Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Prinsip Profesional dalam Evaluasi Pendidikan


A.    Prinsip Profesional dalam Evaluasi Pendidikan


Islam mengajarkan manusia untuk memiliki keseimbangan dalam menjalani kehidupannya. Salah satu keseimbangan yang dimaksudkan al-Qur’an adalah seimbang dalam mencari bekal untuk menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58 Allah SWT menjelaskan tentang profesionalisme dalam evaluasi pendidikan sebagaimana yang tersebut dibawah ini:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً) النساء: ٥٨(
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Qs. An-Nisa: 58)

Secara eksplisit ayat diatas menunjukan adanya kewajiban bagi umat manusia untuk menyampaikan amanah. Di samping itu, penyebutan perintah untuk menyampaikan merupakan suatu kewajiban yang sifatnya wajib dilaksanakan. Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat dicapai[1]. Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan incidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan atas asas tujuan yang jelas.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komperhensif dari seluruh asfek-asfek kehidupan mental psikologi dan spiritual religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersifat religious, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada tuhan dan masyarakatnya[2]. Evaluasi pendidikan Islam merupakan suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan Islam.
Sasaran-sasaran dari evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya meliputi empat kemampuan dasar anak didik yaitu: Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya, sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat, sikap dan pengamalan terhadap arti kehidupannya dengan alam sekitarnya dan sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi.
Sasaran-sasaran evaluasi tersebut dirumuskan kedalam berbagai pertanyaan atau statemen-stateman yang disajikan kepada anak didik untuk ditanggapi. Hasil dari tanggapan mereka kemudian di analisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai manifestasi dari keimanan dan keIslaman serta keilmu pengetahuannya.
Profesional mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya. Penyandangan dan penampilan “profesional” ini telah mendapat pengakuan, baik segara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi. Sedang secara informal pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa suatu profesi. Sebagai contoh misalnya sebutan “guru profesional” adalah guru yang telah mendapat pengakuan secara formal berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik dalam kaitan dengan jabatan ataupun latar belakang pendidikan formalnya. Pengakuan ini dinyatakan dalam bentuk surat keputusan, ijazah, akta, sertifikat, dan sebagainya baik yang menyangkut kualifikasi maupun kompetensi. Sebutan “guru profesional” juga dapat mengacu kepada pengakuan terhadap kompetensi penampilan unjuk kerja seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, sebutan “profesional’’ didasarkan pada pengakuan formal terhadap kualifikasi dan kompetensi penampilan unjuk kerja suatu jabatan atau pekerjaan tertentu. Dalam RUU guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa: “profesional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”[3].
 Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna proesional.
Profesionalitas adalah sutu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini guru diharapkan memiliki profesionalitas keguruan yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara efektif.
Profesionalisasi adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan profesionalisasi, para guru secara bertahap diharapkan akan mencapai suatu derajat kriteria profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan menurut Undang-undang nomer 14 tahun 2005 yaitu berpendidikan akademik S-1 atau D-IV dan telah lulus Sertifikasi Pendidikan. Pada dasarnya profesionalisasi merupakan sutu proses berkesinambungan melalui berbagai program pendidikan dalam jabatan (in-service)[4].
Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”[5].
Guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi profesi). Dengan keahliannya itu seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai pemangku profesinya.
Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokok-nya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Pada prinsipnya setiap guru harus disupervisi secara periodik dalam melaksanakan tugasnya. Jika jumlah guru cukup banyak, maka kepala sekolah dapat meminta bantuan wakilnya atau guru senior untuk melakukan supervisi. Keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisor antara lain dapat ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja guru yang ditandai dengan kesadaran dan keterampilan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab.
Dalam versi yang-berbeda, kompetensi pendidik dapat dijabar­kan dalam beberapa kompetensi sebagai berikut: Pertama, mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan. Kedua, menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada peserta didiknya. Ketiga, mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi. Keempat, mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada peserta didiknya. Kelima, mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan. Keenam, memberi hadiah (tabsyir/reward) atau hukuman sesuai dengan usaha dan upaya dicapai peserta didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar. Kompetensi pendidik yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan uswah hasanah dan meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya yang mengacu pada masa depan tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan, misalnya gaji, pangkat, kesehatan, kepada peserta didik dan lingkungannya.[6]
Secara garis besar, al-Qur'an menyatakan bahwa orang-orang yang menerapkan manajemen tidaklah sama dengan orang yang tidak menerapkannya. Karena orang-orang yang menerapan manajemen (profesional) akan meraih kebahagiaan. Dengan demikian, manajemen memiliki peran yang vital bagi keberhasilan manusia di dalam meraih harapan dan cita-cita. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 20 sebagai berikut:
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ) الحشر: ٢٠(

Artinya: Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung.(Qs. Al-Hasyr:20)

Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input, proses dan out put. Apabila prosesdur yang dilakukan tidak bercermin pada 3 unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai berikut: Pertama, perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknikapa yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, dimana, penyusunan instrument, indikator, data apa saja yang hendak digali), Kedua, pengumpulan data (tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan), Ketiga, verifiksi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb), Keempat, pengolahan data (memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah dengan manual atau dengan software (misal: SAS, SPSS), Kelima, penafsiran data, (ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?) interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu[7].






[1] Sukardi, Evaluasi Pendidikan (Prinsip dan Oprasionalnya),( Yokyakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 1.

[2] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 55.
[3] H. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta. 2000), hal. 44.
[4] Tim Pustaka Merah Putih, Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Guru dan Dosen, (Tangerang: PT. Agromedia Pustaka, 2007), hal. 90.

[5] Ibid., hal. 92.

[6] Saefuddin AM, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 130.
[7] Tabrani, dkk., Pendekatan..., hal. 29.