Evaluasi Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Anak
A.
Evaluasi Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Anak
Secara harfiah kata evaluasi
berasal dari bahasa Inggris “evaluation”,[1] dalam
bahasa Arab: “al-Taqdir/Penilaian”.[2] Evaluasi
mnerupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan
menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur tertentu
guna memperoleh kesimpulan. Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses
kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang
dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif
atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu.
Sedangkan secara istilah, ada
beberapa pendapat, namun pada dasarnya sama, hanya berbeda dalam redaksinya
saja. Oemar Hamalik mengartikan “evaluasi sebagai suatu proses penaksiran
terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan peserta didik untuk tujuan
pendidikan”.[3]
Sementara Abudin Nata menyatakan bahwa “evaluasi sebagai proses membandingkan
situasi yang ada dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi
dan menggunakannya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan”.[4]
Kemudian menurut Suharsimi
Arikunto, “evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang
bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan”.[5] Dan
Edwind Wandt sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis berpendapat “evaluasi adalah suatu tindakan atau proses
dalam menentukan nilai sesuatu”.[6] Adapun
M. Chabib Thoha, mengutarakan bahwa “evaluasi merupakan kegiatan yang terencana
untuk mengetahui keadaan objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan”.[7]
Menurut Anas Sudijono, “evaluasi
adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat
dalam mengambil keputusan”.[8] Fungsi
utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang
berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan
diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Dari beberapa pendapat, dapat
ditarik kesimpulan bahwa evaluasi yaitu suatu proses dan tindakan yang
terencana untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan, pertumbuhan dan
perkembangan (peserta didik) terhadap tujuan (pendidikan), sehingga dapat
disusun penilaiannya yang dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan. Dengan
demikian evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan
insedental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu yang terencana,
sistematik dan berdasarkan tujuan yang jelas.[9] Hamdani Ihsan, mengemukakan, ada dua tujuan evaluasi:
“Pertama, Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah
menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu dan Kedua, Untuk
mengetahui tingkah efisien metode pendidikan yang dipergunakan dalam jangka
waktu tertentu”.[10]
Untuk itu diperlukan upaya-upaya
nyata semacam evaluasi individual untuk mewujudkan perubahan pembelajaran yang
dinamis berbasis life skills dalam dunia pendidikan. Pemberian motivasi,
penghargaan dan hukuman sekiranya mampu menciptakan peserta didik yang tangguh
menghadapi beragam jenis mata pelajaran tanpa diliputi perasaan tertekan
ataupun terbebani, hingga mengakibatkan kegagalan-kegagalan yang ditandai
dengan menurunnya prestasi mereka.
Peserta didik pada umumnya
mengalami kegagalan-kegagalan dalam belajar karena kurangnya motivasi,
penghargaan dan hukuman yang diberikan oleh gurunya. Padahal akan lebih baik
jika para siswa dipahami secara utuh oleh pendidik melalui evaluasi individual
dengan mempertimbangkan karakteristik personalnya. Dan sebagai dasar untuk
dapat memahami anak-anak yang merosot dalam hal prestasi, ada beberapa
karakteristik umum :
1) Pengalaman
kegagalan yang berulang-ulang; pengalaman ini akan memberikan pengaruh yang
negatif pada proses belajar. Peserta didik yakin tidak akan berhasil belajar
walaupun telah berusaha keras.
2) Keterbatasan
fisik dan lingkungan; kondisi ini memungkinkan peserta didik mengalami
kesulitan untuk menerima informasi dan kemampuan konseptual. Misalnya, anak
dengan disfungsi minimal otak dapat mengalami distorsi perceptual.
3) Masalah
motivasi dan penghargaan. Pengalaman tentang kegagalan akan menimbulkan
kurangnya minat, motivasi dan antusias medan kemauan terhadap situasi belajar.
Untuk itu pemberian motivasi dan penghargaan yang mendidik mampu
menumbuhkembangkan kreasi para peserta didik.
4) Kecemasan
akan hukuman. Kecemasan yang tidak jelas biasanya berasal dari perasaan akan
kegagalannya yang akan terjadi . Karena kesulitan dalam belajar dan perasaan
ditolak serta dihukum oleh guru dan orang tua, peserta didik cenderung untuk
mengembangkan gambaran diri yang buruk. Perasaan ini dapat berkembang menjadi
ketidakpedulian, melamun, perilaku yang gugup dan pendendam.
5) Perilaku
yang tidak menentu, peserta didik dengan kesulitan belajar cenderung menampilkan
perilaku yang tidak menentu dalam banyak situasi belajar. Secara umum perilaku
ini muncul ketika kekurangan dirinya tampak jelas. Siswa akan menghindar atau
menunjukkan penolakan terhadap situasi yang dianggapnya merupakan ancaman.
6) Evaluasi
yang tidak tuntas. Diagnosa yang buruk menyebabkan terhambatnya pendidikan anak
dengan kegagalan belajar. Karena anak yang sudah terlanjur di ”cap” lamban,
terganggu secara emosional atau terbelakang tanpa melakukan pendekatan untuk
mengetahui masalah spesifik dan kebutuhannya terlebih dahulu.
7) Pendidikan
yang tidak tepat. Secara umum, anak dengan kegagalan belajar tidak mendapatkan
pendidikan seperti yang diharapkannya. Contohnya saja, kurangnya fasilitas,
guru yang tidak terlatih untuk senantiasa memberikan motivasi, penghargaan dan
hukuman yang mendidik serta cara pandang masyarakat yang tidak mendukung.[11]
Evaluasi individual di atas dapat
menjadi acuan bagi para guru untuk lebih paham dengan kondisi peserta didik.
Penulis berpikir, semakin paham kita akan kondisi siswa, semakin banyak
inovasi-inovasi yang muncul dalam benak kita untuk segera ditularkan kepada
peserta didik yang mengalami kesulitan atau kegagalan dalam belajar. Dan tentu
saja niat baik dari seorang guru untuk mencerdaskan anak bangsa, sangat menentukan
tingkat keberhasilan peserta didik kini dan nanti. Dan karena begitu pentingnya
pemberian motivasi, penghargaan dan hukuman demi peningkatan prestasi belajar
siswa, maka di sinilah letak sebuah tantangan yang harus dimiliki oleh
pendidik. Pendidik yang mampu membuat peserta didiknya berhasil menggapai masa
depannya.
Pendidik yang berorientasi ke
depan dan menjadi seorang motivator bagi para peserta didiknya. Pendidik yang
senantiasa menggusung kalimat “Keberhasilan” peserta didik adalah berkat pemberian
motivasi, penghargaan dan hukuman dari seorang pendidik yang maju terus,
pantang mundur menciptakan para peraih nobel masa depan yaitu para siswa. Dan
para siswa yang baik hendaknya memiliki cara pandang yang sama dengan guru yang
senantiasa memberi mereka motivasi. Karena Siswa akan dikatakan berhasil dalam
belajar apabila memiliki motivasi dan kreatifitas dalam belajar. “Motivasi
siswa dalam belajar adalah Kemauan, hasrat dan komitmen yang muncul dari dasar
hati peserta didik untuk berdiri tegak dan maju dalam menggapai sebuah harapan
positif”[12].
Sementara prestasi berupa kreatifitas siswa dalam belajar adalah kecakapan dan
hasil karya seorang peserta didik yang dimiliki dari hasil apa yang telah
dipelajari yang dapat ditunjukkan atau dilihat melalui hasil belajarnya.
[4]
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Cet I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 307.
[8]Anas
Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995), hal. 34.