Tujuan dan Manfaat Memilih Jodoh dan Hubungannya dengan Pembinaan Pendidikan Islam
A.
Tujuan dan Manfaat Memilih Jodoh dan
Hubungannya dengan Pembinaan Pendidikan Islam
Disyariatkannya pernikahan terkandung maksud agar agama
seseorang semakin sempurna, nafsu birahinya tidak serakah, terjaga ketahanan
mental dan jasmani, memperkokoh tali persaudaraan, baik antar individu maupun
dengan masyarakat, menjaga kemuliaan bangsa dan negara, serta meraih ampunan
dosa[1].
Namun, kini telah banyak manusia yang memilih kedudukan dan martabat hewani,
enggan menikah, memilih hidup bebas tanpa batas dalam menyalurkan nafsu
birahinya. Kenyataan ini tidak perlu dipungkiri, karena sudah ada sejak Allah
menciptakan bumi. Bahkan sampai kiamat perilaku hewani itu mungkin tetap akan
menghiasi kehidupan manusia yang tak pernah tersentuh nilai keimanan.
Mereka memandang bahwa hidup adalah uang dan kemegahan.
Harta, tahta, dan wanita sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengarungi hidup
hingga dalam memilih pasangan hidup selalu mengutamakan kekayaan material,
keturunan, dan kecantikan. Bagi mereka, hal tersebut merupakan prestise dalam
mengarungi kehidupan di tengah masyarakat. Agama dan akhlak bukan lagi
dijadikan ukuran, bahkan menjadi cemoohan. Ada pula di antara mereka yang
menikah hanya sekadar mencari ajang penyaluran seks, mencari kenikmatan dan
kepuasan duniawi. Hal tersebut senantiasa dijadikan dambaan dalam memilih
pasangan hidup.
Islam sebagai agama samawi terakhir, diyakini sebagai
agama yang universal tidak terbatas waktu dan tempat. Alquran sendiri
menyatakan bahwa Islam datang sebagai rahmat bagi alam semesta. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al-anbiya surat 107 sebagai berikut:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ) الأنبياء: ١٠٧(
Artinya:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (Qs. al-Anbiya’: 107).
Di sisi lain, ajaran Islam diyakini sebagai risalah yang
sempurna dan dapat digunakan sebagai pedoman umat manusia. “Salah satu ajaran
Islam yang disepakati ulama setelah Alquran adalah hadis. Oleh karena itu,
hadis berperan sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran” [2].
Salah satu masalah yang dibahas dalam sumber ajaran Islam
adalah masalah perkawinan. Ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam surat
An-Nur ayat 32 sebagai berikut:
وَأَنكِحُوا
الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن
يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ)
النور: ٣٢(
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Qs.
an-Nur: 32).
Ayat diatas menjelaskan anjuran untuk menikahi orang yang
baik (shaleh) dan yang masih bujang. Di samping itu, Alquran juga menekankan
akan adanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat bagi setiap
pasangan yang secara langsung mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak cara yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satunya adalah upaya mencari
calon isteri atau suami yang baik. Upaya tersebut bukan merupakan suatu yang
kunci, namun keberadaannya dalam rumah tangga akan dapat menentukan baik
tidaknya.
Pembinaan pendidikan bagi anak di dalam
keluarga memiliki kedudukan yang sangat urgen, “keluarga menjadi lembaga
pendidikan pertama dan utama bagi anak. Karena itu, pendidikan agama idealnya
ditanamkan pertama kali di dalam keluarga. Bekal pendidikan yang diperoleh anak
dari lingkungan keluarga akan memberinya kemampuan untuk menentukan arah di
tengah-tengah kemajuan yang demikian pesat”[3].
Keluarga muslim merupakan keluarga-keluarga yang mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam mendidik generasi-generasinya untuk mampu terhindar dari berbagai
bentuk tindakan yang menyimpang. Oleh sebab itu, perbaikan pola pendidikan anak
dalam keluarga merupakan sebuah keharusan dan membutuhkan perhatian yang
serius. Hal yang tidak bisa kita abaikan adalah bahwa tujuan utama pembinaan
pendidikan agama dalam keluarga adalah penanaman iman dan akhlaq terhadap diri
anak.
Pendidikan merupakan suatu proses yang terdiri dari
beberapa fase secara garis besar ada dua fase dalam pelaksanaan proses
pendidikan, yaitu pendidikan pra natal pra konsepsi dan pasca konsepsi) dan
pendidikan pasca natal (pendidikan setelah kelahiran). Fase pranatal adalah
fase sebelum kelahiran anak. Fase pranatal terbagi kepada dua masa pra konsepsi
(masa sebelum terjadinya pertemuan antara sperma dan sel ovum) dan masa pasca
konsepsi (masa kehamilan).
Pada masa pra konsepsi berkait erat dengan tujuan
pernikahan. Pernikahan di dalam Islam salah satu tujuannya adalah untuk
memelihara keturunan. Karena itu, mulai proses memilih jodoh telah berorientasi
pada kepedulian utama dalam merancang pendidikan anak. “Mulai proses persiapan
diri seorng mukmin untuk menikah, memilih jodoh, pernikahan sampai ketika telah
diporbelehkan melakukan hubungan suami istrei dalam konsep Islam terdapat
nilai-nilai pendidikan yang sangat berharga yang berimplikasi pada kualitas
keturunan”[4].
Nilai-nilai pendidikan itu terdapat antara lain pada
konsep Islam dalam menentukan syarat-syarat memilih jodoh yang mengutamakan
agama sebagai kriteria yang tidak dapat ditawar-tawar, ta’aruf dan peminangan
untuk lebih mengetahui latar belakang calon pasangan hisup yang akan dinikahi,
resepsi atau walimatul ‘ursy yang dilengkapi dengan khutbah pernikahan,
bahkan setelah halal melakukan persetubuhanpun Islam mengajarkan agar membaca
doa sebelumnya sehingga pasangan suami isteri dan anak yang (mungkin) akan dikaruniakan
Allah Swt. dijauhkan dari syaitan.
[1]
Abdur Rohman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,1989), hal. 12.
[2] Moh
Rifa’I, Fiqih Wicaksana, (Semarang: Toha Putra,2002), hal. 34.