Kajian Teoritis Tentang Pendidikan Rumah Tangga
BAB II
KAJIAN TEORITIS
TENTANG PENDIDIKAN RUMAH
TANGGA
A. Pengertian dan
Tujuan Pendidikan Rumah Tangga
Masalah
pendidikan merupakan masalah yang dinamik, merupakan issu yang selalu muncul (recurrent
issues). Di negara-negara maju maupun yang sedang berkembang, pendidikan
diselenggarakan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkwalitas sesuai
dengan kebutuhan pembangunan dan pasaran kerja. Disamping itu lebih ideal lagi
untuk mencerdaskas bangsa dalam rangka mengangkat derajat dan martabat mereka
sebagai manusia. “Dalam bahasa Qur’ani disebut sebagai Khaira Ummat
(Manusia utama)”[1].
Dengan demikain berarti pendidikan merupakan asset besar dalam pembangunan
ummat, ikut menetukan kwalitas “kepribadian muslim peradaban” manusia termasuk
“hitam putihnya” dinamika ekonomi, politik, ekologi, sosial budaya, dan
masalah-masalah hidup dan kehidupan manusia[2].
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah Usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian muslim, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan
negara.[3].
Selanjutnya masih dalam buku yang sama
pasal 5 ayat 1
disebutkan bahwa, “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”[4].
Untuk
mewujudkan tujuan pendidikan tersebut diperlukan keterlibatan semua pihak
termasuk di dalamnya keluarga sebagai peletak dasar-dasar pendidikan bagi
setiap anak. Adapun kata “Keluarga” secara etimologi menurut K.H.Dewantara
adalah: rangkaian perkataan-perkataan ‘kawul’ dan ‘warga’. Sebagaimana
diketahui, maka ‘kawul’ itu tidak lain artinya dari pada ‘abdi’ yakni “hamba”
sedangkan “warga” berarti “anggota”. Sebagai “abdi” didalam “keluarga” wajiblah
seseorang di situ menyerahkan kepentingan-kepentingannya kepada keluarganya.
Sebaliknya sebagai “warga” atau “anggota” ia berhak sepenuhnya pula untuk ikut
mengurus segala kepentingan didalam keluarganya tadi.[5]
Kalau ditinjau dari ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil
yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni
kesatuan antara ayah ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari
bentuk-bentuk kesatuan masyarakat.[6]
Dengan demikian
pendidikan keluarga adalah juga pendidikan masyarakat, karena disamping
keluarga itu sendiri sebagai kesatuan kecil dari bentuk kesatuan-kesatuan
masyarakat, juga karena pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada
anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakt
kelak. Dengan demikian nampak adanya satu hubungan erat antara keluarga dengan
masyarakat.
Anak lahir
dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Orang tua tanpak
ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat
sebagai pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina
maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas
kodrati dari tiap-tiap manusia.
Oleh karena itu
norma-norma pada anggota-anggota keluarga, baik ayah ibu maupun kakak-kakaknya
dapat berpengaruh terhadap anak . Maka orang tua di dalam keluarga harus dan
merupakan kewajiban kodrati untuk memperhatikan anak-anaknya serta mendidiknya,
sejak anak-anak itu kecil, bahkan sejak anak-anak itu masih dalam kandungan.
Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas sama sekali dari
kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang pendidikan yang legal. Bahkan
menurut Imam Ghozali. “ Anak adalah suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya”.[7]
Anak adalah anggota keluarga, dimana orang tua adalah pemimpin keluarga,
sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan khususnya di
akhirat.
Kebiasaan orang
tua dan anggota keluarga yang lain dalam hal kesusilaan/akhlak adalah sebagai
sebuah tuntunan atau kebiasaan yang ada
dalam keluarga akan ditiru di masa dewasa tanpa rasa berat dan akan terjadi
setiap saat bagi anak sejak usia dini. Lebih dari itu terdapat juga pertalian
emosional antara anak, orang tua dan kanak-kanaknya, yakni turut berduka cita
jika orang tuanya berduka cita dan akan merasa bahagia jika orang tuanya
berbahagia. Begitulah keadaan saling pengaruh-mempengaruhi antara anak dengan
orang tuanya dan anggota keluarga lainnya, sampai kepada keadaan emosional.
Jelaslah bahwa
keluarga itu merupakan ajang pertama dimana sifat-sifat kepribadian muslim anak
bertumbuh dan terbentuk. Seorang anak akan menjadi warga masyarakat yang baik
sangat bergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga dimana
anak dibesarkan. Kelak, kehidupan anak tersebut juga mempengaruhi masyarakat
sekitarnya sehingga pendidikan keluarga itu merupakan dasar terpenting untuk
kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun pada masyarakat.
Karena keluarga
adalah merupakan ajang dimana sifat-sifat kepribadian muslim anak terbentuk
mula pertama, maka dapatlah dengan tegas kami katakan, bahwa keluarga adalah
sebagai alam pendidikan pertama. Anak yang lahir dalam keluarga yang selalu
membiasakan berbuat baik, biasanya menghasilkan pribadi anak yang baik. Dan
sebaliknya anak yang lahir dalam keluarga yang selalu membiasakan
perbuatan-perbuatan yang tercela biasanya menghasilkan pribadi yang tercela
pula.
Ahmad Shalaby
mengutip pendapatnya Imam Ghazali mengenai keadaan anak sebagai berikut:
Dan anak itu sifatnya menerima semua yang dilukiskan dan condong pada semua
yang tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik, maka
anak itu akan tumbuh atas kebaikan itu dan akan hidup berbahagia di dunia dan
akhirat. Dan kedua orang tua serta semua guru-gurunya dan pendidik-pendidiknya
akan mendapat kebahagiaan pula dari kebahagiaan itu. Tetapi jika dibiasakan
berbuat jahat dan dibiarkan beguti saja, maka anak itu akan celaka dan binasa.[8]
Maka yang
menjadi ukuran dari ketinggian (nilai/kemajuan) anak itu ialah terletak pada
yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya “. Atas dasar keterangan
tersebut, maka dapatlah diformulasikan bahwa pendidikan agama berpangkal juga
di dalam keluarga, sedang lingkungan keluarga buat tiap-tiap orang adalah
merupakan wahana pendidikan yang pertama atau pendidikan dasar.
Lapangan
pendidikan Islam identik dengan ruang lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan
sekedar proses pengajaran (face to face), tetapi mencakup segala usaha penanaman (internalisasi)
nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut dapat dilaksanakan
dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina dan
mengembangkan kepribadian subjek didik. “Tujuannya adalah agar terwujudnya
manusia muslim yang berilmu, beriman dan
beramal salih. Usaha-usaha tersebut dapat dilaksanakan secara langsung ataupun secara tidak langsung”.[9]
Dalam
bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti
mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan,
membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang. Pemahaman yang lebih
rinci mengenai tarbiyah ini
harus mengacu kepada substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman
dan kepribadian. Karena itu pendidikan
Islam harus dibangun dari perpaduan istilah 'ilm
atau 'allama (ilmu, pengajaran). 'adl (keadilan), 'amal (tindakan), haqq
(kebeenaran atau ketetapan hubungan dengan
yang benar dan nyata, nuthq
(nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau
intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat
(tanda-tanda atau symbol), tafsir dan
ta'wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung
dalam istilah adab.[10]
Secara
keseluruhan definisi yang bertemakan
pendidikan rumah tangga itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan rumah tangga adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina
anak-anak yang dilakukan secara sadar
dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara herarkhis bersifat ideal bahkan
universal. Tujuan tersebut dapat
dijabarkan pada tingkat yang lebih
rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, berpokok ajaran,
sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan pendidikan rumah tangga.[11]
Keluarga Muslim
merupakan keluarga-keluarga yang telah “tercerahkan” dan mempunyai tanggung
jawab yang paling besar, terutama dalam mendidik generasinya dan
generasi-generasi berikutnya untuk mampu menghindarkan dari perbudakan materi.
Karena lingkup masyarakat yang lebih luas telah terjebak dalam pola hidup
materialisme, dan secara tidak disadari bahwa sebagian besar keluarga Islam
juga telah tercemari olehnya, dan ini merupakan kendala, maka keluarga-keluarga
Islam yang sadar wajib membina generasi penerusnya untuk dididik menjadi
“khalifah-khalifah” pengendali materi, bukan menjadi budak materi.
Dalam
memperbaiki sebuah masyarakat, Islam tidak pernah merusak apa yang telah ada,
tetapi menyingkirkan hal-hal yang membuat masyarakat itu tidak baik. Ketika Rasulullah
Muhammad Saw. Diperintahkan untuk memperbaiki akhlak umat manusia, terlebih
dahulu beliau memperbaiki akhlak masyarakat yang hidup di dekatnya. Tidak ada
perintah untuk menghancurkan Ka’bah, pada masa itu, yang dipenuhi
berhala-berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy. Rasulullah Saw.
Membimbing masyarakat Arab dengan dakwahnya yang meyakinkan bahwa manusia hanya
patut menyembah Allah, tidak menyembah kepada selain Allah. Dan untuk menyembah
Allah, tidaklah patut dengan mempersekutukan Allah dengan keyakinan kepada
tuhan lain. Konsep tauhid itulah yang pertama diajarkan oleh Rasulullah saw.
Setelah konsep tauhid disampaikan kepada masyarakat Arab, turunlah ayat-ayat
yang mengatur masalah kemasyarakatan dan tata peribadatan. Dengan pengertian lain,
yang paling pokok dalam ajaran Islam adalah pendidikan masyarakat, terutama
pendidikan keluarga yang menjadi inti dalam pembentukan sebuah masyarakat.[12]
Sementara itu,
tujuan pendidikan rumah tangga dalam Islam mempunyai tujuan umumnya adalah
menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, mengingat Islam adalah
risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama
turunnya Islam. Tujuan strategis ini, sesuai dengan firman Allah sebagai
berikut:
اِنْ
هُوَ اِلاَّ ذِكْرٌ لْلعَالَمِيْنَ (التكوير: ٢٧)
Artinya: Al-Qur'an tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta
alam. (Qs. at-Takwir: 27).
Bahkan
sebelum turun ayat ini keharusan da'wah merupakan tugas untuk memperingatkan
seluruh manusia terhadap kufur dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma Allah, dengan
meneladani Muhammad sebagai Rasul.[13] Di
samping itu secara rinci tujuan pendidikan rumah tangga dalam Islam adalah: pertama,
untuk membentuk akhlak yang mulia, karena akhlak inti pendidikan rumah tangga
untuk mencapai akhlak yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua,
Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan rumah tangga
bukan hanya menitikberatkan pada
keagamaan saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua-duanya. Ketiga,
Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal
dengan prefosionalisme. Tujuan ini adalah menyiapkan anak-anak dari segi
propesionalisme, supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan
pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi
kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan semangat ilmiah pada
anak-anak dan memuaskan keingintahuan (curiosity) dan memungkinkan ia
mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. [14]
Rumah keluarga
muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan
Islam. Yang dimaksud dengan keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan
aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam,
menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan terpenting dari pembentukan keluarga
adalah sebagai berikut:
Pertama, mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah
tangga. Kedua, Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologi. Ketiga, mewujudkan sunnah Rasul dengan melahirkan
anak-anak saleh sehingga Rasul merasa bangga dengan kehadiran kita. Keempat,
memenuhi kebutuhan cinta kasih anak. Kelima, menjaga fitrah anak agar
tidak melakukan peyimpangan-penyimpangan.[15]
Dalam pandangan
Islam, anak adalah amanat yang dibebankan oleh Allah Swt. kepada orang tuanya.
Oleh karena itu, harus menjaga, memelihara, dan mendidik serta menyampaikan
amanah itu kepada yang berhak menerimanya. Karena manusia adalah milik Allah Swt.
mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada
Allah Swt.
Dalam kaitan
ini pula menurut Abdurahman An-Nahlawi orang tua pendidik berkewajiban
melakukan dua langkah yaitu:
Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat
Allah, serta semangat mencari dalil dalam mengesakan Allah Swt. melalui tanda
kebesaran-Nya. Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai
penyimpangan- penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri
anak[16].
Secara psikologi tujuan pendidikan rumah tangga dalam Islam adalah:
Pertama, pendidikan
akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan kejadian
langit dan bumi agar dapat beriman kepada Allah. Kedua, menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat terutama
pada manusia karena Islam adalah agama fitrah sebab ajarannya tidak asing dari
tabi'at manusia, bahkan ia adalah fitrah yang manusia diciptakan sesuai
dengannya. Ketiga, menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka
sebaik-baiknya, baik lelaki maupun perempuan. Keempat, berusaha untuk menyeimbangkan segala
potensi-potensi dan bakat-bakat manusia.[17]
Berdasarkan
gambaran di atas dapat dipahami, bahwa dalam Al-Qur'an tujuan pendidikan rumah
tangga adalah: pertama, mengarahkan
manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya,
yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan
kehendak Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan
tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada
Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga,
membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki
ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung
tugas pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak
mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi kekahlifahannya. Kelima,
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
B.
Ruang Lingkup Pendidikan Rumah Tangga dalam Islam
Pendidikan rumah tangga merupakan salah satu bentuk pendidikan
agama Islam yang diajarkan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan rumah tangga ini termasuk salah satu
pendidikan terpenting dalam mengembangkan wawasan keagamaan anak, karena dengan
memberikan pendidikan rumah tangga, maka anak-anak dapat mengetahui hal-hal
yang berkaitan langsung dengan pengabdian manusia kepada Khaliknya.
Oleh karena itu, secara garis besar, pendidikan rumah tangga
mempunyai ruang lingkup sebagai berikut:
a. Hubungan
manusia dengan Allah Swt.
Hubungan vertikal antara manusia
dengan Khaliknya mencakup dari segi aqidah yang meliputi: iman kepada Allah,
iman kepada Malaikat-malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-rasul-Nya,
iman kepada hari Akhir, dan iman kepada Qadha Qadar-Nya.[18]
b. Hubungan
manusia dengan manusia.
Materi yang diberikan dalam
pendidikan rumah tangga meliputi: akhlak dalam pergaulan hidup sesama manusia,
kewajiban membiasakan berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain,
serta menjauhi akhlak yang buruk.[19]
c. Hubungan
manusia dengan alam sekitarnya.
Materi pendidikan rumah tangga yang
berhubungan dengan hubungan manusia dengan alam sekitar meliputi akhlak manusia
terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan dalam arti luas, maupun makhluk hidup selain manusia, yaitu binatang
dan tumbuh-tumbuhan.[20]
Proses pendidikan dalam rumah tangga menurut Islam mempunyai
fungsi dan peranannya yang amat luas, baik di dalam tujuan pokok maupun di
dalam tujuan sementara. Karena hal tersebut menyangkut keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah Swt sudah sejak awal menjadi ciri dan unsur pokok umat manusia.
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan
adanya keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha
Pencipta segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan
sebenarnya, tiada Tuhan selain Dia”.[21] Dalam
sebuah hadits diterangkan bahwa:
عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ
سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا
رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ
. قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ (رواه مسلم)[22]
Artinya: Abu Amar atau Abu Amrah
Aufan bin Abdullah Rasulullah saw berkata: wahai Rasulullah, katakanlah
kepadaku satu perkataan dalam Islam yang tidak akan pernah aku tanyakan kepada
selain engkau”. beliau bersabda,“katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian
beristiqamah. (HR. Muslim)
Keyakinan yang teguh dan mantap
terhadap Allah, kemudian dijabarkan kepada rukun-rukun iman yang lain, yaitu
beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab (samawi), para Rasul alaihimussalam,
iman kepada adanya hari Kiamat serta Qadha dan Qadar Allah, yang kemudian
membentuk aqidah Islamiah yang kuat dan mantap didalam setiap muslim.
Akan tetapi konsep iman yang
dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada
Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan
“mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Saw. dan para
sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi Saw. disebut muslimin, karena mereke
berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka
terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan para ulama”.[23]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka mereka disebut
dengan ahlul hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah
(kelompok yang dimenangkan), dan firqah an-najah (golongan yang
selamat).[24]
Oleh karena itu, mempelajari aqidah akhlak merupakan suatu kewajiban bagi kaum
muslimin yang hendak beriman kepada secara teguh kepada Allah Swt.
Demikian juga dengan akhlak sebagian dari pelajaran pokok
yang diajarkan dalam aqidah akhlak menyangkut masalah-masalah akhlak dan
moralitas dengan mengangkat cerita-cerita kesabaran dan ketabahan Nabi Saw. dalam menghadapi segala macam
cobaan, maka dapatlah diketahui pembinaan akhlak dan moralitas merupakan hal
yang sangat diutamakan disetiap masyarakat sejak dahulu sampai sekarang,
terutama dalam upaya pembinaan manusia seutuhnya dan pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas.
Akan tetapi penekanan terhadap pembentukan akhlak dan
moralitas di dalam masyarakat tidak hanya bersifat teoritis, yakni memahami dan
menguasai ajaran-ajaran akhlak dan moral yang terdapat di dalam kitab-kitab
akhlak dan tasawuf, tetapi lebih diutamakan aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari, dengan mengamalkan dan menjalankan apa saja yang telah
diketahuinya itu sehingga menjadi kebisaaan yang mewarnai sikap dan prilakunya.
Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh sikap dan prilaku masyarakat
intelektual.
Namun, penerapan akhlak dan moralitas yang dipaparkan di
dalam pendidikan rumah tangga pada umumnya lebih mengarah kepada kesabaran dan
ketabahan yang erat hubungannya dengan konsep hidup wara’ yang dimanifestasikan
dengan hidup tenggang rasa, khusyu’, tawadhu’, sabar dan lain sebagainya.
Wara’ adalah konsep hidup yang dipraktekkan oleh Rasulullah
Saw. dengan menerima apa yang diberikan
Allah Swt. dengan mensyukuri
segala nikmat yang diberikan-Nya. Dengan sikap wara’ tersebut, maka manusia
akan dapat mengambil manfaat yang besar dalam kehidupannya, sebab wara’ akan
menuntun manusia untuk hidup dalam keadaan selalu bersyukur.
Sementara itu Nabi Muhammad Saw. itu sendiri diutus oleh Allah Swt. bertujuan untuk
menyempurnakan akhlak manusia yang pada masa itu telah jauh merosot melebihi
hewan. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut:
عن إبن مسعود قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: نَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ (رواه أبوداود)[25]
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud berkata Rasulullah
Saw: sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia (H.
R. Abu Daud)
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka terlihat dengan
jelas bahwa diutusnya Rasulullah Saw. ke alam dunia ini tak lain dan tak bukan
adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
C.
Bentuk-Bentuk Pendidikan Rumah Tangga dalam Islam
Ajaran yang dibawakan oleh Nabi-nabi
sejak awal hingga lahirnya agama Islam, selalu menjaga martabat kemanusiaan
agar tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan menyamai martabat binatang.
Tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi-Nabi, betul-betul terjadi di kalangan
manusia, di mana mereka saling merusak dirinya dengan berbagai macam kedhaliman
bahkan nabinya juga dimusuhi, dengan alasan bahwa dialah yang
menghalang-halangi kebebasan mereka melakukan hal-hal yang dikehendakinya.
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ اْلمُؤْمِنِ
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ (رواه أبو داود)[26]
Artinya: Tidak ada sesuatu amalan
yang berat timbangan pada hamba daripada akhlak yang baik (H. R. Abu Daud)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ (الذرية: 56)
Artinya: Dan tidak Aku
menciptakan jin dan manusia melainkan mereka hanyalah untuk menyembah-Ku
(adz-Dzariyat: 56)
Dilihat dari seruan nabi dalam Al-Qur'an yang selalu
mengajak umatnya menyembah Allah, karena keadaannya manusia saat itu sudah
terlalu sesat dalam kemusyrikan, bahkan sudah terlampau jauh dari kedudukan
manusia sebagai hamba Allah, sehingga makin bergeser dari kedudukannya sebagai
khalifah di bumi ini, yang seharusnya bertugas untuk menyembah-Nya, serta untuk
memakmurkan dunia beserta seluruh penghuninya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui pendidikan keluarga dalam
Islam, maka perlu diuraikan bahwa ada tiga macam sendi Islam yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya sehingga kualitas seorang muslim selalu
dapat diukur dengan pelaksanaannya terhadap ketiga macam sendiri tersebut, yang
mencakup:
1.
Pendidikan aqidah, yang meliputi enam macam
rukun iman, dengan kewajiban beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, hari kiamat-Nya, dan Qadar baik serta Qadar buruk yang telah
ditentukan-Nya.
2.
Pendidikan syari’ah, yang meliputi pengabdian
hamba terhadap Tuhan-Nya, yang dapat dilihat pada rukun Islam yang lima, dengan
kewajiban mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji di Baitullah. Dan
muamalah juga termasuk masalah syari’ah yang meliputi perkawinan, pewarisan,
hubungan perkonomian, masalah ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dan
kewajiban manusia dan sebagainya.
3.
Pendidikan Akhlak, yang meliputi hubungan baik
terhadap Allah Swt. terhadap sesama manusia serta terhadap seluruh makhluk di
dunia ini.[27]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat pahami bahwa
pendidikan keluarga merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan manusia
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Hanya manusialah yang dituntut untuk
berakhlak mulia di antara makhluk ciptaan Allah Swt. lainnya. Hal ini
dituntut dari manusia, karena ia di samping diciptakan dalam bentuk dan rupanya
yang terindah, juga diberikan akal untuk memilih, menilai dan membandingkan
antara baik, buruk atau benar dan salah dalam kehidupannya.
Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ (رواه
البخارى)[28]
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati
tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya. (HR. Bukhari)
Perbuatan-perbuatan iman terkadang
terkait dengan hak-hak Allah, seperti mengerjakan kewajiban-kewajiban dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Dan termasuk dalam cakupan
perbuatan-perbuatan iman, ialah berkata yang baik atau diam dari selainnya.
Perbuatan-perbuatan iman juga terkadang terkait dengan hak-hak hamba Allah,
misalnya memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan tidak menyakitinya. Ketiga
hal itu diperintahkan kepada seorang mukmin, salah satunya dengan mengucapkan
perkataan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek. Berkenaan dengan hadits tersebut di
atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak yang mulia bertetangga yang baik itu
akan mendatangkan rahmat Allah. Hal tersebut dalam hadits ini secara rasio dapat diterima,
karena akhlak yang baik akan mendapatkan banyak kawan dan disukai orang
sehingga semua kesulitan dapat dipecahkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan keluarga sangat penting dalam kehidupan umat manusia, karena
pendidikan keluarga yang berhubungan dengan akhlak merupakan salah satu
pengetahuan yang mengatur secara langsung hubungan manusia dengan Tuhannya,
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.
D.
Fungsi Pendidikan Islam dalam Pembinaan Rumah Tangga
Pelaksanaan pendidikan agama dalam
lingkungan keluarga kaitannya dengan pembentukan akhlak adalah dengan
melaksanakan pendidikan agama yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak yang terdiri dari perkembangan anak usia balita, usia sekolah
dasar dan remaja. Bentuk pelaksanaan pendidikan selain dengan memberikan secara
teoritis tentang akhlak juga harus disertai dengan contoh teladan kepada anak
oleh orang tua, maka faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan
agama dalam keluarga terdiri dari faktor internal yaitu faktor yang berasal
dari lingkungan keluarga itu sendiri seperti kondisi keluarga yang harmonis
atau tidak, tidak berjalannya fungsi dan peran masing-masing anggota keluarga,
baik ayah, ibu dan anak, tingkat ekonomi keluarga yang rendah dan sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar lingkungan
keluarga yaitu masyarakat, lingkungan sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi informasi dan komunikasi[29].
Secara umum prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu
haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Dihubungkan dengan pendidikan keluarga, strategi dapat diartikan sebagai
pola-pola kegiatan ayah-anak dalam perwujudan pendidikan agama untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.[30]
Fungsi pendidikan Islam dalam membina keluarga merupakan
suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang berguna bagi agama,
nusa dan bangsa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan secara optimal
agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi,
kegiatan pengajaran tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai
tujuan pengajaran. Namun demikian, prinsip-prinsip pendidikan semua pendidikan
sama saja, termasuk terhadap prinsip pendidikan anak.
Hal tersebut dikarenakan belajar mengajar adalah suatu
kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna
membelajarkan anak didik. Orang tua yang mengajar dan anak didik yang belajar.
Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan
memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya. Di sana semua bentuk pendidikan
diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan yang telah
ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Sebagai orang tua tentunya sudah menyadari apa yang
sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar mengajar yang dapat
mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di sini tentu saja tugas orang tua
berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu, memberikan pengetahuan agama bagi seorang
anak menghendaki hadirnya sejumlah prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak
selamanya memerlukan seorang guru. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan
seseorang anak di luar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung
menyendiri dan tidak terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang lain,
apalagi aktifitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku.
Sebenarnya semua halnya yang menyangkut dengan memberikan
pendidikan kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur,
mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong anak-anak melakukan belajar. Oleh karena itu, Nana
Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses
memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar”.[31]
Oleh karena itu, sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar
mengajar anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
1. Pembelajaran
memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
2. Ada
suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
3. Kegiatan
pendidikan ditandai dengan penggarapan metode yang khusus.
4. Ditandai
dengan aktifitas anak sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak
bagi berlangsungnya kegiatan belajar.
5. Dalam
kegiatan belajar orang tua harus berperan sebagai pembimbing.
6. Dalam
kegiatan belajar membutuhkan kedisiplinan.[32]
Melihat realitas tersebut di atas, maka di sini penulis
merumuskan prinsip-prinsip pendidikan anak sebagai berikut:
1. Memelihara
dan membesarkan anak. Inilah prinsip paling sederhana
dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup
manusia.
2. Melindungi
dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai penyakit dan
dari penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah
hidup dan agama yang dianutnya.
3. Memberikan
pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki
pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4. Membahagiakan
anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup
muslim.[33]
Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam
menerapkan pendidikan Islam juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan
pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan
prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu,
untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang
berlaku secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
[2] Muhammad
Yasin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Alternatif Solusi Dipentas Millenium
III), dalam Jurnal “Madania” Edisi I No. 4 Juni 1999, STAIN Kediri. hal. 41.
[4] Ibid,
hal. 6.
[5] Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
hal. 162.
[6] Ibid., hal. 162.
[8] Bachtiar
Affandie, Akhlak Percetakan
Perdana, Cet. 2, (Jakarta: Penerbit
Jambatan), 1960, hal. 42.
[9]M.
Nasir Budiman, Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani
Press, 2001), hal. 1.
[10]Khursyid Ahmad,
Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, terj. A.S Robith, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.
[11]Abudin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000),
hal. 292.
[12]
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 34.
[13]Abdul
Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988),
hal. 119.
[14]Azis
Abbas, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal. 71.
[15] An-Nahlawi,
Pendidikan....., hal. 39.
[16] Ibid., hal. 40.
[17]Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal. 61.
[18]Zakiah
Daradjat, Garis-Garis Besar Pendidikan Rumah tangga, (Jakarta: Bina
Aksara, 1996), hal. 2.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut: Wasyirkah al-Halabi
al-Babi, 1953), hal. 122.
[22]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri,
t.t.), hal. 85.
[23]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.),
hal. 65.
[24]Ibid., hal. 66.
[25]Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mesir: Dar al-Kutub, 1956), hal. 76.
[26]Abu
Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 173.
[27]Mahmud
Syaltut, Aqidah dan Syari’ah, Terj. KH. Ali Yafie, (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1990), hal. 55.
[28]Al-Mawardi,
Adab al-Dunya wa al-Dina, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 237.
[29] Abdul
Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan
Watak Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005), hal. 39.
[30]
Djamarah, Strategi...., hal. 5.
[31]Nana
Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar
Baru, 1991), hal. 29.
[32]Djamarah
, Strategi ..., hal. 46-49.
[33]Daradjat,
Ilmu ..., hal. 38.