Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Konsep Pendidikan Sosial dalam Islam


A.    Konsep Pendidikan Sosial dalam Islam
     
Konsep Pendidikan Sosial dalam Islam

Pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses mendidik, yakni proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam lingkungannya sehingga akan menimbulkan perubahan dalam dirinya, yang dilakukan dalam bentuk pembimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Sehingga pengertian dari sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik itu individu atau kelompok dengan sekolah sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan. Pendidikan sosial adalah penjelasan tentang sikap manusia dan cakupannya terkait dengan masyarakat tempat ia bergabung dan berpartisipasi. Baik jamaah itu lingkupnya kecil seperti masyarakat atau yang lebih besar seperti dunia secara keseluruh. Juga berati penjabaran tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan,  serta hal-hal yang mengatur hubungan ini, berupa ketetapan sosial seperti agama, keluarga, akhlak, budaya, politik, ekonomi, pemikiran,  perilaku, adat istiadat dan kebiasaan.
Salah satu konsep kunci Islam sebagai sebuah agama berbasis sosial dalam konsep tentang komunitas. Tidak ada keraguan bahwa Islam bertujuan menciptakan suatu komunitas sosial yang berkeadilan, yaitu suatu komunitas yang di dalamnya dimungkinkan melaksanakan hukum kemanusia dan hukum ketuhanan, tidak hanya hukum-hukum yang mengatur perilaku individu tetapi juga hukum-hukum sosial. Dalam perdebatan antara pihak yang menekankan keutamaan masyarakat atas individu dan pihak yang menekankan kepentingan individu di atas masyarakat, maka pendidikan, dalam hal ini, mengambil jalan tengah dan menganggap bahwa pertengahan itu timbul disebabkan oleh dikotomi yang tidak benar. Tidak ada masyarakat tanpa individu dan tidak ada individu yang dapat hidup tanpa masyarakat.                
Islam mendorong untuk berinteraksi sosial ditengah manusia lainnya. Dalam berbagai ibadah ritual Islam terkandung makna simbolik yang berimplementasi sosial. Hubungan sosial manusia dalam ajaran Islam bukan hanya suatu yang berdiri sendiri atau fenomena prilaku semata melainkan suatu rangkaian aktifitas fisik rohaniah. Rangkaian aktifitas tersebut merupakan panduan antara hubungan manusia dengan Allah (Habl minAllah) dan hubungan antar manusia (Habl min al-Nas).
Dalam pandangan Islam, masyarakat terdiri atas individu laki-laki dan perempuan yang membentuk komunitas bangsa (syu’ub) dan suku (qaba’il), dan setiap individu dalam komunitas sosial mempunyai potensi konflik. Namun dikarenakan setiap individu juga mempunyai kelemahan dalam menghadapi persoalan, dan didukung dengan adanya keinginan untuk memnuhi kebutuhan hidup dan kesenangan terhadap lawan jenis serta harta benda. Maka setiap individu melakukan interaksi untuk saling menutupi kelemahan dan saling melengkapi kebutuhannya.[1] Sesuai dengan kandungan firman Allah dalam surat al Hujurat ayat 13 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ) الحجرات: ١٣(
Artinya:  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Qs. Al-Hujarat: 13).

Ayat di atas menegaskan bahwa bahwa ajaran moral tersebut lebih menekankan pada keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan egalitarianisme (anggapan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat). Keadilan dan egalitarianisme ini nampak pada setiap ayat di dalam al Qur’an. Bahkan ajaran rukun Islam yang jumlahnya ada lima sekalipun sasaran akhirnya adalah komunitas yang berkeadilan sosial dan berprinsip egalitarian. Misalkan saja shalat diwajibkan kepada setiap muslim, tanpa memandang status sosialnya.[2]
Dalam Islam penyerahan total kepada Allah akan melahirkan bentukbentuk prilaku positif manusia yang membawa implikasi sosial. Maka akan melahirkan manusia yang bersifat utuh dan integratif yaitu sikap merdeka yang hanya tunduk kepada Allah serta akan menghindarkan manusia dari sikap homo homini lupus tetapi melahirkan homo hominisosius. Perilaku masyarakat seperti inilah merupakan gambaran masyarakat modern yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yakni memandang manusia lain sebagai bagian dari dirinya sendiri.[3]
Fakta sosial menunjukan bahwa sebagian masyarakat ada yang dapat menikmati hidup dengan banyak kemudahan dan fasilitas yang serba nyaman. Akan tetapi, terdapat sekelompok masyarakat yang serba kekurangan dengan fasilitas yang serba minim selama menjalani kehidupan. Untuk itu Islam memerintahkan kepada orang yang lapang untuk membantu saudaranya yang ditimpa musibah atau kesusahan atau penderitaan. Hingga dalam Islam mempunyai konsep sendiri terkait kepedulian sosial. Berikut adalah konsep pendidikan kepedulian sosial menurut Islam:
1.     Menuju ke jalan taqwa
2.     Mencapai kebijakan sempurna
3.     Menciptakan persatuan
4.     Mengarah kepada keharmonisan
5.     Pengaruh aqidah Islam dalam kepedulian sosial
6.     Hubungan aqidah Islam dengan kepedulian sosial[4]

Konsep di atas tidak hanya sebagai hal teoritis saja, namun akan menjadi suatu landasan dalam melakukan suatu kepedulian sosial, sehingga implementasi menjadi sangat urgen sebagai bukti eksistensi konsep tersebut.



               [1] M.F. Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif al Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hal. 22-23.
               [2] Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika Sosial, (Jakarta: Aneka Ilmu, 2003),
hal. 90.
               [3] Prahara, Erwin Yudi,  Materi pendidikan agama Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Stain Po
Press. Press Group, 2009), hal. 409.
               [4] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 19.