BAB III
REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Reformasi
Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Tahun 1998 merupakan titik awal
munculnya reformasi pendidikan di Indonesia. Bersamaan dengan
tahun ini pula, krisis ekonomi, sosial, dan politik melanda masyarakat dan
bangsa Indonesia ini. Krisis ini
menuntut adanya usaha keras untuk memperbaiki atau untuk mencapai keadaan kehidupan
yang lebih baik, kita mengenalnya dengan istilah reformasi. Emil
Salim menekankan arti reformasi untuk perubahan dengan melihat keperluan masa
depan. Din Syamsudin sebagaimana dikutip H.A.R.
Tilaar “menekankan kembali dalam bentuk asal”.[1]
Dalam hal ini, jelaslah bahwa reformasi merupakan suatu usaha pembaharuan
menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi,
hukum juga termasuk pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Sejak awal abad ke-20, masyarakat Muslim di
Indonesia telah melakukan reformasi (pembaharuan).
Reformasi ini dirintis oleh tokoh pelopor pembaharu pendidikan Islam Minangkabau,
seperti Syekh Abdullah Ahmad, Zainudin Labai El-Yunus dan lain-lain, juga dalam bentuk
organisasi-organisasi Islam seperti Jamiat Khair, Al-Irsyad, Persyarikatan
Ulama, Muhammadiyah,
Persatuan Islam (PERSIS), dan
Nahdatul Ulama di daerah lain.[2]
Akan tetapi, perubahan itu
memiliki motivasi yang betul-betul pragmatis, yaitu bagaimana mengimbangi pendidikan
umum yang berkembang pesat yang semata-mata diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan
kolonialisme.[3]
Mengikuti pertimbangan dan perubahan
zaman yang cepat, dengan proses perkembangan teknologi
oleh pengguna ilmu pengetahuan terapan, dilandasi dengan ekspansi produk
besar-besaran dengan
menggunakan tenaga mesin untuk tujuan pasaran yang luas bagi barang-barang
produsen maupun
konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian
kerja, seluruhnya
disertai oleh urbanisasi yang meningkat, yang dikenal dengan era
industrialisasi dan globalisasi.[4]
Oleh karena itu, kita memerlukan
lembaga-lembaga perguruan tinggi yang berfungsi bukan hanya dapat mengembangkan
budaya bangsa dengan menepis unsur-unsur luar yang positif bagi penyempurnaan
dan perkembangan kebudayaan kita sendiri, tetapi juga berfungsi watch dog
atau kata hati suatu bangsa.[5]
Hal ini berarti bahwa perguruan (pendidikan) tinggi harus mampu memacu
pembangunan tenaga kerja dalam menciptakan tenaga kerja mandiri, profesional,
beretos kerja tinggi, berdaya saing tinggi, dan cepat tanggap terhadap
perubahan teknologi.
Pendidikan adalah keindahan proses belajar
mengajar dengan pendekatan manusianya (man centered), dan bukan sekadar
memindahkan otak dari kepala-kepala atau mengalihakn mesin ke tangan, dan
sebaliknya. Pendidikan lebih dari itu, pendidikan menjadikan manusia mampu menaklukkan
masa depan dan menaklukkan dirinya sendiri dengan daya pikir, daya dzikir, dan
daya ciptanya.
Dari sudut pandang masyarakat, pendidikan
adalah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan,
dan keterampilan dalam kehidupan. Sosiolog Emile Durkheim, dalam karyanya Education
and Sosiology sebagaimana dikutip Saefudin menyatakan bahwa:
Pendidikan merupakan produk masyarakat itu
sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa
depan. Jadi, pendidikan harus berorientasi masa depan, harus futuristik.
Sementara itu, dari sudut pandang individu, pendidikan adalah proses perkembangan,
yakni perkembangan potensi yang dimiliki secara maksimal dan diwujudkan dalam bentuk
konkrit, dalam arti perkembangan menciptakan sesuatu yang baru dan berguna
untuk kehidupan masa mendatang.[6]
Abdurrahman al-Bani sebagaimana dikutip Adi
Sasono menggambarkan bahwa pendidikan mencakup 3 faktor yang mesti dilakukan
secara bertahap: “Pertama, menjaga dan memelihara anak. Kedua, mengembangkan
potensi dan bakat anak sesuai dengan minat/bakatnya masing-masing. Ketiga,
mengarahkan potensi dan bakat anak agar mencapai masyarakat dan kesempurnaan”.[7]
Dalam studi kependidikan, sebutan “Pendidikan
Islam” pada umumnya dipahami sebagai suatu ciri khas, yaitu jenis pendidikan
yang berlatar belakang keagamaan. Dapat juga digambarkan bahwa pendidikan yang
mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, dan
anggun dalam moral”. Hal ini berarti menurut cita-citanya pendidikan Islam
memproyeksi diri untuk memproduk “insan kamil”, yaitu manusia yang
sempurna dalam segala hal, sekalipun diyakini baru (hanya) Nabi Muhammad Saw. yang
telah mencapai kualitasnya. Pendidikan Islam dijalankan atas roda cita-cita
yang demikian dan sebagai alternatif pembimbingan manusia agar tidak berkembang
atas pribadi yang terpecah, split of personality, dan bukan pula pribadi
timpang.
Manusia diharapkan tidak materialistik atau
aspiritualistik, amoral, egosentrik atau antrosentris, sebagaimana yang secara
ironis masih banyak dihasilkan oleh sistem pendidikan kita dewasa ini. Untuk
meraih tujuan yang ideal itu, maka realisasinya harus sepenuhnya bersumber dari
cita-cita al- Qur’an, sunnah, dan ijtihad-ijtihad yang masih berada dalam ruang
lingkupnya.[8]
Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa
prinsip utama pendidikan Islam adalah pengembangan berpikir bebas dan mandiri
secara demokratis dengan meperhatikan kecenderungan peserta didik secara
individual yang menyangkut aspek kecerdasan akal dan bakat yang dititikberatkan
ialah prinsip pendidikan Islam: demokrasi dan kebebasan, pembentukan akhlak karimah,
sesuai kemampuan akal peserta didik, diversifikasi metode, pendidikan
kebebasan, orientasi individual, bakat ketrampilan terpilih, proses belajar dan
mencintai ilmu, kecakapan berbahasa dan dialog, pelayanan, sistem universitas,
dan rangsangan penelitian.[9]
Dengan meninjau kembali program pendidikan
strata satu (S1) di semua jurusan yang ada di IAIN, baru ditunjukkan untuk
memahami dan mengamalkan hasil dari pemahaman para ulama masa lalu terhadap
wahyu. Belum diarahkan untuk mengembangkannya, juga belum diarahkan untuk memenuhi
wahyu secara langsung.[10]
Selanjutnya, Dawam Raharjo sebagaimana dikutip
Tobroni dan Syamsul Arifin juga mengatakan bahwa sistem pendidikan kita dewasa
ini lebih mengutamakan makna bagaimana orang menerima pengetahuan, tetapi tidak
membentuk orang untuk dapat menciptakan dan tidak merangsang orang untuk
berpikir. Sistem pendidikan kita hanyalah merupakan sistem pendidikan yang
orientasinya pada sistem bukan pada ketrampilan.[11]
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 269 dan surat
Ali-Imran ayat 190-191 bahwa Ulul Albab (cendekiawan muslim) itu adalah
kelompok intelektual beriman yang mampu menyatukan kekuatan zikir dan fakir (refleksi
dan penawaran), di samping punya kebajikan (hikmah) dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalah-masalah dunia dan kemanusiaan.
Disisi lain, H.A.R Tilaar, mengutarakan
pendidikan tinggi Islam di Indonesia dewasa ini (IAIN) dengan paradigmanya
menganut paham dualisme ilmu pengetahuan.[12] Dalam
hal ini, A. Malik Fajar memberikan penilaian objektif terhadap animo calon
peserta didik di lembaga pendidikan Islam sebagai berikut:
Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih
lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan terjadi karena adanya pergeseran nilai
atau ikatan keagamaannya yang memulai memudar, melainkan sebagian besar kurang
menjanjikan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan permintaan saat ini
maupun mendatang. Padahal paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan
masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status
sosial, dan cita-cita.[13]
Sampai saat ini, pemikiran dan pendidikan
Islam akan terus menghadapi dilema berkepanjangan. Secara praktis pemikiran dan
pendidikan Islam tidak bisa keluar dari pergumulan pemikiran ilmiah yang lahir
dari pemikiran Barat Modern. Melalui jalan ini diharapkan akan muncul berbagai
konsep sebagai pemecahan problem, dilema pemikiran, dan pendidikan Islam, serta
pemecahan terhadap persoalan kemanusiaan Universal.[14]
B.
Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Reformasi
Pada awal reformasi, Sistem Pendidikan
Nasional masih diatur oleh UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang menurut banyak
kalangan sudah tidak sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah, Pasal 11 yang menyatakan tentang "Daerah berkewajiban menangani
pendidikan". Atas dasar kritikan itulah, disusun dan disahkan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional[15].
Proses pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke
UUSPN nomor 20 tahun 2003 pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro dan
kontra. Catatan media menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan UUSPN
nomor 20 tahun 2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 juli 2003 terdapat
sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu, pertama masalah desentralisasi dan
kerancauan tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas. Kedua, ketidakjelasan
tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat, ketiga tanggungan biaya pendiidkan
antara pemerintah dan masyarakat, keempat pendidikan formal dan non-formal,
kelima sentralitas agama, keenam UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan
orientasi inward looking. Ketujuh, pembebanan sumberdaya pada masyarakat,
kedelapan adanya dominasi guru, kesembilan asumsi liberalisasi pendidikan, dan
kesepuluh etatisme/ campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan.[16]
Kesepuluh persoalan tersebut, yang menjadi
perdebatan hangat dan menuai pro-kontra adalah persoalan agama atau pendidkan
agama, pasal 3 dan 4, terutama pasal 12 ayat 1 (a) yang berbunyi “setiap
peserta didik pada setiap lembaga/ satuan pendidikan berhak mendapatlan pedidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik agama yang
seagama”. Karena itu, Majelis Nasional Pendidikan Katholik (MNPK) dan Majelis
Pendidikan Kristen (MPK) mengajukan keberatan atas pasal tersebut dengan alasan
bahwa pasal dan ayat tersebut membelenggu gerakan kemandirian sekolah-sekolah
swasta yang realitanya sangat “plural”. Selain itu, mereka beranggapan bahwa
undang-undang tersebut terlalu menekankan pendidikan agama di sekolah sekolah, sehingga keberadaan lembaga pendidikan kejuruan, etika dan
etos kerja dilupakan.
Tak pelak pro-kontra ini mendapat
respon dari berbagai pihak, diantaranya adalah tulisan Ali Masykur menjelaskan
bahwa:
Undang-undang terbaru ini (UUSPN nomor 20 Tahun 2003) sudah cukup
akomodatif dan representative bila dibandingkan dengan UU No. 12 tahun 1989,
sebab selama ini ada pandangan dan reaksi masyarakat yang menyoroti dasar
filsafat pendidikan, tujuan pendidikan yang diangap tidak mencerdaskan, campur
tangan pemerintah, aturan yang tidak demokratis dan memihak agama tertentu.[17]
Anwar Arifin menulis pada harian Republika
bahwa:
Di berlakukannya UU Sisdiknas terbaru
merupakan perkara yang logis dan wajar, sebab Undang-undang lama (No. 2 tahun
1989) sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang digulirkan lewat
UU No. 22 tahun 1999; selain itu, UU lama sarat dengan hegemoni pemerintah
terhadap pendidikan; sehingga kesempatan masyarakat untuk memiliki andil
terhadap pendidikan dikerdilkan. Padahal, secara
jujur kita perlu melakukan peningkatan mutu, relevansi, dan efesiensi
pendidikan.[18]
Tulisan media yang kontra UU
Sisdiknas tersebut diantaranya adalah Sri Hartanto menyatakan bahwa
Undang-undang Sisdiknas ini merupakan upaya demoralisasi dan menjauhkan rakyat
dari cita-cita keadilan social dan kehidupan berbangsa dan bernegara,[19] dan Franz Magnis Soseno menilai bahwa
agamanisasi yang begitu kental hanya akan memperburuk hasil pendidikan di
sekolah selama agama dipahami secara formalistik, ritualistik dan
eksklusivistik.[20]
Terlepas dari pro-kontra tersebut,
akhirnya UUSPN nomor 20 tahun 2003 disahkan pada tanggal 8 Juli 2003. Undang-undang
ini dinilai bagi penggerak pendidikan Islam sebagai titik awal kebangkitan
pendidikan Islam. Karena secara eksplisit, UU ini menyebutkan peran dan
kedudukan pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan agama (termasuk
pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Hal
ini menunjukkan adanya pengakuan bangsa terhadap sumbangan besar pendidikan
Islam (agama) dalam upaya mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya, sebagaimana amanat
UUSPN nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37
ayat (3) tentang perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, maka ditetapkanlah PP nomor 55 Tahun 2007
tentang pendidikan agama dan keagamaan yang berfungsi sebagai panduan teknis
dalam mengatur pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan.[21]
Dengan demikian, diberlakukannya
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 menjadikan
pendidikan Islam semakin diakui dan turut berperan dalam peningkatan kualitas
bangsa, selain itu pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam akan lebih
baik dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.
C.
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Reformasi
Program peningkatan mutu pendidikan yang ditargetkan
oleh pemerintah Orde Baru akan mulai berlangsung pada Pelita VII terpaksa
gagal, krisis ekonomi yang berlangsung sejak Juli 1997 telah mengubah
konstelasi politik maupun ekonomi nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir
dan digantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan”
meskipun demikian sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari
rezim Orde Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan
multi partai.
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi
salah satunya melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah dimulai
sejak tahun 1994 serta melakukan perbaikan sistem pendidikan agar lebih
demokratis. Tugas jangka pendek Kabinet Reformasi yang paling pokok adalah
bagaimana menjaga agar tingkat partisipasi pendidikan masyarakat tetap tinggi
dan tidak banyak yang mengalami putus sekolah.
Dalam bidang ekonomi, terjadi krisis yang
berkepanjangan, beban pemerintah menjadi sangat berat. Sehingga terpaksa harus memangkas program
termasuk didalamnya program penyetaraan guru-guru dan mentolerir terjadinya
kemunduran penyelesaian program wajib belajar 9 tahun. Sekolah sendiri
mengalami masalah berat sehubungan dengan naiknya biaya operasional di suatu
pihak dan makin menurunnya jumlah masukan dari siswa. Pembangunan di bidang pendidikan pun
mengalami kemunduran.
Beberapa hal yang menyebabkan program
pembangunan pemerintah dalam sektor pendidikan terutama dalam Pendidikan Agama
Islam belum terpenuhi secara maksimal adalah:
Pertama, Distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan sosial
kelas bawah. Kedua, Kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan
yang bersifat fisik material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual
belum mendapatkan pos yang strategis. Ketiga, Munculnya sektor industri
yang membengkak, cukup menjadikan agenda yang serius bagi pendidikan Islam di
Indonesia pada masa pembangunan ini. Keempat, Perubahan-perubahan sosial
yang berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif dalam
dialektik pembangunan sebagaimana tersebut di atas. Kelima, Kurikulum
yang belum mantap, terlihat dari beragamnya jumlah presentasi untuk pelajaran
umum dan agama pada berbagai sekolah yang berlogo Islam. Keenam, Kurang
berkualitasnya guru, yang dimaksud disini adalah kurang kesadaran professional,
kurang inofatif, kurang berperan dalam pengembangan pendidikan. Ketujuh,
Dualisme pengelolaan pendidikan yaitu antara Depag dan Depdikbud. Kedelapan,
Belum adanya sentralisasi dan disentralisasi yang jelas. Kesembilan, Sisa-sisa
pendidikan penjajahan yang masih ditiru seperti penjurusan dan pemberian gelar.
Kesepuluh, Minimnya persamaan hak dengan pendidikan umum. Kesebelas,
Minimnya peminat sekolah agama karena dipandang prospeknya tidak jelas.[22]
Semua hal diatas adalah faktor penyebab dari
tidak terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam menjalankan pembangunan
dalam sektor pendidikan agama khususnya bagi Pendidikan Agama Islam. Semua itu
sangat memprihatinkan apalagi jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya retrospeksi
atas kegagalan tersebut. Yang harus disadari adalah lembaga pendidikan Islam
adalah lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar bagi jalannya pembagunan di
negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada
sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah banyak
melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
Muhammad A.S. Hikam mengungkapkan bahwa:
Betapa besarnya pendidikan Islam di Indonesia
hanya dengan menunjukkan salah satu sampelnya yaitu pesantren. sebagai lembaga
pendidikan Islam pesantren dan madrasah-madrasah bertanggungjawab terhadap
proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan secara khusus
pendidikan Islam bertanggungjawab
terhadap kelangsungan tradisi keislaman dalam arti yang seluas-luasnya. Dari
titik pandang ini pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif,
memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan hakikat
pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia mukmin yang sejati, mempunyai
kualitas moral dan intelektual.[23]
Sistem Pendidikan Nasional seperti dijelaskan
dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah Sistem Pendidikan
Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang termasuk didalamnya
mengenai Pendidikan Agama Islam.
Di dalam pasal-pasal dan penjelasan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini
ditemukan sebagai berikut:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan cakap (Bab II pasal 3 ayat 1-6).[24]
Butir-butir dalam tujuan Nasional tersebut
terutama yang menyangkut nilai-nilai dan berbagai aspeknya, sepenuhnya adalah
nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan
pendidikan Islam. Oleh karena itu, berkembangnya pendidikan Islam akan
berpengaruh sekali terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional
yang dimaksud dan demikian juga sebaliknya.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang RI No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan tentang jalur, jenjang dan jenis
pendidikan diantaranya[25]:
Pertama, Jalur pendidikan dilaksanakan melalui:
1) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
2) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan
di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang.
3) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan (Bab I pasal 1 ayat 11-13).
Pendidikan Islam dilaksanakan pada semua jalur
tersebut oleh karena itu pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari pendidikan nasional.
Kedua, Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejujuran
akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus (bab V pasal 16). Yang dimaksud
dengan pendidikan keagamaan di sini adalah merupakan pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peran yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.
Oleh karena itu setiap orang Islam, dalam
menjalankan peran hidupnya sebagai orang muslim, sangat berkepentingan dengan
pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan
nilai, moral, dan sosial budaya keagamaan. Oleh karenanya, pendidikan Islam
dengan lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan
nasional.
Beberapa strategi yang perlu dicanangkan untuk
memperbaiki pendidikan Islam masa depan adalah sebagai berikut.
1. Strategi sosial politik
Menekankan
diperlukannya merinci butir-butir pokok formalisasi ajaran Islam di
lembaga-lembaga negara melalui upaya legal formalitas yang terus menerus oleh
gerakan Islam terutama melalui sebuah partai secara eklusif khusus bagi umat Islam
termasuk kontrol terhadap aparatur pemerintah. Umat Islam sendiri harus
mendidik dengan moralitas Islam yang benar dan menjalankan kehidupan Islami
baik secara individu maupun masyarakat.
2. Strategi Kultural
Dirancang untuk kematangan kepribadian kaum muslimin
dengan memperluas cakrawala pemikiran, cakupan komitmen dan kesadaran mereka
tentang kompleksnya lingkungan manusia.
3. Strategi Sosio cultural
Diperlukan upaya untuk mengembangkan kerangka
kemasyarakatan yang menggunakan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Bila kita merujuk pada pola pembaruan
pendidikan Islam diatas pola pembaruan yang bercorak Modemis dan tradisionalis,
tidak sedikit tokoh yang mencoba melakukan pembaruan dalam bidang ini. Namun,
pada pembahasan ini akan menguraikan secara panjang lebar pembaruan pendidikan
Islam yang bercorak modemis yang dilakukan pada tiga wilayah kerajaan besar,
yakni kerajaan Turki Usmani, Mesir dan India, yang sudah sangat jelas dengan
para tokoh pebaruannya.
Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
adalah:
1. Syaikh abdullah ahmad
2. Rahmah el-yunusiah
3. As panji gumilang
Selain dari ketiga tokoh pembaruan pendidikan
Islam diatas masih banyak lagi tokoh-tokoh yang lainnya diantaranya:
1. Syekh Ibrahim Musa Parabek
2. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus
3. Muhamad Natsir
4. K.H. Ahmad Dahlan
5. K.H. Hasyim Asy’ari
6. Ki Hajar Dewantara
7. K.H. Abdullah Syafi’i
8. K.H. Abdullah bin Buh
9. K.H.Imam Zarkasyi
10. K.H. Saifuddin Zuhri[26]
D.
Formulasi Pendidikan Pasca Reformasi
Pendidikan merupakan faktor utama dalam
pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik
atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal
tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan
sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang
berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. “Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan
tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan
yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang
sedang berkembang”.[27]
Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus
berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi
manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna
kesejahteraan hidup di masa depan.
Setelah Pemerintah Republik Indonesia dalam
hal ini Kemendiknas RI mendapat sorotan yang serius terhadap Pelaksanaan ujian
Nasional sebelumnya , maka mulai tahun 2011 ini akan menerapkan kebijakan baru
untuk mendukung formulasi penentuan kelulusan Ujian Nasional, salah satunya
meniadakan Ujian Nasional (UN) ulangan, selain itu kelulusan siswa dari satuan
pendidikan telah diperhitungkan hasil UN, hasil ujian sekolah, dan penilaian
guru di sekolah sesuai dengan amanat UU No.20 thn 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional, PP No.19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan
operasionalnya dituangkan dalam Permendiknas No. 20 thn 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan .Ketiga komponen tersebut dirangkum dalam nilai gabungan
yang memperhitungkan hasil ujian nasional dan ujian sekolah dengan rasio bobot
60% dan 40%. Untuk standarnya, pemerintah menggunakan batas nilai bawah
kelulusan yaitu 5,5. “Dengan formulasi yang baru tersebut, kita nerharap
tingkat kelulusan juga semakin tinggi dan meningkat dari tahun sebelumnya
karena siswa tidak dipotret sesaat melainkan di tiga tahun masa belajar .”Kita
berpikir optimislah dengan formulasi nilai gabungan sekarang”.[28]
Dalam Formulasi baru Ujian Nasional ini,
selain Pemerintah menentukan kriteria kelulusan dari nilai gabungan UN dan
Nilai Sekolah, juga menetapkan kriteria lulus Ujian Sekolah diberikan
sepenuhnya kepada satuan pendidikan. Karena itu ujian sekolah akan dilaksanakan
oleh satuaan pendidikan itu sendiri sebelum Ujian Nasional. Yang lebih penting
dan strategis yang perlu dipikirkan oleh sekolah, pemerintah daerah dalam hal
ini Dinas pendidikan Kabaupaten Kota, dan Pusat adalah langkah tindak lanjut UN
setelah Ujian Nasional nanti. Mengingat arah UN sekarang adalah peningkatan
mutu pendidikan pertama kali dituangkan dalam Permendiknas No. 45 dan 46 Tahun
2010. Mudahan formulasi baru ini akan menjadi standar dan tidak mengalami
perubahan lagi di tahun-tahun mendatang. Kalau tiap tahun ganti sistem kapan
perbaikan kualitas bisa dilakukan.
Kehadiran Permendiknas Nomor 45 dan 46 tahun
2010 yang lalu diyakini membawa perubahan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional.
Hal ini karena adanya perubahan sistem penentuan kelulusan dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Mulai tahun pelajaran 2010/2011, kelulusan peserta
didik ditentukan dari nilai akhir (NA). Dalam hal ini Nilai Akhir (NA)
diperoleh dari perpaduan Nilai Sekolah (NS) dan nilai ujian nasional (UN).
Sedangkan NS didapatkan dari perhitungan Nilai Rapor (NR) dengan nilai ujian
sekolah (US).
“Formulasi baru terhadap Regulasi
penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) dipandang perlu karena adanya berbagai
permasalahan dan sorotan yang tajam yang muncul pada penyelenggaraan Ujian
Nasional tahun-tahun sebelumnya”.[29] Karena
Penilan oleh Guru (melalui UH,UTS,UAS/UKK), dan penilaian oleh Sekolah (melalui
Ujian Sekolah) tidak dipadukan dengan hasil Ujian Nasional. Sehingga hasil
Ujian Nasional menjadi penentu kelulusan siswa di sekolah..Fakta menunjukkan,
pelaksanaan Ujian Nasional tahun –tahun sebelumnya banyak terjasdi “Eror” baik
saat persiapan UN maupun saat perlaksanaan UN. Banyak sekolah yang nekat
mengorbankan pembelajaran pada jam efektif untuk membahas soal-soal Prediksi
Ujian nsional berdasarkan SKL untuk mengejar target. yang ditemukan pada
penyelenggaraannya, terutama ada nya isyu terjadinya kebocoran soal yang
berdanpak pada psyikologis peserta didik menjadi kurang percaya diri.
Bahkan, Wakil Menteri Pendidikan Nasional,
Fasli Jalal, menyebutkan ada tiga faktor utama kebocoran soal UN, yaitu
percetakan, distribusi soal, dan pengawasan pada pelaksanaan UN. Ini adalah
sebagian kecil kilas balik tindakan eror yang muncul ke permukaan, dan diyakini
ini merupakan fenomena gunung es. Oleh karena itu sangat berargumentatif, relevan
dan signifikan dengan formulasi baru regulasi penyelenggaraan UN demi
peningkatan kualitas pendidikan secara nasional.
[2] Harun
Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal.
154-169.
[3] A.
Syafi’i Ma’arif, dkk., Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hal. 131.
[8] Muslih
Usa dan Aden Wijdan SZ, Pemikiran Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hal. 35-36.
[10] Ditbinperta,
Topik Inti Kurikulum Nasional IAIN Fakultas Tarbiyah, (Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam, 1995), hal. 8.
[11] Arifin,
Syamsul dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan
Demokrasi:
Rekonstruksi dan Aktualisasi Ikhtilaf dalam Islam, (Malang: UMM Press, 2001), hal. 170.
[12] Tilaar,
Beberapa..., hal. 208.
[13] A.
Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, Cet I, (Jakarta Timur: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1991),
hal. 166.
[15] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah R.I Nomor 47 Tahun
2008 tentang Wajib
Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2008), hal. 17.
[18]
Anwar Arifin, Hanya Ditunda, Tidak Akan Diubah, Harian Republika
Tanggal, 2 Mei 2003.
[20] Franz
Magnes Soseno, Pendidikan Pluralisme dan Kebebasan Beragama, Kompas,
Tanggal 8 Mei 2003.
[24] Undang-Undang Sisdiknas UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Guru
dan Dosen UU RI Nomor 14 Tahun 2005, (Jakarta: Asa mandiri, 2009), hal. 9.
0 Comments
Post a Comment