A. Pengertian
Pendidikan Estetika
1. Pengertian
Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya
adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis,
terencana dan terarah. Pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah “semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda”[1].
Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani
maupun rohani. Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah “usaha orang dewasa
secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan
dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal”.[2]
Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu,
melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman,
intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai
dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang
dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian
yang utama.
Ahmad D. Marimba mendefinisikan
pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama”.[3]
Pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada
tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia
berdasarkan hukum-hukum Islam Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam
adalah “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta
sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (Insan Kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah
lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim”.[4]
Dari beberapa pendapat yang
telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada
hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan
mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan
keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia
supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan
yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
2. Pengertian
Estetika
Istilah estetika muncul pertama kali pada
pertengahan abad ke -18, melalui seorang filsuf Jerman, Alexander Baumgarten.
Sang filsuf memasukkan estetika sebagai ranah pengetahuan sensoris, yaitu
pengetahuan rasa yang berbeda dari pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia
sampai kepada penggunaan istilah tersebut dalam kaitan persepsi atas rasa
keindahan, khususnya keindahan karya seni. Selanjutnya, Emmanuel Kant
menggunakan “istilah
tersebut dengan menerapkannya untuk menilai keindahan, baik yang terdapat dalam
karya seni maupun dalam alam secara luas”.[5]
Estetika merupakan studi nilai dalam realitas
keindahan. Nilai estetika biasanya sukar untuk dinilai, karena nilai-nilai ini
menjadi nilai milik personal dan sangat subjektif. Karya seni tertentu
umpamanya akan memunculkan banyak respon dari orang yang berbeda. Siapa pun
orangnya, jika ia meyakini bahwa ada nilai estetika yang objektif, tentulah ia
dapat menentukan keputusan-keputusan yang mengarah pada seni yang baik dan
diterima oleh banyak orang sebagai sebuah karya yang bernilai seni.
Menurut Kant, “keindahan itu merupakan sifat obyek bukan
terletak pada subyek”[6].
Estetika adalah nilai-nilai indah dan jeleknya sesuatu. Perasaan
estetis disebut pula sebagai perasaan keindahan. Perasaan keindahan ini biasa
terungkap dalam seni, namun ada pula yang mengendap dalam diri menjadi cinta
tanpa pamrih.
Selanjutnya, nilai baik sebanding dengan nilai
indah, tetapi kata” indah” lebih sering dikenakan pada seni, sedangkan “baik”
pada perbuatan. Di dalam kehidupan, indah lebih berpengaruh ketimbang baik.
Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada tingkah laku. Orang yang tingkah
lakunya baik(etika), tetapi kurang indah(estetika), akan dipilih belakangan,
yang dipilih lebih dulu adalah orang yang indah, sekalipun kurang baik.[7]
Estetika yaitu pengkajian tentang keindahan. Estetika,
adalah pengakajian dan penentuan kriteria tentang keindahan alam dan dunia
seni, termasuk tari, drama, patung, lukisan, musik, dan sastra. Didalam
Pendidikan Jasmani terdapat estetika yang dimuat pada sikap dan posisi tubuh,
gerak dasar, pembentukkan gerakan togog, lengan, bahu, dan kaki, kombinasi
gerakan dasar, dan olah fisik lainnya.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para
ahli di atas, maka penulis berkesimpulan
bahwa estetika adalah nilai keindahan suatu hal.
Sedangkan pendidikan estetika adalah mengajarkan hal-hal yang berupa keindahan
dari suatu hal.
3. Pendidikan Estetika
Menurut Shiller sebagaimana yang dikutip oleh Sunarto pendidikan
estetika adalah metode-metode atau sarana-sarana yang mengambil manajemen
pendidikan untuk menumbuhkan rasa indah yang dimiliki anak, melalui kerja seni.
Pendidikan estetika bukan hanya pendidikan sekolah, sesungguhnya pendidikan
estetika merupakan dasar yang membuat dasar bagi pendidikan
memberikan keseimbangan bagi individu[8].
Akan tetapi lebih dari ini, jika memungkinkan membentuk dasar untuk membangun
pribadi umat dengan kemampuan dalam menghadapi masalah-masalah dengan perbedaan
tantangannya. Dan itu melalui masyarakat, orang-orang mampu mempraktekkan
kehidupannya dengan kreatif, berprilaku, dan berpraktek, dan dengan gambaran
yang seimbang. Dalam arti lain pendidikan estetika berarti pendidikan rasa seni
dalam diri manusia, dan memastikan hubungan-hubungan estetika dengan sifat dan
fenomena-fenomena kehidupan sosial.
Sahman dalam bukunya Estetika: Telaah
Sistemik dan Historik menjelaskan bahwa:
Pendidikan estetika merupakan jenis pendidikan
yang tidak berbeda dengan jenis pendidikan lain pada umumnya. Artinya dalam
pendidikan itu juga diperlukan macam-macam aspek seperti aspek afektif,
psikomotorik, dan kognitif. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan estetika
dengan jenis pendidikan lain adalah, pendidikan estetika lebih menonjolkan
aspek afektif dan psikomotorik untuk mendapatkan apa yang dinamakan pengalaman estetik.
Jelasnya, pendidikan estetika merupakan pendidikan yang mengutamakan
didapatkannya pengalaman estetik melalui proses berkesenian.[9]
Tugas pendidikan estetika memfokuskan pengembangan
kemampuan dan persiapan yang dimiliki pemuda untuk menerima setiap apa yang
mengagumkan dalam tabiat, seni, dan lingkungan. Oleh karena itu pendidikan rasa
estetika dan posisi estetika memiliki bangunan arah yang nyata. (Pendidikan Estetika)
istilah lama, bersumber pada buku-buku filsafat dan para ilmuan estetika,
berarti, seperti cakupan dan dalil, dibawah kontrol rasa estetika visual dan
pengembangannya yang dimiliki setip manusia. Serta membuka upaya harmonis dan
kesesuaian antara satu kelompok sosial yang fanatik yang kepadanya manusia ini
berhubungan. Pendidikan estetika adalah dasar dalam proses ini jika
penanamannya lebih baik. terutama yang dimiliki pemuda dan remaja. Tidak ada
keraguan dalam refleksi peradaban desa pada segi-segi kehidupan masyarakat dan
setiap efisiensinya. Untuk itu, pertama, masyarakat manusia, dulu dan sekarang,
memiliki arti yang besar. Pembahasan filosof, ahli estetika, dan seni terhadap
perbedaan pernyataan mereka dalam sarana-sarana yang lebih efektif membantu dan
meningkat dengan pendidikan estetika yang dimiliki individu. Dengan bentuk sepadan
dengan pendidikan fisik yang menyempurnakannya. Pertama, membersihkan jiwa
manusia, memperbaiki perasaannya, dan mencari kedamaian jiwanya. Kedua,
memelihara keselamatan badannya dan kesehatannya.
Menurut Shiller sebagaimana yang dikutip oleh Sunarto “pendidikan estetika
adalah metode-metode atau sarana-sarana yang mengambil manajemen pendidikan
untuk menumbuhkan rasa indah yang dimiliki anak, melalui kerja seni”[10]. Pendidikan estetika bukan hanya pendidikan sekolah, sesungguhnya
pendidikan estetika merupakan dasar yang membuat dasar bagi pendidikan
memberikan keseimbangan bagi individu. Akan tetapi lebih dari ini, jika
memungkinkan membentuk dasar untuk membangun pribadi umat dengan kemampuan
dalam menghadapi masalah-masalah dengan perbedaan tantangannya. Dan itu melalui
masyarakat, orang-orang mampu mempraktekkan kehidupannya dengan kreatif,
berprilaku, dan berpraktek, dan dengan gambaran yang seimbang. Dalam arti lain
pendidikan estetika berarti pendidikan rasa seni dalam diri manusia, dan
memastikan hubungan-hubungan estetika dengan sifat dan fenomena-fenomena
kehidupan sosial.
Beberapa peneliti melihat bahwa tugas pendidikan
estetika memfokuskan pengembangan kemampuan dan persiapan yang dimiliki pemuda
untuk menerima setiap apa yang mengagumkan dalam tabiat, seni, dan lingkungan.
Oleh karena itu pendidikan rasa estetika dan posisi estetika memiliki bangunan
arah yang nyata
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan
dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan
seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat
dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk. John Dewey berpendapat bahwa seseorang dapat memahami sesuatu
sebagai sains melalui penggunaan intelegensinya namun hal itu akan lebih
mendalam jika di sentuh dengan praktik lain yaitu seni. Bahkan John Dewe mengatakan bahwa hanya orang
yang mendapatkan imajinasi seni dalam titik fokus argumentasinya yang akan dapat mengembangkan klaim-klaim
scienttific inquiri.[11]
Bagi John Dewey kehadiran seni itu menjadi alat bagi akal
manusia untuk memandang dunia yang satu dalam kaitannya dengan dunia yang
lain.Seni selalu tampil dalam wujud kreatifitas manusia dalam manipulasi suatu
realitas ke realitas yang lain sesuai dengan citra fasa yang di inginkan bahkan
secara tegas ia menyatakan bahwa keseluruhan aktifitas intelek manusia baik
dalam level proses produktifitas dan konsumsi maupun pada level kritik
sesunguhnya merupakan tindakan seni.[12]
Estetika merupakan studi nilai dalam realitas keindahan.
Nilai estetika biasanya sukar untuk dinilai, karena nilai-nilai ini menjadi
nilai milik personal dan sangat subjektif. Karya seni tertentu umpamanya akan
memunculkan banyak respon dari orang yang berbeda. Siapa pun orangnya, jika ia
meyakini bahwa ada nilai estetika yang objektif, tentulah ia dapat menentukan
keputusan-keputusan yang mengarah pada seni yang baik dan diterima oleh banyak
orang sebagai sebuah karya yang bernilai seni.
Soal baik dan buruk telah dibicarakan dalam etika, kini
kita membicarakan soal indah dan keindahan. Penilaian baik dan buruk kerap
dikaitkan dengan tingkah laku dan moral atau tindakan manusia,sedangkan nilai
indah dan tak indah cenderung diarahkan ke dalam segala hal yang berkaitan
dengan seni. Estetika berusaha untuk menemukan nilai indah secara umum yang
kemudian dalam perkembangannya bermunculan beberapa teori yang berkaitan dengan
estetika.[13]
. Estetika
berasal dari bahasa Yunani "aisthetika" pertama kali digunakan
oleh filsuf Alexander Gotlieb Baumgarten pada tahun 1735 yang diartikan sebagai
ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Estetika adalah salah satu
cabang filsafat yang berkaitan dengan seni. Secara sederhana diartikan estetika
adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk dan bagaimna
seseorang bisa merasakan estetika sebagai sebuah filosofi yang mempelajari
nilai-nilai sensoris yang kadang dinggap sebagai penilaian terhadap sentimen
dan rasa.
Timbul pertanyaan, apakah nilai keindahan itu merupakan
sifat yang dimiliki objek atau terletak pada orang yang menilai (subjek).
Jika nilai indah itu terletak pada objek
dan dipandang dengan sudut dan cara pandang yang sama maka akan
menghasilkan kesimpulan yang sama tentang sesuatu. Jika nilai itu terletak pada
subjek, maka hasil penilaian itu akan bergantung pada perasaan masing-masing
subjek.[14]
Teori lama tentang keindahan, bersifat metafisik sedang
teori modern bersifat psikologis. Menurut Plato, keindahan adalah realitas yang
sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Sekalipun plato menyatakan
bahwaharmonis, proporsi, dan simentris adalah unsur yang membentuk keindahan,
namunia tetap memikirkan adanya unsur-unsur metafisik. Bagi Plotinus keindahan
itu merupakan pancaran akal Ilahi. Bila yang hakikat (Ilahi) Ia
menyatakan dirinya atau memancarkan sinar pada, atau dalam realitas penuh, maka
itulah keindahan.[15]
Adapun yang mendasari hubungan antara estetika dan
pendidikan adalah lebih menitikberatkan kepada "predikat" keindahan
yang diberikan kepada hasil seni. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada
tiga interpretasi tentang hakikat seni:[16]
1.
Seni sebagai penembusan terhadap realitas selain
pengalaman
2.
Seni sebagai alat kesenangan
3.
Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Dengan demikian diharapkan di dalam dunia pendidikan,
estetika akan mampu menciptakan dan membentuk kepribadian yang mampu bersikap
kreatif dan bermoral sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi
dengan segala kepatutan keindahan dan seni. Dengan demikian tujuan pendidikan
untuk membentuk manusia yang berkualitas akan terwujud dengan baik sesuai
dengan konsep idealisme.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan
hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan
yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan
pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan
kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik
serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
Pendidikan dalam segala aktivitasnya selalu
terkait dengan wilayah seni karena memang mendidik itu sendiri adalah pekerjaan
seni. Bahkan tidaklah salah jika dikatakan bahwa hampir keseluruhan kualitas
aktivitas pendidikan ditentukan oleh kualitas yang ditampilkan. Pendidikan yang
mengikutkan estetika sebagai sesuatu yang penting dalam setiap gerak
langkahnya, menjadikan aktivitasnya hidup dalam suasana yang nyaman dan
menyenangkan, sehingga subjek didiknya akan betah dalam menjalankan proses
belajar, karena memang tidak tersentuh oleh watak keterpaksaan yang akan
menyiksa dirinya. Tindakan edukasi apa pun yang dilakukan guru akan enak dipandang,
suaranya enak didengar, bahasanya jelas dan mudah dipahami, tidak membosankan
subjek didik mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan jika dalam
keseluruhan entitasnya dibangun di atas nilai-nilai estetika. Ketika seorang
guru mengadakan interaksi dengan subjek didiknya dengan menerapkan nilai
estetika yang tinggi, baik dalam penampilan maupun dalam interaksi
pembelajaran, tentu akan lebih disukai oleh subjek didiknya dari pada yang
tampil seadanya.
[1] Soegarda Poerbakawatja, et. al.
Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hal. 257.
19.
Indonesia, 2004), hal. 35.
0 Comments
Post a Comment