Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pengertian Perkawinan Dalam Islam


BAB II
PERKAWINAN DALAM ISLAM

A.    Pengertian Perkawinan Dalam Islam
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata 'nikah' berarti hubungan seks antar suami-istri sedangkan 'ziwaj' berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk. mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh.[1] Perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).[2]
Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga bersifat religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan dasardasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakannya yaitu :
1.     Iman ialah percaya kepada Allah yang menciptakan alam semesta termasuk manusia yang secara siklus terdiri dari sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan yang dibentuk melalui proses tahapan. Dan proses tahapan itu semula dari gumpalan darah berkembang menjadi daging, kemudian berbentuk tulang dan bercampur menjadi satu serta pembungkus kulit. Proses selanjutnya akan terjadi kehidupan roh/sukma setelah janin dilahirkan menjadi bayi. Siklus hidup menjadi manusia tidak akan sempurna kalau hubungan yang dilakukan antar suami istri tidak memenuhi syarat yang baik seperti kesehatan, kedewasaan, kejiwaan dan kesucian diri. Dari segi inilah Islam memandang bahwa perkawinan sebagai suatu proses kehidupan keluarga benar-benar dilaksanakan dalam suasana suci dan bersih sebagai manusia yang luhur.
2.     Islam, maksudnya bahwa bagi setiap calon suami istri wajib mempunyai jiwa penyerahan diri kepada Allah sebagai penciptanya. Kalau keyakinan ini sudah benar-benar dihayati maka dalam melakukan kewajiban sebagai suami istri tidak akan menimbulkan keraguan, kecemasan dan kekuatiran. Segala sesuatu yang menyangkut mengenai kewajiban dan haknya akan dapat dilaksanakan sesuai proses.
3.     Ikhlas, artinya pada diri masing-masing calon suami istri memiliki tekad yang bersih dan terbuka untuk membentuk keluarga sebagai kebaktian kepada Allah. Asas ini akan menghilangkan kecemasan atau ketidakpuasan dalam melaksanakan kehidupan keluarga yang akan menerima godaan dan cobaan, musibah atau kesengsaraan dalam menjalankan tugas sebagai kewajibannya secara sadar dan bertanggungjawab. Selain itu juga akan menutup kekurangankekurangan kedua belah pihak dalam membina kesatuan untuk mencapai kesempurnaan hidup rumah tangga.[3]



[1] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah dan Rujuk, (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971), hal. 65.

[2] Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), hal. 47.
[3] R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, ( Bandung:  CV MandarMaju/1992), hal. 73.