BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia bukanlah malaikat yang lepas dari kesalahan dan dosa,
sanggup beribadah dan bertasbih selamanya, namun manusia juga bukan syaitan
yang senantiasa salah, sesat dan menyesatkan, akan tetapi manusia adalah makhluk
yang diberikan dan dibekali oleh allah akal dan nafsu ditambah lagi dengan
qalbu kesinambungan akal dan nafsu disertai dengan hati yang bersih menjadikan
manusia mendapatkan derajat yang tinggi dari malaikat
Kalau kita tengok sejarah kebelakang sebelum islam itu datang, kita
dapat temukan refernsi-referensi tentang bejad dan tercelanya sifat para
kaum-kaum jahiliyah yang tidak mempunyai peradaban yang murni mereka hanya
mengumbar nfsu belaka tanpa mementingkan etika yang baik dan mulia. Ini semua adallah
disebabkan oleh tidak adanya aturan dalam hidup, oleh sebab itu Allah SWT
mengutus seorang nabi yang merupakan nabi dan rosul terakhir yang diutus hingga
akhir zaman untuk menyempurnakan akhlak dimuka bumi ini terkhusus bagi bangsa
arab sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teks Hadis
عَنْ أَبِـي
سَعِيدٍ الْـخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَـجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ إِنْ أَبَـيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا
وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ كَفُّ الأَذَىوَ
رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ(رواه البخارى
و مسلم)
Artinya: Dari
Abu Said Al-Khudry radhiallahu’anhu dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda:"Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan".Maka para
Sahabat berkata:"Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat
kami untuk bercakap-cakap".Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
berkata:"Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka
berilah hak jalan".Sahabat bertanya:"Apakah hak jalan
itu?"Beliau menjawab:"Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan,
menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."(HR. Bukhari
Muslim)[1]
Hadits
di atas menjelaskan, sekaligus membenarkan waqi' (kenyataan) pahit yang melanda
umat ini. Di mana mayoritas kaum muslimin sekarang banyak menghabiskan waktunya
untuk nongkrong di tempat-tempat keramaian atau tepi jalan, sambil menikmati
kemaksiatan dengan model dan corak yang bermacam-macam. Kalau kita tanya,
mereka akan menjawab, "Hanya cuci mata, refreshing, menikmati
pemandangan" dan yang semisalnya.[2]
Padahal
ketika kita ajak mereka untuk hadir di majelis ta'lim, mengaji agama, merekapun
beralasan sibuk, capek, tidak punya waktu dan setumpuk alasan lain. Bahkan
karena kebenciannya dengan ilmu agama, tidak jarang di antara mereka ada yang
sengaja beralasan sakit, padahal tubuhnya sehat. Ini adalah realita pahit yang
menimpa kaum muslimin sekarang ini, khususnya muda-mudi kita. Sebagian mereka
melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allâh. Merekapun
lupa, waktu adalah modal utama yang tak akan pernah kembali lagi jika sudah
berlalu. Sedangkan kebahagiaan dan kecelakaan hamba di akhirat sangat
bergantung kepada cara mengisi kehidupannya di dunia ini.
Apakah
mereka tidak sadar, pekerjaan mengumbar hawa nafsu itu akan mengundang murka
Allâh Ta’ala dan semakin menjauhkan mereka dari hidayah serta petunjuk-Nya?
Tidakkah mereka renungi, kelak mereka akan dimintai pertanggung-jawaban tentang
kesempurnaan nikmat (indra) yang mereka miliki? Alangkah bahagianya orang yang
menghabiskan umurnya dalam ketaatan kepada Allâh Ta’ala, orang yang menjauhkan
diri dari segala bentuk kemaksiatan dan kesia-siaan.
B.
Makna Lafazh Hadits
إِيَّاكُمْ = Adalah kalimat yang digunakan untuk
mentahdzir (memberikan
peringatan keras) terhadap sesuatu.
الطُّرُقَاتِ = Adalah jama' dari طرق, mufrodnya adalah طريق sehingga kalimat
ini
adalah merupakan جمع الجمع (dobel jama').
لا بُدَّ = Tempat menghindar atau lari.
الكَفُّ = Yaitu menahan.
غَضُّ البَصَرِ = Menundukkan
pandangan dari yang diharamkan.
رَدُّ السَّلاَمِ =
Menjawab salam orang yang lewat.
كَفُّ الأَذَى =
Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan ucapan
maupun
perbuatan.[3]
C.
Asbabul Wurud Hadits
Dari Aisyah radhiyallâhu'anha, ia berkata: “Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam (suatu ketika) mendatangi majelis kaum Anshor, lalu
mengucapkan salam kepada mereka, merekapun menjawab salam. Nabi tidak menyukai
majelis itu, lalu merekapun mengatakan: ‘Wahai Rasûlullâh, (ini) adalah majelis
yang dilakukan oleh bapak-bapak kami dulu di waktu jahiliyah, maka kami ingin
meramaikannya dengan duduk-duduk padanya’. Lalu Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam mengatakan: ‘Jika kalian enggan kecuali dengan bermajelis maka jawablah
salam, tundukkanlah pandangan dan tunjukilah jalan.’[4]
D.
Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Adâbul Mufrad
No.1150, Muslim (Muktasharnya) dalam kitab: Adab, Bab Larangan Duduk di Jalan
no. 1419 hal: 374. Abu Dawud dalam Bab Duduk di Jalan (4816). Hadist yang
semakna juga di keluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Musykilil Atsar 1/58, dan Al-
Bazâr dalam Musnadnya, 2/425/2018 (Kasyful astar) dari jalan Muhammad bin
Al-Mutsana dan Yazid bin Sinaan, keduanya berkata: telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Sinaan dari Abdullah bin Mubarak dari Jarir bin Hazim dari
Ishaq bin Suwaid dari Ibnu Hujairoh dari Umar, dengan lafadz:
إِيَّاكُمْ
وَالْـجُلُوسَ فِـيْ الصُعَدَاتِ فَإِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْـنَ فَأَعْطُوا
الطَّرِيقَ حَقَّهُ قِيْلَ
وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَإِرْشَادُ الضَالِ
Artinya: Jauhilah oleh kalian duduk di jalan, jika kalian mesti
berbuat demikian, maka berilah hak jalan". Ada yang bertanya: "Apakah
hak jalan itu?" Beliau menjawab:"Menundukan pandangan, menjawab
salam, dan menunjuki orang yang tersesat."
Syeikh Al-Albaniy berkata dalam Silsilah Ahadits Shohihah 6/11-13:
"Hadist ini shohih. Hadits ini terdapat di dalam Shohihaini dan Adabul
Mufrod 1150, Abu Dawud 4815, Ibnu Hibban 594, dan Ath- Thahawy dan Ahmad 3/36
dari Said Al-Khudry semisalnya secara marfu'. Demikian juga diriwayatkan oleh
Imam Muslim 7/2 dari hadits Abu Tolhah tanpa lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ (menunjukkan orang yang tersesat).
E.
Biografi Perawi Hadits
Untuk lebih berfaedah dan mempermudah kita dalam memahami kandungan
satu hadits, maka perlu mengetahui biografi perawi hadits, untuk menambah
keyakinan dan kemantapan dalam mengamalkannya. Manfaat lain, kita dapat
mengenal hal ihwal para sahabat yang dapat menambah kecintaan kita terhadap
mereka.
Perawi hadits ini, seorang sahabat yang terkenal yaitu Said bin
Malik bin Sinaan Al-Anshory Al-Khozrojy Al-Khudry, dikenal juga dengan
kunyahnya yaitu Abu Said. Beliau seorang ahli fiqh, mujtahid dan pernah
menjabat mufti Madinah. Beliau selalu mendampingi Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam dan banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau berperang bersama Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam sebanyak 12 kali, di antaranya perang Khondak,
Bai'atur Ridwan dan lain-lain. Meninggal di kota Madinah padah tahun 74 H.
Sedangkan bapaknya bernama Malik meninggal di perang Uhud.[5]
F.
Penjelasan Makna Hadits
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang umatnya duduk di
jalanan, baik di atas ranjang, kursi atau hanya di atas tanah, baik yang
beralas atau tidak. Larangan tersebut akhirnya dirasakan berat oleh para sahabat,
sehingga mereka mengadu kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sembari
mengatakan: "Wahai Rasûlullâh, ini adalah kebiasaan kami dalam
memperbincangkan sesuatu masalah, baik yang berhubungan dengan agama, dunia
atau kebaikan yang lainnya. Kami merasa senang dengan hal ini."
Sebenarnya para sahabatpun memahami, Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam tidaklah bermaksud melarang mereka secara mutlak apalagi mengharamkan
perbuatan mereka. Karena larangan itu sebenarnya tidak ditujukan kepada
perbuatan mereka, akan tetapi ditujukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan
hak orang yang lewat di jalan. Oleh karena itu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wa sallam tidak melarang mereka, ketika mereka mau memperhatikan apa yang
menjadi hak jalan.
Di antara hak jalan tersebut adalah:
1.
Menundukan
pandangan.
Betapa banyak kita saksikan
muda-mudi yang berkeliaran tanpa tujuan yang jelas. Bahkan kadangkala motif
mereka cuma mejeng dan cari perhatian, dengan penampilan mereka yang ala artis
Barat. Belum lagi di tambah gaya mereka yang di bumbui dengan parfum atau
wangi-wangian yang baunya sangat menusuk hidung.
2.
Menghilangkan
gangguan.
Janganlah kita menyakiti orang lain, baik dengan perkataan atau
perbuatan. Seperti mencela orang, atau memukul orang lain dengan tangan atau
dengan tongkat tanpa kesalahan yang di lakukan orang tersebut. Termasuk juga
merampas apa yang dibawa seseorang, membanjiri jalan dengan air supaya
membasahi kaki orang yang lewat, menaruh gangguan di jalan agar orang yang
lewat tersandung, melemparkan kotoran di tengah jalan, meletakkan duri di
tengah jalan, supaya mengenai orang yang lewat; mempersempit jalan, dengan cara
membuat majelis duduk yang dapat mengganggu tetangga dan wanita yang ingin
keluar; atau membatasi gerak seseorang, dan lain sebagainya. Semua ini adalah
contoh bentuk perbuatan tercela yang dapat merugikan orang lain dan wajib
ditinggalkan.
3.
Menjawab
Salam
Menjawab salam merupakan kewajiban seorang muslim dan sunnah
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang patut diteladani. Janganlah kita
bosan menjawab salam, walaupun orang yang lewat banyak, karena semua itu dapat
menimbulkan kecintaan orang lain. Mereka akan menghormati dan memuliakan kita. Tidakkah
kita senang kepada orang yang menyayangi kita serta menghargai orang yang
memuliakan kita? Maka hendaklah kita membalas salam dengan yang semisalnya atau
dengan yang lebih baik. Karena perkataan muslim sejati yang mendambakan
keselamatan di dunia dan akhirat, jika diseru oleh Allâh dan Rasul-Nya kepada
satu kebaikan, adalah "kami dengar dan kami taati".
4.
Memerintahkan
kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
Memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan
kewajiban mulia bagi seorang muslim terhadap saudaranya muslim. Apabila kita
melihat sebuah gerobak (pedati) bermuatan berat ditarik seekor binatang, atau
kita menyaksikan seekor hewan yang membawa suatu barang berat di luar
kemampauannya, ini termasuk kemungkaran. Maka mintalah sang pengemudi atau
pemiliknya meringankan beban muatannya. Jika kita melihat dua orang lewat
saling mencaci atau berkelahi, maka perintahkanlah keduanya untuk berhenti.
Jika kita melihat seorang pemuda yang menggoda seorang gadis atau
menghalang-halangi jalannya, maka berilah ia nasehat supaya menghentikan
perbuatannya dan berjalan di atas jalan yang lurus. Seandainya dia menolak,
maka kerjakanlah apa yang dapat kamu lakukan dengan tanpa ceroboh atau
merugikan diri kamu sendiri.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis bahas diatas, maka pada
bab ini penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa
sallam melarang umatnya duduk di jalanan, baik di atas ranjang, kursi atau
hanya di atas tanah, baik yang beralas atau tidak. Larangan tersebut akhirnya
dirasakan berat oleh para sahabat, sehingga mereka mengadu kepada Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam sembari mengatakan: "Wahai Rasûlullâh, ini
adalah kebiasaan kami dalam memperbincangkan sesuatu masalah, baik yang
berhubungan dengan agama, dunia atau kebaikan yang lainnya. Kami merasa senang
dengan hal ini
B.
Saran-saran
1.
Disarankan
kepada kaum muslimin agar dapat berakhlak sesuai dengan tuntunan Nabi Saw.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa agar dapat memperdalam pengkajian ilmu agama, karena dengan
ilmu agama hidup akan jadi lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah bin Muhammad
Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Juz 1, Mesir: Maktabah, Al-Husaini, t.t.
Al-Nawawi,
Syarh Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1402.
Al-Khathib,
Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits:
‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr,1989.
Muhammad ‘Ajjaj
al-Khathib. ‘Ulum al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar alFikr, 1989.
[1] Abu Abdullah bin Muhammad
Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Juz 1, (Mesir: Maktabah, Al-Husaini, t.t.), hal. 275.
0 Comments
Post a Comment