Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Lingkungan dan Tanggungjawab Pendidikan


A.    Lingkungan dan Tanggungjawab Pendidikan               

Lingkungan dan Tanggungjawab Pendidikan

Pengertian lingkungan menurut Sartain (ahli pisikolog Amerika) yang dimaksud dengan lingkungan yaitu “meliputi kondisi dan alam dunia yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan perkembangan atau life processes.”[1] Pengertian lingkungan menurut Zakiah Darajat mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal adat istiadat, pengetahuan pendidikan dan alam. dengan kata lain lingkungan ialah “segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, ia adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia atau alam yang bergerak,  kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang.”[2] Menurut Abuddin Nata bahwa Lingkungan pendidikan islam adalah “suatu institusi atau lembaga dimana pendidikan itu berlansung yang terdapat didalamnya ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan islam dengan baik”.[3]
Berbicara lingkungan pendidikan Islam berarti kita akan berbicara keluarga , sekolah, dan masyarakat. Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Orang tua yaitu orang-orang yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak. Menurut Hery Noor Aly orang tua adalah “ibu dan ayah dan masing-masing mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pendidikan anak”.[4] Dalam hal ini Zakiyah Darajat mengemukakan bahwa “orang tua adalah pembina pribadi utama dalam hidup anak”.[5] Sedangkan M. Syafaat Habib mengatakan bahwa “Orang tua menempati tempat pertama dan orang tualah yang mula-mula memperkenalkan adanya Tuhan kepada anaknya, kemudian mengajarkan shalat, puasa dan sebagainya”.[6]
Tanggung jawab pendidikan dalam islam adalah dengan dilaksanakannya kewajiban mendidik. Pengertian mendidik atau pendidikan dalam pengertian yang umum adalah menumbuhkan dan mengembangkan potensi jasmaniah dan rohaniyah anak didik atau seseorang untuk mendapatkan nilai-nilai atau norma-norma tertentu.Kegiatan pendidikan tersebut dapat berlangsung di dalam keluarga, sekolah, media massa, pemerintah dan diri sendiri. Lembaga – lembaga tersebut yang ikut bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik atau seseorang dalam perkembangan rohani dan jasmaniyah agar tercapai tingkat kedewasaan dan mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhuk Allah , makhluk sosial dan sebagai individu.
Ramayulis, Dkk, dalam bukunya Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa:
Lebih jauh keluarga berjalan mengharuskan ia menyelenggarakan sosialisasi, memberikan arah pendidikan, pengisian jiwa yang baik dan bimbingan kejiwaan. Pewarisan nilai kemanusiaan, yang minimal dikemudian hari dapat menciptakan manusia damai, anak shaleh yang suka mendoakan orang tua secara teratur, yang mengembangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat manusia yang mampu menjaga dan melaksanakan hak azasi kemanusiaan yang adil dan beradab dan yang mampu menjaga kualitas dan moralitas lingkungan hidup.[7]

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran orang tua merupakan suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab dalam satu keluarga, dalam hal ini khususnya peran terhadap anaknya dalam hal pendidikan, keteladanan, kreatif sehingga timbul dalam diri anak semangat hidup dalam pencapaian keselarasan hidup di dunia ini.
B.    Dimensi-Dimensi 


Zakiah Daradjat sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis dalam bukunya  Ilmu Pendidikan Islam membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah: dimensi, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan. Semua dimensi tersebut harus tumbuh kembangkan melalui pendidikan islam.       

                                                         
1.     Dimensi Fisik  

Pendidikan Jasmani/fisik adalah salah “satu segi pendidikan yang sangat penting, yang tidak dapat terlepas dari segi-segi pendidikan yang lain. Bahkan, dapat dikatakan bahawa pendidikan jasmani merupakan salah satu alat yang utama bagi pendidikan rohani”.[8] Di antara tanggung jawab lain yang dipikulkan Islam di atas pundak para pendidik dan orang tua adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah dan bersemangat.  “Bermain adalah suatu hal yang lumrah pada diri anak. Allah swt menjadikannya sebagai naluri dalam dirinya. Hal itu bertujuan agar tubuhnya tumbuh secara wajar, karena masa kecil manusia adalah masa kecil terpanjang dibandingkan masa kecil makhluk hidup lainnya”.[9]
Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibandingkan organisme-organisme makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses penciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan atau tumbuhan, sebab semuanya termasuk dari alam.   
Manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Secara garis besar ia membagi manusia menjadi dua dimensi yaitu dimensi fisik dan rohani. Secara rohani , manusia mempunyai potensi kerohanian yang terhingga banyaknya.
                     
2.     Dimensi Akal              

Yang dimaksud dengan pendidikan rasio (akal) adalah, “membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti: ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban, dan lain sebagainya”.[10] Al-Ishfahami, membagi akal manusia menjadi dua macam yaitu Aql Al-Mathhu’ merupakan akal yang menduduki posisi yang sangat tinggi, namun tidak bias berkembang tanpa adanya kekuatan dari akal lainnya, dan Aql al-masmu yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Keberadaan akal Aql al-masmu tidak dapat dilepaskan karena untuk mengarahkan agar akal tetap berada di jalan tuhannya. Akal ini bersifat aktif dan berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimlikinya lewat proses panca indera.[11]
Sedangkan fungsi akal manusia terbagi kepada enam yaitu:
Pertama, Akal adalah penahan nafsu. Kedua, Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi sesuatu baik yang tampak jelas maupun yang tidak jelas. Ketiga, Akal adalah petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan. Keempat, Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan. Kelima, Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Keenam, Akal adalah daya ingat mengambil dari masa lampau untuk masa yang akan dihadapi.[12]

Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, akal membutuhkan bantuan hati agar dapat memahami sesuatu yang bersifat gaib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang positif.   
3.     Dimensi Iman 

Hannan Athiyah Ath-Thuri dalam bukunya Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak menjelaskan bahwa pendidikan keimanan adalah “sinergi berbagai unsur aktifitas pedagogis; pengaitan anak-anak dengan dasar-dasar keimanan, pengakrabannya dengan rukun-rukun Islam, dan pembelajaran tentang prinsip-prinsip syariat islam”.[13] Pemahaman yang menyeluruh tentang pendidikan Iman ini hendaklah didasarkan kepada wasiat-wasiat Rasulullah. Dan petunjuk-petunjuknya di dalam menyampaikan dasar-dasar keimanan dan rukun-rukun Islam kepada anak. Sebagaimana petunjuk dan wasiat Rasulullah Saw. yaitu:
Pertama, Orang tua bertanggung jawab membimbing anaknya atas dasar pemahaman dan pendidikan Iman sesuai dengan ajaran Islam. Dengan cara membuka kehidupan anak dengan kalimat "Laa ilaha illa Allah" ketika lahir. Rahasianya adalah agar kalimat tauhid dan syiar masuk Islam itu menjadi yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak, kalimat pertama yang diucapkan oleh lisannya dan lafal pertama yang dipahami anak. Kedua yaitu, mengenalkan hukum halal dan haram. Rahasianya adalah agar ketika akan membukakan kedua matanya dan tumbuh besar, ia telah mengenal perintah-perintah Allah. Sehingga bersegera untuk melaksanakannya, dan mengerti larangan-larangan-Nya, sehingga ia menjauhinya. Apabila anak sejak memasuki masa baligh telah memahami hukum-hukum halal dan haram, disamping telah terikat dengan hukum-hukum syariat, maka untuk selanjutnya, Ia tidak akan mengenal hukum dan undang-undang lain selain Islam. Ketiga ialah, mengajarkan tata-cara beribadah (perintah shalat), kita dapat menyamakan dengan puasa dan haji. Kita latih anak-anak untuk melakukan puasa jika mereka kuat, dan haji jika bapaknya mampu. Rahasianya adalah agar anak dapat mempelajari hukum-hukum ibadah ini sejak masa pertumbuhannya. Sehingga ketika anak tumbuh besar, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berpegang teguh kepada-Nya, bersandar kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya. Di samping itu, anak akan mendapat kesucian rohani, kesehatan jasmani, kebaikan akhlaq, perkataan dan perbuatan di dalam ibadah-ibadah ini.Keempat adalah, mendidik anak untuk mencintai Nabi, ahlul baitnya, dan Alquran. Berbicara tentang cinta kepada Rasulullah Saw., dan ahli baitnya, perlu diajarkan pula kepada mereka peperangan Rasulullah Saw., perjalanan hidup para sahabat, kepribadian para pemimpin yang agung dan berbagai peperangan besar lainnya. Rahasianya adalah agar anak-anak mampu meneladani perjalanan hidup orang-orang terdahulu, baik mengenai pergerakan, pemikiran, kepahlawanan maupun jihad mereka, agar mereka juga memiliki keterkaitan sejarah, baik perasaan maupun kejayaannya: dan juga agar mereka terikat dengan Alquran, baik semangat, metode maupun bacaannya.[14]

Kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman diatas, berupa dasar-dasar pendidikan Iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, Ia hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, Alquran sebagai imamnya, dan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin dan tauladannya.
Keimanan yang diajarkan Agama Islam sangat penting artinya bagi kesehatan mental dan kebahagiaan hidup. Karena keimanan itu  memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi jiwa dan memelihara keseimbangannya serta menjamin ketentraman bathin           
4.     Dimensi Akhlak
Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah akhlak. Dalam Islam akhlak sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama. Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari dari awal muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung yang dekat yaitu diri dan tujuan jauh, yaitu ridha dari Allah Swt.[15]        
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa urgensi akhlak merupan suatu kepentingan akhlak. Dalam kehidupan sehari-hari akhlak itu sanagatlah makapenting diterapakan, terutama akhlak kepada Allah, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Akhlak terhadap Allah merupakan suatu kewajiban bagi manusia, seperti halnya kita menegrjakan suatu kewajiban manusia kepada Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, mengesakannya, beribadah kepadannya dan lain sebagainya.
5.     Dimensi Kejiwaan      

Pendidikan kejiwaan bagi anak dimaksudkan untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya bersikap berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak.[16] Tujuannya adalah membentuk, membina, dan menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika anak sudah mencapai usia taklif (dewasa), ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna. Sejak anak dilahirkan Islam telah memerintahkan kepada orang tua dan pendidik untuk mengajari dasar-dasar ilmu jiwa yang memungkinkan ia menjadi manusia yang berakal, berpikir sehat dan bertindak penuh pertimbangan dan berkemauan tinggi.
Adapun tujuan utama dari studi psikologi.
Pertama, agar seseorang mempunyai pemahaman yang baik tentang individu baik diri sendiri maupun orang lain. Kedua, dengan hasil pemahaman tersebut seseorang diharapkan dapat bertindak maupun memberikan perlakuan yang lebih bijaksana. Tindakan yang bijaksana menyangkut penggunaan cara atau metode yang tepat terhadap individu yang tepat, pada saat dan situasi yang tepat. Seseorang yang telah mempelajari psikologi diharapkan menjadi orang yang dapat mengerti dirinya dan mengerti orang lain serta dapat memberikan perlakuan yang bijaksana. Dengan perkataan lain seseorang yang telah mempelajari psikologi menjadi orang yang arif dan bijaksana.[17]

Tidak jauh berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani adalah “dimensi yang sangat penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidup bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna sebelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya”.[18]
Zakiah Daradjat, mengemukakan lima buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli:
Pertama, Kesehatan jiwa adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.Kedua, Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.Ketiga, Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat raguragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.Keempat, Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.Kelima, Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguhsungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.[19]

Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentreram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah swt. meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.
6.     Dimensi Keindahan    

Islam adalah agama kebahagiaan dan kemenangan, dan  bahwasanya Islam tidak membiarkan manusia dalam kesendiriannya, atau bersama keluarganya, atau bersama tetangganya, atau bersama saudara-saudara seagamanya, bahkan bersama manusia lainnya melainkan diajarkan kepadanya etika-etika secara detail, cara-cara  bergaul yang dapat menjadikan kehidupannya damai dan meraih kebahagiaan.
Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni adalah bagian dari hidup manusia. Allah swt. telah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga, dan lain sebagainya). Seni sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah swt.[20]

Oleh karena itu, memperhatikan keindahan agama ini, meneliti isinya berupa perintah dan larangan, syariat dan hukum, akhlak dan adab, merupakan motivator dan pendukung yang paling kuat untuk masuk ke dalamnya bagi yang belum beriman, dan untuk menambah keimanan bagi yang sudah beriman. Bahkan, semakin kuat  perhatiannya terhadap keindahan agama ini, semakin kokoh tapak kakinya dalam mengenal agama ini dan mengenal keindahan dan kesempurnaannya serta keburukan apa saja yang menyelisihinya, niscaya ia akan menjadi orang yang paling kuat keimanannya, yang  paling bagus keistiqamahannya dan komitmennya terhadap agama ini.
Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, ia semakin mampu untuk menyaksikan dan merasakan keindahan yang di ciptakan allah di alam. Islam tidak hanya mengajak manusia untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya tetapi juga menekankan agar manusia mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan.                        
7.     Dimensi Sosial-Kemasyarakatan
           
Pendidikan Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata'ala dan berakhlak mulia,serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.
“Membentuk jiwa sosial kemasyarakatan adalah interaksi anak dengan masyarakat disekitarnya, baik dengan orang dewasa maupun dengan anak-anak lain yang sebaya, agar anak dapat bersikap aktif yang positif, jauh dari malu dan sungkan yang tercela”.[21] “Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Sejak dilahirkan bayi sudah termasuk ke dalam suatu masyarakat kecil yang disebut keluarga”.[22] Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk sosial.
Menurut Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Sosial adalah “pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan bersumber pda akidah islamiyah yang abadi dan persaan keimanan yang mendalam, agar di masyarakat nanti ia biasa tampil dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan bijaksana”.[23] Melihat pengertian pendidikan sosial di atas, tampaknya Abdullah Nasih Ulwan lebih memberikan tanggung jawab pendidikan sosial ini kepada orang tua atau keluarga, karena orang tua merupakan pendidik utama bagi anak untuk membentuk kepribadian yang mulia dan keluarga adalah lingkungan yang mendominasi kehidupan anak dari kecil sampai dewasa.
Dimensi sosial bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum. Dalam dimensi sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong sesama serta menunjukkan keimanan kepada Allah swt.[24]
Anak-anak perlu dilatih bermasyarakat. Dikenalkan dengan orang-orang di sekitarnya, dilatih bagaimana cara bergaul yang benar, dan selalu berlaku baik kepada siapapun, menyayangi sesama, termasuk kepada makhluk-makhluk Allah yang lain di muka bumi ini. Menghormati yang lebih tua, membimbing yang lebih muda, dan memelihara hak orang lain, serta melaksanakan adab-adab sosial yang
mulia.






               [1] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet, II; (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 32.
               [2]Zakiah Daradjat dkk , Ilmu pendidikan..., hal. 63-64.
               [3]Habuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, cet.I; (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 111.
               [4] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, Wacana Ilmu,1999), hal. 88.
               [5] Zakiah Daradjat, Dkk,  Ilmu Pendidikan ...., hal. 56.
               [6] M. Syafa’at Habib, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), hal. 56.
               [7] Ramayulis, Dkk, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hal. 5.
               [8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosda karya, 1994), hal. 151.
               [9] Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting, Cara Nabi, hal. 481.
               [10] Ibid., hal. 270.
               [11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. VI; (Jakarta: Kalam Mulia, 2008). hal. 85
               [12] Ibid, hal. 86
               [13]Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), hal. 1.
               [14] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, Terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992),, hal. 152-154.

               [15] Ibid., hal. 88-89.
               [16] Ibid., hal. 324.
               [17] Nana Syaodih Sumadinata, Landasan Psikologis Pendidikan dengan Pendekatan Baru,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 455), hal. 44.
               [18] Ibid., hal. 90-91.
               [19] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 11-12.
               [20] Ibid., hal. 93-94.
               [21] Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting, Cara Nabi Mendidik Anak, (Yogjakarta: Pro-U Media, 2010), hal. 380.
               [22] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosda karya, 1994), hal. 170.
               [23] Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: CV. As-Syifa, 1981), hal. 391.
               [24] Ibid., hal. 95-96.