Peranan Dayah Di Aceh
BAB II
Peranan
Dayah Di Aceh
A. Pengertian
Dayah
Lembaga pendidikan tertua dalam
sejarah pendidikan di Aceh adalah Dayah. Lembaga pendidikan semacam
dayah ini di Jawa dikenal dengan nama Pesantren,di Padang disebut Surau,
sementara di Patani dan Malaysia disebut Pondok.[1] Dayah
diambil dari bahasa arab zawiyah, yang artinya pojok atau sudut,[2] diyakini
masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi
Muhammad mengajar para sahabat pada awal Islam.[3] Dayah yang
penulis maksud dalam makalah ini adalah tempat tinggal tetap yang digunakan
untuk mempelajari, membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang
berkaitan dengan agama Islam.
Secara etimologi kata dayah diambil
dari unsur bahasa Arab yaitu dari kata zawiyah artinya buju rumah atau buju
mesjid.[4]
Buju rumah dimaksudkan dari pengertian ini adalah sudut atau pojok rumah.
Dikatakan sudut atau pojok rumah bahwa pada zaman Rasulullah Saw. pengajaran
dan penerangan tentang ilmu-ilmu agama kepada sahabat dan kaum muslimin sering
beliau lakukan di sudut rumah atau di sudut mesjidnya.
Setelah zaman Rasulullah Saw., kata zawiyah
telah berkembang luas ke seluruh pelosok dunia Islam sampai ke Asia
Tenggara. Dari perjalanan sejarah yang panjang kata zawiyah telah
mengalami perubahan dialek sesuai dengan kapasitas daerah masing-masing.
Di Aceh, kata zawiyah diucapkan
dengan sebutan dayah yang berarti tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dulu,
orang Aceh sering menggunakan sudut, pojok atau serambi rumah dan mesjid untuk
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Dilihat dari persamaan makna
dengan daerah lain di Pulau Jawa, dayah dapat disetarakankan dengan pesantren.
Kendatipun demikian ada beberapa perbedaan yang penting, di antaranya adalah
pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan
agama, sejak dari tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut.[5]
Di samping pengajaran dayah, Meunasah
juga dipakai sebagai tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama oleh masyarakat Aceh. Namun
perbedaan antara kedua istilah ini; dayah adalah tempat belajar agama bagi
orang-orang yang telah dewasa. Sementara pendidikan agama untuk anak-anak
diberikan di Meunasah atau di rumah-rumah guru.[6]
Ditinjau dari sarana, pendidikan agama
tingkat rendah yang diberikan kepada anak-anak ini dapat dibagi dua bagian.
Yang pertama pendidikan agama untuk anak laki-laki yang mengambil tempat di
Meunasah dan pendidikan agama untuk anak perempuan di rumah-rumah guru atau
tempat khusus. Meskipun demikian materi dan tujuannya sama. Setelah anak-anak
tamat belajar Alquran dan telah mampu melaksanakan ibadah wajib, maka tugas
terakhir dari pendidikan Meunasah atau rumah adalah mempelajari kitab agama
yang ditulis dalam bahasa Arab-Jawi (Melayu) seperti Masailal Muhtadi. Tujuan
ini memberi bekal bagi anak-anak yang akan melanjutkan studi lebih lanjut di
dayah.
Pendidikan dayah terkenal dengan
istilah meuranto atau meudagang. Bagi anak-anak Aceh yang mempunyai minat untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama lebih mendalam dapat dilakukan dengan cara meuranto
atau meudagang ke berbagai dayah terkenal. Hal ini dilakukan setelah dia mampu
mampu membaca Alquran dan memahami cara-cara melakukan ibadah ketika dia
belajar di Meunasah atau di rumah-rumah teungku. Dengan demikian fungsi Meunasah
dan dayah akan sangat bernilai bagi masyarakat Aceh ketika dihubungkan dengan
pengajaran ilmu-ilmu agama
Dayah
merupakan pusat pendidikan Islam masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang.
Keberadaaan dayah sebagai pusat pendidikan Islam masa lalu sudah menghasilkan
sejumlah ulama dan tokoh yang berpengaruh dimasanya. Peminpin-peminpin
Aceh masa lalu seperti Sultan Iskandar Muda adalah alumni dayah. Dayah masa
lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan
pendidikan dayah saat itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah
bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[7]
Institusi
dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa
penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya,
perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri
telah mempengaruhi kemunduran dayah sejak Belanda memulai pendudukannya di Aceh
pada tahun 1873. Dayah dan pemimpinnya saat itu merupakan simbol dan penggerak perjuangan
menentang kolonialisme di Aceh.
Dayah, menurut catatan pakar
pendidikan, merupakan lembaga pendidikan paling awal di Nusantara. Peran dan
fungsi dayah dalam pembelajaran sosial telah menunjukkan prestasi yang patut
dibanggakan pada masa lalu. Tidak sedikit ulama lahir sebagai hasil
pembelajaran dayah yang berlangsung secara berkesinambungan sampai kini. Dalam
konteks Aceh, dayah tidak saja sebagai pusat pendidikan Islam tetapi juga
sebagai pusat dakwah dan pemberdayaan sosial yang amat penting. Sebagai pusat
pendidikan, dayah merupakan pusat transformasi dan transmisi ilmu dari generasi
ke generasi. Sebagai pusat dakwah, dayah telah menjadi pusat penyiaran agama
kepada publik, sehingga kehadiran dayah benar-benar menyatu dengan kehidupan
masyarakat. Dalam perkembangannya, dayah juga telah menjadi pusat pemberdayaan
ekonomi umat, meskipun belum maksimal.
Dalam
kehidupan modern sekalipun dayah belum kehilangan peran dan fungsinya sebagai
wadah atau kajian ilmu meskipun banyak lembaga pendidikan modern bermunculan.
Dayah sebagai pusat pendidikan tradisional di Aceh masih tetap bertahan tanpa
harus menanggalkan karakteristiknya yang unik. Keunikan pendidikan dayah, yang
tetap ada sampai saat ini, dapat dilihat pada sistem pendidikannya yang
konsisten. Fokus kajiannya adalah teks “Kitab Kuning”, yang berbahasa Arab
gundul (tanpa syakal). Metode pembelajarannya pun unik, yaitu santri menyimak
syarahan guru yang berpedoman pada kitab tertentu; dan terus berlanjut dari satu
kitab ke kitab yang lain. Sistem pendidikan dayah tradisional hampir tidak
mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem pendidikan sekolah
atau dayah terpadu, yang cenderung mengadopsi metode dan perangkat modern.
B. Tujuan
Pendidikan Dayah
Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan mempunyai tujuan
yang hendak dicapai. Landasan tersebut merupakan tempat berpijak yang
memberikan dorongan dalam usaha peningkatan mutu dayah tersebut, sehingga
sesuatu yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, seperti yang
dapat dilihat bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah lembaga pendidikan
dayah adalah untuk menegakkan kebenaran dan membasmi kejahatan, dan di samping
itu tujuan pendidikan dayah juga untuk mencari keluhuran dalam mengembangkan wawasan
Islam universal dalam masyarakat Islam di Indonesia.[8] Dalam hal
ini Allah Swt berfirman dalam surat al-Furqan ayat 63 sebagai berikut:
. وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً (الفرقان: ٦۳)
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.(Qs. Al-Furqan:
63).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dasar dari
pendidikan dayah adalah berdasarkan Alquran dan hadits, namun juga tidak
terlepas dari UUD 1945 pasal 31 yang menjamin hak setiap warga Negara untuk
mendapatkan pengajaran, yang kemudian dalam Undang-Undang Pendidikan dan
Pengajaran No. 12 Tahun 1954 jo No. 4 Tahun 1950 serta dalam UU No. 2 Tahun 1989
diluaskan lagi meliputi hak dan kebebasan menyelenggarakan atau memajukan
pendidikan.[9]
Dengan demikian, nampaklah bahwa antara pendidikan formal
dengan nonformal mempunyai satu ikatan yang sangat erat. Demikian juga halnya
dengan dayah yang bertujuan untuk mencetak kader-kader yang memahami ilmu
pengetahuan agama yang professional dan juga menjadi ulama-ulama serta
da’i-da’i yang siap tampil dalam
berbagai bidang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa
lembaga pendidikan dayah didirikan atas dasar ingin menciptakan umat manusia
yang memahami ajaran Islam secara benar. Di sisi lain, dayah juga didirikan
bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan manusia kepada Allah Swt dan membentuk
pribadi muslim dan juga untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam
mengembangkan syi’ar Islam, terutama dalam menciptakan kader-kader ulama.
Dengan demikian, secara umum tujuan pendidikan dayah
merupakan manisfestasi dari tujuan pendidikan nasional. Dan dayah juga ikut
bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan.[10]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat
dipahami bahwa tujuan pendidikan dayah dapat dikatakan agar mampu mencetak
ahli-ahli agama dan ulama-ulama yang menguasai ilmu agama serta mengamalkan
dengan tekun dan mampu menghidupkan sunnah Rasul dan menyebarkan ajaran agama
yang berubudiyah kepada Allah Swt. Walaupun tujuan pendidikan dayah tidak
dijabarkan secara eksplisit, tetapi dapat dipahami bahwa tujuan-tujuan pendidikan
dayah sesungguhnya tidak hanya semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga
mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata yang berkembang dalam masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut bahwa tujuan institusional dayah
sebagai pencetak ulama dan ahli agama, musyawarah atau lokakarya intensifikasi
pesantren pada bulan Mei 1978 di Jakarta dirumuskan tujuan pesantren sebagai
berikut:
1. Tujuan
Umum
Tujuan umum dari dayah adalah
membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam
dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan serta
menjadikan sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara.[11]
2. Tujuan
Khusus
Tujuan khusus pada pendidikan dayah dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Mendidik santri dan anggota
masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah Swt berakhlak
mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan lahir batin sebagai warga Negara
yang berpancasila.
b. Mendidik santri untuk menjadi
manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlash,
tabah, tangguh, wiraswasta dalam menjalankan ajaran Islam secara utuh dan
dinamis.
c. Mendidik santri untuk memperoleh
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab
kepada pembangunan bangsa dan Negara.
d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh
pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat dan lingkungan).
e. Mendidik santri agar menjadi
tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai bidang pembangunan khususnya dan
pembangunan spiritual umumnya.[12]
Kemudian menurut Kyai Abdul Halim mengatakan bahwa tujuan
pendidikan pondok pesantren adalah membentuk kepribadian murid dan memberi
kesempatan mereka untuk meraih suatu jabatan ketrampilan yang terlatih.[13] Di
samping itu juga membentuk manusia-manusia yang dapat terjun dalam masyarakat
nanti hingga dapat menyelesaikan sesuatu masalah dengan ajaran-ajaran Alquran.
C. Kurikulum
Pendidikan Dayah
Informasi
tentang kurikulum sangat langka yang bisa di dapat dari latar belakang sejarah.
A. Hasjmy agaknya hanya dapat menduga bahwa apa yang diajarkan di dayah
berdasarkan sebuah dokumen Kanun Meukuta Alam, yang ada pada masa Sultan
Iskandar Muda. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa lembaga tujuan pendidikan waktu
itu adalah untuk menghasilkan jenis kegiatan administrasi perkantoran dan
kepemimpinan politik dan Negara. Kenyataan menunjukkan alumni dayah waktu itu
bisa menjadikan seseorang mampu mengatur negara dalam mengatur berbagai
kapasitas.[14]
Namun
sumber lain menunjukkan bahwa ada beberapa subjek yang diajarkan di dayah pada
waktu itu, seperti ketika masa Sultan Husein memerintah (1517-1579), seorang
sarjana dari Mesir yang bernama Syekh Muhammad Azhari mengajar metafisika. Pasa
masa Sultan Mansur Shah (1579-1585), seorang sarjana terkenal, Abu al-Kahar Ibn
Syekh Ibnu Hajar, pengarang Shaif al-Qati’ dating ke Aceh mengajar hukum
Islam di dayah. Di saat bersamaan, Syekh
Yamani mengajar teologi, dan Muhammad Jailani Ibn Hasan Hamid mengajar logika
dan ushul fiqh di Aceh. Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh
Darussalam (1607-1636), terdapat 44 syekh yang mengajar berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, politik, sejarah, kesehatan, astronomi,
pertanian, sebagai tambahan dari ilmu agama, bahkan Iskandar Muda belajar dari
teungku dayah ketika muda.[15]
Semua
pejabat negara masa itu mulai dari pejabat rendahan sampai raja adalah tamatan
dayah. Ini membuktikan bahwa dayah di masa kesultanan telah ikut berperan
sangat signifikan untuk mendidik anak bangsa dalam berbagai bidang keilmuan.
Dayah tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, namun dayah juga mengajarkan
berbagai mata pelajaran yang dapat memajukan kebudayaan umat. Seandainya
Belanda tidak menjajah Aceh, mungkin kita tidak akan mengenal UNSYIAH, IAIN,
UNMUHA dan lain-lain, tetapi kita akan mengenal Universitas Cot Kala,
Universitas Tanoh Abee, Universitas Tgk Chik Pante Kulu dan lain-lain.
Dayah
yang masih eksis di Aceh sekarang sudah mempunyai kurikulum yang memadai, baik
kurikulum yang mandiri, maupun kurikulum yang dikeluarkan oleh DEPAG, sehingga
antara satu dayah dengan dayah lainnya kurikulumnya sama.
Adapun pelajaran yang harus dipelajari siang dan malam hari oleh setiap
santriawan dan santriawati dalam satu tahun pengajaran (dua semester) untuk
setiap kelas adalah sebagaimana yang telah tercantum dalam tabel dibawah ini:
MATA PELAJARAN UNTUK
SETIAP KELAS
No
|
Kelas
|
Pelajaran
|
Kitab
pegangan
|
1
2
3
4
5
6
|
I
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
|
Matan Takrib
Jarumiah dan Awamel
Matan bina dan Dhammon
Aqidatul Islamiah
Pelajaran Akhlak
Khulasah
|
1
2
3
4
5
6
7
|
II
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Hadits
|
Al-Bajuri I & Ii
Al-Kawakib Ad-Dariah
Al-Kailany
Khamsatun Mutun
Taisir Akhlak
Khulasah I
Matan Arba'in
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
|
III
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Hadits
Ushul fiqh
Mantiq
|
I'anatut Thalibin I & II
Syahri Azhariah (Syaik Khalid)
Al-Kailany
Kifayatul Awam
Ta'lim Muta'alim
Khulasah III
Musthalahul Hadits
Al-Damyatil 'Alal Warkat
Matan Al-Sullam
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
IV
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Hadits
Ushul fiqh
Mantiq
Tafsir
|
I'anatut
Thalibin III & IV
Al-Fiah
Salsul
Mudkhal
As-Syarkawi
'Ala Hududi
Ta'lim Al-
Meta'allim
Khulasah
III
Majalisus
Tsaniah
Lathaiful
Isyarah
Idhahul
Mubham
Hasyiah
As-Shawi
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
V
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Hadist
Ushul fiqh
Mantiq
Tafsir
Bayan
|
Al-Mahalli I & II
Syarhi Ibnu Akil ‘ala Al-Fiah
Al-Matlubi Syarhil Maqshudi
As-Syarkawi ‘ala Al-HudHudi
Ihya ‘Ulumuddin
Baiquni
Ghayah Ushul
Shabhan
Hasyiah
As-Shawi (Jalalain) III
Syarhi
Jauhar Al-Maknun
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
VI
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Hadits
Ushul Fiqh
Mantiq
Tafsir
Bayan
|
Al-Mahalli III
Syarhi Ibnu Akil ‘ala Al-Fiah
Al-Matlubi syarhil Maqshudi
As-Syarkawi ‘ala Al-HudHudi
Ihya ‘Ulumuddin
Baiquni
Ghayah Ushul
Shabhan
Hasyiah
As-Shawi (Jalalain) III
Syarhi
Jauhar Al-Maknun
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
VII
|
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Hadits
Ushul Fiqh
Mantiq
Tafsir
Bayan
|
Al-Mahalli IV
Syarhi Ibnu Akil ‘ala Maqshudi
Al-Matlubi syarhil Maqshudi
Hud-Hudi
Ihya ‘Ulumuddin
Baiquni
Ghayah Ushul
Shabhan
Hasyiah As-Shawi (Jalalain) IV
Syarhi Jauhar Al-Maknun
|
D. Perkembangan
Dayah Dalam Sejarah Aceh
Dayah adalah suatu lembaga
pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hamper sama dengan pesantren di Jawa,
baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting,
seperti yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren
merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama
mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat yang lebih tinggi.[16]
Sedangkan di Aceh, dayah adalah lembaga pendidikan lanjutan bagi anak-anak yang
sudah menyelesaikan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di
rumah-rumah Teungku gampong.[17]
Di masa Kerajaan Aceh Darussalam,
terdapat beberapa lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan, di antaranya:[18]
1. Balai
Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para
ulama, cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai
Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus
masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3. Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan
kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran
membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan.
Di bawah ini, penulis nukilkan
beberapa Pendidikan Tingkat Tinggi atau Dayah Teungku Chik yang
berada dalam Kerajaan Aceh Darussalam:
1. Dayah
Cot Kala
Setelah berdirinya Kerajaan Islam
Perlak (1 Muharram 225 H / 840 M)[19],
maka pada akhir abad ketiga Hijriah (awal abad kesepuluh Masehi) didirikanlah
Pusat Pendidikan Islam yang bernama “zawiyah Cot Kala” oleh seorang pangeran
yang ulama. Muhammad Amin namanya, yang kemudian terkenal dengan Teungku Chik
Cot Kala. Kata-kata “zawiyah” lambat laun berubah menjadi “dayah”.[20]
Setelah memimpin Dayah Cot Kala
lebih dari satu tahun, maka Teungku Chik
Cot Kala Muhammad Amin dinobatkan menjadi raja Perlak keenam, dengan gelar
Sulthan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, yang
memerintah pada tahun 310-334 H (922-946 M).
2. Dayah
Seuruleu
Syekh Sirajuddin, seorang ulama
terkemuka alumni Cot Kala, oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan
Berdaulat yang memerintah kerajaan Perlak (402-450 H/1012-1059 M), mengangkat
Syekh Sirajuddin mengepalai sebuah angkatan Dakwah untuk mengembangkan Islam ke
Lingga (Aceh Tengah).
Setelah berdiri Kerajaan Islam Lingga,
maka Syekh Sirajuddin segera membangun sebuah pusat pendidikan yang kemudian
hari terkenal denga nama Dayah Seureulu, beliau sendiri sebagai pimpinannya
terkenal dengan sebutan Teungku Chik Seureulu.
3. Dayah
Rumpet
Dayah Rumpet terletak di pantai
barat Aceh, yaitu di Kuala Daya. Berdiri sejak pemerintahan Sultan Iskandar
Muda Meukuta Alam (1016-1045 H / 1607-1636 M). Dayah Rumpet mencapai
kemajuannya di bawah Pimpinan teungku Muhammad Yusuf, yang lebih dikenal dengan
Teungku Chik di Rumpet. Teungku Muhammad Yusuf merupakan seorang Qadhi di
Rantau Dua Belas (bagian timur Aceh Barat).[21]
4. Dayah
Blang Peria
Di zaman pemerintahan Maharaja
Nurdin Sultan al-Kamil di Samudera Pase (550-607 H / 1155-1210 M). hidup
seorang ulama besar, ahli hukum, pujangga dan muballigh yang terkenal, namanya
Syekh Ya’kub, yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Blang Peria sebagai
pimpinan Dayah Blang Peria yang beliau bangun di Blang Peria Geudong.
Pada tanggal 15 Muharram 630 H (1233
M) Teungku Chik Blang Peria meninggal dunia, makam beliau terkenal dengan nama
Makam Teungku Jirat Raya di Blang Peria. Dayah Blang Peria merupakan Pusat
Pendidikan Islam yang terbesar dalam Kerajaan Islam Samudera Pase.[22]
5. Dayah
Lam Keuneu’eun
Pada tahun 592-622 H (1196-1225 M), Alaiddin Sultan Makhdum
Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat memerintah Kerajaan Islam Perlak, telah
mengirim 300 orang ke arah barat untuk membawa Islam ke wilayah Kerajaan
Hindu/Budha Indra Purba (Aceh Besar sekarang). Angkatan dakwah tersebut
dipimpin oleh Syekh Abdullah Kan’an, salah seorang Gurubesar dari Dayah Cot
Kala dan Meurah Johan, seorang Pangeran yang masih muda, keluaran Dayah Cot
Kala.
Setelah Kerajaan Indra Purba menjadi Kerajaan Islam dengan
nama Kerajaan Darusssalam, dan Meurah Johan dinobatkan menjadi raja yang
pertama pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan 601 H (1205 M) dengan gelar Sultan
Alaiddin Johan Syah, maka Syekh Abdullah Kan’an mendirikan sebuah Pusat
pendidikan Islamyang terkenal dengan nama Dayah Lam Keuneu’eun, dan beliau
sendiri menjadi pimpinannyadenag lakab Teungku Chik Lam Keuneu’eun. Syekh
Abdullah Kan’an ini, orang tuanya berasal dari Kan’an (Palestina), beliau
selain ulama besar juga ahli lada.[23]
6. Dayah
Batu Karang
Teungku Ampon Tuan (nama kecilnya
tidak jelas), seorang ulama besar alumni Dayah Cot Kala diangkat menjadi Qadhi
Negeri Batu Karang pada waktu Raja Muda Sedia memerintah Kerajaan Islam Benua
atau Teuming (Tamiang) pada tahun 753 -800 H (1353-1398 M).
Selain sebagai Qadhi, Teungku Ampon
Tuan juga mendirikan sebuah pusat Pendidikan Islam yang di kemudian hari
terkenal dengan Dayah Batu Karang, dan beliau sendiri terkenal dengan sebutan
Teungku Chik Batu Karang.[24]
7. Dayah
Tiro
Di masa Sultan Alaiddin Muhammad
Daud Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dalam tahun 1195-1209 H
(1781-1795 M), hijrahlah seorang Ulama Besar yang bernama Syekh Faqih Abdul
Wahab Haitamy dari Koetaraja (Banda Aceh) menuju Pidie. Syekh Faqih Abdul Wahab
Haitamy merupakan seorang ahli hokum Islam terkenal.[25]
Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy
mengambil tempat tinggal di Kampung Tiro, dan di sana pula beliau mendirikan
sebuah Pusat Pendidikan Islam, yang terkenal dengan nama Dayah Tiro, dan beliau
dikenal dengan Teungku Chik Tiro. Setelah beliau wafat, dayah dipimpin oleh
putranya yang bernama Syekh Faqih Abdussalam yang terkenal dengan Teungku Chik
Tiro pula.
Dayah Tiro kemudian dilanjutkan
pimpinannya oleh Teungku Muhammad Amin dan terkenal dengan Teungku Chik Dayah
Cut, dan Teungku Syekh Abdullah, ayahnya Syekh Muhammad Samanteungku Chik di
Tiro, salah seorang Pahlawan Nasional dari Aceh.
8. Dayah
Tanoh Abee
Di masa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah memerintah
Kerajaan Aceh Darussalam dalam tahun 1238-1251 H (1823-1836 M), datang ke Aceh
seorang Ulama Besar dari Baghdad yang bernama Syekh Idrus Bayan. Atas
permintaan Sultan beliau mendirikan sebuah Pusat Pendidikan Islam dengan mengambil tempat di Tanoh Abee
Seulimuem, yang kemudian berkembang dan terkenal dengan nama Dayah Tanoh Abee,
dan Syekh Idrus Bayan sebagai pimpinan terkenal dengan sebutan Teungku Chik
Tanoh Abee.
Setelah syekh idrus Bayn wafat, pimpinan dayah dilanjutkan
oleh putranya Syekh Abdul Hafidh, kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdul Hafidh
yang bernama Syekh Abdurrahim, kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdurrahim yang
bernama Syekh Muhammad Shalih dan kemudian oleh putranya yang bernama Syekh
Abdul Wahab, yang hidup di zaman Sultan Alaiddin Mahmud Syah, yang memerintah
pada tahun 1286-1290 H (1870-1874 M), dan zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud
Syah, yang memerintah dalam tahun 1874-1903 M. Dayah Tanoh Abee, salah satu
dayah pembina terbesar di Aceh.[26]
9. Dayah
Lam Nyong
Pendiri Dayah Lam Nyong ini, bernama
Teungku Syekh Abdussalam, yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Nyong. Beliau hidup di
masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah 1286-1290 H (1870-1874 M).
10. Dayah
Pante Geulima
Salah satu Dayah yang terbesar yang terletak di daerah
Meureudu adalah dayah Pante Geulima, yang mencapai puncak kemajuan di masa
Teungku Ya’kub yang lebih terkenal dengan Teungku Chik Pante Geulima, beliau
hidup dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 H/1870-1874 M).
menurut sebuah riwayat, Teungku Chik Pante Geulimalah yang mengarang Hikayat
Malem Dagang.[27]
11. Dayah
Meunasah Blang
Dayah Meunasah Blang yang terletak
di Samalanga mencapai puncak kemajuan di bawah pimpinan Teungku Sykh Abdullah,
yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Meunasah Blang. Beliau hidup di zaman
pemerintahan Sultan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah (1273-1286 H/1857-1870 M)
sampai zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah.salah seorang muridnya
yang terkenal adalah Teungku Chik Tiro Muhammmad Saman.[28]
12. Dayah
Lam Birah
Dayah Lam Birah merupakan salah satu Dayah Pembina yang
terbesar, didirikan oleh dua bersaudara ulama/bangsawan, yaitu Ja Meuntro dan
Ja Bendahara, yang kemudian keduanya terkenal dengan Teungku Chik Lam Birah. Mereka hidup di
zaman dengan Sultan Alaiddin Johan Syah sampai pemerintahan Sukltan Alaiddin
Tuanku Raja Mahmud Syah. Setelah keduanya wafat, Dayah Lam Birah dilanjutkan
pimpinannya oleh putra-putra mereka: Teungku Chik Cot Keupeung, Teungku Chik Bare,
dan kemudian dilanjutkan oleh Teungku haji Abbas, yang terkenal dengan Teungku
Chik Lam Birah, lalu dipimpin oleh Teungku Haji Ja’far yang terkenal dengan
sebutan Teungku Chik Lamjabat.[29]
13. Dayah
Lam Diran
Inilah salah satunya pusat
Pendidikan Islam yang didirikan oleh perempuan, yaitu Teungku Fakinah,
keturunan bangsawan dan ulama. Ayahnya Datu Muhmud seorang pejabat tinggi dalam
pemerintahan Sultan Alaiddin Iskandar Syah (1251-1273 H / 1836-1857 M) yang
turut membengun Dayah Lam Krak. Ibunya yang bernama Teungku Fathimah adalah
putri dari seorang ulama besar, teungku Muhammad Sa’ad, yang terkenal dengan
Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok. Selain pelajar-pelajar wanita,
Dayah lam Diran (daerah Sibreh) juga belajar pelajar laki-laki. Kepada pelajar
perempuan juga diajarkan kerajinan tangan. Di masa perang melawan penjajah,
Teungku Fakinah terkenal sebagai salah seorang Panglima Perang.[30]
14. Dayah
Ulee Susu
Dayah ini didirikan pada masa
pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1273-1286 H/1857-1870 M). di
bawah pimpinan Syekh Abbas (Teungku Chik Kuta Karang), Dayah Ulee Susu mencapai
kemajuan yang cukup pesat. Selain menjadi pimpinan Dayah Ulee Susu, Tengku Chik
Kuta Karang juga seorang Qadhi Malikul Adil dalam pemerintahan Sultan Alaiddin
Ibrahim Mansur Syah.[31]
Dari semua dayah-dayah tersebut di
atas sebahagian kecil saja yang masih berkembang sampai sekarang. Kebanyakan
dari dayah-dayah tersebut tidak berkelanjutan. Hal ini diakibatkan tidak adanya
penerus setelah pimpinan wafat, terpaksa ditutup akibat peperangan melawan
kolonialisme Belanda.
15.
Jami’ah Baiturrahman
Setelah berdiri Dayah-dayah Teungku Chik di berbagai tempat
dalam Kerajaan Aceh Darusslam, maka di ibukota (Kutaraja) didirikan pula
Jami’ah Baiturrahman yang menjadi satu kesatuan dengan Masjid Jami’
Baiturrahman.[32]
E. Kedudukan Dayah
Dalam Pengembangan Pendidikan Agama
Islam
Dayah merupakan pusat pendidikan Islam
masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaaan dayah sebagai pusat
pendidikan Islam masa lalu sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang
berpengaruh di masanya. Peminpin-peminpin Aceh masa lalu seperti Sultan
Iskandar Muda adalah alumni dayah. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan
pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah
saat itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah bukan hanya ulama,
tetapi juga politikus atau negarawan.[33]
Institusi
dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa
penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya,
perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri
telah mempengaruhi kemunduran dayah sejak Belanda memulai pendudukannya di Aceh
pada tahun 1873. Dayah dan peminpinnya saat itu merupakan simbol dan penggerak
perjuangan menentang kolonialisme di Aceh.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh,
sebagai salah satu landasan budaya terdapat satu lembaga yang dinamakan dengan
Meunasah. Sebagai simbol masyarakat Aceh, pada setiap gampong terdapat Meunasah,
sebagai pusat pengendalian tata kehidupan masyarakat. Meunasah dibuat terbentuk
empat segi tanpa dilengkapi dengan jendela, lorong atau sekatan-sekatan. Beda
antara rumah dengan Meunasah hanya sedikit saja bagi orang yang tidak
memperhatikan dengan sengaja akan dapat dilihat kesamaannya dari pada
perbedaannya. Persamaan terdapat pada bentuknya seperti rumah Aceh. Sedangkan
perbedaannya kelihatan pada posisinya yaitu rumah tampak membujur kearah kiblat
dan Meunasah tampak kearah utara selatan. Perbedaan selanjutnya terletak pada
lantai Meunasah yang kelihatan rata,
sedangkan lantai rumah tampak tinggi bagian tengahnya.[34]
Bentuk dan kondisi Meunasah semacam itu
pada kurung waktu sekarang ini mungkin sudah minim karena Meunasah sekarang
mengikuti arus kemajuan zaman yang modern. Meunasah sudah berjendela mempunyai
Kulah, bak wudhuk pada sudah mempunyai penerangan lampu listrik serta berbagai
variasi lainnya.
Ada yang menyebut Meunasah dan meulasah
atau beulasah. Namun yang penting adalah bahwa istilah Meunasah berasal dari
kata madrasah dalam bahasa Arab yang mengandung pengertian lembaga pendidikan.
Meunasah merupakan tempat belajar dasar bagi anak-anak yang mempelajari dasar
ilmu agama dan cara membaca Alquran. Anthony Reid dalam bukunya asal mula konflik
Aceh dan perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke -19
menyebutkan bahwa “Meunasah adalah suatu tempat umum yang dipergunakan sebagai
sarana penginapan bagi kaum pria dewasa yang singgah dalam suatu gampong”.[35]
Terlepas dari sejarah dan latar
belakang tentang asal muasal lahir Meunasah, yang pasti antara Aceh dengan
Meunasah merupakan integritas dua sisi yaitu sisi Meunasah dan sisi binnya
yaitu masyarakat Aceh, sehingga dimana ada masyarakat Aceh disitulah ada
Meunasah, sebaliknya dimana ada Meunasah disitu pasti ada masyarakat Aceh,
meskipun berada diluar daerah. Meunasah sudah merupakan bagian budaya,
identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Tidak berfungsinya Meunasah
dari aspek budaya berarti lanyap pula identitas dan ciri-ciri kehidupan
masyarakat Aceh. Dengan demikian Meunasah bukan hanya suatu bangunan, tetapi
lebih menggambarkan kondisi dan situasi suatu lingkungan masyarakat, khususnya
masyarakat Aceh terutama pada tingkat gampong. Jadi Meunasah bukanlah hanya sebagai
sebuah simbol wilayah saja, tetapi juga merupakan sebuah bangunan yang
mempunyai fungsi serba guna.
Masyarakat Aceh yang dekat sekali dengan adat yang
bernafaskan agama (Islam) seperti adat dan hukom lagee zat ngon sifeut.
Lembaga-lembaga adat seperti meunasah, dan prosesi-prosesi adat seperti adat
meugoe, khanduri blang, khanduri udep dan khanduri matee, teungku memegang
peranan penting, baik sebagai pimpinan pada lembaga tersebut atau juga sebagai
pimpinan pada prosesi adat yang dilakukan.[36]
Meunasah bagi masyarakat Aceh sudah ada sejak abad ke-8 saat
kerajaan Perlak membangun pusat-pusat pendidikan untuk masyarakat di
tingkat gampong. Dalam Khazanah Pendidikan Tradisional di Aceh,
sebagaimana dikutip dari perkataan Sulaiman Tripa menyebutkan bahwa “lembaga
meunasah, yang berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab ini berarti lembaga
pendidikan, meunash ini ada di setiap gampong yang ada di Aceh”.[37]
Sejarah perkembangan pendidikan di Aceh, membuktikan bahwa
meunasah merupakan salah satu lembaga awal pendidikan yang tujuannya adalah
mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala ajaran
agama Islam secara benar dan baik. Sebagai lembaga pendidikan, meunasah memang
mengadakan pengajian rutin pada malan hari, maupun siangnya merupakan lembaga
pendidikan yang paling tua dalam masyarakat Aceh.[38]
Meunasah ini dikenal oleh masyarakat
Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi
sebagai berikut:
Para ahli sejarah muslim Indonesia
telah sepakat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak
Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam
pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M,
dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan
sebuah lembaga pendidikan yang bernama Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar
Teuku Chik Muhammad Amin.[39]
Meunasah-meunasah yang ada di Aceh merupakan lembaga
pendidikan Islam yang dahulunya telah banyak menciptakan orang-orang yang mampu
memhami ilmu agama secara mendalam, khususnya tentang aqidah, ibadah, dan
akhlak. Meunasah juga telah banyak melahirkan juru dakwah, pendidik, dan
pemimpin yang berwawasan luas, sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan
umat serta mampu berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha
menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air.[40]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, sejarah dan
perkembangan meunasah di Aceh diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi
Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam
menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan pembinaan di
meunasah-meunasah dengan cara guru atau
teungku di meunasah mengumpulkan mayarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama Islam.
Memperhatikan perkembangan meunasah pada masa dahulu, maka
nampak jelas peranannya dalam usaha pembinaan pendidikan terhadap masyarakat,
terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini meunasah telah banyak menampakkan
hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama di meunasah.
Dalam perkembangan meunasah masa sekarang ini dapat dilihat
bahwa meunasah tidak lagi berfungsi seperti pada zaman dahulu, karena masyarakat
telah banyak pergi ke pesantren-pesantren atau dayah-dayah yang telah maju
untuk mengkaji ilmu pengetahuan agama. Ditambha lagi dengan didirikannya
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah Departemen pendidikan
Agama. Seperti sekolah min, MTsN, MAN, dan
telah ada perguruan-perguruan hampir di setiap kabupaten yang ada di
Aceh. Hal ini membawa factor rendahya minat masyarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu
agama di Meunasah-meunasah yang masih ada di setiap gampong di Aceh. [41]
Dengan demikian, sebagaimana dapat kita lihat dalam
kehidupan masyarakat Aceh sekarang, di mana meunasah tidak lagi digunakan
sebagai tepada waktu adanya musyawarah-musyawarah. Akan tetapi di daerah-daerah
perdalaman menunasah masih juga digunakan sebagai tempat pembinaan keagaamaan
bagi orang tua, anak muda, dan anak-anak remaja. Disini mereka masih aktif
untuk mempelajari agama. Seperti balajar Alquran, tauhid, fiqih dan tasawuf. Hal ini membuktikan bahwa sampai
saat ini meunasah masih dijadikan sebagai tempat lembaga pendidikan oleh
masyarakat Aceh.
Dayah adalah suatu lembaga
pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hampir sama dengan pesantren di Jawa,
baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting,
seperti yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren
merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama
mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat yang lebih tinggi.[42]
Sedangkan di Aceh, dayah adalah lembaga pendidikan lanjutan bagi anak-anak yang
sudah menyelesaikan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di
rumah-rumah Teungku Gampong.[43]
Di masa Kerajaan Aceh Darussalam,
terdapat beberapa lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan, di antaranya: Pertama, Balai Seutia Hukama, merupakan
lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, cendekiawan untuk
membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, Balai Seutia Ulama, merupakan
jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan
pengajaran. Ketiga, Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan
kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran
membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan[44].
[2]Elias A. Elias & Edward E. Elias, Kamus Saku
Arab Inggris Indonesia , (Jakarta: al-Ma’arif, 1983), hal. 439.
[3]Tgk. Mohd. Basyah Haspy, Appresiasi Terhadap
Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda
Aceh: Panitia Seminar Apresiasi Pesantren di Aceh Persatuan Dayah Inshafuddin,
1987), hal. 7.
[4] Muhammad
Idris Abdurrauf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (tp: 1350 H), hal.
272.
[6] A.
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), hal. 192.
[13]Karel A.
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: Lp3Es, 1974), hal. 72.
[16]Abdurrahman
Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren, (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen
Agama R. I, 1985), hal. 11.
[18]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.
[33]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda
Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[34] Baruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat
Meunasah bagi Sumber Energi Budaya Aceh, (Aceh:
Majelis Pendidikan Daerah NAD. 2002), hal. 1.
[35] Anthony Reid. Asal mula konflik Aceh
(Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra Hingga akhir kerajaan Aceh Abad ke-19). (Jakarta:
Yayasan Obat Indonesia, 2005), hal 313.
[36]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda
Aceh: Gua Hira’, 1995), hal. 61.
[37]Sulaiman
Tripa, Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh,
http://www.acehinstitute. Diakses 20 Oktober, 2010.
[39]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam
Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.
[41] Ibid.,hal. 228.
[42]Abdurrahman
Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren, (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen
Agama R. I, 1985), hal. 11.
[44] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.