Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perbedaan Pendapat Imam Syafi’i Dan Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri Yang Nusyuz


BAB III
Perbedaan Pendapat Imam Syafi’i Dan Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri Yang Nusyuz


A.    Nafkah Isteri Yang Nusyuz Menurut Imam Syafi’i Dan Ibn Hazm
1.     Nafkah Isteri Nusyuz Menurut Imam Syafi’i
            Para ulama mazhab sepakat bahwa isteri ang nusyuz tidak berhak atas nafkah, karena isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan syara’. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan sekadar kesediaan digauli dan berkhalwat sama sekali belum dipandang cukup kalau isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya, seraya mengatakan dengan tegas “Aku menyerahkan diriku padamu”.[1]
            Memang tidak ada dalil dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa wanita yang nusyuz terhadap suaminya gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. Paling-paling hanya ada, Allah SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita untuk taat kepada suaminya dan Nabi Muhammad SAW. menegaskannya lagi dalam sabda Baginda:
لو جاز السجود لغير الله لأمرت الزوجة أن تسجد لزوجها.[2]
Artinya: “Andaikan sujud kepada selain Allah SWT. itu boleh, pastilah aku suruh kepada isteri itu sujud kepada suaminya”.
            Bahkan kemudian laki-laki dilarang mencari alasan buat menganiayai isterinya, manakala si isteri sudah kembali taat kepadanya sebagaimana firman Allah SWT.:
....فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا.... (النساء: ٣٤)
Artinya: “....Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya....”. (Q.S: al-Nisa’: 34)
            Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat di sini adalah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan saling pengertian dan tahu menjaga dirinya. Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberi nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggung tingkah laku isterinya karena tiap-tiap perempuan dan manusia itu ada sisi kelemahannya. Bahkan suami pun mempunyai kelemahannya dan dengan kesabaran seorang isteri pulalah yang mengekalkan keharmonisan rumah tangganya.
            Namun demikain, boleh saja bagi suami menghukum isterinya dengan tidak memberi nafkah jika isterinya mendurhaka kepadanya sampai ia kembali taat. Karena isteri itu meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suamipun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah kepada isterinya.
            Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya aqad nikah menjadi terikat oleh suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya, ia wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak penuh atas dirinya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya dan mengasuh anak dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk memberikan nafkah kepada isteri selama perkawinan itu masih berlangsung dan isteri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaedah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya.
            Imam Syafi’i dalam kitabnya yakni al-Umm menyatakan:
وأصل ما ذهبنا إليه من إن لا قسم للممتنعة من زوجها ولا نفقة ما كانت ممتنعة لأن الله  تبارك وتعالى أباح هجرة  مضجعها  وضربها  في  النشوز والإمتناع  نشوز.[3]
Artinya: “Dan dasar apa yang kami pegangi kepadanya tidak ada pembagian giliran bagi orang yang menghalangi (menolak) suaminya dan tidak ada nafkah selama ia menghalangi, karena sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala telah membolehkan memisahkan diri dari tempat tidurnya dan memukulnya ketika ia nusyuz”.

            Kemudian dalam ungkapan yang lain dinyatakan:
ولو كان الزوجان بالغين منعت المرأة من دخول أو أهلها لعلة لو اصلاح امر هلم تجب على زوجها نفقتها حتى لا يكون الامتناع من الدخول الامنه.[4]
Artinya: “Dan kalau suami isteri yang kedua-duanya sudah baliqh kemudian si wanita menghalangi daripada dukhul atau keluarganya karena alasan atau untuk menyelesaikan urusannya, tidak wajib suaminya menafkahinya sehingga tidak ada lagi yang menghalangi kepada dukhul kecuali penghalang itu dari suami”.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa isteri yang nusyuz mengakibatkan hilangnya hak isteri tersebut untuk menerima nafkah dari suaminya, hal ini disebabkan terhalangnya suami bersenang-senang dengan isterinya.
Para ahli fiqh telah sepakat bahwa nafkah isteri yang nusyuz terhadap suami itu gugur, yaitu isteri melakukan pembangkangan terhadap suami dengan tujuan untuk menghindari hak dan kewajibannya terhadap suami, meninggalkan rumah tanpa izin suami, melanggar perintahnya, membencinya dan bersikap sombong terhadapnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Qudamah yaitu:
والناشز لا نفقة لها فلا نفقة لها ولا سكنى فى قول عامة أهل العلم منهم الشعبى وحماد ومالك والأوزاعى والشافعى وأصحاب الرأي وأبو ثور.[5]
Artinya: “Dan orang yang nusyuz tidak ada nafkah baginya, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi isteri tersebut menurut ahli fiqh, mereka itu adalah asy-Sya’bi, Hammad, malik, asy-Syafi’i, sahabat-sahabat ar-Ra’yu dan Abu Tsaury”.
Abi Ishaq asy-Syirazi menyatakan, bahwa jika seorang wanita menghalangi atau menolak untuk menyerahkan dirinya atau dia memungkinkan untuk istimta’, atau seharusnya ia di rumah tapi tidak ada di rumah atau seharusnya ia berada di negerinya tapi tidak ada di negerinya, maka tidak wajib nafkah, karena dengan demikian menyebabkan tidak terdapatnya tamkin yang sempurna. Tidak ada kewajiban nafkah tersebut dapat dimisalkan sebagaimana tidak wajibnya suatu pembayaran bila si penjual menahan atau menghalangi benda yang dijualnya untuk diserahkan.[6]
Pengertian tamkin itu adalah :  

بأن عرضت نفسها عليه كان تقول انى مسلمة نفسى اليك فاختران اتيك حيث شئت أو أن تأتينى.
Artinya: “Bahwasanya si wanita telah menyerahkan dirinya kepada suaminya sebagaimana dia berkata, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepadamu maka engkau pilihlah bahwa aku datang kepadamu di manapun kamu berada atau engkau datangilah diriku”.[7]
Ibn Qudamah menjelaskan sebagai berikut:
ولنا أن النفقة إنما تجب فى مقابلة تمكينها بدليل أنها لا تجب قبل تسليمها إليه وإذا منعها النفقة كان لها منعة التمكين, فإذا منعة التمكين كان له منعها من النفقة كما قبل الدخول.
Artinya: “Dan bagi kami bahwa nafkah sesungguhnya wajib pada muqabalah tamkinnya dengan alasan bahwa nafkah tidak wajib sebelum isteri menyerahkan dirinya kepada suaminya, dan apabila mencegah isteri akan nafkah adalah karena isteri mencegah suami tamkin, maka apabila isteri mencegah suami akan tamkin adalah  bagi suami mencegah isteri dari nafkah sebagaimana sebelum dukhul”.[8]

Namun tamkin isteri harus terdapat tamkin yang sempurna bila si isteri tidak menghalangi daripada menyerahkan dirinya, bila ia memungkinkan untuk diistimta' atau ia bukan anak kecil, berada di tempat untuk dapat menerima nafkah.[9] Hal ini didasarkan pada peristiwa perkawinan Rasulullah SAW. sebagai berikut:
عن عائشة قالت: تزوجنى رسول الله صلعم وأنا بنت سبع قال سليمان بن حرب أوست ودخل بى وأنا بنت تسع. (رواه أبو داود)
Artinya: “Dari 'Aisyah r.a dia berkata : Rasulullah S.W.A. telah mengawini aku, sedang aku berusia tujuh tahun. Kata Sulaiman bin Harb : atau enam tahun. Dan beliau mengumpuli aku; sedang aku berusia sembilan tahun”. (H.R: Abu Daud)[10]
Berdasarkan hadits tersebut bahwa Rasu!ullah te!ah menikahi 'Aisyah dan mencampurinya seteiah dua tahun dari perkawinan tersebut, RasuSullah tidak menikahi 'Aisyah kecuali seteiah ia mencampurinya dan ia tidak pernah mengganti nafkah pada masa sebelumnya.[11]
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang batas yang mengakibatkan gugurnya nafkah, yaitu:
1.     Jika seorang isteri masih kecit, yang belum dapat dicampuri tetapi telah berada dalam naungan suaminya. Maka para ulama mazhab sepakat bahwa tak ada kewajiban nafkah, karena suami tidak dapat menikmatinya dengan sempuma sehingga isterinya tidak berhak1 mendapatkan ganti rugi berupa nafkah ( belanja ).
2.     Kalau isteri  sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya, tap! ia tinggal di rumah suaminya, maka hak nafkah tidak gugur, Tetapi menurut Maliki kewajiban memberi nafkah itu gugur manakala isteri atau suami sakit berat.
3.     Apabila isteri 'yang semula muslimah lalu murtad , maka menurut kesepakatan seluruh mazhab, kewajiban nafkah menjadi gugur, tapi nafkah tetap wajib bagi isteri ahli kitab persis seperti isteri yang muslimah, tanpa ada perbedaan sedikit pun.
4.     Apabila isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami , atau menolak tinggal di rumah suami yang layak baginya, maka dianggap sebagai isteri nusyuz, dan menurut kesepakatan seluruh mazhab, isteri tersebut tidak berhak atas nafkah. Hanya Syafi'i dan Hambali menambahkan, bahwa apabila isteri keluar rumah demi kepentingn suami, maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur. Tetapi bila bukan untuk kepentingan suami, seka|ipun dengan izinnya, gugurlah hak atas nafkahnya.
5.     Apabila isteri berpergian dalam rangka menunaikan ibadah haji wajib, maka Syafi'i dan Hanafi mengatakan bahwa, haknya atas nafkah menjadi gugur, sekiranya pergi tanpa seizin suami tetapi biia disertai izinnya, maka. hak nafkah tidak gugur.
6.     Kalau isteri ber.sedia dan mau digauli, dan mau tinggal bersama suaminya kapan saja suaminya itu menghendakinya, tetapi kasar dalam berbicara, kurang ajar, dan seringkali melawan dalam banyak hal, maka akan gugur hak nafkahnya bila ha! itu bukan merupakan v/atak aslinya, artinya ia bersikap baik kepada orang lain tapi tidak terhadap suami, maka dia akap dianggap sebagai isteri nusyuz. Tapi manakala perbuatannya itu memang merupakan watak yang menyatu dalam dirinya dan sikapnya terhadap orang lain juga sama seperti itu termasuk kepada ayah dan ibunya, maka wanita seperti itu tidak dianggap nusyuz.
Apabila seorang isteri diceraikan suaminya ketika dia dalam keadaan nusyuz, maka isteri tidak berhak atas nafkah. Kalau dia dalam keadaan iddah dari thalaq raj'i lalu melakukan nusyuz ketika menjalani iddahnya, maka hak atas nafkahnya menjadi gugur. Kemudian bi!a dia kembali taat, maka nafkahnya diberikan terhitung dari waktu ketika diketahui dia kembaii taat.[12]
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas, bagaimanapun bentuk nusyuz isteri tersebut, apabila menghalangi suami dari dirinya dapat menggugurkan nafkahnya kecuali penghalangan itu dari pihak suami atau karena ada keuzuran si isteri, hal ini dinyatakan dalam ungkapan berikut:
وتسقط (النفقة) لنشوز ولو يمنع بلا عذر.
Artinya: “Dan gugur (nafkah) dengan nusyuz meskipun dengan menghalangi atau menolak disentuh dengan tidak ada keuzuran”.[13]
Apabila berlakunya hukum tidak memberi nafkah atau gugur nafkah adalah sejak muncul sikap isteri yang menunjukkan tanda-tanda nusyuz.[14]
Sedangkan batas waktu gugurnya nafkah tersebut adalah selama isteri masih melakukan nusyuz, dan bila isteri sudah kembali taat maka hak-hak isteri harus diberikan kembali. Dengan demikian tidak halal memisahkan diri darinya dan tidak halal memukulnya dan ia memiliki hak-haknya sebagaimana halnya sebelum ia berbuat nusyuz.[15]
Berdasarkan  pernyataan yang telah diuraikan di atas jelaslah. bahwa nafkah isteri nusyuz gugur merupakan kesempatan para ahli fiqh. Pengguguran nafkah isteri nusyuz disebabkan isteri tidak memiiiki tamkin. maka tidak berhak atas nafkah yang diberikan suami. Sebab terjadinya aqad nikah di antara mereka bukan dipandang sebagai penyebab berhak nafkah isteri. Salah satu hak dan kewajiban suami isteri tersebut adalah nafkah. Suami wajib memberi nafkah, sementara nafkah adalah hak isteri dan sebaliknya isteri berkewajiban tamkin dan tamkin hak suami. Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan berikut:
الجديد أنها تجب بالتمكين لاالعقد.
Artinya: “Menurut qaul jadid bahwasanya dia )nafkah) wajib karena tamkin bukan karena aqad”.[16]
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa nafkah isteri nusyuz itu gugur disebabkan isteri tersebut tidak memiliki tamkin yang menjadi hak suaminya.

2.     Nafkah Isteri Nusyuz Menurut Ibn Hazm
Perkawinan merupakan salah satu sebab yang menyebabkan adanya pemberian nafkah. Para ulama telah sepakat, bahwa nafkah merupakan hak mutlak isteri, yang menjadi kewajiban suami. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 233:
وعلى المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف.
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian para Ibu dengan cara yang ma'ruf”.
Di samping itu juga dari hadits Nabi SAW:
ولهن عليكم أوقهن وكسوتهن بالمعروف. (رواه مسلم)
Artinya: “Dan kewajiban kamu bagi mereka memberi rezeki mereka dan pakaian mereka dengan cara yang ma'ruf”. ( HR ; Muslim )[17]
Berbeda halnya tentang kajian terhadap nafkah isteri yang nusyuz, yang menimbulkan permasalahan, apakah nafkah itu tetap diberikan atau tidak, dikarenakan  penegasan al-Quran maupun as-Sunnah tidak ditemukan secara langsung. Sementara itu dalam al-Quran surat al-Nisa' ayat 34, hanya dijelaskan tindakan suami terhadap isteri yang nusyuz.
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri yang nusyuz ini, Ibn Hazm berpendapat tidak ada yang menghalangi isteri untuk menerima nafkah. Pendapat ini ditegaskan dalam kitabnya al-Muhalla sebagai berikut:
وينفق الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها دعى الى البناء او لم يدع – ولو أنها في المهد – ناشزا كانت أو غير ناشز, غنية أو فقيرة, ذات أب كانت أو يتيمة, بكرا أو ثيبا, حرة كانت أو أمة – على قدر ماله.[18]
Artinya: "Dan seorang laki-laki menafkahi isterinya dari semenjak ia menikahinya, dia mengajak kepada bina (berkumpul) atau tidak meskipun ia masih dalam buaian, baik ia nusyuz atau tidak nusyuz, baik ia kaya atau miskin, baik ia mempunyai ayah atau yatim, baik ia gadis atau janda, baik ia merdeka atau hamba, sesuai dengan kemampuan hartanya". [19]
Dari ungkapan di atas secara tegas dinyatakan, bahwa tidak ada penghalang bagi isteri untuk menerima nafkah, meski ia nusyuz sekalipun. Tidak ada perbedaan antara isteri yang nusyuz dengan yang tidak nusyuz, antara yang merdeka dengan hamba. Dengan kata lain siapa dan bagaimana keadaan isteri adalah mutlaq menerima nafkah tanpa terkecuali, mereka berhak untuk diberi nafkah. Akibat adanya aqad yang mengikat mereka sekaligus menjadi sebab wajib diberi nafkah.
Menurut Abu Sulaiman beserta sahabat sahabatnya dan Syufyan as-Tsaury, bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada isteri yang masih kecil semenjak aqad nikah. Kemudian Ibn Hazm berkata lagi bahwa sama sekali tidak ada keterangan dari sahabat tentang isteri yang nusyuz kemudian gugur haknya menerima nafkah.[20]
Menurut pendapat ulama Mazhab, bahwa isteri yang nusyuz tidak berhak atas nafkah. Karena isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan syara'. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan sekadar kesetiaan digauli dan berkhalwat sama sekali belum dipandang cukup, kalau isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya, dengan memperlihatkan kesiapan yang penuh untuk mengikuti suaminya. Sebaliknya menurut Imam Hanafi, manakala isteri mengurung dirinya dalam rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka ia masih dipandang patuh (muthi'ah) sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara' yang benar. Penolakan yang seperti ini sekalipun haram dan tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Menurut Imam Hanafi yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah keberadaan wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah. Dengan pendapat ini Hanafi berbeda dengan seluruh mazhab lainnya.  
Memang tidak ada dalil dalam al-Qur'an yang menunjukkan, bahwa wanita durhaka terhadap suaminya, kemudian gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. Hanya Allah SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita agar mematuhi suaminya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW. begitu bersungguh-sungguh menekankan hal ini dengan hadits:
لوجاز السجود لغير الله لأمرت الزوجة أن تسجد لزوجها.
Artinya: “Andaikan sujud kepada selain Allah itu boleh, pastilah aku suruh isteri sujud kepada suaminya”. (HR . Ibn Majah)[21].
Bahkan suami dilarang mencari-cari alasan buat menganiayai isterinya apabila ia kembali taat, sebagaimana firman Allah SWT:
فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا....
Artinya: “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya...”.
Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat adalah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya. Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya aqad nikah menjadi terikat dengan suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya, ia wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak penuh untuk menikmati dirinya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya dan mengasuh anak dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk memberi nafkah kepada isteri selama perkawinan itu berlangsung dan si isteri tidak nusyuz dan tahu akan harga dirinya.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin memberi nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggung perangai isterinya, sebab setiap perempuan, sebagai isteri ada kelemahannya, bahkan suamipun mempunyai kelemahan dan akibat kesabaran seorang isteri pulalah yang akan mengekalkan rumah tangganya.
Namun demikian, suami boleh menghukum isterinya dengan tidak memberi nafkah, kalau dia durhaka terhadapnya sampai ia kembali taat. Apabila isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah, tetapi haruslah disertai cara yang telah ditentukan oleh Allah SWT., yaitu suami harus menasihatinya, mengingatkannya akan kehilangan hak nafkah atasnya, mengingatkan akan siksaan Allah SWT. terhadapnya, apabila cara ini tidak berhasil maka suami boleh memisahkan tempat tidur, dan cara yang terakhir suami boleh memukulinya dengan syarat tidak membahayakan bagi isteri.
Ulama fiqh menjelaskan jangan sampai melukai, dan jauhilah memukul muka karena mukalah kumpulan segala kecantikan pada wanita. Hal ini dilarang sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
أن رجلا سأل النبى صلى الله عليه وسلم: ماحق إمرأة على الزوج؟ قال أن يطعمها إذا أطعم وأن يكسوها إذا اكتسى ولا يضرب الوجه ولا يقبح, ولا يهجر إلا فى البيت. (رواه إبن ماجه)[22]  
Artinya: “Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW: Apakah hak-hak wanita (isteri) atas Iaki-laki (suami)? Beliau menjawab, yaitu memberi makan kepada isteri bila suami makan, ia memberi pakaian kepadanya bila suami berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelekkannya, yakni memukul wajahnya sehingga menjadi cacat dan tidak boleh memutus hubungan kecuali dalam urusan tempat tidur”. (H.R: Ibn Majah).

Jadi para fuqaha' sepakat, bahwa hukuman tidak memberi nafkah terhadap isteri tidak akan berhasil dan diridhai Allah SWT., jika tidak disertai dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. dalam al-Quran yang menjadi pedoman bagi suami ketika isterinya durhaka terhadapnya.

B.     Dalil-dalil Yang Digunakan Dalam Menetapkan Nafkah Bagi Isteri Yang Nusyuz Menurut Imam Syafi’i Dan Ibn Hazm
1.     Dalil-Dalil yang Digunakan Imam Syafi’i
Kewajiban memberi nafkah oleh suami terhadap isteri dapat dibatalkan akibat adanya pembangkangan oleh pihak isteri. Sebab menurut ketentuan hukum syara’ sesuatu yang telah dikekang wajib ditanggung nafkahnya. Tapi apabila telah membangkang, maka dapat diartikan dengan tidak mau nafkahnya ditanggung lagi, sehingga kewajiban menanggung nafkah menjadi batal.
Menurut Imam Syifi’I faktor yang dapat mengugurkan nafkah seorang isteri adalah nusyuz, sebab hal itu merupakan suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, dan tindakan itu dipandang durhaka. Hal-hal yang berkenaan dengan nusyuz sebagai berikut:
1.        Suami telah menyediakan rumah kediaman yang sesuai dengan keadaan suami, isteri tidak mau pindah kerumah itu, atau isteri meninggalkan rumah tangga tanpa seizin suami.
2.        Apabila kedua suami isteri tinggal dirumah kepunyaan isteri dengan izin isteri, kemudian pada suatu waktu isteri mengusir (melarang) suami masuk rumah, dan bukan karena minta pindah rumah yang disediakan suami.
3.        Umpama isteri ditempat perusahaannya dan suami minta menetap dirumah yang disediakannya, isteri keberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
4.        Apabila isteri musafir dengan tidak beserta suami atau muhrimnya walaupun perjalanannya itu wajib seperti haji, karena perjalanan perempuan yang tidak beserta suami atau muhrimnya terhitung maksiat.[23]
Namun demikian, apabila isteri kelihatan cenderung kepada nusyuz, suami juga dibebankan untuk menasehati isterinya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, jika sesudah dinasehati, masih juga nampak durhakanya, maka suami wajib memisahkan tempat tidur dengan isterinya. Kalau juga isteri masih meneruskan durhakanya, maka suami boleh memukul isteri, tetapi jangan sampai luka. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: ٣٤)

Artinya: Apabila kamu takut isteri-isteri kamu berbuat durhaka, berikanlah dia nasehat, dan pisahkanlah tempat tidur dari mereka dan pukullah mereka (Q. S. an-Nisa’: 34).[24]
Keterangan ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dibebankan untuk memberikan nasehat kepada isterinya yang berbuat durhaka dengan mengggunakan berbagai cara seperti memisahkan tempat tidur, bahkan diharuskan memukul isteri yang durhaka dengan tidak melukai tubuhnya. Hal ini perlu dilakukan guna mencegah para isteri berbuat durhaka kepada suaminya.
Pada dasarnya, jika diteliti lebih jauh nusyuz dapat dikatagorikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1.         Baru kelihatan tanda-tanda akan durhaka, waktu itu suami berhak memberi nasehat.
2.         Sesudah nyatanya durhaka, waktu itu suami berhak pisah tempat tidur dengan isteri.
3.         Sesudah dua pelajaran tersebut, kalau isteri masih terus durhaka, suami berhak memukulnya.[25]
Akibat durhaka, menghilangkan hak isteri khususnya dalam menerima belanja dan pakaian, dan pembahagian waktu. Berarti tiga perkara yang telah disebutkan di atas dengan adanya durhaka menjadikan tidak wajib atas suami dan siisteri tidak diperbolehkan menuntutnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman sebagai berikut:
ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف ... (البقرة : ٢٢٨)

Artinya: Hak isteri yang patut diterimanya dari suaminya, seimbang dengan kewajibannya terhadap suaminya dengan baik...(Q.S. Al-Baqarah: 22)
Dari dasar ayat di atas, dikemukakan bahwa seorang isteri diwajibkan untuk berbakti kepada suaminya dengan cara benar. Jika hal itu dilakukan dengan baik, maka seorang isteri diperkenankan untuk menuntut hak nafkahnya apabila suami tidak memberikan. Namun sebaliknya, jika isteri tidak berbakti kepada suami, maka akan menggugurkan nafkahnya dari suami.
Di sisi lain bentuk tindakan isteri yang dapat dikatagorikan nusyuz antara lain isteri membangkang pada suami, menolak berhubungan suami isteri tanpa alasan yang jelas dan sah, atau siisteri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suami atau diduganya tidak disetujuinya suaminya.[26]
Namun demikian, dalam konteks sekarang ini izin suami perlu dipahami secara proposional, karena izin suami secara langsung untuk setiap tindakan isteri, tentu  tidak selalu dapat dilaksanakan oleh suami, sebab suami tidak selalu berada di rumah akibat tugas yang harus dikerjakannya.[27]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa seorang suami harus memakluminya kalau isteri yang keluar tanpa seizinnya dapat dianggap sebagai hal biasa, karena tidak mungkin seorang isteri meminta izin secara langsung kepada suami, sedangkan suami sering tidak berada di rumah.
Namun setelah penulis meneliti lebih lanjut, ternyata Imam Syafi’i tidak pernah mengungkapkan secara khusus dalil untuk menentukan kadar nafkah isteri nusyuz. Malahan menurut Imam Syafi’i, isteri nusyuz sama sekali tidak berhak mendapatkan nafkah apabila si suami telah memberikan nasihat kepada isteri. Hal ini juga senada dengan para fuqaha yang mengikuti pendapat iman Syafi’i, sehingga penulis menjadi terkendala dalam menentukan dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i.

2.     Dalil-Dalil yang Digunakan Ibn Hazm
Dalam menguatkan pendapatnya sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Ibn Hazm tentu mempunyai alasan-alasan ataupun dalil-dalil serta dasar pemikiran yang menurutnya sesuai untuk dijadikan suatu dalil. DaliI yang dipergunakan adalah berdasarkan surat al-Nisa' ayat 34:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما انفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: ٣٤)
Artinya:Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, Oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang solihah ialah yang taat kepada Allah SWT. lagi memelihara diri ketika suaminya tiada, oleh karena Allah SWT. telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Menurut Ibnu Hazm, ayat tersebut merupakan penjelasan dari Allah SWT. tentang apa yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz, kecuali diberi nasihat, memisahkan diri dari tempat tidur dan memukulnya. Tidak ada dinyatakan oleh Allah SWT. untuk menggugurkan nafkah dan pakaiannya. Kemudian andaikan seseorang melakukan pengguguran nafkah sebagai hukuman yang diberikan kepada isteri yang nusyuz, maka itu adalah suatu cara yang tidak diizinkan oleh Allah SWT. dan itu suatu kebathilan.[28]
Selanjutnya Ibnu Hazm menjelaskan, bahwa memang benar nusyuz adalah perbuatan zalim, tetapi tidak seluruh perbuatan zalim terhalangi untuk memperoleh nafkah, kecuali adanya nash yang menyatakan isteri nusyuz gugur haknya untuk menerima nafkah. Dalam hal ini Ibnu Hazm memahami ayat di atas berdasarkan makna zahir nash semata-mata. Dalam ayat hanya dijelaskan tindakan suami terhadap isteri yang nusyuz. Sedangkan masalah nafkahnya tidak dinyatakan gugur oleh ayat tersebut. Oleh karena itu Ibnu Hazm berpendapat, bahwa isteri yang nusyuz tetap berhak mendapatkan nafkah.
Pendapat ini diperkuatkan lagi berdasarkan hadits Nabi SAW. ketika berkhutbah di Arafah.
عن جابر بن عبدالله أن رسول الله صلعم قال فى خطبته فى عرفة: فاتقوا الله فى النساء فإنكم أخذا تموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لايوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف. (رواه مسلم) 
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Rasulullah SAW. berkata pada khutbah di Arafah pada hari Arafah: Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam urusan wanita, maka sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan telah menghalalkan kamu akan faraj mereka dengan kalimah Allah Ta'ala dan bagi kamu kewajiban mereka bahwasanya mereka tidak membiarkan masuk seseorang yang kamu membencinya ke dalam tempat tidurmu, kemudian jika mereka melakukan yang demikian maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka kewajiban kamu untuk memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma'ruf. (H.R: Muslim)[29]

Imam Syafi’i mengatakan, bahwa hadits tersebut menunjukkan wanita berhak mendapatkan nafkah dari suaminya semenjak adanya aqad nikah.[30] Sesungguhnya  orang yang mengatakan nafkah itu ada karena adanya kerelaan diajak bina (berkumpul), adalah pendapat yang tidak didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah dan tidak ada perkataan sahabat, tidak qiyas serta bukan pendapat yang memiliki suatu sebab atau alasan. Sesungguhnya tidak diragukan seandainya Allah SWT. menginginkan pengecualian atas anak yang masih kecil dan wanita yang nusyuz dengan keadaan demikian, maka Allah SWT. akan mendatangkan penjelasan terhadap hal tersebut sebagai pembuat syari'at tidaklah mungkin Allah SWT. lupa.
Rasulullah SAW. sebagai pembawa syari'at yang menyampaikan hadits tersebut tidak berbicara dengan hawa nafsunya melainkan dengan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Najm ayat 3-4:
وما ينطق عن الهوى ان هو إلا وحى يوحى....
Artinya: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)...”.
Dari kesimpulan yang dapat diambil dari hadits Nabi SAW. ketika berkhutbah di Arafah yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa pendapat Ibn Hazm adalah sesuatu yang bersifat umum, mencakup keseluruhan wanita yang wajib dinafkahi tidak terkecuali yang nusyuz.
Selanjutnya dapat dipahami perkatan Umar Ra. sebagai berikut:
أخبرنى نافع عن إبن عمر قال: كتب عمر إبن الخطاب الى امرأ الأجناد ان انظروا من طالت غيبته أن يبعثوا نفقة أو يرجعوا أو يفارقرا فان فارق فان عليه نفقة مافارق من يوم غاب.
Artinya: “Telah dikhabarkan kepadaku oleh Nafi' dari Ibn Umar berkata : Umar bin Khattab telah menetapkan kepada panglima perang, bahwasanya engkau telah melihat orang yang lama kepergiannya, hendaklah ia mengirimi mereka (isteri) nafkah, atau kembalilah kepada mereka, atau ceraikanlah mereka. Kemudian jika ia menceraikan maka kewajibannya memberi nafkah, tidaklah ia bercerai dari hari yang dia pergi”.[31]
            Dari ungkapan di atas Ibn Hazm menyatakan, bahwa Umar tidak mengkhususkan wanita yang nusyuz dari yang lainnya.[32] Keumuman perkataan  Umar yang menetapkan kepada tentera yang lama meninggalkan isteri-isteri mereka untuk mengirimkan nafkah kepada isteri-isteri mereka dan tidak mengecualikan isteri yang nusyuz. Umar memberikan ketetapan yang sedemikian selaras dengan apa yang dipegangi para sahabat lainnya.
Selanjutnya orang yang menghalangi nafkah isteri nusyuz berarti ia telah menzalimi orang yang nusyuz tersebut dan ini adalah bathil. Menurut Sufyan as-Tsaury dan sahabat lainnya:

ومن طريق سعبة سألت الحكم عن عتيبة عن إمرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة؟ قال: نعم, وقال أبو سليمان وأصحابه وسفيان الثوري النفقة واجبة للصغيرة من حين العقد عليها.
Artinya: “Dari Thariq Syu'bah aku bertanya kepada Hakam bin 'Utaibah tentang seorang perempuan yang keluar dari rumah suaminya dalam keadaan marah, apakah ada baginya nafkah? Dia berkata: Ya ada. Dan berkata Abu Sulaiman dan sahabat-sahabatnya serta Sufyan as-Tsaury: Nafkah wajib bagi anak kecil semenjak aqad kepadanya”.[33]

Pernyataan Sufyan as-Tsaury berserta sahabat-sahabatnya yang lain dipahami oleh Ibn Hazm bahwa nafkah isteri telah wajib sejak menikah meskipun isterinya itu masih dalam buaian.
Berdasarkan dalil al-Quran dan as-Sunnah yang telah dikemukakan di atas, Ibn Hazm memahaminya sebagai dalil yang tidak menerangkan kekhususan wanita yang nusyuz untuk tidak menerima nafkah, sebab Ibn Hazm memahami dalil-dalil tersebut secara zahir nash.

C.    Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Antara Imam Safi’i Dan Ibn Hazm
Nafkah (biaya hidup) merupakan hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan bahkan pengobatan sekalipun siisteri termasuk seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini diwajibkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
Namun demikian, bila kedua ulama fiqh telah berbeda pendapat, maka hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan dalil. Imam Syafi'i  menentukan dalil surat an-Nisa’ ayat 34, sedangkan Ibn Hazm juga menetapkan surat tersebut sebagai dalil dalam menentukan nafkah. Namun di antara keduanya silang pendapat dalam mengambil pemahaman dari ayat tersebut, sehingga terjadi pula perbedaan pemahaman terhadap penentuan dalil mengenai kadar nafkah isteri nusyuz.
Mengenai hal tersebut, beberapa ulama telah memberikan perincian tentang masalah terpenting yang harus diberikan sebagai nafkah pada masa ketika menuliskannya. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan mereka. Nafkah merupakan tanggung jawab seorang ayah terhadap putera-puterinya sampai mereka menikah, dan putera sampai berusia puber. Begitu pula setiap muslim menafkahi orang tuanya serta kakek neneknya kalau dia mampu melakukan hal itu. Seandainya memungkinkan dan seseorang memiliki harta, maka dia sepatutnya memperhatikan berbagai kebutuhan, bahkan tiap kaum kerabatnya yang muslim. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga sampai pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk dinafkahi, seandainya dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah dan buta serta melarat, atau kalau dia seorang perempuan yang sudah berkeluarga yang masih anak-anak atau sudah dewasa.[34]
Namun demikian, Qadhi Abu Yusuf, salah seorang ulama Syafi’iyah menyampaikan kalau siisteri bersikap nusyuz dan suaminya menerima sikap isterinya, maka suami wajib menafkahinya. Dan tidak wajib memberikan nafkah bila suami tidak rela terhadap sikap isterinya tersebut. Namun Imam Nawawi sendiri bersama muridnya, Imam Muhammad mengikuti pendapat tersebut.[35]
Oleh karena itu, agama mewajibkan suami menafkahi isterinya, karena dengan adanya ikatan perkawinan yang sah itu, maka seorang isteri hanya terikat kepada suaminya dan menjadi tanggungannya, karena itu ia berhak menikmati secara terus menerus. Isteri wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, suami berkewajiban memenuhi kebutuhannya dan memberikan belanja kepadanya selama ikatan suami isteri masih berjalan dan siisteri tidak durhaka atau karena hal-hal lain yang menghalangi penerimaan belanja. Hal ini berdasarkan kaidah umum, yaitu: “setiap orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya bertanggung jawab membelanjainya.”[36]
Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat diketahui bahwa masalah kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri memang sangat tegas pembebanannya, sebab hal itu perlu ditegaskan karena isteri mempunyai kewajiban yang mutlak dalam mengabdikan diri kepada suaminya.
Namun demikian, isteri juga mempunyai persyaratan tertentu agar dapat menerima belanja dari suaminya, diantaranya adalah:
1.     Ikatan perkawinannya sah.
2.     Menyerahkan diri kepada suaminya.
3.     Suaminya dapat menikmati dirinya.
4.     Menyetujui apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki oleh suami, kecuali keadaan yang membahayakan dirinya.
5.     Keduanya dapat saling menikmati.[37]

Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja, karena jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, maka wajiblah suami isteri diceraikan guna mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki.
Namun demikian, nafkah yang wajib diberikan suami kepada isterinya berupa nafkah lahir dan nafkah bathin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan akan menjadi utang kalau tidak dilaksanakan dengan sengaja.[38] Kalau suaminya tidak memberikan nafkah tersebut, maka ia berstatus sebagai seorang yang mempunyai utang kepada isterinya. Setiap utang mesti dibayar, baik utang itu kepada isteri, suami, anak-anak maupun kepada pihak lain. Utang tersebut baru menjadi bebas, kalau dibebaskan oleh orang yang bersangkutan.[39]

D.    Konsekwensi dari Perbedaan Pendapat Kedua Mazhab Tersebut
Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini, dimana di dalamnya penulis akan mencoba menganalisa sekaligus memberikan interpretasi terhadap persoalan yang telah dikemukakan di atas.
Nafkah merupakan salah satu bentuk kewajiban yang mesti ditanggung seseorang dalam rangka menjaga dan memberi perlindungan terhadap isterinya. Sebab itulah seorang isteri diwajibkan patuh terhadap suaminya. Akan tetapi, pemberian nafkah ini dilakukan sesuai dengan tingkat kepatuhan isteri. Jika isteri membangkang, maka suami tidak berkewajiban menyediakan nafkahnya.
Pemberian nafkah tersebut juga sesuai dengan kemampuan suami, karena seseorang tidak mungkin dibebankan sesuatu diluar kemampuannya. Namun demikian penekanannya adalah kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat At-Thalaq ayat 7 sebagaimana yang telah penulis kutip di atas.
Pada dasarnya, pemberian nafkah isteri juga dilakukan secara seimbang antara pengabdian isteri dengan kebutuhan nafkahnya. Bahkan isteri yang demikian mesti diberikan ganjaran yang lain oleh suaminya.
Namun di antara ulama fiqh telah terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kadar nafkah isteri nusyuz. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap dalil yang dikutip, walaupun dalil-dali yang dikutip pada sumber dan tempat yang sama.
Menurut hemat penulis, penentuan kadar nafkah yang demikian sungguh sangat baik, karena tidak memberatkan pihak suami. Apalagi seorang suami dapat mengusahakan nafkah isterinya sesuai dengan tingkat kemampuan keuangannya, sehingga hal itu tidak menjadikan suami keberatan dalam menanggung nafkah.
Namun demikian, isteri juga tidak berhak atas nafkahnya sebagaimana yang telah ditentukan tersebut jika terjadi penyelewengan di pihak isteri. Penyelewengan ini dalam istilah syari’at disebut dengan nusyuz. Ada beberapa hal yang dapat dianggap nusyuz antara lain isteri membangkang terhadap suami, tidak mematuhi ajakan atau perintah suami, menolak berhubungan suami isteri tanpa alasan yang jelas dan sah, atau siisteri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suami atau diduganya tidak disetujuinya suaminya.



[1]Imam Nawawi, Syarh Majmu’ al-Muhazzab, Jil. XVIII, Beirut Libanon: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 265

[2]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Mesir: Dar al-Kutub, 1956, hlm. 465.
[3]Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Imam Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Mesir: Dar Asy Sya’bi, t.t., hlm. 176.

[4]Ibid., hlm. 80.

[5]Ibn Qudamah, al Muqhni asy-Syarah al-Kabir, Juz IX, Makkah: Maktabah at-Tijariyyah, t.t., hlm. 296.

[6]Abu Ishaq Ibrahim Asy Syirazi, al-Muhazzab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 159.

[7]Said Abu Bakar bin Sayyid Muhammad As Syaththa Ad-Dimyati, I’anah at-Talibin, Juz IV, Semarang: Toha Putra, hlm. 60.

[8]Ibn Qudamah, Op. Cit., Hlm. 297.

[9]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.

[10]Imam Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, Juz II, Surabaya: Dar al-Hadith Himas, t.t., hlm. 593.

[11]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.
[12]Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet. I, Jakarta: Lentera, 1996. hlm. 403-404.

[13]Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi Wa Amirah, Juz IV, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 78.

[14]Ibrahim al-Bajuriy, Hasyiah al-Bajury, Juz II, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 135.
[15]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Loc. Cit.

[16]Syihabuddin al-Qalyubi, Op. Cit., hlm. 77.
[17]An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarah An-Nawawi, Juz VIII, Maktabah al-Mishriyah, hlm. 183.
[18]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Beirut, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t., hlm. 249.
[19]Ibn Hazm, al-Muhalla, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t., hlm.249.

[20]Sai’id ThalibAl-Hamdani, Risalatun Nikah, Cet. III, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, hlm. 126.
[21]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah (alih bahasa Anshori Umar Sitanggal), Semarang: Asy-Syifa’, 1986, hal. 465.
[22]Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Semarang: Toha Putra, hlm. 594.
[23] Abu Zakaria Mahyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhazzab, hlm. 356.

[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 327.

[25] Yusuf Qardhawi, Fiqh Kontemporer, Jil. II, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 465.
[26] Imam Syafi’i , ar-Risalah., Beirut Libanon: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 114

[27] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, Cet. II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 191.
[28]Ibnu Hazm,Op. cit., hlm. 114.
[29]Imam Muslim, Op. cit., hlm. 176

[30]Ibnu Hazm, Op. cit, hlm. 249.
[31]Ibn Hazm, Loc. Cit.

[32]Ibid., hlm. 250.

[33]Ibid., hlm. 250.
[34] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Terj. KH. Ali Yafie, Jil. III, Bandung: al-Ma’arif, 1990, hlm. 88.

[35]Ibid., hlm. 89.

[36] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Suami terhadap Isteri, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995, hlm. 21.

               [37] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Suami Terhadap Isteri, hlm. 21-22.

[38] Utang nafkah bathin sebaiknya dibayar dengan jalan melakukan perbaikan diri dan perbaikan sikap kepada isteri, sehingga isteri siap memaafkan suaminya dan siap memberikan pelayanan kepada suaminya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Sedangkan nafkah lahir adalah berupa pemberian biaya dan keperluan hidup yang wajar dalam bentuk pangan, sandang, papan dan kesehatan. Lihat. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 82.

[39] Ibid., hlm. 83.