Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pembentukan Kebebasan dan Ketergantungan Manusia


BAB I
PENDAHULUAN


Akal merupakan salah satu anugerah Allah swt, yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.
Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia dan pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan pertama diperoleh manusia melalui wahyu, sedangkan  pengetahuan kedua diperoleh manusia melalui indra dan akal.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra dan akal ini lazim disebut ilmu pengetahuan sebab diperoleh melalui penyelidikan atau penelitian.Salah satu bagian ilmu pengetahuan teologi. Teologi sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ombing oleh peredaran zaman.
Teologi dalam Islam  disebut juga ‘ilm al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau  esa dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monotiesme, merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat-sifat Tuhan. Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang bersifat antara liberal dan tradisional. Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwanya teologi tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya lebih dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Dalam soal fatalisme dan freewill umpamanya, orang yang bersifat liberal tidak dapat menerima paham fatalisme. Baginya freewill yang terdapat dalam teologi liberal lebih sesuai dengan jiwanya.
Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Dengan demikian orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka ada beberapa permasalahan sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah pandangan aliran-aliran teologi Islam tentang kebebasan manusia.
  2. Bagaimana bentuk kebebasan manusia dalam pandangan aliran-aliran teologi Islam
  3. Sejauh mana letak perbedaan aliran-aliran teologi Islam tentang kebebasan manusia.


















PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebebasan dan ketergantungan dalam tradisi teologi Islam
Kaum Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas sudah barang tentu menganut paham qadariah atau freewill. Dan memegang mereka juga disebut kaum qadariah.
Keterangan-keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri. Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan.
Di sini timbullah pertanyaan, daya siapakah dalam paham mu’tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari keterangan-keterangan mu’tazilah di atas, mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan perbuatan itu tak boleh tidak mesti daya manusia sendiri dan bukan daya  Tuhan. Sesungguhnya demikian masih timbul pertanyaan lain. apakah daya manusia sendiri yang mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?
Jawaban untuk pertanyaan itu dapat diperoleh dari keterangan ayat-ayat yang dimajukan Abd Al Jabbar, antara lain :
الَّØ°ِÙŠ Ø£َØ­ْسَÙ†َ ÙƒُÙ„َّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ Ø®َÙ„َÙ‚َÙ‡ُ
Ayat ini, kata Abd al Jabar, mengandung dua arti, pertama; ahsana berarti ‘berbuat baik’ dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena di antara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang tidak merupakan kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan ahsana di sini adalah arti kedua yaitu baik. Semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Sementara aliran Asy’ariah memandang bahwa kebebasan manusia itu lemah, kelemahan tersebut dikarenakan kehendak manusia itu banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia  dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al Asy’ari memakai kata al-Kasb (alquisition, perolehan). Al-Kasb atau iktisab ini menurut al-Asy’ari ialah bahwa sesuatu itu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan adanya perbuatan itu timbul. Term-term “diciptakan’ dan ‘memperoleh’ ini mengandung kompromi atau kelemahan manusia diperbandingkan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggung jawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Dari uraian al-Asy’ari ini jelaslah bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Oleh karena itu dalam teori kasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan antara al Kasb dengan perbuatan involunter dari manusia. Pembuat dalam hal ini seperti ditegaskan oleh al-Asy’ari sendiri adalah Tuhan; dan selanjutnya dalam kedua hal itu, manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan.
Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan.

2. Pembentukan Kebebasan dan Ketergantungan Manusia
1. Mu’tazilah
Dalam paham kaum mu’tazilah, kemauan atau kebebasan manusia untuk mewujudkan perbuatannya adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan taka turut campur di dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan.
Untuk memperkuat paham tersebut, kaum mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut:  manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak  baik yang diterimanya manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
Seterusnya perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang ingin tidak akan terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan, maka perbuatannya tidak akan terjadi, sungguhpun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu, atau perbuatannya akan terjadi sungguhpun ia tidak mengingini dan tidak menghendaki perbuatan itu. Lebih lanjut lagi sekiranya manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim.[1]
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa bentuk kebebasan manusia dalam berbuat sangat mutlak, ini disebabkan karena manusia mempunyai daya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya dan bukan daya Tuhan, sebab daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perbuatan-perbuatan manusia.
2. Al-Asy’ari
Berbeda  dengan kaum mu’tazilah, paham al-Asy’ari berpendapat bahwa bentuk kebebasan manusia tidak mutlak, bahwa manusia adalah tempat belakunya pembuatan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia.
Pembuat sebenarnya dari berbagai macam perbuatan itu, adalah Tuhan dan manusia hanyalah merupakan alat untuk berlakunya perbuatan Tuhan. Dalam hal perbuatan itu manusia terpaksa melakukan apa yang dikehendaki Tuhan.
Dalam persoalan kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Ayat yang dipakai untuk memperkuat pendapat tersebut adalah :
ÙˆَÙ…َا تَØ´َاءُونَ Ø¥ِلا Ø£َÙ†ْ ÙŠَØ´َاءَ اللَّÙ‡ُ
Oleh al-Asy’ari diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.
Jadi daya atau kebebasan manusia sangatlah terbatas, sebab untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya manusia sangat tergantung pada kehendak Tuhan. Ini jelas mengandung arti kehendak manusia atau kebebasan manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan. Dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan, kemauan dan kebebasan untuk berbuat adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
3. Al-Maturidi
Al-Maturidi menyebut bahwa kebebasan manusia dalam berbuat adalah daya yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dan bahwa perbuatan  manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuk berbuat tidak boleh tidak metilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri.
Mengenai soal kehendak, al Maturidi manusialah yang menentukan pemakaiannya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya seseorang dalam memakai daya dan kebebasannya maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.
Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran maturidilah, baik golongan Samarkand maupun golongan Buhhara kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia.[2]

4.     Konsepsi Paham Jabariah Tentang kebebasan dan ketergantungan

Secara etimologis jabariyah mengandung arti memaksa yang berarti Tuhan sebagai yang maha kuasa bersifat, berkehendak mutlak atas manusia. Dalam kotegori inilah manusia melakukan segala sesuatu secara tepaksa (majbur) berdasarkan ketentuan Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak. Segala yang diperbuatnya telah ditentukan sebelumnya atas kuasa takdir (qada’ dan qadar) Tuhan. Berdasarkan deskripsi tersebut maka paham jabariah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah paham yang mengerdilkan hingga menghilangkan semua kemampuan dan kebebasan manusia dalam berkehendak. Berdasarkan definisi tersebut, maka paham jabariah terkadang dianggap sebagai paham yang patalism atau paham yang melihat manusia yang tak memiliki celah ihtiar dalam melakukan kehendaknya.
Harun Nasution melihat latar sejarah munculnya paham ini berdasarkan anilisis sosial dengan penekanan pada situasi lingkungan kehidupan bangsa Arab yang sangat ekstrim di masa itu. Suasa padang pasir dengan panasnya yang terik dan hamparan tanah yang enggan ditumbuhi tanaman, membuat bangsa Arab merasa tidak memiliki kemampuan kecuali menyerah pada kehendak natur. Dengan demikian manusia merasa dirinya lemah dan sekaligus tidak mempunyai kemampuan mengubah. Analisa demikian nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran perubahan social Aguste Comte yang mendasarkan tahapan-tahapan perubahan social bermula dari kesalahan manusia melihat alam hingga kebangkitan agama (monoteisme) yang mengantar lahirnya tahapan pamungkas yaitu peradaban positivisme. Dengan demikian latar belakang ihwal lahirnya paham jabariah dalam tradisi Islam dalam versi Harun Nasution nampaknya bias dari pendekatan europasentrisme. Sebab jika hanya berdasarkan pada situasi lingkungan yang melahirkan paham jabariah, maka tradisi (paradigma) kejabariahan tidak akan terjadi dilingkungan yang subur, seperti Indonesia misalnya. Tetapi faktanya tidak demikian.[3]
Jabariah lahir di saat bangsa Arab sangat diuntungkan oleh kehadiran teks kitab suci Alquran. Dimana setiap teks dianggap memiliki otoritas dalam menentukan setiap pikiran dan tindakan ummat. Tetapi konsepsi itu mengalami pergeseran setelah kewafatan nabi Muhammad saw. Makna teks yang sebelumnya absolute tunggal, di bawah otoritaf Muhammad saw, bergeser dari absolute kemakna interpretative, hingga makna teks menjadi plural. Dalam keadaan demikian teks-teks yang sebelumnya tidak dipertentangkan menjadi dipertentangkan karena diinterpretasi secara berbeda, demikian juga dengan teks yang berdimensi teologis maknanya telah menjadi tidak tunggal (disepakati). Perbedaan interpretasi atas teks mengandung makna lain yaitu adanya cara atau metodologi yang berbeda dalam mehamai sebuah teks.
Dalam tradisi Islam pengetahuan atas teks lebih dikenal dengan istilah berpikir dengan pendekatan bayani atau epistemologi bayani. Metode bayaniadalah metode rasional atau deduktif yang dalam masyarakat Islam metode tersebut lebih lekat dengan tradisi teks yang sering kali dipakai sebagai sumber menjustifikasi kebenaran. Metode semacam ini, membatasi wilayahnya pada hal-hal yang telah diketahui secara umum, untuk kemudian digeneralisasi dalam bentuk proposisi-propsisi yang menghasilkan kongklusi. Dalam pandangan al-Jabiri, metode semacam ini biasanya lemah dalam menentukan sebuah sebuah makna, karena makna (teks) sering kali keluar dari konteks (ahistoris). Dalam tradisi masyarakat muslim, metode ini memuncak pada zaman pengkodifikasian ilmu pengetahuan dalam Islam, disekitar pertengahan abad II hijriah. Selanjutnya dinamika pengetahuan Islam, mengalami sebuah stagnasi metodologis, hingga kemunculan metodologi alternatif dari berbagai sumber-sumber non-muslim, meski pun kemudian hanya bermain di wilayah pinggiran saja.

5. Konsepsi paham qadariah Tentang kebebasan dan Ketergantungan

Qadariah berbendapat beda dengan jabariyah. Menurut paham ini manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya hingga paham ini dikatakan menganut paham free will atau free act. Paham ini dimulai dari seorang yang bernama Ma’bad Aljuhaini (w. 699 M) dan Abu Warwan Ghailan ibn Warwan al-Dimasqi al-Qutbi (w. 730 M) sekitar tahun 80 H. Menurut Ghailan manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan perbuatannya sendiri, termasuk kemampuan menentukan yang baik dan yang buruk hingga setiap pebuatan manusia baik jahat maupun baik dilaksanakan dengan dayanya sendiri. Dari pandangan ini dapat dilihat betapa konsepsifree wil dalam paham jabariah menjadi dasar keyakinan teologi kaum qadariah.
Jika dilihat dari penyataan paham qadariah tentang kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya sendiri, nampaknya cara berpikir demikian tidak otentik dengan tradisi awal Islam. Pemahaman teologi dengan paradigma demikian telah melibatkan metodologi filsafat di mana alur logika teologis yang terbentuk telah melibatkan pandangan-pandangan akal (selain teks).
Dalam Islam hubungan antara teks (wahyu) dan akal seringkali mengalami ketegangan, seperti yang terjadi dalam kontroversi muktazilah(paham qadariah) dan asyariah (paham jabariyah), walaupun dalam sejarahnya, akal dan wahyu tidak pernah benar-benar diposisikan pada domain yang saling berbenturan atau saling meniadakan.
Terkait dengan kontroversi antara paham jabariah dan paham qadariah akibat perbedaan dalam mengintrodisir teks dan kemampuan akal dalam melahirkan klaim teologis, nampaknya epistemologi bayani yang dominan pada paham jabariyah dianggap belum cukup memberikan makna “benar” terhadap teks sebagai sumber pengetahuan teologis. Karena itu dibutuhkan cara lain untuk meraih kebenaran-kebenaran yang belum sampai di raih oleh metode bayani dalam menentukan makna teks.[4]
Teks sebagai sumber pengetahuan teologi jabariyah dalam hal ini, nampaknya belum cukup sebagai sumber, dan epistemologi bayani, sebagai metode dalam mengungkapkan kebenaran teks nampaknya masih terkendala pada persoalan, sejarah dan kultur kecendikiawan umat Islam. Sebagaimana Nasr Hamid mengkritik: bahwa mereka (para ulama), membuat sejumlah ukuran dan persyaratan. Hal ini karena mereka mempunyai konsepsi bahwa pengetahuan tentang makna Alquran, hanya dapat diketahui melalui naql dan periwayatan, dalam hal ini tidak ada tempat untuk berijtihad (akal). oleh karena itu, mereka membatasi wilayah ijtihad dengan cara bagaimana menghadapi dan mentarjih riwayat-riwayat yang ada.
Menurutnya, bahwa pendekatan pola bayani model ini mempunyai banyak kelemahan jika dihadapkan dengan kondisi yang berkembang. Masalah periwayatan baru muncul pada masa tabi’in, yang juga berarti pemaham pada masa itu menyangkut kondisi internal dan eksternal teks (riwayat) yang diterima melalui perantara sahabat tidak semakna dengan teks pertama.
Faktor ini bisa jadi karena zaman dan juga kelalaian sebagai manusia biasa. Faktor lain adalah pada masa tabi’in itu adalah era pertarungan politis yang mempengaruhi kondisi intelektual para tabi’in. Sehingga menetapkan para rawi yang terpercaya tidak terlepas dari bias ideologis masing-masing periwayat terhadap periwayat yang lain. Tawaran dari sanggahan ini, adalah, hak ijtihad dengan mentarjih riwayat-riwayat yang beda secara lebih signifikan, yaitu dengan bersandar pada sejumlah unsur dan tanda-tanda eksternal dan internal yang membentuk teks.[5]
Tanda-tanda ini bisa dicapai dari luar teks maupun dari dalam teks, apakah dalam strukturnya yang unik atau dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dari teks secara umum (realitas). Mayoritas ulama dulu, adalah bahwa mereka tidak mendapatkan cara lain selain bergantung pada relaitas internal teks. Oleh karena itu makna, baiknya diungkapkan dari dalam teks dengan tidak menafikan pengetahuan melalui konsepsi eksternalnya. Analisa ini mengabungkan antara “luar” teks dengan “dalam” teks yang masing-masing tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan dalam gerak bolak-balik secara tepat dan cepat
Gambaran mengenai efektifitas teks sebagai sumber pengetahuan paham teologi Islam, dapat dilihat dari posisi Alquran sebagai sumber utama (teks), yang nyatanya tetap menyisakan debat, terutama dari segi cara memproduksi wacana teologis. Karena pada posisi demikian Alquran, tidaklah berdiri sendiri sebagai teks suci. Nalar manusia terlibat dalam mengungkapkan makna teks dengan melibatkan sejarah atau tuntutan realitas disekitarnya. Alquran absolut dalam pengertian dari Allah swt., tetapi profan dalam pengertian bagaimana Alquran memproduksi wacana teologis.
Nampaknya mayoritas teolog muslim, belum sampai pada “perdebatan” metode tentang sejauh makna teks sebagai sumber dan tolak ukur pengetahuan dalam melahirkan klaim-klaim teologis, bila teks dibenturkan dengan realitas (akal).
Posisi paham qadariyah justru lahir dari arena di luar teks, yaitu akal. Sehingga klaim-klaim tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dengan mudah dapat dimengerti berdasarkan pretensi akal. Pendekatan ini lalu berkembang menjadi cirri paripatetik yakni sebuah cara berpikir yang konon kabarnya melahirkan babakan modern di Eropa. Cara berpikir ini dapat dengan mudah dijumpai pada tokoh-tokoh pemikir Islam abad pertengahan, semisal ibnu Rusdy. Sedangkan cara berpikir bedasarkan teks dapat dilihat pada pola berpikir Algazali. Ibn Rusdy bepikir ala qadariyah dan Algazali dapat dianggap mewakili cara perpikir jabarianisme.
Implikasi dari cara berpikir aliran-aliran teologi tesebut antara jabariah dan qadariah, berlaku dan dapat dilihat pada realitas social dan historis ummat Islam baik secara individu maupun kelompok. Kedua cara berpikir teologi ini bisa jadi akan berhubungan dengan etos kerja ummat Islam yang selanjutnya akan berimplikasi pada kehidupan social ummat Islam secara luas hingga terbentuknya peradaban. Secara pasti dua pemahaman ini memiliki konsekwensi bukan saja teologis, tetapi lebih dari sekedar itu, kedua pemahaman ini akan sangat mempengaruhi sejarah tumbuhkembangnya kehidupan ummat Islam. Hal demikian dapat terjadi bila wacana teologi dalam Islam dapat menunjang zaman yang terus bergerak.

6. Perbedaan Pandangan Tentang Kebebasan Manusia
Perbedaan pandangan dari aliran-aliran teologi Islam tentang kebebasan manusia dapat dilihat dari beberapa isi antara lain:
a. Sumber
Pada masa nabi dan Khulafaur Rasyidin bibit-bibit paham sudah tampak, tetapi belum menimbulkan perbincangan yang serius, karena nabi pernah menghentikan perbincangan masalah tersebut dan perbedaan bentuknya yang lebih  tegas dan jelas. Namun tidak demikian halnya pada zaman khalifah Bani Ummayah. Pada masa itu (tahun 70-an H) muncullah Ma’bad al Juhani yang berbicara tentang hururiyah al-iradah adalah (kemerdekaan kehendak/ kemauan) dan qurdah (kekuasaan/ kemampuan) yang dimiliki manusia sebagai anugerah dari Tuhan, untuk melakukan perbuatan. Bagi Ma’bad bahwa perbuatan manusia  adalah sungguh-sungguh perbuatan sendiri, bukan perbuatan Tuhan seru sekalian alam. Pandangan ini selanjutnya disebut paham qadariah. Menurut paham inilah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Berbeda dengan paham qadariah, paham jabariah yang dibawah oleh Ja’ad bin Dirham dan disiarkan sungguh-sungguh oleh Jaham bin Shafwan pada awal abad kedua hijriah berpendapat bahwa karena Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak awal dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan qodrah. Oleh karena itu dari paham ini dapat disimpulkan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat dan berkehendak karena segala tindak tanduk dan gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan.

b. Persepsi

Manusia  melakukan segala perbuatan baik  dan buruk, apakah ini kebebasan murni manusia tanpa campur tangan Tuhan ataukah atas kehendak Tuhan. Hal ini mengandung perbedaan pandangan dan persepsi dari beberapa aliran teologi Islam. Paham al Maturidi misalnya mereka berpendapat  bahwa kebebasan di sini bukanlah kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tak disukai Tuhan. Kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran mu’tazilah.
Perbedaan lain yang terdapat pada paham al-Maturidi dan Mu’tazilah ialah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada pada paham mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham dan persepsi mu’tazilah.



BAB
KESIMPULAN
Sungguhpun beberapa paham dalam teologi Islam manusia bebas dalam kehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, pada dasarnya kebebasan itu terbatas. Ketertabatasan itu didasari oleh beberapa hal yang  tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri Kebebasan manusia sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Manusia tersusun antara lain dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tidak mau manusia sesuai dengan unsur materinya bersifat terbatasKebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia itu hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dilawan dan ditentang manusia.
Konsepsi paham jabariah menempatkan manusia pada posisi menerima segala kehendaknya sebagai kehendak kemutlakan Tuhan. Hal ini dapat dipahami berdasarkan cara paham teologi ini memproduksi klaim teologinya.Konsepsi paham qadariyah menempatkan manusia sebagai mahluk bebas dalam berkehendak. Paham ini menggunakan akal (di luar teks sebagai cara memperoleh pengetahuan tentang kebebasan itu). Peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini tidak maksimal dikarenakan pada umumnya wacana teologi Islam tidak bersentuhan langsung dengan konteks massa muslim dewasa ini.







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Nasr Hamid Abu-Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an. terj. Khoiron Nahdliyyin (Jogjakarta: LKiS, 2002).

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, 2 Jilid Jakarta: UI Press 2002.

Nasution, Harun, Teologi Islam. Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan, Cet. V; Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.

Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al Khattab (Jogjakarta: LKS, 2000.






[1]Harun NautionTeologi Islam. Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan, Cet. V; (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986), Hal. 55.

[2] Harun NasutionIslam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid 2, (Jakarta: UI Press), 2002), hal. 82.

[3] Ibid., hal. 85.
[4] Haque Ziaul. Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al Khattab (Jogjakarta: LKS, 2000)

[5]Haque Ziaul. Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al Khattab (Jogjakarta: LKS, 2000)