Hukum Perkawinan Menurut al-Qur’an dan Hadist
BAB III
HIKMAH LARANGAN MENGAWINI WANITA MUSYRIKAH MENURUT PENDIDIKAN ISLAM
A.
Hukum Perkawinan Menurut al-Qur’an dan
Hadist
Berdasarkan perintah nikah dari
beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam
nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga
menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang
kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum
melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah:
Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan
berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga
telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga,
baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental,
kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam
lubang perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap
jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar
larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.
Adapun hukum perkawinan dalam Islam
adalah sebagai berikut:
a).
Wajib kawin Seorang wajib hukumnya
kawin, bila dia mempunyai keinginan yang kuat mempunyai kemampuan material,
mental dan spritiual untuk melaksanakan kewajiban selama dalam perkawinan dan
adanya kekhawatiran apabila ia tidak kawin akan mudah tergelincir untuk berbuat
zina.
b).
Perkawinan yang Sunnat Perkawinan
hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban tetapi bila ia
tidak kawin tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Alasan hukum berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. yang menganjurkan
perkawinan. Hal ini terdapat dalam surat An-Nahl ayat 72 Allah
berfirman:
وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً
وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللّهِ
هُمْ يَكْفُرُونَ)
النحل :٧٢(
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri
dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ? (QS.
An-Nahl: 72).
Kebanyakan ulama berpendapat hukum dasar perkawinan
adalah “sunnat”. Ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan
adalah “mubah”. Ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib
dilakukan orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan
berbuat zina apabila tidak kawin.
c).
Perkawinan yang haram. Bagi orang yang
belum berkeinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
tanggung jawab dalam kelangsungan perkawinan, dan apabila dipaksakan kawin akan
berakibat menyusahkan dan penderitaan bagi isterinya, maka hukumnya menjadi
haram. Nabi saw mengajarkan : “Jangan melakukan suatu perbuatan yang berakibat
menyusahkan diri sendiri & orang lain.”
d).
Perkawinan Makruh Perkawinan hukumnya
makruh, bagi seseorang yang mampu dari segi materiil, cukup daya tahan mental
dan agama, tetapi ada kekhawatiran tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk
memberikan nafkah batin, meskipun tidak berakibat menyusahkan isterinya. Imam
Al-Gazali mengatakan bahwa Suatu perkainan bila dikhawatirkan berakibat
mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat kerja dalam bidang
ilmiah maka hukumnya lebih makruh.
e).
Perkawinan yang mubah Bagi orang yang
mampu dari segi materiil, dan fisik dan apabila ia tidak kawin tidak ada
kekhawatiran berbuat zina maka hukumnya mubah. Perkawinan dilakukan hanya
sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kesenangan bukan untuk tujuan membina
keluarga serta keselamatan hidup beragama. Catatan: Salah satu tujuan
diciptakannya Hukum Islam adalah untuk memelihara keturunan. Karenanya
diciptakan Hukum Perkawinan.[1]