NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA
BAB III
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
YANG TERKANDUNG DALAM
NOVEL AYAT-AYAT CINTA
A.
Beriman Kepada
Allah
Meyakini adanya
yang gaib, yaitu percaya terhadap adanya Allah, dalam Islam merupakan suatu
kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena iman kepada Allah merupakan
sendi keimanan yang pokok dan utama. Dalam Al-quran manusia diperintahkan untuk
meyakini adanya yang gaib. Yang dimaksud dengan yang gaib ialah yang tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada adanya yang gaib, antara lain,
percaya terhadap adanya Allah. Seperti tampak dalam Q.S. al-Baqarah: 3, yang
bunyi dan artinya sebagai berikut:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ) البقرة: ٣(
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(Qs.
al-Baqarah: 3)[1]
Teks Al-quran
tersebut merupakan dalil yang berhubungan dengan rukun iman pertama, yaitu meyakini
adanya Allah. Keyakinan terhadap adanya Allah tersebut ternyata memiliki
keterkaitan dengan teks yang terdapat dalam teks Ayat-Ayat Cinta. Dalam novel Ayat-Ayat
Cinta terkandung nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan pancaran dari percaya
terhadap adanya Allah melalui tokoh Fahri.
Bertawakal
kepada Allah merupakan pengakuan atau keyakinan terhadap adanya Allah. Hal tersebut
bisa disimak dalam Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri. Dalam novel Ayat-Ayat
Cinta dilukiskan tentang tokoh Fahri yang mencari ilmu keislaman dengan
belajar membaca Alquran. Mencari ilmu keislaman di Mesir tidak mudah bagi
mahasiswa Indonesia karena harus melawan panasnya suhu. Cerita novel Ayat-Ayat
Cinta tersebut dimulai dengan gambaran keadaan suhu alam di Mesir yang
panas dan gersang. Mengingat Fahri mahasiswa yang berasal dari Indonesia, tentu
keadaan itu sangat menyiksa. Namun, dengan kemauan yang kuat dan sikap
bertawakal kepada Allah, Fahri tetap berangkat untuk mengaji meskipun suhu
udara di luar panas sekali disertai dengan angin kencang. Cuaca panas itu
sempat membuat Fahri ragu untuk berangkat mengaji. Padahal, pengajian qira’ah
sab’ah kepada Syaikh Utsman telah dijadwalkan setiap hari Rabu. Dengan
menyebut nama Allah dan bertawakal kepada- Nya, Fahri pun berangkat mengaji.
Hal tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini.
Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara
terdengar mendesaudesau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya
di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana yang jauh
dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu ’ala Allah,
pelan-pelan kubuka pintu apartemen.[2]
Apa pun
keadaannya, Fahri selalu bertawakal kepada Allah. Dengan bertawakal seperti
itu, segala sesuatunya akan terasa menjadi ringan. Dengan mengucapkan Bismillah
Tawakkaltu ’Ala Allah, yang artinya dengan menyebut nama Allah, Fahri pun
menguatkan niatnya pergi mengaji. Dengan ucapan itu, ada kekuatan gaib yang
menyelinap dalam jiwa Fahri untuk menggerakkan kakinya pergi mengaji. Padahal,
tempat mengaji Fahri cukup jauh. Dia harus menempuh perjalanan sekitar 50 kilometer
untuk sampai ke tempat ia mengaji. Dari gambaran tersebut, Islam menekankan
bahwa hakikat tawakal itu adalah berikhtiar mengusahakan sebab dan menyerahkan
akibatnya kepada Allah[3]. Tidaklah
dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa-apa. Tawakal harus diawali dengan bekerja keras dan berusaha
semaksimal mungkin. Bertawakal merupakan refleksi keimanan kepada Allah yang
berarti telah melakukan ikhtiar yang diikuti dengan penyerahan diri kepada-Nya
atas apa yang akan menimpa pada diri nanti setelah adanya usaha itu. Dengan
demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang ingin disampaikan adalah agar umat
Islam hanya bertawakal kepada Allah, tidak bertawakal pada ikhtiar.
Pesan untuk
bertawakal seperti itu dalam novel Ayat-Ayat Cinta terurai sebagai berikut:
Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan sedemikan
tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Aku teringat Syaikh Utsman
agar selalu menjaga keikhlasan menerima takdir Ilahi setelah berusaha sekuat
tenaga. Yang divonis salah dalam pengadilan dunia tidak selamanya salah di
pengadilan akhirat. Kepala Nabi Yahya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang
pelacur. Dalam hati aku berdoa, jika aku harus mati di tiang gantungan, maka ”Allahuma
Amitni Alasy Syahadati Fi Sabilik. Amin.[4]
Untuk
selanjutnya, keberhasilan atas usahanya itu diserahkan kepada Allah. Dengan bertawakal
kepada Allah, Fahri meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri dan
istrinya sepenuhnya menjadi kehendak Allah, sebagaimana saran syaikh Ahmad
kepada Fahri sebagai berikut.. Namun kau jangan kecil hati Fahri, di atas
segalanya Allahlah yang menentukan. Daya dan kekuatan manusia tiada berarti apa
di hadapan kemahakuasaan Allah. Jika Dia berkehendak apa pun bisa terjadi.[5]
Sikap
bertawakal kepada Allah dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan transformasi
nilai-nilai ajaran Islam, sebagaimana Q.S. At Taubah: 129, yang bunyinya
sebagai berikut:
فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ
اللّهُ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ
الْعَظِيمِ) التوبة: ١٢٩(
Artinya: Jika
mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku.
tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah
Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (Qs. At Taubah: 129)[6]
Dari teks-teks al-quran
di atas, dapat diketahui bahwa ternyata cerita Ayat-Ayat Cinta tentang
bertawakal yang diperankan oleh Fahri merupakan pentransformasian dari Q.S.
At Taubah: 129, Q.S. Ali Imran: 159 dan Q.S. Ath Thalaq: 3 sebagai
hipogramnya. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam tentang harus bertawakal
kepada Allah yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta itu merupakan pesan pengarang
kepada pembaca bahwa sebagai manusia yang percaya terhadap adanya Allah selain
harus berikhtiar juga harus disertai dengan bertawakal kepada Allah.
Berikhtiar
adalah berupaya atau berusaha untuk mencapai tujuan. Manusia perlu berikhtiar agar
segala sesuatu yang diinginkan tercapai. Orang sering mengartikan ikhtiar
adalah sabar dan terkadang orang mendefinisikan sabar identik dengan pasrah.
Padahal pengertian itu menurut pandangan Islam keliru. Sabar dalam pengertian
Islam adalah berikhtiar, yaitu harus berusaha keras dengan semaksimal mungkin.
Setelah berikhtiar dengan semaksimal mungkin, baru berserah diri kepada Allah
atau bertawakal kepada Allah. Berserah diri setelah melakukan usaha, itulah
yang disebut tawakal. Setelah ikhtiar, barulah manusia bertawakal kepada Allah,
seperti tampak dalam kutipan berikut.
Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan
memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya.
Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam berikhtiar
dan berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan kata-kata
bertenaga Thomas Carlyle:” Seorang dengan tujuan yang jelas akan membuat
kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak
akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!” Peta hidup ini
saya buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan. Ini bagian
dari usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan sepenuhnya kepada
Tuhan.”[7]
Peta masa depan itu saya buat terus terang saja berangkat dari semangat
spiritual ayat suci Alquran yang saya yakini. Dalam Surat Ar Ra’ad ayat sebelas
Allah berfirman, sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali
ia sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi
apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses dan gagalnya saya, sayalah yang
menciptakan. Saya sendirilah yang mengarsiteki apa yang akan saya raih dalam
hidup ini.[8]
Dari kutipan
itu tampak bahwa manusia perlu berikhtiar dan bertawakal kepada Allah karena Allah
tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali ia mau mengubah dengan dirinya
sendiri. Begitu juga dengan Fahri dalam menentukan masa depannya agar terarah,
dia membuat rancangan hidup ke depan. Rancangan hidup yang jelas itu akan
mempermudah dalam menempuh tujuan hidupnya, sebagaimana dalam Q.S. Ar Raad:
11, yang bunyi dan artinya sebagai berikut.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ
وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ
سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ) الرعد: ١١(
Artinya: Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah . Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.( Q.S. Ar Raad: 11)[9]
Dalam ayat di
atas disebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka
sendiri mengubahnya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya. Keterangan
Alquran itu menggambarkan bahwa manusia perlu berikhtiar dan setelah itu baru
bertawakal kepada Allah.Pernah juga nabi memberikan penjelasan tentang tawakal
itu. Suatu hari nabi bertanya kepada sahabatnya, ”Mengapa untamu itu tidak
diikat?” ”Sahabat menjawab, saya bertawakal kepada Allah. Lalu, nabi
mengingatkan sahabat itu, ikat dulu untamu itu!” baru bertawakal kepada Allah. Penjelasan
nabi itu mengisyaratkan bahwa ikhtiar perlu, kemudian baru bertawakal kepada
Allah.
Ikhtiar juga
merupakan manifestasi pendekatan diri manusia kepada Allah. Kutipan lain dalam Ayat-Ayat
Cinta yang mencerminkan harus berikhtiar adalah sebagai berikut: ”Jaga diri
baik-baik, jaga kesehatanmu dan kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri
pada Allah agar semua masalah ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu,
istriku.”[10]
Dari kutipan
itu tampak bahwa Fahri menyuruh istrinya, Aisha, untuk menjaga diri baik-baik, menjaga
kesehatan dan kandungannya. Hal itu merupakan bentuk dari ikhtiar. Setelah
ikhtiar itu dilakukan, lalu mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa dan
bertawakal kepada Allah. Perpaduan ikhtiar dengan tawakal itulah yang disebut
sabar. Terkadang orang salah menafsirkan bahwa sabar itu adalah pasrah,
berserah diri kepada Allah, tanpa ada usaha terlebih dahulu. Padahal, sabar
yang dimaksud dalam Islam adalah sabar yang berlapis, yaitu sabar dengan
ikhtiarnya dan sabar dengan tawakalnya.
Dengan meyakini
bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan manusia, kecuali harus mengubahnya
sendiri dengan cara berikhtiar. Dalam Ayat-Ayat Cinta, tokoh Fahri dan Aisha
telah berikhtiar untuk mengubah keadaannya. Sebab, segala musibah yang menimpa
manusia disebabkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S.
As Syuura: 30, yang bunyi dan artinyanya sebagai berikut:
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ
مُّبِينٍ) الشعراء: ٣٠(
Artinya: Musa
berkata: "Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendatipun aku tunjukkan
kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata ? (Qs. As Syuura: 30 )[11]
Pentransformasian
Q.S. As Syuura: 30 ke dalam Ayat-Ayat Cinta ini merupakan nilai-nilai ajaran
Islam yang berhubungan dengan perlunya berikhtiar. Dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut,
tentang perlunya berikhtiar merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak
mau menjalankan nilai-nilai positif tersebut. Mereka hanya menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah tanpa ada usaha sebelumnya. Tokoh Fahri dan Aisha
digambarkan sebagai tokoh yang melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam tentang perlunya
berikhtiar.
Sebaik-baik
lisan adalah lisan yang selalu basah dengan mengingat Allah. Lisan yang mengingat
Allah itu diwujudkan dengan cara berdoa kepada Allah karena berdoa itu
merupakan ibadah. Teks Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri penuh dengan
ajakan agar manusia senantiasa berdoa kepada Allah. Fahri merupakan sosok yang
tidak terlepas dari mengingat Allah. Hidupnya diisi dengan kegiatan yang
bernilai ibadah dengan cara berdoa kepada Allah. Dalam kehidupan Fahri, sebelum
tidur dia selalu membiasakan berdoa terlebih dahulu. Hal itu tampak dalam
kutipan-kutipan berikut ini. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan
doa.[12]. Ketika
ia bangun dari tidur dan akan melakukan setiap aktivitas diawali dengan ucapan bismillah
dan diakhiri dengan hamdalah[13].
Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, Fahri selalu mengingat Allah dengan
berzikir kepada Allah, seperti ucapan Allahu akbar, laa ilaaha
illallah, hamdalah, subhanallah, dan astagfirullah.[14].
Fahri juga
memohonkan doa untuk ibu dan ayahnya agar mereka diberi rahmat dan kesejahteraan.
Hal ini terlukis dalam kutipan berikut ini. Dalam sujud kumenangis kepada
Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda,
bunda, dan ayahanda tercinta.[15]. Selain
mendoakan orang tuanya, tidak lupa Fahri berdoa untuk kebaikan istrinya, Aisha,
dan kebaikan dirinya, seperti tampak dalam kutipan berikut. Lalu kupegang
ubun-ubun kepala Aisya dengan penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang
diajarkan Baginda Nabi, Allahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma
jabaltaha, wa a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya.
Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.[16]
Selesai salat
aku membaca doa sebagaimana diajarkan Baginda Nabi dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, Allahumma baarik li fi ahli, wa baarik
lahum fiyya. Allahumma ijma’ bainana ma jama’ta, wa farriq bainana idza
farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan
berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang
engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau
memisahkan menuju kebaikan. Amin.[17]
Berdoa kepada
Allah seperti yang dilakukan Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan
transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang hipogramnya berasal dari Alquran.
Firman Allah yang menunjukkan bahwa manusia diwajibkan berdoa kepada Allah
terdapat dalam Q.S. Al Mu’min:60, yang bunyi dan artinya sebagai
berikut:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا
وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ) المؤمنون: ٦٠(
Artinya: Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka (Qs. Al Mu’min:60)[18]
Pentransformasian
Q.S. Al Mu’minun: 60 tersebut sebagai latar penciptaan novel Ayat-Ayat
Cinta berfungsi mengingatkan manusia agar tidak berperilaku sombong. Manusia
yang tidak mau berdoa adalah manusia yang sombong. Mereka merasa tidak perlu
berdoa karena apa yang telah dicapainya itu seakan-akan hasil usahanya sendiri.
Padahal, manusia yang beragama dianjurkan untuk berdoa sebagai perwujudan
terhadap keyakinan adanya Allah.
Keyakinan
terhadap adanya pertolongan Allah merupakan salah satu pesan yang disampaikan tokoh
Fahri dalam novel Ayat-Ayat Cinta. Dengan kekuasan-Nya, Allah memberikan
pertolongan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pesan yang demikian
terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta, seperti tampak ketika Fahri mengadakan
syukuran dengan teman-temannya karena proposal tesisnya diterima. Ungkapan rasa
syukur itu diwujudkan Fahri dengan mengajak teman-temannya makan bersama. Saat
makan bersama itu mereka bercerita tentang pengalamannya masing-masing. Hamdi,
misalnya, mengisahkan pengalamannya yang menegangkan selama tersesat di lereng
Gunung Lawu. Hamdi sangat yakin bahwa keselamatan dirinya dan kawan-kawannya
itu atas adanya pertolongan Allah. “kami istirahat terlalu lama. Kami mengejar
kelompok pertama. Sayang kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan terlunta
selama dua hari dalam hutan Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah yang
membuat kami tetap hidup.”[19]
Kutipan itu
menguatkan bahwa keselamatan hanya diperoleh atas pertolongan Allah semata. Tanpa
pertolongan-Nya mustahil mereka akan selamat dari peristiwa yang menurut
perhitungan akal sudah tidak dapat terjangkau oleh kekuatan manusia. Keyakinan
bahwa Allah memberikan pertolongan kepada umatnya yang dikehendaki juga
merupakan keyakinan terhadap adanya Allah. Keyakinan adanya pertolongan Allah
dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan pentransformasian dari Q.S. Yusuf: 86
yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي
وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ) يوسف: ٨٦(
Artinya: Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah
kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari
Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.( Qs. Yusuf: 86 )[20]
Pentransformasian
Q.S. Yusuf: 86 itu sebagai hipogram novel Ayat-Ayat Cinta mengandung
pesan agar manusia senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apa pun, baik dalam
keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Hanya Allah-lah yang dapat
memberikan pertolongan kepada makhluk yang dikehendaki-Nya. Nilai-nilai ajaran
Islam yang disampaikan dalam novel Ayat-Ayat Cinta terkait dengan ayat-ayat al-quran
itu adalah bahwa manusia wajib hukumnya meminta pertolongan kepada Allah.
Sebaliknya, kalau manusia meminta pertolongan selain kepada Allah, agama
menghukuminya sebagai perbuatan musyrik atau menyekutukan-Nya.
Kata sabar mengandung
makna ikhtiar. Kata sabar juga mengandung pengertian ikhlas, yaitu
ihklas menerima semua keputusan Allah. Allah akan memberikan ujian kepada
manusia, baik ujian itu berupa kelapangan maupun kesempitan. Manusia biasanya
tidak sabar dan merasa tidak ikhlas apabila diberi ujian dalam kesempitan.
Sebaliknya, manusia sering lupa kepada Allah apabila diberi kelapangan.
Padahal, keduanya merupakan ujian dari Allah. Manusia sering tidak tahan dalam menghadapi
berbagai cobaan yang diberikan Allah. Sabar dalam novel Ayat-Ayat Cinta digambarkan
dengan bagaimana tokoh Fahri dalam menghadapi cobaan. Ia difitnah telah
memerkosa Noura. Akibat dari fitnahan itu, Fahri harus mendekam di penjara. Ia
didakwa akan dihukum mati dengan cara dihukum gantung sesuai dengan hukum yang berlaku
di Mesir.
Gambaran
tentang harus ikhlas dan sabar dalam menerima cobaan dari Allah tampak ketika Fahri
sedang berada di dalam penjara. Kemudian, ia dikunjungi oleh Syaikh Utsman dan
Paman Eqbal. Keduanya menasihati Fahri agar ikhlas dalam menerima cobaan dari
Allah, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Kau harus ikhlas menerima cobaan ini. Kau tidak boleh sedikit pun merasa
ragu akan kasih sayang Allah. Dan Nabi Yahya itu kepalanya dipenggal untuk
dihadiahkan kepada seorang pelacur. Husein, cucu Baginda Nabi, juga dipenggal
kepalanya ditancapkan diujung tombak dan diarak di Kota Kufah. Mereka tetaplah
manusia-manusia mulia meskipun kelihatannya dinistakan dan dihina. Orang yang
divonis salah oleh pengadilan dunia belum tentu salah di pengadilan akhirat dan
sebaliknya. Dekatkanlah dirimu kepada Allah!”[21].
Kehadiran
Syaikh Utsman dan paman Eqbal memberikan nasihat kepada Fahri bahwa cobaan itu
datang dari Allah. Apa pun yang terjadi merupakan ketentuan dari Allah. Nasihat
itu semakin menguatkan Fahri dalam menghadapi berbagai cobaan terhadap dirinya.
Dalam menghadapi cobaan tersebut, manusia harus sabar dan ikhlas sambil
mendekatkan diri kepada Allah. Kesabaran Fahri
dalam menghadapi cobaan itu tampak juga dalam
kutipan berikut ini: “Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan demikian
tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa”[22].
Kutipan itu
menggambarkan keikhlasan dan kesabaran Fahri kepada Allah Yang Mahakuasa. Cobaan
yang ditimpakan oleh Allah kepada dirinya merupakan ujian yang harus dihadapi
dengan ikhlas dan sabar. Fahri berkeyakinan bahwa ujian itu datang dari Allah
dan diberikan kepada orang-orang pilihan. Ia berkeyakinan semakin mendekatkan
diri kepada Allah semakin kencang ujian yang harus dihadapinya. Bukankah ada
keterangan bahwa belum termasuk orang yang beriman apabila belum diuji oleh
kesempitan dan penderitaan. Fahri meyakini bahwa orang yang diuji oleh Allah
adalah orang yang sedang diuji keimanannya. Bukankah emas yang diuji kadar
keemasannya, sedangkan perak, tembaga, atau yang lainnya tidak diuji? Hal itu
menandakan bahwa orang yang diuji oleh Allah adalah orang yang berharga di
hadapan Allah. Fahri meyakini bahwa Allah beserta orang-orang yang sabar,
sebagaimana dalam Q.S Al Baqarah: 153 Adapun bunyi dan
arti dari ayat-ayat Alquran itu adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ) البقرة: ١٥٣(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu , sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar. ( Qs. Al Baqarah: 153)[23]
Ayat-ayat al-quran
tersebut sebagai latar penciptaan novel berfungsi sebagai pengingat bagi
orang-orang yang sedang menerima ujian. Segala persoalan yang mendera manusia
harus dihadapi dengan sabar. Dalam menghadapi cobaan, tokoh Fahri tetap sabar
dengan mendekatkan diri kepada Allah. Padahal, cobaan yang dihadapinya
merupakan cobaan yang sangat berat, yaitu ia difitnah menghamili Noura.
Kemudian, karena fitnah itu, ia diseret ke pengadilan untuk dihukum mati di
tiang gantungan. Akan tetapi, dalam menghadapi cobaan yang berat itu Fahri
tetap sabar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Nilai-nilai ajaran Islam
yang disampaikan dalam novel Ayat-Ayat Cinta memberikan gambaran bahwa dalam
menghadapi cobaan seberat apa pun manusia harus tetap sabar dengan cara
berikhtiar sambil mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai orang yang beriman
kepada Allah, cobaan seberat apa pun akan terasa menjadi ringan.
Novel Ayat-Ayat
Cinta mengangkat tema tentang keyakinan adanya Allah. Seperti tampak yang digambarkan
melalui tokoh Fahri yang meyakini bahwa Allah itu dekat, bahkan lebih dekat
dari urat leher dan dari jantung yang berdetak. Seperti tergambar dalam kutipan
di bawah ini:
Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir.
Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher dan mataku. Juga mengusap
keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan kasih
sayang Tuhan Yang Maha Penyayang. Dia terasa begitu dekat, lebih dekat dari
urat leher, lebih dekat dari jantung yang berdetak[24].
Kutipan itu
mengungkapkan kedekatan Sang Khalik dengan makhluknya. Bahkan, diibaratkan
kedekatan Allah dengan manusia itu diibaratkan lebih dekat dari urat leher.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah itu dengan melalui ibadah kepada Allah
dengan cara melaksanakan salat. Fahri melaksanakan salat diawali dengan
mengucapkan takbir (Allahu Akbar), Allah Mahabesar. Ucapan takbir
itu merupakan ucapan yang mengagungkan Allah sehingga dirinya merasa kecil
di hadapan-Nya. Dengan mengaku diri merasa kecil di hadapan Allah itu, maka
akan lebih mendekatkan kepada Allah yang Mahakuasa. Dengan meyakini
kekuasaan-Nya itu, Fahri merasa tenang dan tenteram karena Allah itu dekat,
lebih dekat dari urat leher. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al
Baqarah: 186, yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي
وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ) البقرة: ١٨٦(
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs. Al Baqarah: 186)[25]
Pentransformasian
ayat al-Quran tersebut sebagai hipogram atau latar penciptaan Ayat-Ayat
Cinta memberikan pesan sebagai gambaran bahwa Allah itu dekat. Dengan
demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta
tersebut terkait dengan pengakuan yang meyakini bahwa Allah itu dekat.
Kecintaan Fahri
kepada Allah di atas segalanya. Hal tersebut tergambar dari pernyataan Fahri
saat melukiskan orang yang kehausan di tengah sahara. Ketika kehausan yang
paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar dahaga. Hal itu seperti
tampak dalam doa Baginda Nabi, seperti dalam kutipan Ayat-Ayat Cinta berikut
ini: “Ya Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga
dan air yang dingin”.
Aisha sangat
mencintai suaminya, Fahri. Akan tetapi cinta ia terhadap suaminya itu tidak melebihi
cintanya Aisha kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti tergambar dalam kutipan di
bawah ini.
Sama, aku pun sangat mencintaimu, Suamiku. Rasanya tak ada bahasa yang
sanggup mewakili besarnya rasa cintaku padamu setelah Allah dan Rasulnya,
Kaulah yang paling kucinta. Kaulah harta yang paling berharga. Harta dan
kekayaan bisa dicari tapi suami yang saleh dan memiliki rasa cinta sedemikian
tulus dan bersihnya seperti dirimu adalah karunia Allah Azza wa Jalla[26].
Gambaran tokoh
Fahri dan Aisha yang mencintai Allah di atas segalanya dalam Ayat-Ayat Cinta
itu merupakan pentransformasian dari nilai-nilai ajaran Islam dengan
hipogramnya Q.S. At Taubah: 24, yang bunyi dan artinya adalah sebagai
berikut:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا
أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الْفَاسِقِينَ) التوبة: ٢٤(
Artinya: Katakanlah:
"jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik. (Qs. At Taubah: 24)[27]
Ayat tersebut
di atas merupakan sindiran Allah terhadap orang-orang yang lebih mencintai sesuatu
dari pada Allah. Mereka lebih mencintai bapak-bapaknya, anak-anaknya,
saudara-saudaranya, isteri-isterinya, keluarganya, harta kekayaannya,
perniagaannya, dan tempat tinggalnya dari pada mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dengan
demikian, ayat tersebut mengajak manusia agar mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas
segala-galanya. Hal tersebut digambarkan dalam novel Ayat-Ayat Cinta
melalui tokoh Fahri yang mempunyai istri cantik, kekayaan yang melimpah, dan
mempunyai ilmu yang tinggi. Namun, istri yang cantik, kekayaan yang melimpah,
dan ilmu yang tinggi itu tidak menyurutkan Fahri untuk mencintai Allah di atas
segala-galanya. Nilai-nilai ajaran Islam yang dipesankan dalam Ayat-Ayat
Cinta tersebut mengajak pembaca untuk mencintai Allah di atas segalanya.
Maria merupakan
gambaran tokoh secara fisik termasuk gadis yang berparas cantik. Selain
kecantikannya, Maria juga mempunyai akhlak yang baik dan sangat taat pada
ajaran agamanya. Maria memeluk agama Kristen Koptik. Hal itu tampak dalam
kutipan berikut ini.
Nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis.
Berasal dari keluraga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen Koptik yang sangat
taat.[28]
Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa
asli Mesirnya qibthi, namun ia suka pada Al-Quran. Ia bahkan hafal beberapa
surat Al-Quran. Di antaranya surat Maryam.[29]
Di balik keyakinan dan ketaatan Maria terhadap agamanya, Maria juga
mengakui bahwa Alquran lebih dimuliakan daripada kitab-kitab lain. Seperti
tampak dalam kutipan berikut ini.
Bahkan jujur kukatakan, Alquran jauh lebih dimuliakan dan dihargai daripada
kitab suci lainnya. Ia lebih dihargai dari pada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.[30]
Bahkan aku saja, yang seorang Koptik suka kok menghafal
Alquran. Bahasanya indah dan enak dilantunkan, ”cerocosnya santai tanpa ada
keraguan”.[31].
Maria meyakini bahwa Alquran adalah kitab yang paling mulia. Dia juga
menyenangi al-Quran dan bisa menbacanya. Bahkan ia suka menghapal al-Quran,
tetapi Maria tetap saja beragama Kristen Koptik. Ia belum mau memeluk agama
Islam meskipun sering membaca dan menghapal Alquran. Oleh karena ia belum
mendapat hidayah dari Allah. Hanya Allahlah yang menentukan siapa-siapa saja
yang berhak mendapatkan hidayah-Nya. Hal tersebut seperti tampak dalam kutipan
di bawah ini:
Sebab hanya Allah saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut diberi
hidayah. Abu Thalib adalah paman nabi yang mati-matian membela dakwah nabi.
Cinta nabi pada Beliau sama dengan cinta pada ayah kandungnya sendiri. Tapi
masalah hidayah hanya Allah yang berhakmenentukan. Nabi tidak bisa berbuat
apa-apa atas nasib sang paman yang amat dicintainya itu. Juga hidayah untuk
Maria. Hanya Allah yang berhak memberikannya.[32]
Kutipan itu
menggambarkan bahwa Abu Thalib tidak masuk Islam. Padahal ia adalah paman Nabi
yang hidup serumah dan ia juga yang membesarkan Nabi dengan penuh kasih sayang.
Abu Thalib juga yang telah membela dakwah Nabi ketika Nabi diserang oleh
musuh-musuhnya. Meskipun demikian, paman Nabi tidak tertarik untuk memeluk
agama Islam. Hal itu menunjukkan bahwa seorang nabi pun tidak dapat memberi
hidayah karena hidayah adalah hanya milik Allah semata.
Gambaran
tentang keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat memberi hidayah dalam Ayat-Ayat
Cinta tersebut merupakan hasil pentransformasian dari nilai-nilai ajaran
Islam dengan hipogram Q.S. Fatiir: 1 yang bunyi dan artinya sebagai
berikut:
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلاً أُولِي أَجْنِحَةٍ
مَّثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ) فاطر: ١(
Artinya: Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap,
masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (Qs. Fatiir: 1)[33]
Ayat-ayat tersebut di atas menggambarkan bahwa hidayah itu milik Allah.
Manusia tidak bisa memberikan hidayah kepada seseorang. Manusia hanya bisa
mengajak dan memberikan petunjuk kepada jalan yang benar. Begitu pun seorang
Rasul atau Nabi, Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran Allah kepada umatnya.
Namun, urusan tentang siapa saja yang harus diberi hidayah, itu sepenuhnya
merupakan hak prerogatif Allah. Nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam
Ayat-Ayat Cinta tersebut adalah memberikan gambaran bahwa
hanya Allahlah yang berhak memberikan hidayah.
Novel Ayat-Ayat Cinta merupakan novel dakwah
yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Novel tersebut bercerita tentang
kebenaran agama Islam sebagai agama Allah yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya.
Bahkan, dalam novel tersebut diceritakan bahwa pemeluk agama lain, Alicia,
mengakui kebenaran agama Islam. Alicia pun akhirnya memeluk agama Islam. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut:
Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan terima
kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku menemukan kebenaran
dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini. ”Kata Alicia, mata birunya
berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan batinnya sampai akhirnya
masuk Islam dua bulan yang lalu[34].
Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih agung
dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa yang kau
lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu mampu menjadi
jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan[35].
Tentang
kebenaran Islam bisa disimak juga ketika Maria masuk Islam dengan mengucapkan syahadatain.
”Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammdan abduhu wa
rasuluh”[36].
Begitulah kalimat yang diucapkan Maria.
Keyakinan
terhadap Islam sebagai agama yang benar merupakan pentransformasian nilai-nilai
ajaran Islam dari Q.S. Al An’am: 79, yang bunyi dan artinya sebagai
berikut:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي
فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
) الأنعام: ٧٩(
Artinya: Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. (Qs. Al An’am: 79)[37]
Tentang
keyakinan agama Islam sebagai agama yang benar, juga terdapat dalam Q.S. Ali
Imran: 19 yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ
الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ
مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ
فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ) آل عمران: ١٩(
Artinya: Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Qs. Ali Imran: 19)[38]
Pesan tentang
nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut
disampaikan melalui tokoh Fahri, Alicia, dan Maria. Tokoh-tokoh tersebut menggambarkan
bahwa agama yang diyakini benar adalah Islam.
Tokoh Fahri dan
Aisha merupakan tokoh yang pandai bersyukur kepada Allah. Mereka diberi nikmat
oleh Allah berupa harta yang melimpah. Namun, dengan kekayaannya itu, mereka
tidak menjadi sombong dan tidak membuat mereka melupakan Allah. Apa yang telah
dimilikinya merupakan karunia dari Allah subhanahu wata’ala. Dengan
kenikmatan yang melimpah tersebut mereka tidak melupakan Allah, mereka
bersyukur kepada-Nya. Seperti tampak dalam kutipan ini berikut ini. “Segala
puji bagi-Nya yang telah memberikan anugrah-Nya yang agung ini pada kita berdua”.[39]
Dari kutipan
itu tergambar bahwa keduanya, yaitu Fahri dan istrinya, Aisha, mengakui bahwa
apa yang dimilikinya dan dirasakannya itu adalah pemberian dari Allah. Pada
hakikatnya Allah-lah yang telah memberikan kenikmatan hidup kepada mereka.
Fahri dan Aisha tidak pernah merasa bahwa apa yang dimiliki dan dirasakannya
itu adalah hasil perjuangan mereka, melainkan
semata pemberian dari Allah. Dengan demikian, kenikmatan-kenikmatan
yang telah diberikan Allah itu sudah sepantasnya disyukuri.
Selain itu,
bentuk syukur Fahri terhadap Allah bisa disimak ketika Fahri sedang berada di penjara.
Meskipun di penjara, ia tetap merasa tenang dan tidak putus asa. Sebagai bentuk
syukur kepada-Nya, Fahri lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan bersujud di
hadapan-Nya, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam
rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih merasakan
kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar agungnya. Tuhan
masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya. Aku tiada kuasa berbuat
apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.[40].
Kutipan itu menunjukkan,
dalam keadaan apa pun Fahri selalu mendekatkan diri pada Allah sebagai bentuk
syukur kepada-Nya. Penjara yang sempit dan pengap tidak menyurutkannya untuk mensyukuri
nikmat Allah. Ia bersujud, bersimpuh, dan berdoa kepada Allah atas apa yang sedang
dialaminya. Ia percaya hanya Allahlah yang akan memberikan jalan kepada
hambanya. Kepercayaan kepada Allah yang mendalam itu diwujudkan dengan salat,
berdoa, dan ibadah-ibadah yang lain.
Tindakan Fahri
yang penuh rasa syukur itu merupakan pentransformasian dari Q.S. Ibrahim: 7
yang bunyi dan artinya sebagai berikut:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن
شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ) إبراهيم: ٧(
Artinya: Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih( Q.S. Ibrahim:
7)[41]
Nilai-nilai
ajaran Islam tentang syukur kepada Allah yang disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta
merupakan gambaran bagaimana manusia harus bersyukur kepada Allah. Dalam
keadaan lapang ataupun sempit manusia tetap harus bersyukur kepada Allah,
sebagaimana dicontohkan tokoh Fahri dalam novel tersebut.
Dalam novel Ayat-Ayat
Cinta, pengarang mengangkat tema yang berhubungan dengan ketakwaan kepada
Allah. Pesan pengarang tentang ketakwaan tersebut oleh pengarang disampaikan
melalui tokoh Fahri. Tokoh Fahri digambarkan sebagai tokoh yang mengajak
pembaca untuk bertakwa kepada Allah. Hal tersebut, seperti tampak dalam kutipan
berikut ini.
Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita tetap bersama dan tidak
kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa kepada Allah Azza Wa Jalla.[42].
Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam Surat Az Zuhruf ayat
67: “Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa”[43].
Sikap harus
bertakwa kepada Allah itu merupakan pentransformasian ajaran Islam dengan hipogramnya
Q.S. Az Zukhruf: 67 yang bunyi dan artinya adalah sebagai berikut:
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ) الزخرف: ٦٧(
Artinya: Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa (Q.S.
Az Zukhruf: 67 )[44]
Pentransformasian
ayat-ayat Alquran tersebut sebagai latar penciptaan novel Ayat-Ayat Cinta
berfungsi ajakan bagi orang-orang Islam untuk bertakwa kepada Allah. Sikap
takwa merupakan wujud dari nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan keyakinan
terhadap adanya Allah.
Ciri-ciri orang
yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang mau beribadah kepada-Nya. Hal
tersebut seperti tampak dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang menggambarkan
kewajiban beribadah kepada Allah, seperti tampak dalam kutipan berikut: “Dekatkan
diri kepada Allah! Dekatkan diri kepada Allah! Dan dekatkan diri kepada Allah!”[45].
Kutipan
tersebut melukiskan agar manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan cara beribadah.
Tokoh Fahri, misalnya, seorang tokoh yang telah memberikan keteladanan kepada
tokoh lain bahwa orang Islam yang benar-benar memercayai adanya Allah tentu
harus beribadah kepada-Nya. Kepercayaan/keimanan tersebut tidak hanya dalam
pengakuan bahwa Allah itu ada, tetapi perlu dibuktikan dengan praktiknya, yaitu
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sikap seperti
itu merupakan pentransformasian dari Q.S. Adz Dzariyat: 56, yang bunyi
dan artinya sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) الذاريات: ٥٦(
Artinya: Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.(Qs. Adz Dzariyat: 56)[46]
Pentransformasian
nilai-nilai ajaran Islam dari Alquran ke dalam novel Ayat-Ayat Cinta tersebut berfungsi
sebagai gambaran bahwa orang Islam yang meyakini adanya Allah harus diwujudkan dengan
mendekatkan diri kepada Allah, dengan beribadah kepada-Nya.
Fahri difitnah
oleh keluarga Noura bahwa dirinya memerkosa Noura sampai hamil. Fitnah itu telah
membuat Fahri dan istrinya menderita. Fahri pun dijebloskan ke dalam penjara
bawah tanah yang gelap dan pengap. Ia disiksa, bahkan ditelanjangi oleh para
sipir penjara untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Meskipun Fahri
disiksa dan ditelanjangi, Fahri tetap pada pendiriannya bahwa tidak
melakukannya karena dirinya merasa tidak memerkosa Noura. Bahkan, sebenarnya
Fahrilah yang telah menyelamatkan Noura dari kekejaman Bahadur, ayah angkat
Noura. Ketika itu Noura belum bertemu dengan orang tua yang sebenarnya.
Fahri pun akan
digantung di tiang gantungan. Namun, dia tetap tenang, tidak sedikit pun ada keraguan
tentang adanya pertolongan Allah. Fahri meyakini bahwa kematian manusia itu
sepenuhnya berada di tangan Allah. Bahkan, Fahri semakin yakin bahwa Allahlah yang
menentukan kematian, bukan manusia. Fahri meneladani para ulama terdahulu yang
tegar dalam menghadapi kematian. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
“Aisha, hidup
dan mati ada di tangan Allah”[47].
Aku teringat ulama-ulama yang mengalami nasib tragis di tangan para algojo
negara ini. Apapun jalannya, kematian itu satu yaitu mati. Allah sudah
menentukan ajal seseorang. Tak akan dimajukan dan dimundurkan. Maka tak ada
gunanya bersikap lemah dan takut menghadapi kematian. Dan aku tidak mau mati dalam
keadaan mengakui perbuatan yang memang tak pernah aku lakukan.[48].
Sikap dan
keyakinan yang kuat bahwa kematian itu akan menjemput manusia atas kehendak Allah
merupakan pentransformasian dari Q.S. Al Ankabut: 57, Q.S. An Nisa: 78, Q.S.
Ali Imran: 185, dan Q.S. Luqman: 34.
Pentransformasian
ayat-ayat Alquran tersebut sebagai hipogram novel Ayat-Ayat Cinta berfungsi sebagai
gambaran bahwa hanya Allahlah yang mengatur hidup dan mati manusia. Setiap
makhluk yang bernyawa akan mengalami kematian. Dengan demikian, untuk
menghadapi kematian tersebut, manusia harus berbekal ibadah kepada Allah
subhanahu wata’ala.
Pesan
nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta yang hipogramnya
dari Q.S. Al Ankabut: 57, Q.S. An Nisa: 78, Q.S. Ali Imran: 185, dan Q.S.
Luqman: 34, yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca menggambarkan
bahwa harus ingat akan kematian.
Selama di
penjara, Fahri sulit mendapatkan makanan. Jatah makanan itu kadang tidak sampai
pada orang-orang yang berada dalam penjara karena ulah para sipir yang sengaja
tidak memberikannya kepada para tahanan. Fahri juga mengalami hal yang
demikian. Untung saja teman satu ruangan Fahri, yaitu Profesor Abdul Rauf,
dijenguk oleh istrinya. Istri Profesor Abdul Rauf itu membawa makanan. Lihat
kutipan berikut. “Udahlah kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki
dari Allah Swt.!” kata Profesor Abdu Rauf”[49]
Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan
keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan Allah
adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan
tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya
yaitu ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh
masing-masing memilih perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling
muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan
susu karena dia paling suka minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena
dia orang yang hobinya melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan
tekstil.[50]
Nilai-nilai
ajaran Islam yang dipancarkan dari keyakinan adanya Allah pada intinya adalah ketauhidan
atau mengesakan Allah. Karena Ayat-Ayat Cinta merupakan novel yang sarat dengan
ketauhidan, cerita dan tokoh-tokohnya juga digerakkan oleh
pernyataan-pernyataan yang berhubungan keesaan Allah. Hal itu tampak dalam
kutipan berikut.
Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena
Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat
cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada
manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam
hidup adalah juga ayat cinta yang dianugrahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak
dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina di
dalam cahaya kerelaan-Nya.[51]
Kutipan di atas
itu mengajak pembaca untuk merenung tentang membangun kehidupan berkeluarga,
seperti pesan yang diberikan melalui tokoh pasangan suami-istri, Fahri dan
Aisha. Fahri dan Aisha merupakan suami-istri yang dalam rumah tangganya
didasarkan atas kasih sayang. Kasih sayang mereka dilandasi dengan kecintaannya
kepada Allah. Mereka menjalin keluarga mawadah, warahmah, dan sakinah
dengan mengagungkan kebesaran Allah. Mereka saling mencintai karena Allah.
Mereka juga membangun keluarga yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah. Cermati kutipan berikut:
Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu
suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena
Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat
cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada
manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam
hidup adalah juga ayat cinta yang dianugrahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak
dalam kandunganku. Aku berjanji kan setia menempatkan cinta yang kita bina ini
di dalam cahaya kerelaan-Nya.[52]
Kutipan
tersebut menunjukkan bahwa Fahri dan Aisha berumah tangga atas dasar landasan ketauhidan
yang bertumpu kebesaran cintanya kepada Allah. Mereka membina rumah tangga atas
dasar kecintaan dan ketakwaan kepada Allah. Dengan membaca Ayat-Ayat Cinta,
pembaca diharapkan dapat mencontoh Fahri dan Aisha dalam membangun rumah tangga
yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah dan menegakkan ketauhidan, sebagaimana
transformasi dari Q.S. Al Mu’minun: 52, Q.S. Az Zukruf: 28, dan Q.S. Az
Zukruf: 86.
Dari ayat-ayat
itu tergambar bahwa mengesakan Allah bagi umat Islam wajib hukumnya. Ayat-ayat
tersebut paralel dengan pesan yang disampaikan oleh tokoh Fahri dan Aisha dalam
novel Ayat-Ayat Cinta. Dalam membangun
rumah tangganya, keduanya tidak terlepas dari bingkai ketauhidan. Dengan demikian,
nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta ini adalah
mengingatkan pembaca tentang pentingnya menegakkan ketauhidan (mengesakan
Allah).
B.
Beriman Kepada Rasul/Nabi
Dalam tulisan
ini dipakai istilah Rasul dan Nabi. Setiap Rasul itu mesti Nabi, sedangkan
setiap Nabi belum tentu Rasul. Rasul adalah seorang manusia pilihan yang diutus
Allah untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada umatnya. Biasanya seorang Rasul
mendapat sebutan rasulullah, artinya utusan Allah. Adapun Nabi adalah seorang
manusia pilihan Allah, tetapi hanya untuk dirinya sendiri, tidak diutus untuk
menyampaikan ajaran kepada umat manusia. Beriman kepada Rasul-rasul itu berarti
percaya bahwa Allah telah memilih seorang Rasul pada masa tertentu, dan pada
umat tertentu pula, untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah
dari Allah itu dimaksudkan untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasul
Allah berjumlah 25, yang perlu diketahui oleh manusia.. Orang-orang di
tiap-tiap zaman wajib mengikuti petunjuk Rasul pada zaman itu. Apabila datang
seorang Rasul yang baru, manusia yang di zaman itu tidak boleh berpegang pada Rasul
tersebut. Nabi dan sekaligus Rasul yang terakhir adalah Muhammad SAW.
Nabi Muhammad
merupakan teladan bagi umat manusia. Kehidupan Nabi Muhammad merupakan teladan
bagi umatnya. Kehidupan Rasulullah itu digambarkan dalam hadis-hadisnya. Dari hadis-hadis
itulah diperoleh gambaran atau petunjuk keteladanan Rasulullah yang perlu
diikuti oleh umatnya. Hadis-hadis tersebut merupakan lukisan akhlak Rasulullah.
Hadis juga merupakan pedoman bagi umat Islam sebagai penjabaran dari Alquran.
Menurut Shafie
Abu Bakar dalam falsafah pemikiran Islam, terdapat tiga konsep keinsanan yang
unggul yang dimiliki oleh Nabi Muhammad, yaitu insan kamil, insan khalifah dan
insan rabbani.[53]
Terbukti dalam sejarah Islam ketiga konsep tersebut terdapat pada diri
Rasulullah Saw. sehingga Baginda mendapat gelar al-amin (yang jujur dan
yang benar), al-mustafa (yang terpilih), dan habibullah (kekasih
Allah). Rasulullah merupakan seorang pemimpin, hakim, dan panglima perang yang
tiada tandingan. Beliau mempunyai tahap kerohanian yang tinggi dan insan kamil
(manusia sempurna). Rasulullah memiliki pribadi yang mulia dan akhlak yang
terpuji dengan segala sifat istimewa dan luar biasa semenjak masih kanak-kanak
hingga wafat.[54].
Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin bagi umat
Islam, nabi sekaligus rasul bagi umat Islam. Rasulullah merupakan teladan bagi
umatnya.
Keteladan
Muhammad, baik sebagai Nabi maupun sebagai Rasul, telah diakui oleh dunia. Ia merupakan
sosok pemimpin umat yang disegani dan dijadikan teladan. Dalam novel ayat-ayat
cinta digambarkan bagaimana akhlak Rasulullah dalam memberikan keteladanan
kepada umatnya. Tokoh Fahri menggambarkan sosok yang meneladani Rasulullah
dalam berdakwah kepada umatnya melalui akhlaknya yang terpuji,
sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut:
Dakwah nabi dengan perbuatan lebih banyak dari dakwah beliau dengan khutbah
dan perkataan. Ummul Mu’minin, Aisyah r.a. berkata, ”Akhlak Nabi adalah
Al-Qur’an!” Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Nabi tidak canggung mencari kayu
bakar untuk para sahabatnya. Para sahabat meneladani apa yang beliau contohkan.
Akhirnya mereka juga menjadi Al-Qur’an berjalan yang menyebar ke seluruh
penjuru dunia Arab untuk dicontoh seluruh umat.[55]
Transformasi
nilai-nilai ajaran Islam sebagai wujud dari refleksi rukun iman keempat adalah mengakui
adanya Rasul-rasul, termasuk Muhammad sebagai Rasul terakhir yang memberi keteladanan
kepada umatnya. Keteladanan Rasul sebagaimana hasil pentransformasian dari
nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta yang hipogramnya
dari Alquran dan Hadis Nabi melalui para tokoh.
Sebaik-baik
istri adalah istri yang taat kepada suaminya dan harus menjaga kehormatan, baik
pada waktu suaminya ada maupun tidak ada. Pernyataan tersebut dikemukakan Fahri
ketika Fahri sedang memaparkan tentang perempuan dalam pandangan Islam.
Pertanyaan tentang perempuan itu dilontarkan oleh seorang perempuan Amerika
bernama Alicia yang sedang berada di Mesir. Fahri menerangkan kepada Alicia dan
Aisha tentang pandangan Islam terhadap perempuan dan bagaimana menjadi seorang
istri dalam pandangan Islam. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
Sebaik-baik istri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika
kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia menjaga untukmu
harta dan dirinya.[56]
Kau...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku.
Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu suamiku.
Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah
Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di
antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan
imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat
cinta yang dianugrahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan
setia menempatkan cinta yang kita bina di dalam cahaya kerelaan-Nya[57].
Tentang istri
harus menjaga kehormatan merupakan pentransformasian dari Hadis Nabi yang bunyi
dan artinya sebagai berikut: Pentransformasian Hadis tersebut sebagai latar
penciptaan novel Ayat-Ayat Cinta merupakan gambaran bahwa istri harus taat
kepada suami dan harus menjaga kehormatannya. Pentransformasian nilai-nilai ajaran
Islam dalam Ayat-Ayat Cinta yang berhubungan dengan ketaatan istri terhadap
suami dan istri harus menjaga kehormatannya memberi gambaran bahwa dalam ajaran
Islam seorang suami adalah pemimpin yang perlu ditaati oleh istri. Seorang
istri juga harus menjaga kehormatan suami, baik ketika suami berada di rumah
maupun ketika suami sedang tidak ada di rumah.
C.
Akhlak
Akhlak yang
diteladankan Rasulullah, di antaranya, menghormati tamu. Nabi Muhammad pernah
berkata kepada sahabatnya bahwa kelak kalau membangun Mesir harus ditanamkan
bersikap halus dan ramah kepada masyarakatnya. Hal tersebut tergambar dari
pernyataan tokoh Fahri, seperti tampak dalam kutipan berikut:
Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak
seperti yang digambarkan Baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orang-orang
Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada shabatnya, jika
kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata
kalian sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli oang Mesir. Mungkin kalian
sejatinya sebagai Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad
Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah.[58]
Beliau juga
pernah bersabda bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
orang tersebut harus menghormati tamunya. Hal tersebut dilukiskam dalam Ayat-Ayat
Cinta ketika ada tiga warga Amerika yang sedang berada di Mesir. Warga Mesir
menghina ketiga warga Amerika itu. Fahri pun mengingatkan orang-orang Mesir
bahwa perbuatannya itu keliru. Rasul tidak mengajarkan umatnya untuk menghina
tamunya. Sebaliknya, Rasul menyuruh umatnya untuk menghormati tamu tanpa
memandang agama dan suku bangsa.
Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak, ini akan
menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang Islam
kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal Baginda Rasul mengajarkan kita
menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus
dihormati sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari
akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Tapi
jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab
tindakan kalian yang tidak menghormati
tamu itu jauh dari ajaran Islam. [59]
Dalam Ayat-Ayat
Cinta juga diterangkan bagaimana cara bertetangga yang baik, dengan tidak memandang
suku bangsa maupun agama. Setiap manusia harus saling menghormati, menghargai,
dan toleransi. Hal itu bisa dilihat bagaimana Fahri dan teman-temannya
bertetangga dengan Tuan Butrous, seperti terlukis dalam kutipan berikut:
Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap
representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi
dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut
keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang
beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan yang terlalu jauh.
Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah
belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita gantian
memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi
ahasana minha![60].
Dari kutipan
itu jelas bahwa Fahri dan kawan-kawannya menghormati keluarga Tuan Butrous
karena keluarga Tuan Butrous juga menghargai Fahri dan teman-temannya. Padahal,
di antara mereka ada beberapa perbedaan, yakni status ekonomi keluarga Tuan
Butrous yang terpandang kaya dan keluarga Tuan Butrous beragama Kristen Khatolik.
Akan tetapi, perbedaan itu tidak menyurutkan mereka untuk saling menghargai dan
menghormati. Dengan demikian, bertetangga atau bermasyarakat yang dicontohkan
dalam ayat-ayat cinta sesuai dengan yang dicontohkan rasul.
Selain harus
menghormati tamu dan bertetangga dengan baik, dalam Ayat-Ayat Cinta juga
digambarkan bagaimana bersikap dengan sesama manusia. Hal tersebut dalam ajaran
Islam termasuk ibadah yang berhubungan dengan manusia (hablu minannas)
karena Allah juga memerintah manusia agar berinteraksi dengan sesama manusia.
Begitu pun dalam Ayat-Ayat Cinta, seperti yang diperlihatkan oleh Fahri dan
teman-temannya dengan keluarga Tuan Butrous. Dalam bertetangga mereka tidak
memandang agama dan suku bangsa dan bersikap saling toleransi, meskipun berbeda
status atau berbeda suku dan agama. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:
Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap
representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi
dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut
keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang
beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan yang terlalu jauh.
Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya
adalah belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah
diberi, ya nanti kita gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum
bi tahiyyatin fa hayyu bi ahasana minha![61]
Dalam kutipan
itu tampak bahwa Fahri memberikan penjelasan kepada teman-temannya bahwa sesama
manusia harus saling memperhatikan, menghormati, menghargai meskipun berbeda
suku bangsa dan berbeda agama. Keluarga Tuan Boutrous telah bersikap baik
kepada Fahri dan teman-temannya. Begitu pun Fahri dan teman-temannya membalas
kebaikan keluarga Tuan Butrous.
Demikian pula
halnya masalah pembinaan kerukunan terhadap antarumat
beragama. Di satu pihak pemerintah dan
kelompok-kelompok harus mengambil langkah-langkah untuk mengharmoniskan
hubungan antarumat, tetapi di lain pihak ada orang atau kelompok-kelompok
tertentu yang berulah memicu persengketaan antarumat beragama. Kalau dicermati
akar masalahnya, gangguan terhadap kerukunan hidup antarumat beragama adalah
kurangnya toleransi satu kelompok dengan kelompok lain. Toleransi dalam arti
yang sesungguhnya adalah bahwa seseorang atau suatu kelompok mengakui hak hidup orang atau kelompok lain
serta menghormati pendapat dan ajaran pihak lain.
Pentransformasian
nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta di atas, yang
berhubungan dengan keteladan Rasulullah dalam menghormati tamu, berbuat baik,
saling menghormati, dan sikap toleransi, merupakan refleksi dari keteladan Rasulullah
yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta melalui tokoh Fahri. Dengan demikian, nilai-nilai
yang dapat diambil dari ajaran Islam meliputi saling menghormati tamu, berbuat baik
dengan tetangga, dan sikap saling toleransi sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Rasulullah
memberikan penjelasan tentang bagaimana menghargai perempuan. Dalam novel Ayat-Ayat
Cinta, tokoh Fahri dengan panjang lebar juga menerangkan kepada Alicia dan
Aisha tentang harus menghormati perempuan menurut pandangan Islam. Alicia
menyampaikan pertanyaannya kepada Fahri karena di Amerika berkembang pendapat
tentang Islam yang melecehkan perempuan. Menurut sebagian besar warga Amerika,
dalam ajaran Islam seorang suami membolehkan memukul istrinya.
Fahri
menjelaskan kepada Alicia dan Aisha tentang bagaimana Islam memandang
perempuan. Memang benar dalam ajaran Islam, suami boleh memukul istrinya,
tetapi tidak sedemikian mudahnya melakukan hal itu. Dalam ajaran Islam, ada
ketentuan-ketentuan yang sangat jelas tentang boleh tidaknya suami memukul istri.
Bahkan dalam Islam Rasulullah menyuruh seorang suami agar berbuat baik kepada
istrinya. Hal tersebut tampak dalam kutipan Ayat-Ayat Cinta di bawah ini.
Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu.
Rasulullah Saw. dalam sebuah hadisnya bersabda, ”la taddhribu imaallah.
Maknanya, ”janganlah kalian pukul kaum perempuan!” Dalam hadis yang lain beliau
menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik pada
istrinya.[62]
“Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki ibulah surga anak
lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan wanita.”[63]
Ajaran Islam
yang berhubungan dengan keharusan menghormati perempuan merupakan pentransformasian
Q.S. An Nisa: 34. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat
dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan gambaran bahwa Islam tidak membenarkan
berbuat semenamena terhadap perempuan. Bahkan ajaran Islam menganjurkan seorang
suami harus berbuat baik kepada istrinya.
Dalam novel ayat-ayat
cinta, terdapat transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang berkaitan dengan
pengakuan terhadap rukun iman kemmpat, yaitu keyakinan bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. Dalam hal ini, keteladanan Nabi itu berkaitan dengan
anjuran menengok dan mendoakan orang yang sakit. Keteladanan Nabi tentang
perlunya menengok dan mendoakan orang sakit itu merupakan pentransformasian
Hadis Nabi. Hal itu tampak dalam uraian tentang tokoh Fahri yang terdapat dalam
Ayat-Ayat Cinta.
Fahri sakit di
rumah sakit karena ia terlalu memaksakan diri mengejar target pekerjaannya. Ia
juga melakukan banyak aktvitas di luar, yaitu menemui Alicia dan Aisha, untuk
menjelaskan pandangan Islam terhadap perempuan. Ia juga pergi mengaji ke Syaikh
Ahmad dan mengisi pengajian rutin yang diselenggarakan keluarga Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Mesir. Padatnya aktivitas Fahri dan udara di Mesir yang
sangat panas menyebabkan Fahri jatuh sakit. Ketika Fahri sakit di rumah sakit,
banyak yang menengok Fahri, di antaranya keluarga Tuan Butrous, teman-teman
kampus Fahri, Syaikh Ahmad, dan Syaikh Utsman. Mereka yang menengok itu berdoa
untuk kesembuhan Fahri, seperti tampak dalam kutipan berikut. “Mereka semua
tersenyum padaku meskipun aku menangkap guratan sedih dalam wajah mereka.
Mereka mendekat satu per satu dan memelukku pelan sambil berbisik, ’Syafakallah
syifaan ajilan, syifaan layughadiru ba’dahu saqaman”’[64]
Nilai-nilai
ajaran Islam yang ada dalam Ayat-Ayat Cinta tentang menengok dan mendoakan
orang sakit itu sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya.
Sedangkan dalam Ayat-Ayat Cinta tentang menengok dan mendoakan orang sakit bisa
dilihat ketika Fahri sakit dan dijenguk oleh Syaikh Ahmad dan Syaikh Utsman.
Syaikh Amad dan Syaikh Utsman tersebut mendoakan Fahri agar lekas sembuh.
Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang dipesankan dalam Ayat-Ayat Cinta
itu adalah tentang perlunya menengok dan mendoakan orang sakit.
Islam
menganjurkan agar pergaulan muda-mudi didasarkan atas ajaran Islam. Islam
melarang perempuan bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrim. Hal tersebut
seperti tampak dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang menggambarkan bahwa perempuan dilarang
bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrim, seperti tampak dalam kutipan
ini:
“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran
Al-Quran dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri
atau mahramku”[65]..
“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang
menungguiku? Dia bukan mahramku”[66].
Bagaimana tata
cara bergaul dengan bukan muhrim sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam
diperlihatkan oleh Fahri ketika berpapasan dengan Maria. Fahri tidak mau
berjalan di belakang Maria, seperti tampak dalam kutipan berikut:
Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat langkah.
Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku teringat
kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau berjalan di
belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan jiwa.[67]
Setelah
dicermati, novel Ayat-Ayat Cinta juga mengandung pesan nilai-nilai ajaran Islam
yang berhubungan dengan pentingnya pernikahan dan gambaran poligami berdasarkan
Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan dan poligami secara tersurat dibahas
melalui ayat Alquran dan Hadis Nabi. Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa,
baik secara jasmani maupun rohani, wajib hukumnya menikah. Dalam ajaran Islam
laki-laki dan perempuan yang sudah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan
untuk menikah. Pernikahan dalam novel Ayat-Ayat Cinta bisa dilihat dari tokoh
Fahri yang mempunyai istri, yaitu Aisha. Sebenarnya sebelum menikah dengan
Aisha, Fahri menyimpan rasa kagum terhadap Nurul, seorang mahasiswi dari
Indonesia. Fahri memendam perasaan senangnya kepada Nurul karena menyadari
bahwa ia adalah seorang pemuda desa dari keluarga biasa. Ketika Fahri mau
menikah dengan Aisha, seorang gadis keturunan Jerman, datang paman Nurul kepada
Fahri. Sang paman tersebut menerangkan bahwa kedatangannya itu dimaksudkan
untuk membawa amanah dari Nurul guna menyampaikan perasaan Nurul kepada Fahri.
Setelah mengetahui bahwa Nurul sebenarnya sangat mencintai Fahri, tentu saja
Fahri merasa bingung. Akan tetapi, Fahri sadar, Fahri tidak mau mengkhianati
janjinya untuk menikah dengan Aisha yang telah direncanakan dengan matang.
Pentingnya menikah tersebut tampak dalam kutipan berikut.
Jika aku membatalkan pernikahan yang telah dirancang matang, aku tidak tahu
apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti sunnah
Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan menyempurnakan separo
agama sama sekali.[68]
“Gerimis di hatiku tidak mau berhenti. Air mata terus saja meleleh. Aku
kini
telah memiliki seorang istri.”[69]
Kutipan-kutipan
tentang perlunya menikah dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan pentransformasian dari
Q.S. An Nisa ayat 3, Q.S. Yasiin:6.
Kutipan tentang
pernikahan yang terdapat Ayat-Ayat Cinta tersebut ternyata sesuai dengan
ayat-ayat Alquran tersebut. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang
disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan gambaran bahwa menikah
dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam ajaran Islam
diperbolehkan seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, atau terkenal
dengan istilah poligami. Namun, poligami dalam ajaran Islam harus mengikuti
aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, yaitu harus
berlaku adil. Poligami dalam Ayat-Ayat Cinta tergambar ketika Fahri menerima
surat dari Nurul. Dalam suratnya itu Nurul menyatakan perasaannya bahwa dia
sangat mencintai Fahri. Bahkan, Nurul siap dipoligami, seperti tampak dalam
kutipan berikut: “Aku tidak ingin yang melanggar syariat aku ingin yang seiring
dengan syariat. Kalian berdua orang yang saleh dan paham agama tentu memahami masalah
poligami. Apakah keadaan yang menimpaku tidak tidak bisa dimasukkan dalam
keadaan darurat yang membolehkan poligami?”[70]
Kutipan
berikutnya menerangkan bagaimana poligami dalam ajaran Islam yang dipesankan
oleh tokoh Fahri. Hal ini tergambar ketika Fahri membalas surat Nurul yang
isinya Fahri tidak bersedia berpoligami meskipun diperbolehkan agama.
Kalau kau memiliki anggapan poligami bisa menjadi jalan keluar dalam masalah
ini, bisa jadi ada benarnya. Poligami memang diperbolehkan oleh syariat, tapi
aku tidak mungkin menempuhnya. Aku perlu menjelaskan, di antara syarat yang
telah kami sepakati sebelum akad nikah adalah aku tidak akan memadu Aisha. Aku
sudah menyepakati syarat itu. Kau tentu tahu hukumnya, aku harus menepatinya.
Hukumnya wajib.[71]
Pernyataan
lebih jelas yang menggambarkan poligami terlihat ketika Maria sakit keras
sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Maria tidak sadarkan diri. Menurut
hasil diagnosis dokter, Maria akan siuman dan sembuh apabila mendengar suara
dan merasakan sentuhan orang yang sangat dicintai. Kebetulan orang yang sangat
dicintai Maria itu adalah Fahri, yang sudah mempunyai istri. Meskipun tahu bahwa
poligami itu diperbolehkan agama Islam, tetapi tidak mudah bagi Fahri untuk menentukan
sikap, apakah harus menikah lagi dengan Maria. Dengan kesalehan sebagai seorang
istri, Aisha mengizinkan Fahri untuk menikahi Maria dengan maksud menolongnya.
Akhirnya Fahri menikahi Maria. Gambaran tersebut di atas membuktikan bahwa
poligami itu tidak semudah dan sesederhana seperti apa yang telah terjadi
sekarang di dalam masyarakat. Untuk tidak mengaburkan tentang poligami yang
sesuai dengan tuntunan Islam, Ayat-Ayat Cinta memberikan gambaran agar dalam
poligami itu tidak dengan secara mudah dilakukan oleh laki-laki, tetapi harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam ajaran Islam, sebagaimana
dalam ayat Alquran dan Hadis Nabi tersebut.
Dari uraian itu
terlihat bahwa pernikahan dan poligami dalam Ayat-Ayat Cinta sesuai dengan Q.S.
An Nisa ayat 3, Q.S. Yasiin:6, dan Dengan demikian, nilai-nilai ajaran
Islam yang terkandung dalam Ayat-Ayat Cinta yang berhubungan dengan pernikahan
dan poligami adalah diajurkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menikah.
Sedangkan berpoligami dalam ajaran Islam diperbolehkan, tetapi harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah dicontohkan nabi, yaitu harus bisa
berlaku adil.
Fahri harus
masuk penjara karena difitnah Noura. Noura dan keluarganya telah memfitnah
Fahri, bahwa Fahri telah menghamili Noura. Akibat fitnahan itu, Fahri harus
mendekam di penjara dan didakwa akan dihukum mati. Sebenarnya Fahri bisa saja
lolos dari fitnahan itu, apabila Fahri mau menyuap orang-orang yang memiliki
kekuasaan dalam mengambil kebijakan hukum tersebut. Bahkan, istrinya Fahri,
Aisha, bersedia mengeluarkan banyak uang untuk menyuap agar suaminya bisa
keluar dari penjara dan bisa lolos dari fitnahan itu. Akan tetapi, Fahri tidak
mau menyuap karena Fahri memahami bahwa suap-menyuap itu tidak dibenarkan dalam
ajaran Islam. Dalam ajaran Islam suap-menyuap tidak dibenarkan. Bahkan, nabi mengingatkan
umatnya agar tidak melakukan suap-menyuap. Orang yang disuap dan menyuap, menurut
Nabi, akan masuk neraka.
Keterangan nabi
tersebut selaras dalam Ayat-Ayat Cinta, seperti tampak dalam kutipan berikut. Suap
menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau
bersabda, ”Arraasyi wal murtsyi fin naar! Artinya , orang yang meyuap
dan disuap masuk neraka! Istriku , hidup di dunia ini bukan segalanya.[72] Dengan
demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta
merupakan gambaran bahwa suap-menyuap tidak dibenarkan dalam Islam.
Mencari ilmu
dalam Islam merupakan suatu kewajiban. Pentingnya mencari ilmu dalam Ayat-Ayat
Cinta bisa disimak dari gambaran tokoh Fahri dan teman-temannya yang bersekolah
sampai ke negara Mesir. Teman Fahri, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah,
sedang menempuh progam S-1 di Universitas Al-Azhar. Sementara itu, Fahri sedang
merampungkan magisternya di Universitas Al-Azhar. Lihat kutipan Ayat-Ayat Cinta
berikut.
Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah.
Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir. Secara akademis aku
juga paling tinggi. Aku tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master
di Al-Azhar. Yang lain masih program S-1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga,
mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman
kelulusan untuk memperoleh gelar Lc atau Licence. Mereka semua telah menempuh
ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal Agustus
biasanya pengumunan keluar. Namun sampai hari ini, pengumunan belum juga ada
yang ditempel.[73]
Kutipan
tersebut menunjukkan pentingnya mencari ilmu seperti dilukiskan oleh tokoh
Fahri dan teman-temannya yang mencari ilmu sampai ke negara Mesir. Mencari ilmu
sampai ke negara lain juga dicontohkan oleh Rasul. Q.S. At Taubah: 122 tersebut
menggambarkan tentang pentingnya mencari ilmu. Hal tersebut sejalan dengan
kandungan atau pesan Ayat-Ayat Cinta yang di dalamnya menggambarkan tentang
pentingnya mencari ilmu, sebagaimana telah dijalankan oleh Fahri dan
teman-temannya mencari ilmu sampai ke negara Mesir. Berdasarkan uraian
tersebut, maka nilai-nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan mencari ilmu
yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta tersebut merupakan pentransformasian dari
Hadis Nabi dan Q.S. At Taubah: 122. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam
yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta itu memberikan gambaran tentang tokoh Fahri
dan temannya yang melukiskan betapa pentingnya mencari illmu.
Fahri dan Aisha merupakan tokoh yang rajin melaksanakan salat Tahajud.
Pasangan suami istri itu hampir setiap malam tidak pernah meninggalkan salat Sunat
Tahajud. Kebiasaan salat malam itu telah membekas dalam diri Fahri. Bahkan,
ketika kelelahan ia tetap melaksanakan salat Sunat Tahajud, seperti tampak
dalam kutipan berikut. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan
melakukan salat. Ketika sujud kepala terasa enak.[74]
Ketika bulan Puasa, Fahri juga selalu mengerjakan salat malam. Bahkan, saat
di penjara, Fahri tetap berpesan kepada istrinya agar melaksanakan salat Sunat
Tahajud, seperti tampak dalam kutipan ini. Nanti malam perbanyaklah salat dan
memohon pertolongan kepada Allah.[75]
Dari kedua kutipan itu tampak bahwa
Fahri dan Aisha senantiasa melaksankan salat Sunat Tahajud. Bagi Fahri dan
Aisha, meskipun hukumnya Sunat, salat Sunat Tahajud merupakan ibadah yang
penting. Hal tersebut sesuai dengan Q.S. Al Muzamil: 20.
Berdasarkan uraian itu, ternyata tentang pentingnya melaksanakan salat
Sunat Tahajud yang terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta merupakan pentransformasian
dari Q.S. Al Muzammil: 20. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam yang
digambarkan dalam Ayat-Ayat Cinta itu betapa pentingnya melaksanakan salat
Sunat Tahajud.
[3]
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI),
2002), hal. 48.
[10]
Habiburrahman El-shirazy, Ayat-Ayat,...., hal. 327.
[53] Shafei Abu Bakar, Sastera Islam: Teori
Pengindahan dan Penyempurnaan dalam Rangka Tauhid dalam. S. Jaafar Husin
(Peny.), Penelitian Sastera: (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1995), hal. 29.
[54]
Hasan, Mohamad Mokhtar. Ketakmilah dalam Puisi Anbiya, kertas kerja yang
dibentangkan dalam seminar
Teori Sastra Islam: Kaedah dan Penerapannya, Anjuran Bahagian Teori dan Kritikan Sastera. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala
Lumpur di Hotel Renaissance Palm Garden, Putrajaya pada 26-28
September, 2000.
[55]
El-shirazy, Ayat-Ayat,...., 99.