Kedudukan Sekretaris Desa Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


Setelah melewati perjalanan yang lumayan panjang, sejak awal era reformasi hingga sekarang ini akhirnya pengaturan mengenai pemerintahan desa kembali dibingkai dengan undang-undang tersendiri, tidak lagi disatukan dengan undang-undang pemerintahan daerah. Pada tahun 2014 diundangkan undangundang baru yang mengatur pemerintahan desa yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan mulai berlakunya undang-undang baru ini, ketentuan pengaturan mengenai pemerintahan desa yang terdapat di dalam Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga pengaturan tentang pemerintahan desa hanya terdapat di dalam undang-undang baru itu.

Pada bagian “menimbang” di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisonal dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kemudian, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan. Sehingga desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dalam undang-undang.

Di dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa, memang dalam perjalanan sejarah telah ditetapkan beberapa pengaturan mengenai desa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pengaturan tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa yang hingga saat ini berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) desa.

Selain itu, pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keagamaan, partisipasi masyarakat serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antar wilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terdiri dari XVI Bab dan 121 Pasal, sehingga pengaturan mengenai desa tidak terbatas pada hal-hal yang sangat pokok saja sebagaimana pengaturan pada undang-undang sebelumnya, yaitu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di dalam Bab V undang-undang tersebut, merupakan bab yang substansinya mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa. Disebutkan di dalam Pasal 23 bahwa penyelenggara pemerintahan desa adalah Pemerintah Desa.

Pemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu dengan perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain. Sebagai unsur pembantu kepala desa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa, perangkat desa terdiri dari Sekretariat Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 menjabarkan bahwa sekretariat desa dipimpin oleh sekretaris desa yang bertugas membantu desa dalam bidang administrasi. Di dalam menjalankan tugasnya, sekretris desa dibantu oleh unsur staf sekretariat yang maksimal terdiri dari tiga bidang urusan.

Jika melihat peraturan terkait Sekretaris Desa pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peraturan di dalam undang-undang desa yang baru ini memberikan ketentuan yang berbeda. Ketentuan di dalam undang-undang desa yang baru ini tidak mensyaratkan sekretaris desa diisi dari PNS. Artinya, sekretaris desa diposisikan kembali sebagai bagian dari perangkat desa sebagaimana perangkat desa yang lain, yang kewenangan pengangkatannya ada pada kepala desa.

Jika pengangkatan sekretaris desa dikembalikan sebagaimana pengangkatan perangkat desa yang lainnya, maka tidak lagi terdapat pertanggung jawaban ganda yang harus dijalankan oleh sekretaris desa sebagaimana sebalumnya, yakni sekretaris desa harus bertanggung jawab kepada kepala desa sebagai pimpinan pemerintah desa dan kepada pejabat daerah yang mengangkatnya, dalam hal ini yaitu bupati/walikota.

Perubahan ketentuan tersebut, mengembalikan citra sekretaris desa dalam pandangan masyarakat sebagai “pamong desa”, yang menururt Soetardjo Kartohadikoesoemoe, mereka adalah “kepala-kepala kecil” yang mempunyai pengaruh dan perbawaan luar biasa bagi masyarakat desa. Lebih lanjut, Soetradjo juga berpendapat bahwa anggota-anggota pemerintah desa lazimnya diangkat dari kalangan penduduk desa yang cakap dan berpengaruh. Mereka dapat diangkat dengan jalan pilihan, penetapan oleh Kepala Desa maupun diangkat oleh wedana atas usulan Kepala Desa.

0 Comments