Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA


BAB III
 NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA


A.    Beriman Kepada Allah

Meyakini adanya yang gaib, yaitu percaya terhadap adanya Allah, dalam Islam merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena iman kepada Allah merupakan sendi keimanan yang pokok dan utama. Dalam Al-quran manusia diperintahkan untuk meyakini adanya yang gaib. Yang dimaksud dengan yang gaib ialah yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada adanya yang gaib, antara lain, percaya terhadap adanya Allah. Seperti tampak dalam Q.S. al-Baqarah: 3, yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ) البقرة: ٣(

Artinya:    (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(Qs. al-Baqarah: 3)[1]

Teks Al-quran tersebut merupakan dalil yang berhubungan dengan rukun iman pertama, yaitu meyakini adanya Allah. Keyakinan terhadap adanya Allah tersebut ternyata memiliki keterkaitan dengan teks yang terdapat dalam teks Ayat-Ayat Cinta. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta terkandung nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan pancaran dari percaya terhadap adanya Allah melalui tokoh Fahri.
Bertawakal kepada Allah merupakan pengakuan atau keyakinan terhadap adanya Allah. Hal tersebut bisa disimak dalam Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta dilukiskan tentang tokoh Fahri yang mencari ilmu keislaman dengan belajar membaca Alquran. Mencari ilmu keislaman di Mesir tidak mudah bagi mahasiswa Indonesia karena harus melawan panasnya suhu. Cerita novel Ayat-Ayat Cinta tersebut dimulai dengan gambaran keadaan suhu alam di Mesir yang panas dan gersang. Mengingat Fahri mahasiswa yang berasal dari Indonesia, tentu keadaan itu sangat menyiksa. Namun, dengan kemauan yang kuat dan sikap bertawakal kepada Allah, Fahri tetap berangkat untuk mengaji meskipun suhu udara di luar panas sekali disertai dengan angin kencang. Cuaca panas itu sempat membuat Fahri ragu untuk berangkat mengaji. Padahal, pengajian qira’ah sab’ah kepada Syaikh Utsman telah dijadwalkan setiap hari Rabu. Dengan menyebut nama Allah dan bertawakal kepada- Nya, Fahri pun berangkat mengaji. Hal tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini.
Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara terdengar mendesaudesau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana yang jauh dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu ’ala Allah, pelan-pelan kubuka pintu apartemen.[2]

Apa pun keadaannya, Fahri selalu bertawakal kepada Allah. Dengan bertawakal seperti itu, segala sesuatunya akan terasa menjadi ringan. Dengan mengucapkan Bismillah Tawakkaltu ’Ala Allah, yang artinya dengan menyebut nama Allah, Fahri pun menguatkan niatnya pergi mengaji. Dengan ucapan itu, ada kekuatan gaib yang menyelinap dalam jiwa Fahri untuk menggerakkan kakinya pergi mengaji. Padahal, tempat mengaji Fahri cukup jauh. Dia harus menempuh perjalanan sekitar 50 kilometer untuk sampai ke tempat ia mengaji. Dari gambaran tersebut, Islam menekankan bahwa hakikat tawakal itu adalah berikhtiar mengusahakan sebab dan menyerahkan akibatnya kepada Allah[3]. Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Tawakal harus diawali dengan bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin. Bertawakal merupakan refleksi keimanan kepada Allah yang berarti telah melakukan ikhtiar yang diikuti dengan penyerahan diri kepada-Nya atas apa yang akan menimpa pada diri nanti setelah adanya usaha itu. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang ingin disampaikan adalah agar umat Islam hanya bertawakal kepada Allah, tidak bertawakal pada ikhtiar.
Pesan untuk bertawakal seperti itu dalam novel Ayat-Ayat Cinta terurai sebagai berikut:
Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan sedemikan tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Aku teringat Syaikh Utsman agar selalu menjaga keikhlasan menerima takdir Ilahi setelah berusaha sekuat tenaga. Yang divonis salah dalam pengadilan dunia tidak selamanya salah di pengadilan akhirat. Kepala Nabi Yahya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dalam hati aku berdoa, jika aku harus mati di tiang gantungan, maka ”Allahuma Amitni Alasy Syahadati Fi Sabilik. Amin.[4]

Untuk selanjutnya, keberhasilan atas usahanya itu diserahkan kepada Allah. Dengan bertawakal kepada Allah, Fahri meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri dan istrinya sepenuhnya menjadi kehendak Allah, sebagaimana saran syaikh Ahmad kepada Fahri sebagai berikut.. Namun kau jangan kecil hati Fahri, di atas segalanya Allahlah yang menentukan. Daya dan kekuatan manusia tiada berarti apa di hadapan kemahakuasaan Allah. Jika Dia berkehendak apa pun bisa terjadi.[5]
Sikap bertawakal kepada Allah dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan transformasi nilai-nilai ajaran Islam, sebagaimana Q.S. At Taubah: 129, yang bunyinya sebagai berikut:
فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللّهُ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ) التوبة: ١٢٩(
Artinya:   Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku. tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (Qs. At Taubah: 129)[6]

Dari teks-teks al-quran di atas, dapat diketahui bahwa ternyata cerita Ayat-Ayat Cinta tentang bertawakal yang diperankan oleh Fahri merupakan pentransformasian dari Q.S. At Taubah: 129, Q.S. Ali Imran: 159 dan Q.S. Ath Thalaq: 3 sebagai hipogramnya. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam tentang harus bertawakal kepada Allah yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta itu merupakan pesan pengarang kepada pembaca bahwa sebagai manusia yang percaya terhadap adanya Allah selain harus berikhtiar juga harus disertai dengan bertawakal kepada Allah.
Berikhtiar adalah berupaya atau berusaha untuk mencapai tujuan. Manusia perlu berikhtiar agar segala sesuatu yang diinginkan tercapai. Orang sering mengartikan ikhtiar adalah sabar dan terkadang orang mendefinisikan sabar identik dengan pasrah. Padahal pengertian itu menurut pandangan Islam keliru. Sabar dalam pengertian Islam adalah berikhtiar, yaitu harus berusaha keras dengan semaksimal mungkin. Setelah berikhtiar dengan semaksimal mungkin, baru berserah diri kepada Allah atau bertawakal kepada Allah. Berserah diri setelah melakukan usaha, itulah yang disebut tawakal. Setelah ikhtiar, barulah manusia bertawakal kepada Allah, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya. Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam berikhtiar dan berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan kata-kata bertenaga Thomas Carlyle:” Seorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!” Peta hidup ini saya buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan. Ini bagian dari usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan.”[7]

Peta masa depan itu saya buat terus terang saja berangkat dari semangat spiritual ayat suci Alquran yang saya yakini. Dalam Surat Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali ia sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses dan gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengarsiteki apa yang akan saya raih dalam hidup ini.[8]

Dari kutipan itu tampak bahwa manusia perlu berikhtiar dan bertawakal kepada Allah karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali ia mau mengubah dengan dirinya sendiri. Begitu juga dengan Fahri dalam menentukan masa depannya agar terarah, dia membuat rancangan hidup ke depan. Rancangan hidup yang jelas itu akan mempermudah dalam menempuh tujuan hidupnya, sebagaimana dalam Q.S. Ar Raad: 11, yang bunyi dan artinya sebagai berikut.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ) الرعد: ١١(
Artinya:   Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.( Q.S. Ar Raad: 11)[9]

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri mengubahnya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya. Keterangan Alquran itu menggambarkan bahwa manusia perlu berikhtiar dan setelah itu baru bertawakal kepada Allah.Pernah juga nabi memberikan penjelasan tentang tawakal itu. Suatu hari nabi bertanya kepada sahabatnya, ”Mengapa untamu itu tidak diikat?” ”Sahabat menjawab, saya bertawakal kepada Allah. Lalu, nabi mengingatkan sahabat itu, ikat dulu untamu itu!” baru bertawakal kepada Allah. Penjelasan nabi itu mengisyaratkan bahwa ikhtiar perlu, kemudian baru bertawakal kepada Allah.
Ikhtiar juga merupakan manifestasi pendekatan diri manusia kepada Allah. Kutipan lain dalam Ayat-Ayat Cinta yang mencerminkan harus berikhtiar adalah sebagai berikut: ”Jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu dan kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri pada Allah agar semua masalah ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu, istriku.”[10]
Dari kutipan itu tampak bahwa Fahri menyuruh istrinya, Aisha, untuk menjaga diri baik-baik, menjaga kesehatan dan kandungannya. Hal itu merupakan bentuk dari ikhtiar. Setelah ikhtiar itu dilakukan, lalu mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa dan bertawakal kepada Allah. Perpaduan ikhtiar dengan tawakal itulah yang disebut sabar. Terkadang orang salah menafsirkan bahwa sabar itu adalah pasrah, berserah diri kepada Allah, tanpa ada usaha terlebih dahulu. Padahal, sabar yang dimaksud dalam Islam adalah sabar yang berlapis, yaitu sabar dengan ikhtiarnya dan sabar dengan tawakalnya.
Dengan meyakini bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan manusia, kecuali harus mengubahnya sendiri dengan cara berikhtiar. Dalam Ayat-Ayat Cinta, tokoh Fahri dan Aisha telah berikhtiar untuk mengubah keadaannya. Sebab, segala musibah yang menimpa manusia disebabkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. As Syuura: 30, yang bunyi dan artinyanya sebagai berikut:
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُّبِينٍ) الشعراء: ٣٠(
Artinya:   Musa berkata: "Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata ? (Qs. As Syuura: 30 )[11]

Pentransformasian Q.S. As Syuura: 30 ke dalam Ayat-Ayat Cinta ini merupakan nilai-nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan perlunya berikhtiar. Dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut, tentang perlunya berikhtiar merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak mau menjalankan nilai-nilai positif tersebut. Mereka hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah tanpa ada usaha sebelumnya. Tokoh Fahri dan Aisha digambarkan sebagai tokoh yang melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam tentang perlunya berikhtiar.
Sebaik-baik lisan adalah lisan yang selalu basah dengan mengingat Allah. Lisan yang mengingat Allah itu diwujudkan dengan cara berdoa kepada Allah karena berdoa itu merupakan ibadah. Teks Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri penuh dengan ajakan agar manusia senantiasa berdoa kepada Allah. Fahri merupakan sosok yang tidak terlepas dari mengingat Allah. Hidupnya diisi dengan kegiatan yang bernilai ibadah dengan cara berdoa kepada Allah. Dalam kehidupan Fahri, sebelum tidur dia selalu membiasakan berdoa terlebih dahulu. Hal itu tampak dalam kutipan-kutipan berikut ini. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan doa.[12]. Ketika ia bangun dari tidur dan akan melakukan setiap aktivitas diawali dengan ucapan bismillah dan diakhiri dengan hamdalah[13]. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, Fahri selalu mengingat Allah dengan berzikir kepada Allah, seperti ucapan Allahu akbar, laa ilaaha illallah, hamdalah, subhanallah, dan astagfirullah.[14].
Fahri juga memohonkan doa untuk ibu dan ayahnya agar mereka diberi rahmat dan kesejahteraan. Hal ini terlukis dalam kutipan berikut ini. Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda, dan ayahanda tercinta.[15]. Selain mendoakan orang tuanya, tidak lupa Fahri berdoa untuk kebaikan istrinya, Aisha, dan kebaikan dirinya, seperti tampak dalam kutipan berikut. Lalu kupegang ubun-ubun kepala Aisya dengan penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan Baginda Nabi, Allahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.[16]
Selesai salat aku membaca doa sebagaimana diajarkan Baginda Nabi dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, Allahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allahumma ijma’ bainana ma jama’ta, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.[17]
Berdoa kepada Allah seperti yang dilakukan Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang hipogramnya berasal dari Alquran. Firman Allah yang menunjukkan bahwa manusia diwajibkan berdoa kepada Allah terdapat dalam Q.S. Al Mu’min:60, yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ) المؤمنون: ٦٠(

Artinya:   Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (Qs. Al Mu’min:60)[18]

Pentransformasian Q.S. Al Mu’minun: 60 tersebut sebagai latar penciptaan novel Ayat-Ayat Cinta berfungsi mengingatkan manusia agar tidak berperilaku sombong. Manusia yang tidak mau berdoa adalah manusia yang sombong. Mereka merasa tidak perlu berdoa karena apa yang telah dicapainya itu seakan-akan hasil usahanya sendiri. Padahal, manusia yang beragama dianjurkan untuk berdoa sebagai perwujudan terhadap keyakinan adanya Allah.
Keyakinan terhadap adanya pertolongan Allah merupakan salah satu pesan yang disampaikan tokoh Fahri dalam novel Ayat-Ayat Cinta. Dengan kekuasan-Nya, Allah memberikan pertolongan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pesan yang demikian terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta, seperti tampak ketika Fahri mengadakan syukuran dengan teman-temannya karena proposal tesisnya diterima. Ungkapan rasa syukur itu diwujudkan Fahri dengan mengajak teman-temannya makan bersama. Saat makan bersama itu mereka bercerita tentang pengalamannya masing-masing. Hamdi, misalnya, mengisahkan pengalamannya yang menegangkan selama tersesat di lereng Gunung Lawu. Hamdi sangat yakin bahwa keselamatan dirinya dan kawan-kawannya itu atas adanya pertolongan Allah. “kami istirahat terlalu lama. Kami mengejar kelompok pertama. Sayang kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan terlunta selama dua hari dalam hutan Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah yang membuat kami tetap hidup.”[19]
Kutipan itu menguatkan bahwa keselamatan hanya diperoleh atas pertolongan Allah semata. Tanpa pertolongan-Nya mustahil mereka akan selamat dari peristiwa yang menurut perhitungan akal sudah tidak dapat terjangkau oleh kekuatan manusia. Keyakinan bahwa Allah memberikan pertolongan kepada umatnya yang dikehendaki juga merupakan keyakinan terhadap adanya Allah. Keyakinan adanya pertolongan Allah dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan pentransformasian dari Q.S. Yusuf: 86 yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ) يوسف: ٨٦(
Artinya: Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.( Qs. Yusuf: 86 )[20]

Pentransformasian Q.S. Yusuf: 86 itu sebagai hipogram novel Ayat-Ayat Cinta mengandung pesan agar manusia senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Hanya Allah-lah yang dapat memberikan pertolongan kepada makhluk yang dikehendaki-Nya. Nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam novel Ayat-Ayat Cinta terkait dengan ayat-ayat al-quran itu adalah bahwa manusia wajib hukumnya meminta pertolongan kepada Allah. Sebaliknya, kalau manusia meminta pertolongan selain kepada Allah, agama menghukuminya sebagai perbuatan musyrik atau menyekutukan-Nya.
Kata sabar mengandung makna ikhtiar. Kata sabar juga mengandung pengertian ikhlas, yaitu ihklas menerima semua keputusan Allah. Allah akan memberikan ujian kepada manusia, baik ujian itu berupa kelapangan maupun kesempitan. Manusia biasanya tidak sabar dan merasa tidak ikhlas apabila diberi ujian dalam kesempitan. Sebaliknya, manusia sering lupa kepada Allah apabila diberi kelapangan. Padahal, keduanya merupakan ujian dari Allah. Manusia sering tidak tahan dalam menghadapi berbagai cobaan yang diberikan Allah. Sabar dalam novel Ayat-Ayat Cinta digambarkan dengan bagaimana tokoh Fahri dalam menghadapi cobaan. Ia difitnah telah memerkosa Noura. Akibat dari fitnahan itu, Fahri harus mendekam di penjara. Ia didakwa akan dihukum mati dengan cara dihukum gantung sesuai dengan hukum yang berlaku di Mesir.
Gambaran tentang harus ikhlas dan sabar dalam menerima cobaan dari Allah tampak ketika Fahri sedang berada di dalam penjara. Kemudian, ia dikunjungi oleh Syaikh Utsman dan Paman Eqbal. Keduanya menasihati Fahri agar ikhlas dalam menerima cobaan dari Allah, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Kau harus ikhlas menerima cobaan ini. Kau tidak boleh sedikit pun merasa ragu akan kasih sayang Allah. Dan Nabi Yahya itu kepalanya dipenggal untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Husein, cucu Baginda Nabi, juga dipenggal kepalanya ditancapkan diujung tombak dan diarak di Kota Kufah. Mereka tetaplah manusia-manusia mulia meskipun kelihatannya dinistakan dan dihina. Orang yang divonis salah oleh pengadilan dunia belum tentu salah di pengadilan akhirat dan sebaliknya. Dekatkanlah dirimu kepada Allah!”[21].

Kehadiran Syaikh Utsman dan paman Eqbal memberikan nasihat kepada Fahri bahwa cobaan itu datang dari Allah. Apa pun yang terjadi merupakan ketentuan dari Allah. Nasihat itu semakin menguatkan Fahri dalam menghadapi berbagai cobaan terhadap dirinya. Dalam menghadapi cobaan tersebut, manusia harus sabar dan ikhlas sambil mendekatkan diri kepada Allah. Kesabaran Fahri
dalam menghadapi cobaan itu tampak juga dalam kutipan berikut ini: “Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan demikian tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa”[22].
Kutipan itu menggambarkan keikhlasan dan kesabaran Fahri kepada Allah Yang Mahakuasa. Cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada dirinya merupakan ujian yang harus dihadapi dengan ikhlas dan sabar. Fahri berkeyakinan bahwa ujian itu datang dari Allah dan diberikan kepada orang-orang pilihan. Ia berkeyakinan semakin mendekatkan diri kepada Allah semakin kencang ujian yang harus dihadapinya. Bukankah ada keterangan bahwa belum termasuk orang yang beriman apabila belum diuji oleh kesempitan dan penderitaan. Fahri meyakini bahwa orang yang diuji oleh Allah adalah orang yang sedang diuji keimanannya. Bukankah emas yang diuji kadar keemasannya, sedangkan perak, tembaga, atau yang lainnya tidak diuji? Hal itu menandakan bahwa orang yang diuji oleh Allah adalah orang yang berharga di hadapan Allah. Fahri meyakini bahwa Allah beserta orang-orang yang sabar, sebagaimana dalam Q.S Al Baqarah: 153 Adapun bunyi dan arti dari ayat-ayat Alquran itu adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ) البقرة: ١٥٣(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu , sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.                   ( Qs. Al Baqarah: 153)[23]

Ayat-ayat al-quran tersebut sebagai latar penciptaan novel berfungsi sebagai pengingat bagi orang-orang yang sedang menerima ujian. Segala persoalan yang mendera manusia harus dihadapi dengan sabar. Dalam menghadapi cobaan, tokoh Fahri tetap sabar dengan mendekatkan diri kepada Allah. Padahal, cobaan yang dihadapinya merupakan cobaan yang sangat berat, yaitu ia difitnah menghamili Noura. Kemudian, karena fitnah itu, ia diseret ke pengadilan untuk dihukum mati di tiang gantungan. Akan tetapi, dalam menghadapi cobaan yang berat itu Fahri tetap sabar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam novel Ayat-Ayat Cinta memberikan gambaran bahwa dalam menghadapi cobaan seberat apa pun manusia harus tetap sabar dengan cara berikhtiar sambil mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai orang yang beriman kepada Allah, cobaan seberat apa pun akan terasa menjadi ringan.
Novel Ayat-Ayat Cinta mengangkat tema tentang keyakinan adanya Allah. Seperti tampak yang digambarkan melalui tokoh Fahri yang meyakini bahwa Allah itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher dan dari jantung yang berdetak. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini:
Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir. Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher dan mataku. Juga mengusap keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan Yang Maha Penyayang. Dia terasa begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari jantung yang berdetak[24].

Kutipan itu mengungkapkan kedekatan Sang Khalik dengan makhluknya. Bahkan, diibaratkan kedekatan Allah dengan manusia itu diibaratkan lebih dekat dari urat leher. Untuk mendekatkan diri kepada Allah itu dengan melalui ibadah kepada Allah dengan cara melaksanakan salat. Fahri melaksanakan salat diawali dengan mengucapkan takbir (Allahu Akbar), Allah Mahabesar. Ucapan takbir itu merupakan ucapan yang mengagungkan Allah sehingga dirinya merasa kecil di hadapan-Nya. Dengan mengaku diri merasa kecil di hadapan Allah itu, maka akan lebih mendekatkan kepada Allah yang Mahakuasa. Dengan meyakini kekuasaan-Nya itu, Fahri merasa tenang dan tenteram karena Allah itu dekat, lebih dekat dari urat leher. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al Baqarah: 186, yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ) البقرة: ١٨٦(
Artinya:     Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs. Al Baqarah: 186)[25]

Pentransformasian ayat al-Quran tersebut sebagai hipogram atau latar penciptaan Ayat-Ayat Cinta memberikan pesan sebagai gambaran bahwa Allah itu dekat. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut terkait dengan pengakuan yang meyakini bahwa Allah itu dekat.
Kecintaan Fahri kepada Allah di atas segalanya. Hal tersebut tergambar dari pernyataan Fahri saat melukiskan orang yang kehausan di tengah sahara. Ketika kehausan yang paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar dahaga. Hal itu seperti tampak dalam doa Baginda Nabi, seperti dalam kutipan Ayat-Ayat Cinta berikut ini: “Ya Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga dan air yang dingin”.
Aisha sangat mencintai suaminya, Fahri. Akan tetapi cinta ia terhadap suaminya itu tidak melebihi cintanya Aisha kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini.
Sama, aku pun sangat mencintaimu, Suamiku. Rasanya tak ada bahasa yang sanggup mewakili besarnya rasa cintaku padamu setelah Allah dan Rasulnya, Kaulah yang paling kucinta. Kaulah harta yang paling berharga. Harta dan kekayaan bisa dicari tapi suami yang saleh dan memiliki rasa cinta sedemikian tulus dan bersihnya seperti dirimu adalah karunia Allah Azza wa Jalla[26].

Gambaran tokoh Fahri dan Aisha yang mencintai Allah di atas segalanya dalam Ayat-Ayat Cinta itu merupakan pentransformasian dari nilai-nilai ajaran Islam dengan hipogramnya Q.S. At Taubah: 24, yang bunyi dan artinya adalah sebagai berikut:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ) التوبة: ٢٤(

Artinya:   Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At Taubah: 24)[27]

Ayat tersebut di atas merupakan sindiran Allah terhadap orang-orang yang lebih mencintai sesuatu dari pada Allah. Mereka lebih mencintai bapak-bapaknya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, isteri-isterinya, keluarganya, harta kekayaannya, perniagaannya, dan tempat tinggalnya dari pada mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, ayat tersebut mengajak manusia agar mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Hal tersebut digambarkan dalam novel Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri yang mempunyai istri cantik, kekayaan yang melimpah, dan mempunyai ilmu yang tinggi. Namun, istri yang cantik, kekayaan yang melimpah, dan ilmu yang tinggi itu tidak menyurutkan Fahri untuk mencintai Allah di atas segala-galanya. Nilai-nilai ajaran Islam yang dipesankan dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut mengajak pembaca untuk mencintai Allah di atas segalanya.
Maria merupakan gambaran tokoh secara fisik termasuk gadis yang berparas cantik. Selain kecantikannya, Maria juga mempunyai akhlak yang baik dan sangat taat pada ajaran agamanya. Maria memeluk agama Kristen Koptik. Hal itu tampak dalam kutipan berikut ini.
Nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis. Berasal dari keluraga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen Koptik yang sangat taat.[28]

Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun ia suka pada Al-Quran. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Quran. Di antaranya surat Maryam.[29]

Di balik keyakinan dan ketaatan Maria terhadap agamanya, Maria juga mengakui bahwa Alquran lebih dimuliakan daripada kitab-kitab lain. Seperti tampak dalam kutipan berikut ini.
Bahkan jujur kukatakan, Alquran jauh lebih dimuliakan dan dihargai daripada kitab suci lainnya. Ia lebih dihargai dari pada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.[30]

Bahkan aku saja, yang seorang Koptik suka kok menghafal Alquran. Bahasanya indah dan enak dilantunkan, ”cerocosnya santai tanpa ada keraguan”.[31].

Maria meyakini bahwa Alquran adalah kitab yang paling mulia. Dia juga menyenangi al-Quran dan bisa menbacanya. Bahkan ia suka menghapal al-Quran, tetapi Maria tetap saja beragama Kristen Koptik. Ia belum mau memeluk agama Islam meskipun sering membaca dan menghapal Alquran. Oleh karena ia belum mendapat hidayah dari Allah. Hanya Allahlah yang menentukan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan hidayah-Nya. Hal tersebut seperti tampak dalam kutipan di bawah ini:
Sebab hanya Allah saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut diberi hidayah. Abu Thalib adalah paman nabi yang mati-matian membela dakwah nabi. Cinta nabi pada Beliau sama dengan cinta pada ayah kandungnya sendiri. Tapi masalah hidayah hanya Allah yang berhakmenentukan. Nabi tidak bisa berbuat apa-apa atas nasib sang paman yang amat dicintainya itu. Juga hidayah untuk Maria. Hanya Allah yang berhak memberikannya.[32]

Kutipan itu menggambarkan bahwa Abu Thalib tidak masuk Islam. Padahal ia adalah paman Nabi yang hidup serumah dan ia juga yang membesarkan Nabi dengan penuh kasih sayang. Abu Thalib juga yang telah membela dakwah Nabi ketika Nabi diserang oleh musuh-musuhnya. Meskipun demikian, paman Nabi tidak tertarik untuk memeluk agama Islam. Hal itu menunjukkan bahwa seorang nabi pun tidak dapat memberi hidayah karena hidayah adalah hanya milik Allah semata.
Gambaran tentang keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat memberi hidayah dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan hasil pentransformasian dari nilai-nilai ajaran Islam dengan hipogram Q.S. Fatiir: 1 yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلاً أُولِي أَجْنِحَةٍ مَّثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ) فاطر: ١(

Artinya:   Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. Fatiir: 1)[33]

Ayat-ayat tersebut di atas menggambarkan bahwa hidayah itu milik Allah. Manusia tidak bisa memberikan hidayah kepada seseorang. Manusia hanya bisa mengajak dan memberikan petunjuk kepada jalan yang benar. Begitu pun seorang Rasul atau Nabi, Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran Allah kepada umatnya. Namun, urusan tentang siapa saja yang harus diberi hidayah, itu sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah. Nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut adalah memberikan gambaran bahwa hanya Allahlah yang berhak memberikan hidayah.
Novel  Ayat-Ayat Cinta merupakan novel dakwah yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Novel tersebut bercerita tentang kebenaran agama Islam sebagai agama Allah yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya. Bahkan, dalam novel tersebut diceritakan bahwa pemeluk agama lain, Alicia, mengakui kebenaran agama Islam. Alicia pun akhirnya memeluk agama Islam. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:
Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku menemukan kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini. ”Kata Alicia, mata birunya berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan batinnya sampai akhirnya masuk Islam dua bulan yang lalu[34].

Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih agung dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa yang kau lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu mampu menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan[35].

Tentang kebenaran Islam bisa disimak juga ketika Maria masuk Islam dengan mengucapkan syahadatain. ”Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammdan abduhu wa rasuluh”[36]. Begitulah kalimat yang diucapkan Maria.
Keyakinan terhadap Islam sebagai agama yang benar merupakan pentransformasian nilai-nilai ajaran Islam dari Q.S. Al An’am: 79, yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ      ) الأنعام: ٧٩(
Artinya:   Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Qs. Al An’am: 79)[37]

Tentang keyakinan agama Islam sebagai agama yang benar, juga terdapat dalam Q.S. Ali Imran: 19 yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ) آل عمران: ١٩(
Artinya:   Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.                   (Qs. Ali Imran: 19)[38]

Pesan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut disampaikan melalui tokoh Fahri, Alicia, dan Maria. Tokoh-tokoh tersebut menggambarkan bahwa agama yang diyakini benar adalah Islam.
Tokoh Fahri dan Aisha merupakan tokoh yang pandai bersyukur kepada Allah. Mereka diberi nikmat oleh Allah berupa harta yang melimpah. Namun, dengan kekayaannya itu, mereka tidak menjadi sombong dan tidak membuat mereka melupakan Allah. Apa yang telah dimilikinya merupakan karunia dari Allah subhanahu wata’ala. Dengan kenikmatan yang melimpah tersebut mereka tidak melupakan Allah, mereka bersyukur kepada-Nya. Seperti tampak dalam kutipan ini berikut ini. “Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan anugrah-Nya yang agung ini pada kita berdua”.[39]
Dari kutipan itu tergambar bahwa keduanya, yaitu Fahri dan istrinya, Aisha, mengakui bahwa apa yang dimilikinya dan dirasakannya itu adalah pemberian dari Allah. Pada hakikatnya Allah-lah yang telah memberikan kenikmatan hidup kepada mereka. Fahri dan Aisha tidak pernah merasa bahwa apa yang dimiliki dan dirasakannya itu adalah hasil perjuangan mereka, melainkan
semata pemberian dari Allah. Dengan demikian, kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan Allah itu sudah sepantasnya disyukuri.
Selain itu, bentuk syukur Fahri terhadap Allah bisa disimak ketika Fahri sedang berada di penjara. Meskipun di penjara, ia tetap merasa tenang dan tidak putus asa. Sebagai bentuk syukur kepada-Nya, Fahri lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan bersujud di hadapan-Nya, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar agungnya. Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya. Aku tiada kuasa berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.[40].

Kutipan itu menunjukkan, dalam keadaan apa pun Fahri selalu mendekatkan diri pada Allah sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Penjara yang sempit dan pengap tidak menyurutkannya untuk mensyukuri nikmat Allah. Ia bersujud, bersimpuh, dan berdoa kepada Allah atas apa yang sedang dialaminya. Ia percaya hanya Allahlah yang akan memberikan jalan kepada hambanya. Kepercayaan kepada Allah yang mendalam itu diwujudkan dengan salat, berdoa, dan ibadah-ibadah yang lain.
Tindakan Fahri yang penuh rasa syukur itu merupakan pentransformasian dari Q.S. Ibrahim: 7 yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ) إبراهيم: ٧(

Artinya:   Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih( Q.S. Ibrahim: 7)[41]

Nilai-nilai ajaran Islam tentang syukur kepada Allah yang disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan gambaran bagaimana manusia harus bersyukur kepada Allah. Dalam keadaan lapang ataupun sempit manusia tetap harus bersyukur kepada Allah, sebagaimana dicontohkan tokoh Fahri dalam novel tersebut.
Dalam novel Ayat-Ayat Cinta, pengarang mengangkat tema yang berhubungan dengan ketakwaan kepada Allah. Pesan pengarang tentang ketakwaan tersebut oleh pengarang disampaikan melalui tokoh Fahri. Tokoh Fahri digambarkan sebagai tokoh yang mengajak pembaca untuk bertakwa kepada Allah. Hal tersebut, seperti tampak dalam kutipan berikut ini.
Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita tetap bersama dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa kepada Allah Azza Wa Jalla.[42].

Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam Surat Az Zuhruf ayat 67: “Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa”[43].

Sikap harus bertakwa kepada Allah itu merupakan pentransformasian ajaran Islam dengan hipogramnya Q.S. Az Zukhruf: 67 yang bunyi dan artinya adalah sebagai berikut:
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ) الزخرف: ٦٧(

Artinya: Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Az Zukhruf: 67 )[44]

Pentransformasian ayat-ayat Alquran tersebut sebagai latar penciptaan novel Ayat-Ayat Cinta berfungsi ajakan bagi orang-orang Islam untuk bertakwa kepada Allah. Sikap takwa merupakan wujud dari nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan keyakinan terhadap adanya Allah.
Ciri-ciri orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang mau beribadah kepada-Nya. Hal tersebut seperti tampak dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang menggambarkan kewajiban beribadah kepada Allah, seperti tampak dalam kutipan berikut: “Dekatkan diri kepada Allah! Dekatkan diri kepada Allah! Dan dekatkan diri kepada Allah!”[45].
Kutipan tersebut melukiskan agar manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan cara beribadah. Tokoh Fahri, misalnya, seorang tokoh yang telah memberikan keteladanan kepada tokoh lain bahwa orang Islam yang benar-benar memercayai adanya Allah tentu harus beribadah kepada-Nya. Kepercayaan/keimanan tersebut tidak hanya dalam pengakuan bahwa Allah itu ada, tetapi perlu dibuktikan dengan praktiknya, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sikap seperti itu merupakan pentransformasian dari Q.S. Adz Dzariyat: 56, yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) الذاريات: ٥٦(

Artinya:   Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Qs. Adz Dzariyat: 56)[46]

Pentransformasian nilai-nilai ajaran Islam dari Alquran ke dalam novel Ayat-Ayat Cinta tersebut berfungsi sebagai gambaran bahwa orang Islam yang meyakini adanya Allah harus diwujudkan dengan mendekatkan diri kepada Allah, dengan beribadah kepada-Nya.
Fahri difitnah oleh keluarga Noura bahwa dirinya memerkosa Noura sampai hamil. Fitnah itu telah membuat Fahri dan istrinya menderita. Fahri pun dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah yang gelap dan pengap. Ia disiksa, bahkan ditelanjangi oleh para sipir penjara untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Meskipun Fahri disiksa dan ditelanjangi, Fahri tetap pada pendiriannya bahwa tidak melakukannya karena dirinya merasa tidak memerkosa Noura. Bahkan, sebenarnya Fahrilah yang telah menyelamatkan Noura dari kekejaman Bahadur, ayah angkat Noura. Ketika itu Noura belum bertemu dengan orang tua yang sebenarnya.
Fahri pun akan digantung di tiang gantungan. Namun, dia tetap tenang, tidak sedikit pun ada keraguan tentang adanya pertolongan Allah. Fahri meyakini bahwa kematian manusia itu sepenuhnya berada di tangan Allah. Bahkan, Fahri semakin yakin bahwa Allahlah yang menentukan kematian, bukan manusia. Fahri meneladani para ulama terdahulu yang tegar dalam menghadapi kematian. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah”[47].
Aku teringat ulama-ulama yang mengalami nasib tragis di tangan para algojo negara ini. Apapun jalannya, kematian itu satu yaitu mati. Allah sudah menentukan ajal seseorang. Tak akan dimajukan dan dimundurkan. Maka tak ada gunanya bersikap lemah dan takut menghadapi kematian. Dan aku tidak mau mati dalam keadaan mengakui perbuatan yang memang tak pernah aku lakukan.[48].

Sikap dan keyakinan yang kuat bahwa kematian itu akan menjemput manusia atas kehendak Allah merupakan pentransformasian dari Q.S. Al Ankabut: 57, Q.S. An Nisa: 78, Q.S. Ali Imran: 185, dan Q.S. Luqman: 34.
Pentransformasian ayat-ayat Alquran tersebut sebagai hipogram novel Ayat-Ayat Cinta berfungsi sebagai gambaran bahwa hanya Allahlah yang mengatur hidup dan mati manusia. Setiap makhluk yang bernyawa akan mengalami kematian. Dengan demikian, untuk menghadapi kematian tersebut, manusia harus berbekal ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Pesan nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta yang hipogramnya dari Q.S. Al Ankabut: 57, Q.S. An Nisa: 78, Q.S. Ali Imran: 185, dan Q.S. Luqman: 34, yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca menggambarkan bahwa harus ingat akan kematian.
Selama di penjara, Fahri sulit mendapatkan makanan. Jatah makanan itu kadang tidak sampai pada orang-orang yang berada dalam penjara karena ulah para sipir yang sengaja tidak memberikannya kepada para tahanan. Fahri juga mengalami hal yang demikian. Untung saja teman satu ruangan Fahri, yaitu Profesor Abdul Rauf, dijenguk oleh istrinya. Istri Profesor Abdul Rauf itu membawa makanan. Lihat kutipan berikut. “Udahlah kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki dari Allah Swt.!” kata Profesor Abdu Rauf”[49]
Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan Allah adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya yaitu ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh masing-masing memilih perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan susu karena dia paling suka minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena dia orang yang hobinya melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan tekstil.[50]

Nilai-nilai ajaran Islam yang dipancarkan dari keyakinan adanya Allah pada intinya adalah ketauhidan atau mengesakan Allah. Karena Ayat-Ayat Cinta merupakan novel yang sarat dengan ketauhidan, cerita dan tokoh-tokohnya juga digerakkan oleh pernyataan-pernyataan yang berhubungan keesaan Allah. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.
Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugrahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina di dalam cahaya kerelaan-Nya.[51]

Kutipan di atas itu mengajak pembaca untuk merenung tentang membangun kehidupan berkeluarga, seperti pesan yang diberikan melalui tokoh pasangan suami-istri, Fahri dan Aisha. Fahri dan Aisha merupakan suami-istri yang dalam rumah tangganya didasarkan atas kasih sayang. Kasih sayang mereka dilandasi dengan kecintaannya kepada Allah. Mereka menjalin keluarga mawadah, warahmah, dan sakinah dengan mengagungkan kebesaran Allah. Mereka saling mencintai karena Allah. Mereka juga membangun keluarga yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Cermati kutipan berikut:
Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugrahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji kan setia menempatkan cinta yang kita bina ini di dalam cahaya kerelaan-Nya.[52]

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Fahri dan Aisha berumah tangga atas dasar landasan ketauhidan yang bertumpu kebesaran cintanya kepada Allah. Mereka membina rumah tangga atas dasar kecintaan dan ketakwaan kepada Allah. Dengan membaca Ayat-Ayat Cinta, pembaca diharapkan dapat mencontoh Fahri dan Aisha dalam membangun rumah tangga yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah dan menegakkan ketauhidan, sebagaimana transformasi dari Q.S. Al Mu’minun: 52, Q.S. Az Zukruf: 28, dan Q.S. Az Zukruf: 86.
Dari ayat-ayat itu tergambar bahwa mengesakan Allah bagi umat Islam wajib hukumnya. Ayat-ayat tersebut paralel dengan pesan yang disampaikan oleh tokoh Fahri dan Aisha dalam novel  Ayat-Ayat Cinta. Dalam membangun rumah tangganya, keduanya tidak terlepas dari bingkai ketauhidan. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta ini adalah mengingatkan pembaca tentang pentingnya menegakkan ketauhidan (mengesakan Allah).
B.    Beriman Kepada Rasul/Nabi

Dalam tulisan ini dipakai istilah Rasul dan Nabi. Setiap Rasul itu mesti Nabi, sedangkan setiap Nabi belum tentu Rasul. Rasul adalah seorang manusia pilihan yang diutus Allah untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada umatnya. Biasanya seorang Rasul mendapat sebutan rasulullah, artinya utusan Allah. Adapun Nabi adalah seorang manusia pilihan Allah, tetapi hanya untuk dirinya sendiri, tidak diutus untuk menyampaikan ajaran kepada umat manusia. Beriman kepada Rasul-rasul itu berarti percaya bahwa Allah telah memilih seorang Rasul pada masa tertentu, dan pada umat tertentu pula, untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah dari Allah itu dimaksudkan untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasul Allah berjumlah 25, yang perlu diketahui oleh manusia.. Orang-orang di tiap-tiap zaman wajib mengikuti petunjuk Rasul pada zaman itu. Apabila datang seorang Rasul yang baru, manusia yang di zaman itu tidak boleh berpegang pada Rasul tersebut. Nabi dan sekaligus Rasul yang terakhir adalah Muhammad SAW.
Nabi Muhammad merupakan teladan bagi umat manusia. Kehidupan Nabi Muhammad merupakan teladan bagi umatnya. Kehidupan Rasulullah itu digambarkan dalam hadis-hadisnya. Dari hadis-hadis itulah diperoleh gambaran atau petunjuk keteladanan Rasulullah yang perlu diikuti oleh umatnya. Hadis-hadis tersebut merupakan lukisan akhlak Rasulullah. Hadis juga merupakan pedoman bagi umat Islam sebagai penjabaran dari Alquran.
Menurut Shafie Abu Bakar dalam falsafah pemikiran Islam, terdapat tiga konsep keinsanan yang unggul yang dimiliki oleh Nabi Muhammad, yaitu insan kamil, insan khalifah dan insan rabbani.[53] Terbukti dalam sejarah Islam ketiga konsep tersebut terdapat pada diri Rasulullah Saw. sehingga Baginda mendapat gelar al-amin (yang jujur dan yang benar), al-mustafa (yang terpilih), dan habibullah (kekasih Allah). Rasulullah merupakan seorang pemimpin, hakim, dan panglima perang yang tiada tandingan. Beliau mempunyai tahap kerohanian yang tinggi dan insan kamil (manusia sempurna). Rasulullah memiliki pribadi yang mulia dan akhlak yang terpuji dengan segala sifat istimewa dan luar biasa semenjak masih kanak-kanak hingga wafat.[54]. Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin bagi umat Islam, nabi sekaligus rasul bagi umat Islam. Rasulullah merupakan teladan bagi umatnya.
Keteladan Muhammad, baik sebagai Nabi maupun sebagai Rasul, telah diakui oleh dunia. Ia merupakan sosok pemimpin umat yang disegani dan dijadikan teladan. Dalam novel ayat-ayat cinta digambarkan bagaimana akhlak Rasulullah dalam memberikan keteladanan kepada umatnya. Tokoh Fahri menggambarkan sosok yang meneladani Rasulullah dalam berdakwah kepada umatnya melalui akhlaknya yang terpuji, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut:
Dakwah nabi dengan perbuatan lebih banyak dari dakwah beliau dengan khutbah dan perkataan. Ummul Mu’minin, Aisyah r.a. berkata, ”Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an!” Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Nabi tidak canggung mencari kayu bakar untuk para sahabatnya. Para sahabat meneladani apa yang beliau contohkan. Akhirnya mereka juga menjadi Al-Qur’an berjalan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia Arab untuk dicontoh seluruh umat.[55]

Transformasi nilai-nilai ajaran Islam sebagai wujud dari refleksi rukun iman keempat adalah mengakui adanya Rasul-rasul, termasuk Muhammad sebagai Rasul terakhir yang memberi keteladanan kepada umatnya. Keteladanan Rasul sebagaimana hasil pentransformasian dari nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta yang hipogramnya dari Alquran dan Hadis Nabi melalui para tokoh.
Sebaik-baik istri adalah istri yang taat kepada suaminya dan harus menjaga kehormatan, baik pada waktu suaminya ada maupun tidak ada. Pernyataan tersebut dikemukakan Fahri ketika Fahri sedang memaparkan tentang perempuan dalam pandangan Islam. Pertanyaan tentang perempuan itu dilontarkan oleh seorang perempuan Amerika bernama Alicia yang sedang berada di Mesir. Fahri menerangkan kepada Alicia dan Aisha tentang pandangan Islam terhadap perempuan dan bagaimana menjadi seorang istri dalam pandangan Islam. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
Sebaik-baik istri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia menjaga untukmu harta dan dirinya.[56]

Kau...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku. Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugrahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina di dalam cahaya kerelaan-Nya[57].

Tentang istri harus menjaga kehormatan merupakan pentransformasian dari Hadis Nabi yang bunyi dan artinya sebagai berikut: Pentransformasian Hadis tersebut sebagai latar penciptaan novel Ayat-Ayat Cinta merupakan gambaran bahwa istri harus taat kepada suami dan harus menjaga kehormatannya. Pentransformasian nilai-nilai ajaran Islam dalam Ayat-Ayat Cinta yang berhubungan dengan ketaatan istri terhadap suami dan istri harus menjaga kehormatannya memberi gambaran bahwa dalam ajaran Islam seorang suami adalah pemimpin yang perlu ditaati oleh istri. Seorang istri juga harus menjaga kehormatan suami, baik ketika suami berada di rumah maupun ketika suami sedang tidak ada di rumah.
C.    Akhlak

Akhlak yang diteladankan Rasulullah, di antaranya, menghormati tamu. Nabi Muhammad pernah berkata kepada sahabatnya bahwa kelak kalau membangun Mesir harus ditanamkan bersikap halus dan ramah kepada masyarakatnya. Hal tersebut tergambar dari pernyataan tokoh Fahri, seperti tampak dalam kutipan berikut:
Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak seperti yang digambarkan Baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orang-orang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada shabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli oang Mesir. Mungkin kalian sejatinya sebagai Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah.[58]

Beliau juga pernah bersabda bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, orang tersebut harus menghormati tamunya. Hal tersebut dilukiskam dalam Ayat-Ayat Cinta ketika ada tiga warga Amerika yang sedang berada di Mesir. Warga Mesir menghina ketiga warga Amerika itu. Fahri pun mengingatkan orang-orang Mesir bahwa perbuatannya itu keliru. Rasul tidak mengajarkan umatnya untuk menghina tamunya. Sebaliknya, Rasul menyuruh umatnya untuk menghormati tamu tanpa memandang agama dan suku bangsa.
Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak, ini akan menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal Baginda Rasul mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Tapi jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang tidak  menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam. [59]

Dalam Ayat-Ayat Cinta juga diterangkan bagaimana cara bertetangga yang baik, dengan tidak memandang suku bangsa maupun agama. Setiap manusia harus saling menghormati, menghargai, dan toleransi. Hal itu bisa dilihat bagaimana Fahri dan teman-temannya bertetangga dengan Tuan Butrous, seperti terlukis dalam kutipan berikut:
Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan yang terlalu jauh. Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi ahasana minha![60].

Dari kutipan itu jelas bahwa Fahri dan kawan-kawannya menghormati keluarga Tuan Butrous karena keluarga Tuan Butrous juga menghargai Fahri dan teman-temannya. Padahal, di antara mereka ada beberapa perbedaan, yakni status ekonomi keluarga Tuan Butrous yang terpandang kaya dan keluarga Tuan Butrous beragama Kristen Khatolik. Akan tetapi, perbedaan itu tidak menyurutkan mereka untuk saling menghargai dan menghormati. Dengan demikian, bertetangga atau bermasyarakat yang dicontohkan dalam ayat-ayat cinta sesuai dengan yang dicontohkan rasul.
Selain harus menghormati tamu dan bertetangga dengan baik, dalam Ayat-Ayat Cinta juga digambarkan bagaimana bersikap dengan sesama manusia. Hal tersebut dalam ajaran Islam termasuk ibadah yang berhubungan dengan manusia (hablu minannas) karena Allah juga memerintah manusia agar berinteraksi dengan sesama manusia. Begitu pun dalam Ayat-Ayat Cinta, seperti yang diperlihatkan oleh Fahri dan teman-temannya dengan keluarga Tuan Butrous. Dalam bertetangga mereka tidak memandang agama dan suku bangsa dan bersikap saling toleransi, meskipun berbeda status atau berbeda suku dan agama. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:
Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan yang terlalu jauh. Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi ahasana minha![61]

Dalam kutipan itu tampak bahwa Fahri memberikan penjelasan kepada teman-temannya bahwa sesama manusia harus saling memperhatikan, menghormati, menghargai meskipun berbeda suku bangsa dan berbeda agama. Keluarga Tuan Boutrous telah bersikap baik kepada Fahri dan teman-temannya. Begitu pun Fahri dan teman-temannya membalas kebaikan keluarga Tuan Butrous.
Demikian pula halnya masalah pembinaan kerukunan terhadap antarumat
beragama. Di satu pihak pemerintah dan kelompok-kelompok harus mengambil langkah-langkah untuk mengharmoniskan hubungan antarumat, tetapi di lain pihak ada orang atau kelompok-kelompok tertentu yang berulah memicu persengketaan antarumat beragama. Kalau dicermati akar masalahnya, gangguan terhadap kerukunan hidup antarumat beragama adalah kurangnya toleransi satu kelompok dengan kelompok lain. Toleransi dalam arti yang sesungguhnya adalah bahwa seseorang atau suatu kelompok mengakui hak hidup orang atau kelompok lain serta menghormati pendapat dan ajaran pihak lain.
Pentransformasian nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta di atas, yang berhubungan dengan keteladan Rasulullah dalam menghormati tamu, berbuat baik, saling menghormati, dan sikap toleransi, merupakan refleksi dari keteladan Rasulullah yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri. Dengan demikian, nilai-nilai yang dapat diambil dari ajaran Islam meliputi saling menghormati tamu, berbuat baik dengan tetangga, dan sikap saling toleransi sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Rasulullah memberikan penjelasan tentang bagaimana menghargai perempuan. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta, tokoh Fahri dengan panjang lebar juga menerangkan kepada Alicia dan Aisha tentang harus menghormati perempuan menurut pandangan Islam. Alicia menyampaikan pertanyaannya kepada Fahri karena di Amerika berkembang pendapat tentang Islam yang melecehkan perempuan. Menurut sebagian besar warga Amerika, dalam ajaran Islam seorang suami membolehkan memukul istrinya.
Fahri menjelaskan kepada Alicia dan Aisha tentang bagaimana Islam memandang perempuan. Memang benar dalam ajaran Islam, suami boleh memukul istrinya, tetapi tidak sedemikian mudahnya melakukan hal itu. Dalam ajaran Islam, ada ketentuan-ketentuan yang sangat jelas tentang boleh tidaknya suami memukul istri. Bahkan dalam Islam Rasulullah menyuruh seorang suami agar berbuat baik kepada istrinya. Hal tersebut tampak dalam kutipan Ayat-Ayat Cinta di bawah ini.
Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadisnya bersabda, ”la taddhribu imaallah. Maknanya, ”janganlah kalian pukul kaum perempuan!” Dalam hadis yang lain beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik pada istrinya.[62]

“Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki ibulah surga anak lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan wanita.”[63]

Ajaran Islam yang berhubungan dengan keharusan menghormati perempuan merupakan pentransformasian Q.S. An Nisa: 34. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan gambaran bahwa Islam tidak membenarkan berbuat semenamena terhadap perempuan. Bahkan ajaran Islam menganjurkan seorang suami harus berbuat baik kepada istrinya.
Dalam novel ayat-ayat cinta, terdapat transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang berkaitan dengan pengakuan terhadap rukun iman kemmpat, yaitu keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dalam hal ini, keteladanan Nabi itu berkaitan dengan anjuran menengok dan mendoakan orang yang sakit. Keteladanan Nabi tentang perlunya menengok dan mendoakan orang sakit itu merupakan pentransformasian Hadis Nabi. Hal itu tampak dalam uraian tentang tokoh Fahri yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta.
Fahri sakit di rumah sakit karena ia terlalu memaksakan diri mengejar target pekerjaannya. Ia juga melakukan banyak aktvitas di luar, yaitu menemui Alicia dan Aisha, untuk menjelaskan pandangan Islam terhadap perempuan. Ia juga pergi mengaji ke Syaikh Ahmad dan mengisi pengajian rutin yang diselenggarakan keluarga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Mesir. Padatnya aktivitas Fahri dan udara di Mesir yang sangat panas menyebabkan Fahri jatuh sakit. Ketika Fahri sakit di rumah sakit, banyak yang menengok Fahri, di antaranya keluarga Tuan Butrous, teman-teman kampus Fahri, Syaikh Ahmad, dan Syaikh Utsman. Mereka yang menengok itu berdoa untuk kesembuhan Fahri, seperti tampak dalam kutipan berikut. “Mereka semua tersenyum padaku meskipun aku menangkap guratan sedih dalam wajah mereka. Mereka mendekat satu per satu dan memelukku pelan sambil berbisik, ’Syafakallah syifaan ajilan, syifaan layughadiru ba’dahu saqaman”’[64]
Nilai-nilai ajaran Islam yang ada dalam Ayat-Ayat Cinta tentang menengok dan mendoakan orang sakit itu sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya. Sedangkan dalam Ayat-Ayat Cinta tentang menengok dan mendoakan orang sakit bisa dilihat ketika Fahri sakit dan dijenguk oleh Syaikh Ahmad dan Syaikh Utsman. Syaikh Amad dan Syaikh Utsman tersebut mendoakan Fahri agar lekas sembuh. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang dipesankan dalam Ayat-Ayat Cinta itu adalah tentang perlunya menengok dan mendoakan orang sakit.
Islam menganjurkan agar pergaulan muda-mudi didasarkan atas ajaran Islam. Islam melarang perempuan bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrim. Hal tersebut seperti tampak dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang menggambarkan bahwa perempuan dilarang bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrim, seperti tampak dalam kutipan ini:
“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Quran dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau mahramku”[65]..

“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang
menungguiku? Dia bukan mahramku”[66].

Bagaimana tata cara bergaul dengan bukan muhrim sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam diperlihatkan oleh Fahri ketika berpapasan dengan Maria. Fahri tidak mau berjalan di belakang Maria, seperti tampak dalam kutipan berikut:
Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan jiwa.[67]

Setelah dicermati, novel Ayat-Ayat Cinta juga mengandung pesan nilai-nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan pentingnya pernikahan dan gambaran poligami berdasarkan Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan dan poligami secara tersurat dibahas melalui ayat Alquran dan Hadis Nabi. Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, baik secara jasmani maupun rohani, wajib hukumnya menikah. Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan yang sudah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan untuk menikah. Pernikahan dalam novel Ayat-Ayat Cinta bisa dilihat dari tokoh Fahri yang mempunyai istri, yaitu Aisha. Sebenarnya sebelum menikah dengan Aisha, Fahri menyimpan rasa kagum terhadap Nurul, seorang mahasiswi dari Indonesia. Fahri memendam perasaan senangnya kepada Nurul karena menyadari bahwa ia adalah seorang pemuda desa dari keluarga biasa. Ketika Fahri mau menikah dengan Aisha, seorang gadis keturunan Jerman, datang paman Nurul kepada Fahri. Sang paman tersebut menerangkan bahwa kedatangannya itu dimaksudkan untuk membawa amanah dari Nurul guna menyampaikan perasaan Nurul kepada Fahri. Setelah mengetahui bahwa Nurul sebenarnya sangat mencintai Fahri, tentu saja Fahri merasa bingung. Akan tetapi, Fahri sadar, Fahri tidak mau mengkhianati janjinya untuk menikah dengan Aisha yang telah direncanakan dengan matang. Pentingnya menikah tersebut tampak dalam kutipan berikut.
Jika aku membatalkan pernikahan yang telah dirancang matang, aku tidak tahu apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan menyempurnakan separo agama sama sekali.[68]

“Gerimis di hatiku tidak mau berhenti. Air mata terus saja meleleh. Aku kini
telah memiliki seorang istri.”[69]

Kutipan-kutipan tentang perlunya menikah dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan pentransformasian dari Q.S. An Nisa ayat 3, Q.S. Yasiin:6.
Kutipan tentang pernikahan yang terdapat Ayat-Ayat Cinta tersebut ternyata sesuai dengan ayat-ayat Alquran tersebut. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan gambaran bahwa menikah dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam ajaran Islam diperbolehkan seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, atau terkenal dengan istilah poligami. Namun, poligami dalam ajaran Islam harus mengikuti aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, yaitu harus berlaku adil. Poligami dalam Ayat-Ayat Cinta tergambar ketika Fahri menerima surat dari Nurul. Dalam suratnya itu Nurul menyatakan perasaannya bahwa dia sangat mencintai Fahri. Bahkan, Nurul siap dipoligami, seperti tampak dalam kutipan berikut: “Aku tidak ingin yang melanggar syariat aku ingin yang seiring dengan syariat. Kalian berdua orang yang saleh dan paham agama tentu memahami masalah poligami. Apakah keadaan yang menimpaku tidak tidak bisa dimasukkan dalam keadaan darurat yang membolehkan poligami?”[70]
Kutipan berikutnya menerangkan bagaimana poligami dalam ajaran Islam yang dipesankan oleh tokoh Fahri. Hal ini tergambar ketika Fahri membalas surat Nurul yang isinya Fahri tidak bersedia berpoligami meskipun diperbolehkan agama.
Kalau kau memiliki anggapan poligami bisa menjadi jalan keluar dalam masalah ini, bisa jadi ada benarnya. Poligami memang diperbolehkan oleh syariat, tapi aku tidak mungkin menempuhnya. Aku perlu menjelaskan, di antara syarat yang telah kami sepakati sebelum akad nikah adalah aku tidak akan memadu Aisha. Aku sudah menyepakati syarat itu. Kau tentu tahu hukumnya, aku harus menepatinya. Hukumnya wajib.[71]

Pernyataan lebih jelas yang menggambarkan poligami terlihat ketika Maria sakit keras sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Maria tidak sadarkan diri. Menurut hasil diagnosis dokter, Maria akan siuman dan sembuh apabila mendengar suara dan merasakan sentuhan orang yang sangat dicintai. Kebetulan orang yang sangat dicintai Maria itu adalah Fahri, yang sudah mempunyai istri. Meskipun tahu bahwa poligami itu diperbolehkan agama Islam, tetapi tidak mudah bagi Fahri untuk menentukan sikap, apakah harus menikah lagi dengan Maria. Dengan kesalehan sebagai seorang istri, Aisha mengizinkan Fahri untuk menikahi Maria dengan maksud menolongnya. Akhirnya Fahri menikahi Maria. Gambaran tersebut di atas membuktikan bahwa poligami itu tidak semudah dan sesederhana seperti apa yang telah terjadi sekarang di dalam masyarakat. Untuk tidak mengaburkan tentang poligami yang sesuai dengan tuntunan Islam, Ayat-Ayat Cinta memberikan gambaran agar dalam poligami itu tidak dengan secara mudah dilakukan oleh laki-laki, tetapi harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam ayat Alquran dan Hadis Nabi tersebut.
Dari uraian itu terlihat bahwa pernikahan dan poligami dalam Ayat-Ayat Cinta sesuai dengan Q.S. An Nisa ayat 3, Q.S. Yasiin:6, dan Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam Ayat-Ayat Cinta yang berhubungan dengan pernikahan dan poligami adalah diajurkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menikah. Sedangkan berpoligami dalam ajaran Islam diperbolehkan, tetapi harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dicontohkan nabi, yaitu harus bisa berlaku adil.
Fahri harus masuk penjara karena difitnah Noura. Noura dan keluarganya telah memfitnah Fahri, bahwa Fahri telah menghamili Noura. Akibat fitnahan itu, Fahri harus mendekam di penjara dan didakwa akan dihukum mati. Sebenarnya Fahri bisa saja lolos dari fitnahan itu, apabila Fahri mau menyuap orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam mengambil kebijakan hukum tersebut. Bahkan, istrinya Fahri, Aisha, bersedia mengeluarkan banyak uang untuk menyuap agar suaminya bisa keluar dari penjara dan bisa lolos dari fitnahan itu. Akan tetapi, Fahri tidak mau menyuap karena Fahri memahami bahwa suap-menyuap itu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam suap-menyuap tidak dibenarkan. Bahkan, nabi mengingatkan umatnya agar tidak melakukan suap-menyuap. Orang yang disuap dan menyuap, menurut Nabi, akan masuk neraka.
Keterangan nabi tersebut selaras dalam Ayat-Ayat Cinta, seperti tampak dalam kutipan berikut. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ”Arraasyi wal murtsyi fin naar! Artinya , orang yang meyuap dan disuap masuk neraka! Istriku , hidup di dunia ini bukan segalanya.[72] Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan gambaran bahwa suap-menyuap tidak dibenarkan dalam Islam.
Mencari ilmu dalam Islam merupakan suatu kewajiban. Pentingnya mencari ilmu dalam Ayat-Ayat Cinta bisa disimak dari gambaran tokoh Fahri dan teman-temannya yang bersekolah sampai ke negara Mesir. Teman Fahri, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah, sedang menempuh progam S-1 di Universitas Al-Azhar. Sementara itu, Fahri sedang merampungkan magisternya di Universitas Al-Azhar. Lihat kutipan Ayat-Ayat Cinta berikut.
Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir. Secara akademis aku juga paling tinggi. Aku tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al-Azhar. Yang lain masih program S-1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc atau Licence. Mereka semua telah menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal Agustus biasanya pengumunan keluar. Namun sampai hari ini, pengumunan belum juga ada yang ditempel.[73]

Kutipan tersebut menunjukkan pentingnya mencari ilmu seperti dilukiskan oleh tokoh Fahri dan teman-temannya yang mencari ilmu sampai ke negara Mesir. Mencari ilmu sampai ke negara lain juga dicontohkan oleh Rasul.  Q.S. At Taubah: 122 tersebut menggambarkan tentang pentingnya mencari ilmu. Hal tersebut sejalan dengan kandungan atau pesan Ayat-Ayat Cinta yang di dalamnya menggambarkan tentang pentingnya mencari ilmu, sebagaimana telah dijalankan oleh Fahri dan teman-temannya mencari ilmu sampai ke negara Mesir. Berdasarkan uraian tersebut, maka nilai-nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan mencari ilmu yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan pentransformasian dari Hadis Nabi dan Q.S. At Taubah: 122. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta itu memberikan gambaran tentang tokoh Fahri dan temannya yang melukiskan betapa pentingnya mencari illmu.
Fahri dan Aisha merupakan tokoh yang rajin melaksanakan salat Tahajud. Pasangan suami istri itu hampir setiap malam tidak pernah meninggalkan salat Sunat Tahajud. Kebiasaan salat malam itu telah membekas dalam diri Fahri. Bahkan, ketika kelelahan ia tetap melaksanakan salat Sunat Tahajud, seperti tampak dalam kutipan berikut. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan melakukan salat. Ketika sujud kepala terasa enak.[74]
Ketika bulan Puasa, Fahri juga selalu mengerjakan salat malam. Bahkan, saat di penjara, Fahri tetap berpesan kepada istrinya agar melaksanakan salat Sunat Tahajud, seperti tampak dalam kutipan ini. Nanti malam perbanyaklah salat dan memohon pertolongan kepada Allah.[75]  Dari kedua kutipan itu tampak bahwa Fahri dan Aisha senantiasa melaksankan salat Sunat Tahajud. Bagi Fahri dan Aisha, meskipun hukumnya Sunat, salat Sunat Tahajud merupakan ibadah yang penting. Hal tersebut sesuai dengan Q.S. Al Muzamil: 20.
Berdasarkan uraian itu, ternyata tentang pentingnya melaksanakan salat Sunat Tahajud yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan pentransformasian dari Q.S. Al Muzammil: 20. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang digambarkan dalam Ayat-Ayat Cinta itu betapa pentingnya melaksanakan salat Sunat Tahajud.


[1] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 6.

[2] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat Cinta.Cetakan ke-9, (Jakarta: Penerbit Republika, 2005), 4.
[3] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2002), hal. 48.

[4] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,..., hal. 349
[5] Ibid., hal. 352-353.

[6] Departemen Agama RI., Al-Qur’an...., hal. 279.

[7] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,...., hal.138

[8] Ibid, hal. 138
[9] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 368.

[10] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,...., hal. 327.

[11] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 573.
[12] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 139.

[13] Ibid, hal. 4.

[14] Ibid, hal. 16.

[15] Ibid, hal. 140.

[16] Ibid., hal. 246.

[17] Ibid, hal. 247.
[18] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 761.

[19] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 62.

[20] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 352.
[21] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 342

[22] Ibid, hal. 349.

[23] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 13.
[24] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 16.

[25] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 17.

[26] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 229.

[27] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ..., hal. 279.
[28] El-shirazy, Ayat-Ayat,....,hal. 9.

[29] Ibid, hal. 9.

[30] Ibid, hal. 10.

[31] Ibid, hal. 10-11.

[32] Ibid, hal. 14.
[33] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 695.

[34] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 397.

[35] Ibid, hal. 396.

[36] Ibid, hal. 409.

[37] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 187.

[38] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 77.

[39] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 304.

[40] Ibid., hal. 363.

[41] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 379.

[42]El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 362.

[43] Ibid, hal. 362.

[44] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 794.

[45] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 360.

[46] Departemen Agama RI., Al-Qur’an ,....., hal. 860.
[47] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 381.

[48] Ibid, 380.
[49] Ibid., hal. 319.

[50] Ibid, hal. 272-273.

[51] Ibid., hal. 262-263.

[52] Ibid.,
[53] Shafei Abu Bakar, Sastera Islam: Teori Pengindahan dan Penyempurnaan dalam Rangka Tauhid dalam. S. Jaafar Husin (Peny.), Penelitian Sastera: (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995), hal. 29.

[54] Hasan, Mohamad Mokhtar. Ketakmilah dalam Puisi Anbiya, kertas kerja yang dibentangkan dalam seminar Teori Sastra Islam: Kaedah dan Penerapannya, Anjuran Bahagian Teori dan Kritikan Sastera. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur di Hotel Renaissance Palm Garden, Putrajaya pada 26-28 September,  2000.

[55] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 99.

[56] Ibid, 264.

[57] Ibid, hal. 362-363.
[58] Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 34-35

[59] Ibid, hal. 37.

[60] Ibid., hal. 49.
[61] Ibid.., hal. 49.
[62] Ibid., hal. 87.

[63] Ibid, hal. 90.
[64] El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 174.

[65] Ibid, hal. 125.

[66] Ibid., hal. 171

[67] Ibid, hal. 150
[68] Ibid., hal. 230.

[69] Ibid,  hal. 238.
[70] Ibid, hal. 290.

[71] Ibid, hal. 292.
[72] Ibid, hal. 361.
[73] Ibid, hal.  5-6.
[74] Ibid, hal. 158.

[75] Ibid, hal. 333.