasulullah S.A.W. bagi mereka
yang tak mampu menanggung konsenkuensi pernikahan untuk berpuasa sepatutnya
tidak diartikan sebagai upaya untuk mengalangi keberlangsungan hidup insting
seksual. Sebab, hal itu sama sekali bukan maksud dan tujuan dari hadis
Rasulullah S.A.W. di atas. Namun, hikmah luhur yang terkandung di dalamnya
adalah bahwasanya puasa merupakan wadah seorang Muslim untuk belajar arti
kesabaran, ketabahan, keinginan yang cerdas dan kesadaran beragama.
Dengan demikian, kita bisa katakan, bahwa pernikahan
mempunyai tujuan besardan asasi sebagai sarana melanggengkan hikmah utama di
dalamnya. Yakni, kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia. Allah
S.W.T. berfirman, "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan
cucu-cucu." Oleh karena itu, seorang wanita sangat direkomendasikan untuk
menjadi sosok yang wadûd dan walûd. Maksudnya, ia harus punya cinta, kasih
sayang, dan kesetiaan, di samping potensi besar untuk melahirkan keturunan.
Dengan kedua predikat tersebut, ia pun telah mengumpulkan dua kebaikan.
Karena hikmah luhur inilah, pembentukan
keluarga merupakan sunnah para Nabi, doa para Rasul, dan harapan kaum muttaqîn.
Allah S.W.T. telah mengkaruniakan keluarga dan keturunan kepada para Nabi-Nya.
al-Qur'an mengajari kita doa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yang
merupakan barisan makluk-Nya terpilih, yang berbunyi, "Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa."Bila doa ini kita cermati, tampak bahwa hamba-hamba Allah Yang
Maha Penyayang tidak puas hanya dengan menjadi orang-orang yang bertakwa saja. Mereka juga memohon agar diri mereka
dan keturunan mereka menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Inilah doa
yang niscaya membuat diri kita berambisi tinggi meraih karunia Allah. Oleh karena itu,
jika kita meminta, kita mesti meminta surga Firdaus tertinggi.”[3]
Islam menganjurkan kaum Muslimin untuk memiliki kekayaan
bukan karena kekayaan itu, namun haruslah didasari atas keinginan untuk meraih
ridha Ilahi. Al-Qur'an yang mulia sudah menjelaskan kepada kita patokan umum
untuk mengarungi kehidupan dunia ini melalui kisah Qârûn ketika memperoleh
nasihat dari kaum ulama di zamannya. Al-Qur'an menuturkan:
وَنَزَعْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً
فَقُلْنَا هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ فَعَلِمُوا أَنَّ
الْحَقَّ لِلَّهِ وَضَلَّ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ, إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ
وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ
مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ
لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ, وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ, قَالَ إِنَّمَا
أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ
مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعاً
وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ, فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ
الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ
لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ, وَقَالَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الصَّابِرُونَ, فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن
فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ
وَمَا كَانَ مِنَ المُنتَصِرِينَ) القصص: ٨١-٧٥(
Artinya:
Sesungguhnya Qârûn adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap
mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaaan harta yang
kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: 'Janganlah kamu terlalu bangga;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianm075. Dan Kami datangkan
dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami berkata "Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu", maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu kepunyaan Allah
dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan. Sesungguhnya
Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan
Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika
kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Karun
berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa
itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun
kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki
kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Karun ; sesungguhnya ia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang
yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah
adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak
diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar". Maka Kami
benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam
bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).(Qs.
Al-Qashash : 75-81)
Atas dasar inilah kita memahami ayat tersebut. Harta dan
anak-anak dipandang oleh al-Qur'an sebagai hiasan kehidupan dunia. Al-Qur'an
membolehkan umat Islam untuk memiliki keduanya dan bekerja keras untuk meraih
keduanya dalam batasan-batasan syara' serta dengan usaha manusiawi yang tak
semena-mena, tanpa harus melampaui batas, bermegah-megahan, ataupun menimbulkan
kerusakan di muka bumi.
Ketika jiwa manusia berpaling dari manhaj Ilahi, fitnah
harta akan timbul dari penumpukannya yang melalui jalan tidak halal dan
penggunaannya untuk hal-hal yang tidak diperkenankan agama. Fitnah anak-anak
juga akan muncul dengan jauhnya mereka dari kebaikan, penyimpangan moral
mereka, dan pelanggaran mereka terhadap keharaman-keharaman yang telah
ditetapkan Allah. Namun, apabila anak-anak tumbuh dan terdidik di atas manhaj
Islami dan mengetahui keutamaan lalu menapaki jalan-jalan kebaikan, maka
anak-anak seperti itu merupakan kemuliaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua.
Rasulullah S.A.W. bersabda:
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع له أو ولد صالح يدعو له) رَوَاهُ مُسلِمٌ.(
Artinya:
Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus kecuali
tiga perkara: sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau ilmu yang bermanfaat,
atau anak saleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslem)[4]
Secara ringkas dapatlah kita simpulkan bahwa hikmah
perkawinan adalah sebagai berikut:
- Memelihara kelangsungan jenis
manusia.
- Untuk melanjutkan dan
memelihara keturunan.
- Menjadi media menyalurkan
dorongan-doronganalami melalui saluran yang sehat dan bertanggungjawab.
- Memberikan ketenangan jiwa.
- Memelihara masyarakat dari
kemerosotan moral.
- Menghaluskan rasa keibuan dan
kebapakan.
[1]
Khairiyah Husain Thaha, Konsep Ibu Teladan: Kajian Pendidikan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002),hal. 67.
[2]
Aidh al-Qarni, Bulughul Maram Hadits Pilihan Hukum (terj.Zacky
Mubarak,), Cet. I, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2006) , hal. 285.
[3] Abu
Mohd Rosyid Ridho, Wanita Sholihah: Ciri-ciri dan Fungsinya, (Medan:
Hikmah, 1985), hal. 89.
[4]
Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (terj. Agus Hasan Hasri), cet. II (
Surabaya: Duta Ilmu, 2004), hal: 181.