Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kepemimpinan Dalam Supervisi


JUDUL           : Kepemimpinan Dalam Supervisi



A.    Teori Kepemimpinan

1.     Teori Sifat
Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan  bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P Siagian (1994:75-76) adalah:
-        pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan;
-        sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif;
-        kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif. 
Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain : terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin; justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan.
2.     Teori Perilaku
Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku:
a.      konsiderasi dan struktur inisiasi
Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri  ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.
b.     berorientasi kepada bawahan dan produksi
perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan.
Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja.
Kecenderungan perilaku pemimpin pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner, 1978:442-443)
3.     Teori Situasional
Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129) adalah
-        Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas;
-        Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan;
-        Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan;
-        Norma yang dianut kelompok;
-        Rentang kendali;
-        Ancaman dari luar organisasi;
-        Tingkat stress;
-        Iklim yang terdapat dalam organisasi.

B.    Struktur Organisasi
Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu (boundaries), dengan demikian seseorang yang mengadakan hubungan interaksi dengan pihak-pihak lain tidak atas kemauan sendiri, mereka sendiri, mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur di dalamnya dan berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian tugas untuk menjalankan sesuatu fungsi tertentu.
Setiap organisasi mempunyai struktur yang berbeda yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anggotanya. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan pengorganisasian antara lain adalah: membagi pekerjaan yang harus dilakukan menjadi departemen-departemen dan jabatan yang terperinci, membagi-bagi tugas dan tanggung jawab berkaitan dengan masing-masing jabatan, mengkoordinasikan berbagai tugas organisasi, mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan ke dalam unit-unit, membangun hubungan di kalangan individu, kelompok, dan departemen, menetapkan garis-garis wewenang formal, mengalokasikan dan memberikan sumber daya organisasi.
Struktur organisasi adalah salah satu sarana yang digunakan manajemen untuk mencapai sasarannya. Karena sasaran diturunkan dari strategi organisasi secara keseluruhan, logis kalau strategi dan struktur harus terkait erat, tepatnya struktur harus mengikuti strategi. Jika manajemen melakukan perubahan signifikan dalam strategi organisasinya, struktur pun perlu dimodifikasi untuk menampung dan mendukung perubahan ini. Sebagian besar kerangka strategi dewasa ini terfokus pada tiga dimensi, inovasi, minimalisasi biaya dan imitasi dan pada desain struktur yang berfungsi dengan baik untuk masing-masing dimensi.
Stuktur organisasi menentukan bagaimana pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal.  Ada enam elemen kunci yang perlu diperhatikan oleh para manajer ketika mereka hendak mendesain struktur organisasi mereka. Keenam elemen tersebut adalah spesialisasi kerja, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi serta formalisasi.

-        Spesialisasi pekerjaan. Sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi dibagi-bagi ke dalam beberapa pekerjaan tersendiri.
-        Departementalisasi. Dasar yang dipakai untuk mengelompokkan pekerjaan secara bersama-sama. Departementalisasi dapat berupa proses, produk, geografi, dan pelanggan.
-        Rantai komando. Garis wewenang yang tanpa putus yang membentang dari puncak organisasi ke eselon paling bawah dan menjelaskan siapa bertanggung jawab kepada siapa.
-        Rentang kendali. Jumlah bawahan yang dapat diarahkan oleh seorang manajer secara efisien dan efektif.
-        Sentralisasi dan Desentralisasi. Sentralisasi mengacu pada sejauh mana tingkat pengambilan keputusan terkonsentrasi pada satu titik di dalam organisasi. Desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi.
-        Formalisasi sejauh mana pekerjaan-pekerjaan di dalam organisasi dibakukan.

C.    Peran dan Fungsi Kepemimpinan
Peran Pemimpin adalah :
1.     Peran huhungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2.     Fungsi Peran informal sebagai monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3.     Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator.

Fungsi kepemimpinan yaitu : Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
1.     Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanaan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
2.     Fungsi sebagai Top Manajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing, commanding, controling, dsb.
Dalam upaya mewujudkan kepemimpinan yang efektif, maka kepemimpinan tersebut harus dijalankan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hadari Nawawi (1995:74), fungsi kepemimpinan berhubungn langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada didalam, bukan berada diluar situasi itu Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian didalam situasi sosial keiompok atau organisasinya.

D.    Variabel dalam Iklim Sekolah
Iklim sekolah (Organizational Climate) pertama kalinya dipakai oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi (psychological climate). kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh R. Taguiri dan G. Litwin, yang mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana perilaku muncul: lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya (culture), suasana (athmosphere),  situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behavior setting) dan kondisi (conditions) (Wirawan, 2007:121).
Keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal dan eksternal. Iklim sosial-psikologis secara internal adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah. Misalnya: iklim sosial antara siswa dengan siswa; antara siswa dengan guru; antara guru dengan guru bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Sekolah yang memiliki hubungan yang baik secara intetnal akan berdampak pada motivasi belajar siswa. Iklim sosial-psikologis secara eksternal adalah keharmonisan hubungan antara pihak sekolah dengan dunia luar. Misalnya: hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya. Iklim ini akan menambah kelancaran progam-progam sekolah sehingga upaya-upaya sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran akan mendapat dukungan dari pihak lain.