BAB III
Perbedaan Pendapat Imam Syafi’i Dan Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri
Yang Nusyuz
A.
Nafkah
Isteri Yang Nusyuz Menurut Imam Syafi’i Dan Ibn Hazm
1.
Nafkah
Isteri Nusyuz Menurut Imam Syafi’i
Memang tidak ada
dalil dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa wanita yang nusyuz terhadap
suaminya gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. Paling-paling hanya ada, Allah
SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita untuk taat kepada suaminya dan Nabi
Muhammad SAW. menegaskannya lagi dalam sabda Baginda:
Artinya: “Andaikan sujud kepada
selain Allah SWT. itu boleh, pastilah aku suruh kepada isteri itu sujud kepada
suaminya”.
Bahkan kemudian
laki-laki dilarang mencari alasan buat menganiayai isterinya, manakala si
isteri sudah kembali taat kepadanya sebagaimana firman Allah SWT.:
....فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا.... (النساء: ٣٤)
Artinya: “....Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya....”. (Q.S: al-Nisa’: 34)
Perempuan yang taat
di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat di
sini adalah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah
tangga dengan baik dan saling pengertian dan tahu menjaga dirinya. Imam
al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberi nasihat kepada seorang suami
supaya bersabar menanggung tingkah laku isterinya karena tiap-tiap perempuan
dan manusia itu ada sisi kelemahannya. Bahkan suami pun mempunyai kelemahannya
dan dengan kesabaran seorang isteri pulalah yang mengekalkan keharmonisan rumah
tangganya.
Namun demikain,
boleh saja bagi suami menghukum isterinya dengan tidak memberi nafkah jika
isterinya mendurhaka kepadanya sampai ia kembali taat. Karena isteri itu
meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suamipun boleh meninggalkan
kewajibannya memberi nafkah kepada isterinya.
Oleh karena seorang
isteri dengan sebab adanya aqad nikah menjadi terikat oleh suaminya, ia berada
di bawah kekuasaan suaminya, ia wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak
penuh atas dirinya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya
dan mengasuh anak dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk
memberikan nafkah kepada isteri selama perkawinan itu masih berlangsung dan isteri
tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah
berdasarkan kaedah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain
dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang
menguasainya.
Imam Syafi’i dalam
kitabnya yakni al-Umm menyatakan:
وأصل
ما ذهبنا إليه من إن لا قسم للممتنعة من زوجها ولا نفقة ما كانت ممتنعة لأن الله تبارك وتعالى أباح هجرة مضجعها
وضربها في النشوز والإمتناع نشوز.[3]
Artinya: “Dan dasar apa yang kami pegangi
kepadanya tidak ada pembagian giliran bagi orang yang menghalangi (menolak)
suaminya dan tidak ada nafkah selama ia menghalangi, karena sesungguhnya Allah Tabaraka Wa
Ta’ala telah membolehkan memisahkan diri dari tempat tidurnya dan memukulnya
ketika ia nusyuz”.
Kemudian dalam
ungkapan yang lain dinyatakan:
ولو
كان الزوجان بالغين منعت المرأة من دخول أو أهلها لعلة لو اصلاح امر هلم تجب على
زوجها نفقتها حتى لا يكون الامتناع من الدخول الامنه.[4]
Artinya: “Dan kalau suami isteri
yang kedua-duanya sudah baliqh kemudian si wanita menghalangi daripada dukhul
atau keluarganya karena alasan atau untuk menyelesaikan urusannya, tidak wajib
suaminya menafkahinya sehingga tidak ada lagi yang menghalangi kepada dukhul
kecuali penghalang itu dari suami”.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan,
bahwa isteri yang nusyuz mengakibatkan hilangnya hak isteri tersebut untuk
menerima nafkah dari suaminya, hal ini disebabkan terhalangnya suami
bersenang-senang dengan isterinya.
Para ahli fiqh telah sepakat bahwa nafkah isteri yang
nusyuz terhadap suami itu gugur, yaitu isteri melakukan pembangkangan terhadap
suami dengan tujuan untuk menghindari hak dan kewajibannya terhadap suami,
meninggalkan rumah tanpa izin suami, melanggar perintahnya, membencinya dan
bersikap sombong terhadapnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Qudamah
yaitu:
والناشز لا نفقة لها فلا نفقة لها
ولا سكنى فى قول عامة أهل العلم منهم الشعبى وحماد ومالك والأوزاعى والشافعى
وأصحاب الرأي وأبو ثور.[5]
Artinya: “Dan orang yang nusyuz
tidak ada nafkah baginya, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi isteri
tersebut menurut ahli fiqh, mereka itu adalah asy-Sya’bi, Hammad, malik,
asy-Syafi’i, sahabat-sahabat ar-Ra’yu dan Abu Tsaury”.
Abi Ishaq asy-Syirazi menyatakan, bahwa jika seorang
wanita menghalangi atau menolak untuk menyerahkan dirinya atau dia memungkinkan
untuk istimta’, atau seharusnya ia di rumah tapi tidak ada di rumah atau
seharusnya ia berada di negerinya tapi tidak ada di negerinya, maka tidak wajib
nafkah, karena dengan demikian menyebabkan tidak terdapatnya tamkin yang
sempurna. Tidak ada kewajiban nafkah tersebut dapat dimisalkan sebagaimana
tidak wajibnya suatu pembayaran bila si penjual menahan atau menghalangi benda
yang dijualnya untuk diserahkan.[6]
Pengertian tamkin itu adalah :
بأن
عرضت نفسها عليه كان تقول انى مسلمة نفسى اليك فاختران اتيك حيث شئت أو أن تأتينى.
Artinya: “Bahwasanya si wanita
telah menyerahkan dirinya kepada suaminya sebagaimana dia berkata, sesungguhnya
aku menyerahkan diriku kepadamu maka engkau pilihlah bahwa aku datang kepadamu
di manapun kamu berada atau engkau datangilah diriku”.[7]
Ibn Qudamah menjelaskan sebagai berikut:
ولنا أن النفقة إنما تجب فى مقابلة تمكينها بدليل
أنها لا تجب قبل تسليمها إليه وإذا منعها النفقة كان لها منعة التمكين, فإذا منعة
التمكين كان له منعها من النفقة كما قبل الدخول.
Artinya: “Dan bagi kami bahwa nafkah sesungguhnya
wajib pada muqabalah tamkinnya dengan alasan bahwa nafkah tidak wajib sebelum
isteri menyerahkan dirinya kepada suaminya, dan apabila mencegah isteri akan
nafkah adalah karena isteri mencegah suami tamkin, maka apabila isteri mencegah
suami akan tamkin adalah bagi suami
mencegah isteri dari nafkah sebagaimana sebelum dukhul”.[8]
Namun tamkin isteri harus terdapat tamkin yang sempurna
bila si isteri tidak menghalangi daripada menyerahkan dirinya, bila ia
memungkinkan untuk diistimta' atau ia bukan anak kecil, berada di tempat
untuk dapat menerima nafkah.[9]
Hal ini didasarkan pada peristiwa perkawinan Rasulullah SAW. sebagai berikut:
عن
عائشة قالت: تزوجنى رسول الله صلعم وأنا بنت سبع قال سليمان بن حرب أوست ودخل بى
وأنا بنت تسع. (رواه أبو داود)
Artinya: “Dari 'Aisyah r.a dia
berkata : Rasulullah S.W.A. telah mengawini aku, sedang aku berusia tujuh
tahun. Kata Sulaiman bin Harb : atau enam tahun. Dan beliau mengumpuli aku;
sedang aku berusia sembilan tahun”. (H.R: Abu Daud)[10]
Berdasarkan hadits tersebut bahwa Rasu!ullah te!ah
menikahi 'Aisyah dan mencampurinya seteiah dua tahun dari perkawinan tersebut,
RasuSullah tidak menikahi 'Aisyah kecuali seteiah ia mencampurinya dan ia tidak
pernah mengganti nafkah pada masa sebelumnya.[11]
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang batas
yang mengakibatkan gugurnya nafkah, yaitu:
1.
Jika
seorang isteri masih kecit, yang belum dapat dicampuri tetapi telah berada
dalam naungan suaminya. Maka para ulama mazhab sepakat bahwa tak ada kewajiban
nafkah, karena suami tidak dapat menikmatinya dengan sempuma sehingga isterinya
tidak berhak1 mendapatkan ganti rugi berupa nafkah ( belanja ).
2.
Kalau
isteri sakit, mandul atau mengalami
kelainan pada alat seksualnya, tap! ia tinggal di rumah suaminya, maka hak
nafkah tidak gugur, Tetapi menurut Maliki kewajiban memberi nafkah itu gugur
manakala isteri atau suami sakit berat.
3.
Apabila
isteri 'yang semula muslimah lalu murtad , maka menurut kesepakatan seluruh
mazhab, kewajiban nafkah menjadi gugur, tapi nafkah tetap wajib bagi isteri
ahli kitab persis seperti isteri yang muslimah, tanpa ada perbedaan sedikit
pun.
4.
Apabila
isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami , atau menolak tinggal di rumah
suami yang layak baginya, maka dianggap sebagai isteri nusyuz, dan menurut
kesepakatan seluruh mazhab, isteri tersebut tidak berhak atas nafkah. Hanya
Syafi'i dan Hambali menambahkan, bahwa apabila isteri keluar rumah demi
kepentingn suami, maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur. Tetapi bila bukan
untuk kepentingan suami, seka|ipun dengan izinnya, gugurlah hak atas nafkahnya.
5.
Apabila
isteri berpergian dalam rangka menunaikan ibadah haji wajib, maka Syafi'i dan
Hanafi mengatakan bahwa, haknya atas nafkah menjadi gugur, sekiranya pergi
tanpa seizin suami tetapi biia disertai izinnya, maka. hak nafkah tidak gugur.
6.
Kalau
isteri ber.sedia dan mau digauli, dan mau tinggal bersama suaminya kapan saja
suaminya itu menghendakinya, tetapi kasar dalam berbicara, kurang ajar, dan
seringkali melawan dalam banyak hal, maka akan gugur hak nafkahnya bila ha! itu
bukan merupakan v/atak aslinya, artinya ia bersikap baik kepada orang lain tapi
tidak terhadap suami, maka dia akap dianggap sebagai isteri nusyuz. Tapi
manakala perbuatannya itu memang merupakan watak yang menyatu dalam dirinya dan
sikapnya terhadap orang lain juga sama seperti itu termasuk kepada ayah dan
ibunya, maka wanita seperti itu tidak dianggap nusyuz.
Apabila seorang isteri diceraikan suaminya ketika dia
dalam keadaan nusyuz, maka isteri tidak berhak atas nafkah. Kalau dia dalam
keadaan iddah dari thalaq raj'i lalu melakukan nusyuz ketika menjalani
iddahnya, maka hak atas nafkahnya menjadi gugur. Kemudian bi!a dia kembali
taat, maka nafkahnya diberikan terhitung dari waktu ketika diketahui dia
kembaii taat.[12]
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas,
bagaimanapun bentuk nusyuz isteri tersebut, apabila menghalangi suami dari
dirinya dapat menggugurkan nafkahnya kecuali penghalangan itu dari pihak suami
atau karena ada keuzuran si isteri, hal ini dinyatakan dalam ungkapan berikut:
وتسقط
(النفقة) لنشوز ولو يمنع بلا عذر.
Artinya: “Dan
gugur (nafkah) dengan nusyuz meskipun dengan menghalangi atau menolak disentuh
dengan tidak ada keuzuran”.[13]
Apabila berlakunya hukum tidak memberi nafkah atau gugur
nafkah adalah sejak muncul sikap isteri yang menunjukkan tanda-tanda nusyuz.[14]
Sedangkan batas waktu gugurnya nafkah tersebut adalah
selama isteri masih melakukan nusyuz, dan bila isteri sudah kembali taat maka
hak-hak isteri harus diberikan kembali. Dengan demikian tidak halal memisahkan
diri darinya dan tidak halal memukulnya dan ia memiliki hak-haknya sebagaimana
halnya sebelum ia berbuat nusyuz.[15]
Berdasarkan
pernyataan yang telah diuraikan di atas jelaslah. bahwa nafkah isteri
nusyuz gugur merupakan kesempatan para ahli fiqh. Pengguguran nafkah isteri nusyuz
disebabkan isteri tidak memiiiki tamkin. maka tidak berhak atas nafkah yang
diberikan suami. Sebab terjadinya aqad nikah di antara mereka bukan dipandang
sebagai penyebab berhak nafkah isteri. Salah satu hak dan kewajiban suami
isteri tersebut adalah nafkah. Suami wajib memberi nafkah, sementara nafkah
adalah hak isteri dan sebaliknya isteri berkewajiban tamkin dan tamkin hak
suami. Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan berikut:
الجديد أنها تجب بالتمكين لاالعقد.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa nafkah isteri nusyuz itu gugur
disebabkan isteri tersebut tidak memiliki tamkin yang menjadi hak suaminya.
2.
Nafkah
Isteri Nusyuz Menurut Ibn Hazm
Perkawinan merupakan salah satu sebab yang menyebabkan
adanya pemberian nafkah. Para ulama telah
sepakat, bahwa nafkah merupakan hak mutlak isteri, yang menjadi kewajiban
suami. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 233:
وعلى
المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف.
Artinya: “Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian para Ibu dengan cara yang ma'ruf”.
Di samping itu juga dari hadits Nabi SAW:
ولهن
عليكم أوقهن وكسوتهن بالمعروف. (رواه مسلم)
Artinya: “Dan kewajiban kamu bagi
mereka memberi rezeki mereka dan pakaian mereka dengan cara yang ma'ruf”. ( HR ; Muslim )[17]
Berbeda halnya tentang kajian terhadap nafkah isteri
yang nusyuz, yang menimbulkan permasalahan, apakah nafkah itu tetap diberikan
atau tidak, dikarenakan penegasan al-Quran
maupun as-Sunnah tidak ditemukan secara langsung. Sementara itu dalam al-Quran surat al-Nisa' ayat 34,
hanya dijelaskan tindakan suami terhadap isteri yang nusyuz.
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri yang nusyuz
ini, Ibn Hazm berpendapat tidak ada yang menghalangi isteri untuk menerima
nafkah. Pendapat ini ditegaskan dalam kitabnya al-Muhalla sebagai berikut:
وينفق
الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها دعى الى البناء او لم يدع – ولو أنها في
المهد – ناشزا كانت أو غير ناشز, غنية أو فقيرة, ذات أب كانت أو يتيمة, بكرا أو
ثيبا, حرة كانت أو أمة – على قدر ماله.[18]
Artinya: "Dan seorang laki-laki menafkahi isterinya dari semenjak ia
menikahinya, dia mengajak kepada bina (berkumpul) atau tidak meskipun ia masih
dalam buaian, baik ia nusyuz atau tidak nusyuz, baik ia kaya atau miskin, baik ia mempunyai ayah atau yatim, baik
ia gadis atau janda, baik ia merdeka atau hamba, sesuai dengan kemampuan
hartanya". [19]
Dari ungkapan di atas secara tegas
dinyatakan, bahwa tidak ada penghalang bagi isteri untuk menerima nafkah, meski
ia nusyuz sekalipun. Tidak ada perbedaan antara isteri yang nusyuz dengan yang
tidak nusyuz, antara yang merdeka dengan hamba. Dengan kata lain siapa dan
bagaimana keadaan isteri adalah mutlaq menerima nafkah tanpa terkecuali, mereka
berhak untuk diberi nafkah. Akibat adanya aqad yang mengikat mereka
sekaligus menjadi sebab wajib diberi nafkah.
Menurut Abu Sulaiman beserta sahabat sahabatnya dan
Syufyan as-Tsaury, bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada isteri yang masih
kecil semenjak aqad nikah. Kemudian Ibn Hazm berkata lagi bahwa sama sekali
tidak ada keterangan dari sahabat tentang isteri yang nusyuz kemudian gugur
haknya menerima nafkah.[20]
Menurut pendapat ulama Mazhab, bahwa isteri yang nusyuz
tidak berhak atas nafkah. Karena isteri tidak memberi kesempatan kepada suami
untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan syara'. Bahkan
Imam Syafi'i mengatakan sekadar kesetiaan digauli dan berkhalwat sama sekali
belum dipandang cukup, kalau isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya,
dengan memperlihatkan kesiapan yang penuh untuk mengikuti suaminya. Sebaliknya
menurut Imam Hanafi, manakala isteri mengurung dirinya dalam rumah suaminya dan
tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka ia masih dipandang patuh
(muthi'ah) sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara' yang benar.
Penolakan yang seperti ini sekalipun haram dan tidak menggugurkan haknya atas
nafkah. Menurut Imam Hanafi yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah
kepadanya adalah keberadaan wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan
ranjang dan hubungan seksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah.
Dengan pendapat ini Hanafi berbeda dengan seluruh mazhab lainnya.
Memang tidak ada dalil dalam al-Qur'an yang menunjukkan,
bahwa wanita durhaka terhadap suaminya, kemudian gugur haknya untuk mendapatkan
nafkah. Hanya Allah SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita agar mematuhi
suaminya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW. begitu bersungguh-sungguh menekankan
hal ini dengan hadits:
لوجاز السجود لغير الله لأمرت الزوجة أن تسجد
لزوجها.
Artinya: “Andaikan sujud kepada
selain Allah itu boleh, pastilah aku suruh isteri sujud kepada suaminya”. (HR . Ibn Majah)[21].
Bahkan suami dilarang mencari-cari alasan buat
menganiayai isterinya apabila ia kembali taat, sebagaimana firman Allah SWT:
فإن
أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا....
Artinya: “Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya...”.
Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata
perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat adalah perempuan yang tahu akan hak
dan kewajibannya. Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya aqad nikah
menjadi terikat dengan suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya, ia
wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak penuh untuk menikmati dirinya,
tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya dan mengasuh anak
dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk memberi nafkah kepada
isteri selama perkawinan itu berlangsung dan si isteri tidak nusyuz dan tahu
akan harga dirinya.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin memberi
nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggung perangai isterinya,
sebab setiap perempuan, sebagai isteri ada kelemahannya, bahkan suamipun
mempunyai kelemahan dan akibat kesabaran seorang isteri pulalah yang akan
mengekalkan rumah tangganya.
Namun demikian, suami boleh menghukum isterinya dengan
tidak memberi nafkah, kalau dia durhaka terhadapnya sampai ia kembali taat.
Apabila isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami boleh
meninggalkan kewajibannya memberi nafkah, tetapi haruslah disertai cara yang
telah ditentukan oleh Allah SWT., yaitu suami harus menasihatinya,
mengingatkannya akan kehilangan hak nafkah atasnya, mengingatkan akan siksaan
Allah SWT. terhadapnya, apabila cara ini tidak berhasil maka suami boleh
memisahkan tempat tidur, dan cara yang terakhir suami boleh memukulinya
dengan syarat tidak membahayakan bagi isteri.
Ulama fiqh menjelaskan jangan sampai melukai, dan
jauhilah memukul muka karena mukalah kumpulan segala kecantikan pada wanita.
Hal ini dilarang sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
أن
رجلا سأل النبى صلى الله عليه وسلم: ماحق إمرأة على الزوج؟ قال أن يطعمها إذا أطعم
وأن يكسوها إذا اكتسى ولا يضرب الوجه ولا يقبح, ولا يهجر إلا فى البيت. (رواه إبن
ماجه)[22]
Artinya: “Bahwasanya seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi SAW: Apakah hak-hak wanita (isteri) atas Iaki-laki (suami)? Beliau
menjawab, yaitu memberi makan kepada isteri bila suami makan, ia memberi
pakaian kepadanya bila suami berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak
menjelekkannya, yakni memukul wajahnya sehingga menjadi cacat dan tidak boleh
memutus hubungan kecuali dalam urusan tempat tidur”. (H.R: Ibn Majah).
Jadi para fuqaha' sepakat, bahwa hukuman tidak memberi
nafkah terhadap isteri tidak akan berhasil dan diridhai Allah SWT., jika tidak disertai
dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. dalam al-Quran yang
menjadi pedoman bagi suami ketika isterinya durhaka terhadapnya.
B.
Dalil-dalil
Yang Digunakan Dalam Menetapkan Nafkah Bagi Isteri Yang Nusyuz Menurut Imam
Syafi’i Dan Ibn Hazm
1.
Dalil-Dalil
yang Digunakan Imam Syafi’i
Kewajiban
memberi nafkah oleh suami terhadap isteri dapat dibatalkan akibat adanya
pembangkangan oleh pihak isteri. Sebab menurut ketentuan hukum syara’ sesuatu
yang telah dikekang wajib ditanggung nafkahnya. Tapi apabila telah membangkang,
maka dapat diartikan dengan tidak mau nafkahnya ditanggung lagi, sehingga
kewajiban menanggung nafkah menjadi batal.
Menurut Imam Syifi’I faktor
yang dapat mengugurkan nafkah seorang isteri adalah nusyuz, sebab hal itu
merupakan suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami
dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, dan tindakan
itu dipandang durhaka. Hal-hal yang berkenaan dengan nusyuz sebagai berikut:
1.
Suami telah menyediakan rumah kediaman yang sesuai
dengan keadaan suami, isteri tidak mau pindah kerumah itu, atau isteri
meninggalkan rumah tangga tanpa seizin suami.
2.
Apabila kedua suami isteri tinggal dirumah
kepunyaan isteri dengan izin isteri, kemudian pada suatu waktu isteri mengusir
(melarang) suami masuk rumah, dan bukan karena minta pindah rumah yang
disediakan suami.
3.
Umpama isteri ditempat perusahaannya dan suami
minta menetap dirumah yang disediakannya, isteri keberatan dengan tidak ada
alasan yang pantas.
4.
Apabila isteri musafir dengan tidak beserta suami
atau muhrimnya walaupun perjalanannya itu wajib seperti haji, karena perjalanan
perempuan yang tidak beserta suami atau muhrimnya terhitung maksiat.[23]
Namun
demikian, apabila isteri kelihatan cenderung kepada nusyuz, suami juga
dibebankan untuk menasehati isterinya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, jika
sesudah dinasehati, masih juga nampak durhakanya, maka suami wajib memisahkan
tempat tidur dengan isterinya. Kalau juga isteri masih meneruskan durhakanya,
maka suami boleh memukul isteri, tetapi jangan sampai luka. Hal ini sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut:
والتي
تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن
سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: ٣٤)
Artinya:
Apabila kamu takut isteri-isteri kamu berbuat durhaka, berikanlah dia nasehat,
dan pisahkanlah tempat tidur dari mereka dan pukullah mereka (Q. S. an-Nisa’:
34).[24]
Keterangan ayat di atas
menunjukkan bahwa seorang suami dibebankan untuk memberikan nasehat kepada
isterinya yang berbuat durhaka dengan mengggunakan berbagai cara seperti
memisahkan tempat tidur, bahkan diharuskan memukul isteri yang durhaka dengan
tidak melukai tubuhnya. Hal ini perlu dilakukan guna mencegah para isteri
berbuat durhaka kepada suaminya.
Pada dasarnya, jika
diteliti lebih jauh nusyuz dapat dikatagorikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1.
Baru kelihatan tanda-tanda akan durhaka, waktu itu
suami berhak memberi nasehat.
2.
Sesudah nyatanya durhaka, waktu itu suami berhak
pisah tempat tidur dengan isteri.
3.
Sesudah dua pelajaran tersebut, kalau isteri masih
terus durhaka, suami berhak memukulnya.[25]
Akibat durhaka,
menghilangkan hak isteri khususnya dalam menerima belanja dan pakaian, dan
pembahagian waktu. Berarti tiga perkara yang telah disebutkan di atas dengan
adanya durhaka menjadikan tidak wajib atas suami dan siisteri tidak
diperbolehkan menuntutnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman sebagai berikut:
ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف ... (البقرة : ٢٢٨)
Artinya: Hak isteri yang patut
diterimanya dari suaminya, seimbang dengan kewajibannya terhadap suaminya
dengan baik...(Q.S. Al-Baqarah: 22)
Dari dasar ayat di atas,
dikemukakan bahwa seorang isteri diwajibkan untuk berbakti kepada suaminya
dengan cara benar. Jika hal itu dilakukan dengan baik, maka seorang isteri
diperkenankan untuk menuntut hak nafkahnya apabila suami tidak memberikan.
Namun sebaliknya, jika isteri tidak berbakti kepada suami, maka akan
menggugurkan nafkahnya dari suami.
Di sisi lain bentuk tindakan isteri yang dapat
dikatagorikan nusyuz antara lain isteri membangkang pada suami, menolak
berhubungan suami isteri tanpa alasan yang jelas dan sah, atau siisteri keluar
meninggalkan rumah tanpa seizin suami atau diduganya tidak disetujuinya
suaminya.[26]
Namun demikian, dalam konteks sekarang ini izin
suami perlu dipahami secara proposional, karena izin suami secara langsung
untuk setiap tindakan isteri, tentu
tidak selalu dapat dilaksanakan oleh suami, sebab suami tidak selalu
berada di rumah akibat tugas yang harus dikerjakannya.[27]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa
seorang suami harus memakluminya kalau isteri yang keluar tanpa seizinnya dapat
dianggap sebagai hal biasa, karena tidak mungkin seorang isteri meminta izin
secara langsung kepada suami, sedangkan suami sering tidak berada di rumah.
Namun setelah penulis meneliti lebih
lanjut, ternyata Imam Syafi’i tidak pernah mengungkapkan secara khusus dalil untuk
menentukan kadar nafkah isteri nusyuz. Malahan menurut Imam Syafi’i, isteri
nusyuz sama sekali tidak berhak mendapatkan nafkah apabila si suami telah
memberikan nasihat kepada isteri. Hal ini juga senada dengan para fuqaha yang
mengikuti pendapat iman Syafi’i, sehingga penulis menjadi terkendala dalam
menentukan dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i.
2.
Dalil-Dalil
yang Digunakan Ibn Hazm
Dalam menguatkan pendapatnya sebagaimana yang telah diuraikan
di atas, Ibn Hazm tentu mempunyai alasan-alasan ataupun dalil-dalil serta dasar
pemikiran yang menurutnya sesuai untuk dijadikan suatu dalil. DaliI yang
dipergunakan adalah berdasarkan surat
al-Nisa' ayat 34:
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما انفقوا من أموالهم فالصالحات
قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع
واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: ٣٤)
Artinya: “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, Oleh karena Allah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang
solihah ialah yang taat kepada Allah SWT. lagi memelihara diri ketika suaminya
tiada, oleh karena Allah SWT. telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”.
Menurut Ibnu Hazm, ayat tersebut merupakan penjelasan
dari Allah SWT. tentang apa yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang
nusyuz, kecuali diberi nasihat, memisahkan diri dari tempat tidur dan
memukulnya. Tidak ada dinyatakan oleh Allah SWT. untuk menggugurkan nafkah dan
pakaiannya. Kemudian andaikan seseorang melakukan pengguguran nafkah sebagai
hukuman yang diberikan kepada isteri yang nusyuz, maka itu adalah suatu cara
yang tidak diizinkan oleh Allah SWT. dan itu suatu kebathilan.[28]
Selanjutnya Ibnu Hazm menjelaskan, bahwa
memang benar nusyuz adalah perbuatan zalim, tetapi tidak seluruh perbuatan zalim
terhalangi untuk memperoleh nafkah, kecuali adanya nash yang menyatakan isteri
nusyuz gugur haknya untuk menerima nafkah. Dalam hal ini Ibnu Hazm memahami
ayat di atas berdasarkan makna zahir nash semata-mata. Dalam ayat hanya
dijelaskan tindakan suami terhadap isteri yang nusyuz. Sedangkan masalah
nafkahnya tidak dinyatakan gugur oleh ayat tersebut. Oleh karena itu Ibnu Hazm berpendapat,
bahwa isteri yang nusyuz tetap berhak mendapatkan nafkah.
Pendapat ini diperkuatkan lagi berdasarkan hadits Nabi
SAW. ketika berkhutbah di Arafah.
عن
جابر بن عبدالله أن رسول الله صلعم قال فى خطبته فى عرفة: فاتقوا الله فى النساء
فإنكم أخذا تموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لايوطئن
فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن
بالمعروف. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya
Rasulullah SAW. berkata pada khutbah di Arafah pada hari Arafah: Bertaqwalah
kamu kepada Allah dalam urusan wanita, maka sesungguhnya kamu telah mengambil
mereka dengan amanah Allah dan telah menghalalkan kamu akan faraj mereka dengan
kalimah Allah Ta'ala dan bagi kamu kewajiban mereka bahwasanya mereka tidak
membiarkan masuk seseorang yang kamu membencinya ke dalam tempat tidurmu,
kemudian jika mereka melakukan yang demikian maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukai, dan bagi mereka kewajiban kamu untuk memberi rezeki dan
pakaian kepada mereka dengan cara yang ma'ruf. (H.R:
Muslim)[29]
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa hadits tersebut
menunjukkan wanita berhak mendapatkan nafkah dari suaminya semenjak adanya aqad
nikah.[30]
Sesungguhnya orang yang mengatakan
nafkah itu ada karena adanya kerelaan diajak bina (berkumpul), adalah pendapat
yang tidak didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah dan tidak ada perkataan
sahabat, tidak qiyas serta bukan pendapat yang memiliki suatu sebab atau
alasan. Sesungguhnya tidak diragukan seandainya Allah SWT. menginginkan
pengecualian atas anak yang masih kecil dan wanita yang nusyuz dengan keadaan
demikian, maka Allah SWT. akan mendatangkan penjelasan terhadap hal tersebut
sebagai pembuat syari'at tidaklah mungkin Allah SWT. lupa.
Rasulullah SAW. sebagai pembawa syari'at yang
menyampaikan hadits tersebut tidak berbicara dengan hawa nafsunya melainkan
dengan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Najm ayat 3-4:
وما
ينطق عن الهوى ان هو إلا وحى يوحى....
Artinya: “Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)...”.
Dari kesimpulan yang dapat diambil dari hadits Nabi SAW.
ketika berkhutbah di Arafah yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa
pendapat Ibn Hazm adalah sesuatu yang bersifat umum, mencakup keseluruhan
wanita yang wajib dinafkahi tidak terkecuali yang nusyuz.
Selanjutnya dapat dipahami perkatan Umar Ra. sebagai
berikut:
أخبرنى
نافع عن إبن عمر قال: كتب عمر إبن الخطاب الى امرأ الأجناد ان انظروا من طالت
غيبته أن يبعثوا نفقة أو يرجعوا أو يفارقرا فان فارق فان عليه نفقة مافارق من يوم
غاب.
Artinya: “Telah dikhabarkan kepadaku oleh Nafi'
dari Ibn Umar berkata : Umar bin Khattab telah menetapkan kepada panglima
perang, bahwasanya engkau telah melihat orang yang lama kepergiannya, hendaklah
ia mengirimi mereka (isteri) nafkah, atau kembalilah kepada mereka, atau
ceraikanlah mereka. Kemudian jika ia menceraikan maka kewajibannya memberi
nafkah, tidaklah ia bercerai dari hari yang dia pergi”.[31]
Dari
ungkapan di atas Ibn Hazm menyatakan, bahwa Umar tidak mengkhususkan wanita
yang nusyuz dari yang lainnya.[32]
Keumuman perkataan Umar yang menetapkan
kepada tentera yang lama meninggalkan isteri-isteri mereka untuk mengirimkan
nafkah kepada isteri-isteri mereka dan tidak mengecualikan isteri yang nusyuz.
Umar memberikan ketetapan yang sedemikian selaras dengan apa yang dipegangi
para sahabat lainnya.
Selanjutnya orang yang menghalangi nafkah isteri nusyuz
berarti ia telah menzalimi orang yang nusyuz tersebut dan ini adalah bathil. Menurut
Sufyan as-Tsaury dan sahabat lainnya:
ومن
طريق سعبة سألت الحكم عن عتيبة عن إمرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة؟
قال: نعم, وقال أبو سليمان وأصحابه وسفيان الثوري النفقة واجبة للصغيرة من حين
العقد عليها.
Artinya: “Dari Thariq Syu'bah aku bertanya kepada
Hakam bin 'Utaibah tentang seorang perempuan yang keluar dari rumah suaminya
dalam keadaan marah, apakah ada baginya nafkah? Dia berkata: Ya ada. Dan
berkata Abu Sulaiman dan sahabat-sahabatnya serta Sufyan as-Tsaury: Nafkah
wajib bagi anak kecil semenjak aqad kepadanya”.[33]
Pernyataan Sufyan as-Tsaury berserta sahabat-sahabatnya
yang lain dipahami oleh Ibn Hazm bahwa nafkah isteri telah wajib sejak menikah
meskipun isterinya itu masih dalam buaian.
Berdasarkan dalil al-Quran dan as-Sunnah
yang telah dikemukakan di atas, Ibn Hazm memahaminya sebagai dalil yang tidak
menerangkan kekhususan wanita yang nusyuz untuk tidak menerima nafkah, sebab
Ibn Hazm memahami dalil-dalil tersebut secara zahir nash.
C.
Sebab-sebab
Terjadinya Perbedaan Pendapat Antara Imam Safi’i Dan Ibn Hazm
Nafkah (biaya hidup) merupakan hak isteri
dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan
pokok lainnya dan bahkan pengobatan sekalipun siisteri termasuk seorang wanita
yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini diwajibkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah.
Namun demikian, bila kedua ulama fiqh telah
berbeda pendapat, maka hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya perbedaan
dalam menafsirkan dalil. Imam Syafi'i
menentukan dalil surat
an-Nisa’ ayat 34, sedangkan Ibn Hazm juga menetapkan surat tersebut sebagai dalil dalam menentukan
nafkah. Namun di antara keduanya silang pendapat dalam mengambil pemahaman dari
ayat tersebut, sehingga terjadi pula perbedaan pemahaman terhadap penentuan
dalil mengenai kadar nafkah isteri nusyuz.
Mengenai hal
tersebut, beberapa ulama telah memberikan perincian tentang masalah terpenting
yang harus diberikan sebagai nafkah pada masa ketika menuliskannya. Hal ini
dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri
dan standar kehidupan mereka. Nafkah merupakan tanggung jawab seorang ayah
terhadap putera-puterinya sampai mereka menikah, dan putera sampai berusia
puber. Begitu pula setiap muslim menafkahi orang tuanya serta kakek neneknya
kalau dia mampu melakukan hal itu. Seandainya memungkinkan dan seseorang
memiliki harta, maka dia sepatutnya memperhatikan berbagai kebutuhan, bahkan
tiap kaum kerabatnya yang muslim. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga sampai
pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk dinafkahi, seandainya dia masih
kanak-kanak dan miskin, lemah dan buta serta melarat, atau kalau dia seorang
perempuan yang sudah berkeluarga yang masih anak-anak atau sudah dewasa.[34]
Namun demikian,
Qadhi Abu Yusuf, salah seorang ulama Syafi’iyah menyampaikan kalau siisteri bersikap
nusyuz dan suaminya menerima sikap isterinya, maka suami wajib menafkahinya. Dan
tidak wajib memberikan nafkah bila suami tidak rela terhadap sikap isterinya
tersebut. Namun Imam Nawawi sendiri bersama muridnya, Imam Muhammad mengikuti pendapat
tersebut.[35]
Oleh karena itu,
agama mewajibkan suami menafkahi isterinya, karena dengan adanya ikatan
perkawinan yang sah itu, maka seorang isteri hanya terikat kepada suaminya dan
menjadi tanggungannya, karena itu ia berhak menikmati secara terus menerus.
Isteri wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumahnya, mengatur rumah
tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, suami berkewajiban
memenuhi kebutuhannya dan memberikan belanja kepadanya selama ikatan suami
isteri masih berjalan dan siisteri tidak durhaka atau karena hal-hal lain yang
menghalangi penerimaan belanja. Hal ini berdasarkan kaidah umum, yaitu: “setiap
orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya bertanggung jawab
membelanjainya.”[36]
Berdasarkan keterangan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa masalah kewajiban seorang suami memberikan nafkah
kepada isteri memang sangat tegas pembebanannya, sebab hal itu perlu ditegaskan
karena isteri mempunyai kewajiban yang mutlak dalam mengabdikan diri kepada
suaminya.
Namun demikian, isteri juga
mempunyai persyaratan tertentu agar dapat menerima belanja dari suaminya,
diantaranya adalah:
1.
Ikatan
perkawinannya sah.
2.
Menyerahkan
diri kepada suaminya.
3.
Suaminya
dapat menikmati dirinya.
4.
Menyetujui
apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki oleh suami, kecuali keadaan
yang membahayakan dirinya.
5.
Keduanya
dapat saling menikmati.[37]
Jika salah satu
dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja,
karena jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, maka wajiblah suami
isteri diceraikan guna mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki.
Namun demikian,
nafkah yang wajib diberikan suami kepada isterinya berupa nafkah lahir dan
nafkah bathin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan akan menjadi utang kalau
tidak dilaksanakan dengan sengaja.[38]
Kalau suaminya tidak memberikan nafkah tersebut, maka ia berstatus sebagai
seorang yang mempunyai utang kepada isterinya. Setiap utang mesti dibayar, baik
utang itu kepada isteri, suami, anak-anak maupun kepada pihak lain. Utang
tersebut baru menjadi bebas, kalau dibebaskan oleh orang yang bersangkutan.[39]
D.
Konsekwensi
dari Perbedaan Pendapat Kedua Mazhab Tersebut
Bab
ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini, dimana di dalamnya
penulis akan mencoba menganalisa sekaligus memberikan interpretasi terhadap
persoalan yang telah dikemukakan di atas.
Nafkah
merupakan salah satu bentuk kewajiban yang mesti ditanggung seseorang dalam
rangka menjaga dan memberi perlindungan terhadap isterinya. Sebab itulah
seorang isteri diwajibkan patuh terhadap suaminya. Akan tetapi, pemberian
nafkah ini dilakukan sesuai dengan tingkat kepatuhan isteri. Jika isteri
membangkang, maka suami tidak berkewajiban menyediakan nafkahnya.
Pemberian
nafkah tersebut juga sesuai dengan kemampuan suami, karena seseorang tidak
mungkin dibebankan sesuatu diluar kemampuannya. Namun demikian penekanannya
adalah kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat At-Thalaq ayat 7 sebagaimana yang telah
penulis kutip di atas.
Pada dasarnya, pemberian nafkah isteri juga
dilakukan secara seimbang antara pengabdian isteri dengan kebutuhan nafkahnya.
Bahkan isteri yang demikian mesti diberikan ganjaran yang lain oleh suaminya.
Namun di antara ulama fiqh telah terjadi perbedaan
pendapat dalam menentukan kadar nafkah isteri nusyuz. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan pemahaman terhadap dalil yang dikutip, walaupun dalil-dali yang
dikutip pada sumber dan tempat yang sama.
Menurut
hemat penulis, penentuan kadar nafkah yang demikian sungguh sangat baik, karena
tidak memberatkan pihak suami. Apalagi seorang suami dapat mengusahakan nafkah
isterinya sesuai dengan tingkat kemampuan keuangannya, sehingga hal itu tidak
menjadikan suami keberatan dalam menanggung nafkah.
Namun
demikian, isteri juga tidak berhak atas nafkahnya sebagaimana yang telah
ditentukan tersebut jika terjadi penyelewengan di pihak isteri. Penyelewengan
ini dalam istilah syari’at disebut dengan nusyuz. Ada beberapa hal yang dapat dianggap nusyuz
antara lain isteri membangkang terhadap suami, tidak mematuhi ajakan atau
perintah suami, menolak berhubungan suami isteri tanpa alasan yang jelas dan
sah, atau siisteri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suami atau diduganya
tidak disetujuinya suaminya.
[1]Imam Nawawi, Syarh Majmu’ al-Muhazzab, Jil. XVIII, Beirut
Libanon: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 265
[2]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Mesir:
Dar al-Kutub, 1956, hlm. 465.
[3]Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Imam Syafi’i, Al-Umm, Juz V,
Mesir: Dar Asy Sya’bi, t.t., hlm. 176.
[5]Ibn Qudamah, al Muqhni asy-Syarah al-Kabir, Juz IX, Makkah:
Maktabah at-Tijariyyah, t.t., hlm. 296.
[6]Abu Ishaq Ibrahim Asy Syirazi, al-Muhazzab, Juz II, Beirut : Dar al-Fikri,
t.t., hlm. 159.
[7]Said Abu Bakar bin Sayyid Muhammad As Syaththa Ad-Dimyati, I’anah
at-Talibin, Juz IV, Semarang :
Toha Putra, hlm. 60.
[8]Ibn Qudamah, Op. Cit., Hlm. 297.
[9]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.
[11]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.
[12]Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet. I, Jakarta : Lentera, 1996.
hlm. 403-404.
[14]Ibrahim al-Bajuriy, Hasyiah al-Bajury, Juz II, Semarang : Toha Putra,
t.t., hlm. 135.
[15]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Loc. Cit.
[16]Syihabuddin al-Qalyubi, Op. Cit., hlm. 77.
[17]An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarah An-Nawawi, Juz VIII,
Maktabah al-Mishriyah, hlm. 183.
[18]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Beirut ,
Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t., hlm. 249.
[20]Sai’id ThalibAl-Hamdani, Risalatun Nikah, Cet. III, Jakarta : Pustaka Amani,
1989, hlm. 126.
[21]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah (alih
bahasa Anshori Umar Sitanggal), Semarang :
Asy-Syifa’, 1986, hal. 465.
[22]Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Semarang : Toha Putra, hlm. 594.
[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 327.
[25] Yusuf Qardhawi, Fiqh Kontemporer, Jil. II, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, hlm. 465.
[26] Imam Syafi’i , ar-Risalah., Beirut Libanon: Wasyirkah
al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 114
[27] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, Cet. II, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1997, hlm. 191.
[28]Ibnu Hazm,Op. cit., hlm. 114.
[30]Ibnu Hazm, Op. cit, hlm. 249.
[34] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Terj. KH. Ali
Yafie, Jil. III, Bandung :
al-Ma’arif, 1990, hlm. 88.
[36] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Suami terhadap Isteri, Bandung : Irsyad Baitus
Salam, 1995, hlm. 21.
[38] Utang nafkah bathin sebaiknya dibayar dengan jalan melakukan
perbaikan diri dan perbaikan sikap kepada isteri, sehingga isteri siap
memaafkan suaminya dan siap memberikan pelayanan kepada suaminya dengan penuh
keikhlasan dan kesungguhan. Sedangkan nafkah lahir adalah berupa pemberian
biaya dan keperluan hidup yang wajar dalam bentuk pangan, sandang, papan dan
kesehatan. Lihat. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta : Gema Insani
Press, 1999, hlm. 82.
[39] Ibid., hlm. 83.
0 Comments
Post a Comment